Simple Life
Jumat, 17 Agustus 2012
PENCARIAN DIMULAI :)
Hm, sodara-sodara tidak terasa sudah em, sejak dari bulan april, em, sekitar tiga bulan sudah saya berada di tanah leluhur yang tidak pernah saya bayangkan akan begini kenyataannya. Terlahir dari pasangan suami istri aseli Jawa, saya harus belajar 'memulai' menjadi Jawa dari saat ini. Setelah bertahun-tahun menghabiskan umur dan menghisap 'susu' dari tanah orang, akhirnya saya kembali. Walaupun mungkin papa saya juga nasibnya seperti saya -Jawa yang hampir kehilangan identitas- tapi mama saya yang masih bergelar Roro mendonorkan dengan meyakinkan passion seorang Jawa yang mengalir dalam nadi ini.
Saya ini seperti domba garut berbulu hijau yang berada di tengah-tengah domba garut lainnya dengan lampu yang menyorot tepat pada saya. Terasing. Terasing dengan bahasa, etika, kebiasaan, persepsi, dan macam-macam lainnya. Satu hal lagi, saya malu. Seperti hari kemarin saat saya mau berangkat dari Purworejo menuju Jogja. Bude saya yang mengerti betul bagaimana tabiat orang macam saya yang sudah terkontaminasi serpihan budaya Indonesia Timur, khusunya Papua yang dianggapnya tidak terlalu klop dengan budaya ngih-ngih orang Jawa berpesan:
"Kalo ketemu sama orang-orang langsung disalami ya. Terus kalo mau keluar rumahnya ******, jangan serta-merta langsung berbalik, kamu harus mundur dulu sampai keluar pintu, baru membalikkan badan."
Saya hanya bisa nyegir sambil garuk-garuk kepala. Astaga, sudah sejauh inikah ketidaktahuan saya atas etika orang jawa? Belum lagi waktu saya bertemu bapak kos saya:
"Nak arta orang apa?"
"Orang jawa"
"Bisa ngomong jawa?"
"Gak bisa pak"
"Lah, kalo begitu bukan orang jawa namanya, hehe"
#garukgarukkepalalagi
Yah, setelah melewati berbagai kejadian saya jadi menyesal kenapa tidak meladeni dengan perhatian penuh sambil menganggukkan kepala setiap si emak nyerocos menggunakan bahasa jawa. Sudah seharusnya saya bangga dengan identitas saya. Yah, saya ini orang Jawa dengan potongan puzzle yang hilang. Ya, kehilangan jati diri walau saya tidak bisa mnenyangkal bahwa sesuatu dari diri saya berbisik: saya juga orang Papua tanpa rambut kriting :). Dan jika suatu hari saya melanjutkan hidup di negeri orang, saya tidak mau kehilangan jati diri lagi. Kali ini jati diri sebagai seorang Indonesia. Hm, saya terdengar begitu chauvinis, macam Hitler saja ya? hehehe :).
Senin, 09 Juli 2012
KOMANDAN DANPUTRNYA
Masih jam
setengah tiga pagi dan aku terbangun bukan karena alarm yang kupasang, tetapi
karena suara membahana suamiku. Jerit mengerikannya kukhawatirkan akan
membangunkan tetangga. Kususul suamiku dengan susah payah bangkit dari tempat
tidur. Kuseret kaki yang berat sampai kutemukan dia di halaman belakang.
Wajahnya kelihatan shock dan pucat. Ia hanya berdiri terpaku dengan pakaian
jogging yang lengkap. Aku juga kaget melihat pemandangan di hadapanku. Kuusap
punggung suamiku sebelum derajat kemarahannya naik sampai ubun-ubun. Tapi aku
terlambat.
“Siapa yang berani melakukan ini
pada Maxi?????!!!!!” raungnya marah. Matanya melotot melihatku. Kemudian
beralih pada anjing gembala jermannya yang kejang-kejang sambil mengeluarkan
busa dari mulutnya. Anjing kesayangannya keracunan.
“Bangunkan anak itu”perintahnya
sambil menahan amarah.
“Ini masih jam setengah tiga.....”
“Bangunkan,”
Aku tak berani
membantahnya. Jika aku berani membuat sang komandan mengulang perintahnya
sampai tiga kali, aku yakin dia sendiri yang akan membangunkan putri kami
dengan cara yang membuat gadis itu tambah berulah. Dan rumah tanggaku akan
lebih ribut dengan argumen dua manusia keras kepala yang tak pernah akur.
Aku sendiri
tak memikirkan pelaku lain selain anakku, karena aku tahu mereka adalah musuh
bebuyutan. Musuh dalam taruhan pemenang piala eropa kemarin, musuh dalam
menentukan pesanan pizza, sampai musuh dalam menentukan warna cat dinding. Namun
aku tahu, suamiku itu sayang benar padanya. Aku hanya bisa mengomel dalam hati.
Aku
mengahampiri anakku yang tertidur dalam posisi yang menurutku bukan
kebisaannya. Aku duduk ditepi tempat tidurnya dan membelai rambutnya yang hitam
panjang. Rambut dan wajahku, tapi wataknya milik suamiku.
“Ibu tahu kamu
tak tidur,”bisikku.
“Lihatlah apa
yang sudah kamu lakukan pada Maxi, ayahmu marah besar,”lanjutku. Ia tak bisa
menyembunyikan senyumnya.
“Aku lagi
tidur bu. Hari ini ada ulangan, daripada mengomeliku, bawa saja Maxi ke dokter
Jaelani sebelum Maxi mencret-mencret. Baru setelah itu, ayah bisa
memarahiku,” jawabnya santai. Ia tahu
benar apa yang telah dilakukannya.
“AKU MAU KE
DOKTER JAELANI!!!! MAXI MULAI MENCRET-MENCRET!!! ANAK ITU, AWAS SAJA DIA!!!!”
teriak suara suamiku dari lantai bawah. Aku melirik putriku yang tertawa puas.
Ayah mengacaukan
segalanya, begitu jawabnya saat kutanya mengapa ia senekat itu meracuni maxi.
Baru kusadari gadisku telah beranjak dewasa. Kemarin ada teman prianya yang main ke rumah kami. Katanya ia hanya datang
untuk belajar bersama, tapi putriku tahu ia ingin menyatakan perasaannya.
Mereka belajar seperti biasa di teras rumah walau putriku menahan perasaan
gembira, sampai katanya dadanya sakit. Waktu yang di nanti putriku tiba saat
pembicaraan mereka beralih dari persamaan trigonometri ke permasalahan cinta.
Tapi semuanya berantakan ketika suamiku pulang dari kantornya dengan pakaian
dinas lengkap. Ia ikut nimbrung di antara mereka berdua. Lalu ia ngobrol dengan
teman pria putriku. Obrolan yang menurut putriku lebih mirip investigasi.
“Dan sesekali
ayah mengusap pistol dan kumisnya,” tambahnya.
Suamiku
bertanya terus sampai pada bagian yang membuat semuanya gagal total. Ayahnya menanyakan kembali soal trigonometri yang baru dijelaskan putri kami pada teman
prianya itu. Tapi ia tak bisa menjawab sama sekali. Keluarlah kata-kata keras
dari mulut sang komandan.
“Ngapain kamu
di sini kalau gitu? Otakmu masih sama kosongnya seperti saat kau datang. Pulang
sana bantu orang tuamu. Regina, MASUK!!!!” kata putriku menirukan ayahnya. Kami
diam beberapa saat. Sekarang hampir setengah enam. Ia lupa akan keinginnnya
untuk tidur, malah bercerita panjang lebar.
“Padahal dia
belum bilang sesuatu, Bu,” katanya sambil menahan isak.
“Lalu kulihat
Maxi yang menggonggong padaku seperti mengejek, langsung saja kuberi obat
pencahar pada makanannya yang sudah disiapkan Bi Sing,” akunya dengan nada
bersalah.
Aku hanya bisa
membelainya. Di saat seperti ini jika aku jadi dirinya, aku akan menangis
tersedu-sedu. Tapi putriku terlalu gengsi untuk menangis. Putriku ini kaku
seperti ayahnya. Tak mudah mengungkapan perasaan.
Sang komandan
pulang ketika putriku sudah berangkat sekolah. Ia menggendong Maxi yang lemas
ke kandangnya.
“Anak itu,
akan kuberi dia pelajaran nanti,” katanya sebelum berangkat kerja. Tapi
menurutku ancaman itu hanya sekadar ancaman. Sang komandan tak sampai hati
menghukum putrinya. Ia menggunakan baret kebanggaan lalu berkaca. Hari ini ia
akan berpidato di hadapan para prajurit batalyonnya.
Aku kasihan pada Maxi yang menjadi pelampiasan
putriku. Aku masih ingat konflik lain antara putriku dan ayahnya yang
mengorbankan Maxi. Saat putriku kalah main PS dari ayahnya, dan mereka adu
mulut kenapa ia sampai kalah. Aku masih bisa mendengar suara kecil putriku saat
berumur sembilan tahun bahwa Maxi yang sedari tadi menggonggong benar-benar
mengganggunya. Selanjutnya ia mengambil air seember dan menyiram Maxi.
Maxi
mendengking kecil. Sepertinya lapar. Kutengok jam. Seharusnya putriku sudah
pulang saat ini. Biasanya ia tak mau melewatkan waktu memberi makan Maxi. Kubelai
Maxi, ia menatapku manja. Tapi tiba-tiba pintu menjeblak terbuka dan suamiku
muncul dengan mukanya yang tak berekspresi. Ia menyeret tangan putriku yang
meronta sambil menangis sesenggukan.
“Ada apa ini?”
tanyaku khawatir.
“LEPASKAN
AKU!!!! AYAH, LEPASKAN!!!!” jeritnya.
“Sudah berapa
kali kubilang, aku tak suka kau bergaul dengan anak itu,” suamiku menggumam.
“AYAH,
LEPASKAN!!!!!”putriku meronta lebih keras sampai pegangan suamiku terlepas.
Pergelangan tangannya merah.
“APA YANG AYAH
INGINKAN LAGI DARIKU????!!!!! AYAH MENGHANCURKAN SEGALANYA!!!!” tuntutnya.
“AKU TAK SUKA
MENEMUKANMU BERBONCENGAN DENGAN BERANDALAN ITU!!!!!” suamiku tak mau kalah.
“KALAU BEGITU
AKU HARUS BERBONCENGAN DENGAN SIAPA KALAU SEMUA TEMAN PRIAKU AYAH SEBUT
BERANDALAN???!!! BAHKAN TAK ADA TEMAN PRIAKU YANG BERANI MENDEKATIKU BEGITU
MENGETAHUI AYAHKU ADALAH AYAH!!!! AKU SUDAH TUJUH BELAS TAHUN, BIARKAN AKU
MEMILIH!!!!!” wajah putriku bercucuran air mata. Mukanya merah. Wajah suamku
tak kalah merahnya. Aku juga gemetar. Kucoba mendekati suamiku dan mengusap
pundaknya, tapi ia mengelak.
“APA JUGA
MAUMU JALAN DENGAN LAKI-LAKI YANG PURA-PURA DATANG KE RUMAH UNTUK BELAJAR
PADAHAL ISI KEPALANYA TETAP KOSONG????!!! CARI YANG LAIN SANA!!!!” sang
komandan ngotot.
“APAKAH AYAH
BERANI MENJAMIN, BEGITU ADA LAKI-LAKI LEBH BAIK YANG INGIN MENDEKATIKU, AYAH
AKAN MEMBIARKANNYA?????” suamiku tak menjawab.“DARI ANAK OLIMPIADE FISIKA
SAMPAI OLIMPIADE KIMIA, DARI YANG TAMPAN SAMPAI YANG SANGAT TAMPAN, AYAH SELALU BILANG ADA KURANGNYA!!! MEMANG APA
MAU AYAH???? INGIN AKU JADI PERAWAN TUA?????!!!........”
“DIAAAAMMMM!!!!!”
bentak sang komandan sambil menodongkan pistol ke arah kepala putrinya. Tangannya
bergetar. Aku kaget setengah mati dan langsung menyusur ke kakinya untuk
menghentikan tindakan konyol itu.
“Jangan....
jangan segila ini Ben....” aku mengiba sambil menangis. Kulihat di sudut
ruangan Bi Sing tampak menangis ketakutan.
“AYO YAH!!!
KENAPA GAK DITARIK PELATUKNYA?????? AKU JUGA UDAH CAPE HIDUP DENGAN ORANG CEREWET
MACAM AYAH YANG LEBIH SAYANG ANJINGNYA DIBANDING ANAKNYA SENDIRI!!!!”
tantangnya. Aku memandang putriku,
memohon padanya untuk diam. Kemudian semuanya terjadi begitu saja. Suamiku
meninggalkan putriku yang menangis sesenggukan dan aku yang tergeletak di
lantai berurai air mata. Ia masuk ke ruang kerjanya.
Aku tak
percaya apa yang terjadi tadi. Suamiku ingin menghabisi nyawa putrinya hanya
gara-gara ia dekat dengan laki-laki tolol? Bi Sing berusaha menenangkanku. Tapi
aku masih tak bisa berdiri, kakiku masih gemetar. Kusuruh saja ia menyiapkan
makan malam, walau kutahu tak akan ada yang mau menyentuhnya. Sejak kejadin
tadi, malam ini rumah kami sunyi senyap. Tak ada tawa putriku, dan tak ada
ocehan suamiku. Setelah kudapati separuh nyawaku, kucoba menghampiri putriku di
kamarnya. Kutemukan ia masih menangis, tapi begitu melihatku, ia mengusap air
matanya.
“Ayahmu
bermaksud baik, Nak,” ujarku berusaha menghilangkan nada ketakutan dalam suaraku sambil menunggu respon. Tapi ia tak
menjawab. Aku memainkan rambutnya. Mencari topik yang bisa mendinginkan hati
putriku.
“Kamu tahu,
ketika ibu masih muda, jika kakek tak menghentikan ibu berpacaran dengan
seorang pria, ibu tak akan jadi dengan ayahmu. Dan kamu tahu, ternyata pria itu
sekarang udah lima kali kawin cerai, hahahaha....” kembali aku menunggu respon
darinya, tapi tak dibalas. Kami diam sebentar.
“Hah, tapi
ayahmu menyenangkan kan?” ia masih tak merespon, tapi aku yakin ia sedang berusaha
menahan senyumnya.
“Ibu ingin kau
minta maaf pada ayahmu nanti” tambahku sambil mencium keningnya sebelum keluar
dari kamar.
Begitu
kukeluar, kutemukan suamiku berjalan ke arah kamar putriku, tapi karena
melihatku, ia berbalik. Aku jengkel benar dengan orang ini. Saat aku berjalan
melewatinya, ia berdehem untuk menghentikanku.
“Kamu tidak
benar-benar ingin menembaknya kan?”tanyaku.
“Tentu aku
ingin,” pipinya berkedut.
“Kamu bohong,
itu hanya amarahmu. Kamu tak akan sesinting itu,” aku berhenti sebentar ingin
melihat reksinya, “ Apa yang membuatmu menjadi sekolot ini sampai ia bergaul
dengan laki-laki saja kau khawatir? Regina tahu yang mana yang benar dan yang
buruk,”kataku. Ia mendesah.
“Bukan itu maksudku.
Aku hanya... Aku hanya belum siap jika....” ia berhenti lagi, “....jika cintanya
untukku dibagi kepada laki-laki lain,” katanya berterus terang. Aku terpana
mendengarnya. Kulihat air mata mengalir di sudut matanya. Setelah pernyataan
cintanya padaku, ini adalah ungkapan perasaan pertama yang keluar dari mulut
salah satu lulusan terbaik Akabri ini.
“Tapi Regina sudah besar, Ben. Ia sama
ngototnya sepertiku waktu dulu. Jika aku
tak ngotot pada Romo untuk jalan
denganmu, mana mungkin kita bisa berdiri di sini sekarang?” ia tak menjawab.
“Aku mau kamu
minta maaf padanya nanti,” kataku sambil berlalu meninggalkannya. Tapi
tangannya menahanku.
“Hei, pistolku
tadi, em, tak ada pelurunya,” ujarnya kaku. Aku tersenyum lagi mendengar
pengakuan pria yang tak mudah mengungkapkan perasaan ini.
Esoknya, kedua
musuh itu bertemu di ruang makan. Berpapasan, saling mengucapkan maaf, kemudian
sarapan dalam diam. Keributan antara ayah-anak tak terdengar hari ini, besok,
dan besoknya lagi. Ini adalah keganjilan dalam rumah tanggaku. Tapi yang
kusyukuri adalah saat Bi Sing cerita padaku tentang kejadian tadi sore. Putriku
pulang lagi-lagi dengan ekspresi menahan tangis. Karena aku tak ada dan yang
ditemukannya hanyalah ayahnya, maka ia menghambur ke arahnya. Memeluknya, kemudian
menangis tersedu-sedu. Bi Sing mendengar sebagian curhatan putriku yang dibalas
dengan belaian lembut ayahnya. Putriku dikhianati oleh teman prianya yang
datang untuk belajar tempo hari. Ia hanya menggunakan putri sang komandan
sebagai ajang taruhan.
Setelah
kejadian itu, rumahku normal kembali. Mereka saling ledek dan kata-kata ketus
nan cuek suamiku pada putriku terdengar lagi. Ramai seperti semula. Sampai tiba
saat kami harus melepas putri kami yang melanjutkan studi di salah satu
universitas terkenal di Jerman melalui jalur beasiswa.
“Aku mau jadi
dokter biar bisa ngobatin darah tinggi ayah,” canda putriku. Kami tersenyum.
Lalu saat putriku menaiki pesawat, air mataku
tak henti-hentinya mengalir sambil melambaikan tangan yang dibalas oleh putriku
dengan lambaian juga. Kutengok suamiku. Ia hanya tersenyum bangga, tapi dari
pipinya yang berkedut itu, aku yakin ia menahan tangis. Dan keganjilan di
rumahku terjadi lagi.
Dua bulan
berikutnya putriku menelepon. Kuliah perdananya berjalan lancar. Dan ia bilang
padaku agar tak usah membongkar rahasia bahwa ia berhasil menggaet kakak
tingkatnya. Tapi kuyakinkan ia untuk jujur pada ayahnya. Saat kuberikan telepon
pada suamiku, ia menolak. Katanya nanti saja ia akan menelepon setelah mengajak
Maxi berjalan-jalan. Begitu juga telepon beriutnya,ia selalu menolak. Sampai
suatu malam kupegoki sang komandan yang menelepon diam-diam.
“Benarkah? Apa
ayah lebih tampan dibanding dia? Hahahaha... Oh, menurutku....” ia berhenti
sebentar, “ekhm, menurut perasaan ayah, ia cocok untukmu,” kemudian ia diam
beberapa lama.
Aku kaget
ketika mendengarnya terisak. Dan lebih kaget lagi saat mendengarnya mengatakan ini:
‘Nak, Ayah kangen berantem sama kamu’
SEND A COMMENT
PLEASE....
Minggu, 01 Juli 2012
SENYUM 100 WATT
Ia masuk kelas sambil tersenyum lebar sekali. Ia memamerkan deretan gigi dari gigi taring yang satu ke yang lain. jika bisa, ia ingin tersenyum juga sampai terlihat gigi gerahamnya.Tidak ada sapaan selamat pagi atau basa-basi semacamnya. Orang ini pemalu betul. Saya heran dengan orang ini, tapi saya suka padanya. Memang tak ada yang dengan baik ia lakukan selain tersenyum. Gigi putih itu tersusun rapi dalam mulutnya, dengan pigura bibir tebalnya. Saya yakin gigi itu disikat setiap lima kali sehari. Meski wajahnya sama sekali tak menarik, tetapi senyum itu membuatnya berlipat-lipat lebih tampan. Sungguh kombinasi yang ciamik ditambah dengan pandangan matanya yang terlalu polos, sangat berbeda dengan saya dan kawan-kawan lain yang giginya merah-merah karena noda pinang. sudah menjadi tradisi bagi kami untuk makan pinang, katanya sih biar gigi kami kuat, tapi gigi seri saya yang di depan akhirnya patah juga kok karena kecelakaan. Untuk hal mengunyah pinang, ia sangat anti. Katanya hanya mengotori gigi saja.
Laki-laki ini, namanya Mathias, duduk di depan saya awal semester ini. rambutnya yang keriting baru saja dicukur rapi, jadi saya tak tersiksa duduk di belakangnya. Dan sekarang ia hanya duduk saja dalam diam. Saya ingat semester lalu saat Mathias bermain sepakbola. Ia dan kawan-kawannya tidak sengaja memecahkan kaca ruang guru. Setiap orang diinterogasi dan mendapat ciuman rotan di pantat mereka, tetapi tidak dengan Mathias. Dengan sedikit pembelaan dan memperbanyak senyuman, ia selamat.
Mathias terlihat egois ya? tapi ternyata ia tidak seperti itu. saya dan teman-teman yang lain sering mendapat keuntungan karena kehadirannya di kelas. Apalagi saat hari hujan. Hari hujan bagi kami adalah saat-saat paling gelap dalam kehidupan. Hal-hal seperti ini yang akhirnya mempergelap wawasan, masa depan, dan daerah kami. Entahlah, mungkin kulit kami yang gelap ini juga karena kurangnya lampu di mana-mana, terutama di kelas kami. Jadi daripada mengharapkan agar orang-orang yang bertanggungjawab atas pendidikan kami memasang lampu, lebih baik kami mengharapkan kehadiran Mathias yang membawa sugesti hadirnya cahaya seterang dan sehangat matahari saat ia tersenyum yang akhirnya membuat kami bisa membaca setidaknya tulisan dari kapur di papan tulis.
Suatu hari Mathias memanggil saya. Ingin mengajak ngobrol ia rupanya. Suatu hal yang jarang ia lakukan selama dua tahun saya menjadi teman sekelasnya di SMA. Sebagai permulaan obrolan ini, ia tersenyum. Kali ini lebih berkilau dan hangat. Reflek, saya membalas senyumnya. Senyam-senyum setelah beberapa saat, saya pikir saya yang harus angkat bicara,
“Ada apa,”
“Em, saya bisa minta tolong?”
“Tolong apa” tanya saya. Ia celingak-celinguk sebentar, melihat saya, ia tersenyum lagi, kemudian ia memberi isyarat pada saya agar saya mendekat, dan ia mulai berbisik.
“Bisa, kan?” tanyanya. Saya tertawa.
“Untuk hal semacam ini kenapa kamu sampai berbisik-bisik,”
“Saya malu. Saya tidak punya hape berkamera maupun email,” katanya sembari tersenyum. Orang ini, sungguh humoris. Saya sangat suka padanya.
Sore itu sesuai janji, ia datang ke rumah saya. Saya mengajaknya duduk di ruang tengah yang ada tivi empatbelas inch-nya. Ia nampak canggung tetapi kemudian masuk. Karena biasanya ia hanya sampai di teras saja saat menemani bapanya menjual hasil kebun ke rumah kami. Saya bingung mau menyuguhinya apa. Tidak ada makan atau minuman seperti saat natal. Maklum, rumah ini jarang kedatangan tamu, bukan seperti rumah pejabat yang setiap hari dikunjungi orang. Tapi saya rasa singkong goreng dan segelas teh cukup untuk dia. Ia memakannya dan kembali tersenyum, tetapi kali ini saya agak tersinggung dengan senyumnya mengingat apa yang saya suguhkan.
“Saya tahu singkong ini. kamu kemarin beli di bapa saya kan?”
“Ya. kenapa?” tanya saya heran.
“Kalau apa yang kita lakukan sukses, saya akan beri singkong se-kebun bapa saya padamu. Singkong-singkong itu ditanam bapa dengan keringat dan doa di tanah yang berkah ini. saya yakin rasanya berbeda. Kamu mau, kan?” katanya sambil tersenyum dengan rasa bangga yang meluap-luap. Saya mengangguk kuat-kuat dan senyum saya kembali mekar terangsang keoptimisan di wajah hitam itu.
Jadi, kami memulai rencana kami dengan menonton tivi. Menanti setiap menit sampai iklan yang ditunggu muncul. Saya pandangi dia. Ia duduk manis menikmati tayangan meskipun itu hanya iklan. Saya bilang padanya agar sering-sering datang ke rumah saya, karena mama saya juga suka pada senyumnya. Kata mama, senyum Mathias bisa membuatnya ikut tersenyum meski ia habis dimarahi oleh bosnya di kantor. Iklan sebuah produk pasta gigi dengan seorang pria tampan yang jadi peran utama akhirnya muncul. Saya dan Mathias menyimak dengan seksama setiap perintah yang dikatakan pria itu. di akhir iklan, si pria tersenyum. Tapi ketika saya membandingkan dengan Mathias yang tersenyum pada saat yang sama, si pria sepertinya tidak terlalu bertalenta memainkan iklan itu. senyumnya tak semenarik Mathias. Jadi saya simpulkan, Mathias punya potensi. Saya tersenyum menguatkannya.
Sebulan bukanlah waktu yang sebentar untuk sebuah penantian. Dalam sebulan itu saya berdoa agar Mathias lolos seleksi dan senyumnya bisa tampil di setiap koran, majalah, ataupun tivi. Berkali-kali saya buka email saya tapi belum satupun ada pemberitahuan dari kontes yang Mathias ikuti. Padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 20.00. harusnya hasilnya sudah keluar. Sudah dua jam saya berada di warnet. Sampai pegal pantat saya. Belum lagi tarif yang terus berjalan sekarang menembus angka Rp13.000,-. Tunggu sebentar, ini dia, ada email yang baru masuk. Oh ayolah, untuk saat ini saya mohon dengan sangat agar koneksi internetnya sedikit lebih cepat, ayolah. Ini dia, mata saya mengikuti setiap kalimat sampai kepada bagian paling penting: Mathias, selamat, anda terpilih menjadi bintang iklan.
Saya mendengar langkah kaki tak sabaran di luar. Kemudian pintu menjeblak terbuka tanpa diketok sebelumnya. Mathias ngos-ngosan di depan pintu dengan keringat yang bercucuran. Bajunya basah. Matanya melotot. Senyumnya lebar sekali. Berlari-lari dari rumahnya sampai kesini pasti membuatnya lelah. Tapi rasa lelah itu dikalahkan adrenalin yang membuncah menanti kepastian nasibnya. Tepat sekali ia datang.
“Bagaimana? Bagaimana? Mana? Mana?” tanyanya bersemangat.
“Lihatlah di komputer ini,”. Ia langsung menyerobot membaca pengumuman itu. saya bisa mendengar setiap helaan napasnya. Saling kejar-mengejar, sambung-menyambung, jangan sampai putus kalau tidak si empunya napas tidak bisa bernapas lagi karena saking senangnya.
“Besok saya pastikan singkong-singkong itu akan sampai di rumahmu untuk siap diolah. Terima kasih Hannah, saya tidak tahu mau membalas apalagi untuk semua bantuanmu. Terima kasih Hannah, kau sudah membantu saya untuk setidaknya membuat saya dan keluarga saya bisa makan nasi lebih sering. Terima kasih Hannah…”
“Cukup terima kasihnya. Orang-orang memandang ke arah kita. Jangan sampai nanti kita diusir dari sini,” saya bercanda.
Seperti prakiraan cuaca di RRI, hari ini cerah. Tapi saya sudah lebih dulu memprediksikannya. Hari ini di lebih cerah dari biasanya. Bagaimana tidak? Intensitas senyuman Mathias berpuluh kali lebih banyak dan lebih terang. Saya sampai mengira warna kulit saya dan teman-teman lain lebih putih dari kulit orang kaukasoid. Saya ingin hari ini hujan saja. Setiap orang ingin bicara dengannya, mewawancarainya, dan meminta oleh-oleh sepulangnya nanti ia dari Jakarta. Saya membuka file berisi foto senyumannya dari hape. Foto yang diambil dua bulan yang lalu saat ia datang ke rumah saya. Foto yang saya kirim untuk audisi iklan itu. Senyum ini, kenapa saya berpikir tak akan bisa lagi melihatnya lagi dalam waktu dekat. Astaga, saya tepis perasaan itu jauh-jauh. Senyum ini tidak boleh hilang begitu saja, kalau tidak, ruang kelas kami akan suram dan gelap saat hari hujan.
Kata Mathias, hadiah yang ia dapat dari kontes itu banyak sekali, bahkan mungkin terlalu banyak untuk dirinya. Sehabis pengumuman pemenang, beberapa orang dari Jakarta langsung datang ke rumahnya. Orang-orang itu membawa lima puluh juta katanya. Bapanya langsung lemas ketika melihat uang sebanyak itu, dan mamanya yang cerewet tak bisa berkata apa-apa lagi. mereka menyodorkan kertas yang kata Mathias adalah kontrak.
“Hah? Kau dikontrak setahun?” tanyaku kaget. Ia hanya tersenyum.
“Selama itu kau di Jakarta?” ia mengangguk.
“Mereka bilang saya aset. Mereka akan memindahkan saya dari sekolah. Mereka akan memasukkan saya ke sekolah yang lebih bagus di Jakarta,” ia tersenyum lebar. Tapi kali ini saya tak suka senyumnya. Jika ia pergi, bagaimana dengan kami? Kami tidak bisa belajar apa-apa di sekolah jika hari hujan. Saya meninggalkannya dengan senyumnya yang menjengkelkan. Ia begitu egois.
Ini kelima kalinya saya membuat keripik singkong, tetapi tumpukan singkong ini tidak habis-habis juga. Saya sampai bosan sendiri melihatnya. Tapi rasa singkong ini memang lain dari singkong kebanyakan. Hari ini saya sengaja membuat keripik singkong untuk menyaksikkan iklan Mathias yang tayang perdana, sesuai pesannya sebelum pergi dua minggu yang lalu. Tidak lama ditunggu, iklan itu muncul. Jingle pasta gigi itu mengalun, kemudian si pria tampan yang sama mulai beraksi. Saya kira pria itu hanya menjadi peran pendukung, tetapi saya salah. Pria itu tetap menjadi peran utamanya. Saya bingung dan khawatir menunggu Mathias yang belum terlihat.
Kemudian pada sebuah bagian ditampilkan seulas senyum tanpa diperlihatkan wajah pemiliknya. Walau hanya beberapa detik, terlihat dari bibirnya yang tebal dan deretan gigi yang rapi itu, tidak salah lagi, senyum milik Mathias. Tapi tunggu, kenapa ada yang aneh? Senyum Mathias di iklan itu berbeda sekali. Meski sepintas sama, tapi terlihat lain bagi saya. Senyum itu tidak bahagia dan tidak tulus. Senyum itu, senyum Mathias kali ini, terlalu dibuat-buat. Begitu terpaksa. Senyum yang tidak mencerminkan jiwa empunya. Tapi paling tidak, senyum itu lebih bagus dari senyum si pria. Tiba-tiba saja hape saya berbunyi. Ada pesan dari nomor tak dikenal. Kira-kira begini isinya:
‘Saya yakin saat ini kamu pasti sedang menonton iklan saya ‘kan? Saya mau cerita sesuatu padamu. Saya tidak suka sekali ada di sini. Mereka terlalu mengatur saya. Saya tidak boleh ini dan itu. Dan juga harus begini dan begitu. Kamu tahu, saya sangat heran dengan maksud mereka sebagai sekolah yang bagus. Mereka menyebutnya home schooling. Tetapi di sekolah itu saya hanya seorang diri tanpa teman. Gurunya pun hanya satu. Bagaimana saya bisa belajar? Saya sangat heran dengan mereka. Apakah mereka membohongi saya? Dan yang paling membuat saya tidak tahan adalah saat mereka bilang senyum saya sebelumnya tidak terlalu bagus, jadi mereka mengaturnya agar terlihat menarik. Itu membuat hati saya sakit. Sepertinya saya tidak akan bisa tersenyum untuk waktu yang lama. Saya sangat menyesal ikut kontes ini. Saya mau pulang. Mathias.’
Ternyata dari Mathias. Jadi sekarang dia punya hape. Pesan yang panjang itu masuk sepotong-sepotong sampai bisa menjadi utuh. Saya tak tahu bagaimana membalasnya. Saya rasa saya sudah kehilangan Mathias dan senyumnya. Mungkin saya sudah tidak menyukainya lagi. Dan kelas saya akan kehilangan terangnya di kala hujan.
SEND A COMMENT PLEASE………
Rabu, 04 Januari 2012
Saat Hujan Rintik-Rintik
Saat hujan rintik-rintik
Riak-riak air mengalir
Mengikuti kelok parit
Lalu kita bermain
Basah-basah Layarkan perahu kertas putih
Mengalun sampai ke hilir
Bersama janji-janji
Seirama mimpi-mimpi
Dan niat hati
Waktu kita masih kecil
Riak-riak air mengalir
Mengikuti kelok parit
Lalu kita bermain
Basah-basah Layarkan perahu kertas putih
Mengalun sampai ke hilir
Bersama janji-janji
Seirama mimpi-mimpi
Dan niat hati
Waktu kita masih kecil
Langganan:
Postingan (Atom)