Sekolah makin sepi
sekarang. Sudah lewat satu jam dari jadwal pulang. Hanya beberapa orang yang
selintas lewat sambil membawa barang-barang keperluan ekskul, termasuk gawang
futsal yang digotong beramai-ramai. Masih sembunyi di balik salah satu tiang
besar penopang gedung sekolahnya, Tari masih terus mengintai. Reno dikelilingi
kroni-kroninya di bawah salah satu pohon rindang. Tari mengumpat dalam hati,
kenapa mereka tak pulang saja sih?
Tari mengetuk-ngetukkan dahi dengan telunjuk, sedang
berpikir keras rupanya. Aha! Tari terkekeh penuh kegemilangan saat ia
mengeluarkan salah satu majalah terlarang di sekolah. Logonya kelinci, dengan
cover depan seorang wanita dewasa setengah bugil yang sedang memegang pentungan.
Tari akan melemparnya ke sana, memancing teman-teman Reno agar mengejar
santapan lezat itu. Setelahnya Tari bisa memanggil Reno untuk berbicara empat
mata, tentang ia yang benar-benar menyesal atas kejadian kemarin.
Jadi
Tari langsung mengeksekusi ide briliannya. Dan benar saja, teman-teman Reno
berubah jadi serigala lapar saat majalah itu dibuang ke tengah lapangan. Air
liur mereka menetes sepanjang mereka berlari dan saling serang untuk
mendapatkan majalah. Hahaha, ini cukup mudah! Semacam melemparkan beras ke
sekumpulan ayam! Maka Tari berteriak memanggil Reno yang langsung
mengikutinya menuju belakang sekolah.
Tangan
Tari mengamit tangan Reno karena anak ini larinya sangat pelan benar. Bagaimana
kalau kawanan laki-laki ganas itu menyadari satu di antara mereka ada yang
hilang? Tari langsung melempar Reno ke tembok dengan tangan yang terus memegang
pundak laki-laki ini. Napas Tari saling kejar, tak hanya karena kelelahan, tapi
juga karena tantangan di depan mata yang membuat adrenalinnya meningkat. Susah benar
mau minta maaf.
“Reno dengarkan!” Tari
membentak Reno. Anak itu hanya diam.
“Aku hanya
mengatakannya sekali dan tak akan mengulanginya lagi, maka dengar baik-baik!”
Tari menatap Reno lekat-lekat, “Reno.. Reno aku mau... aku mau bilang kalau
aku.. aku... min...”
“Tari dengar!” Reno
memotong Tari, “Aku mau jujur sesuatu padamu. Semuanya salah! Kata orang-orang
aku suka kamu, itu salah! Tari, sebenarnya aku tak suka kamu. Sangat tak suka,
bahkan sama semua perempuan! Tar... sebenarnya...,” wajah Reno terlihat merah,
Tari hanya melongo, “Tari, sebenarnya aku perempuan,”
Reno tiba-tiba mengarahkan tangan Tari ke
depan dadanya. Tari tersentak ketika merasakan benjolan di dada Reno. Matanya
terbelalak! Tidak mungkin Reno adalah perempuan! Tidak mungkin! Tidak mungkin buah
dada Reno lebih besar darinya!
“Tidak mungkin...!!!”
Tari menjerit sejadi-jadinya, lalu mundur untuk menjauhi makhluk aneh yang kini
berubah menjadi semacam siluman. Tari tidak menyadari selokan kecil yang berada
di belakang, membuatnya terjomplang dan akhirnya terjatuh.
GEDEBUK!!!!
Tari bangun dengan gelagapan. Keringatnya mengucur deras
dari dahi, leher, punggung hingga ketiaknya. Napasnya saling memburu, jangan
sampai putus di tengah jalan. Matanya mengerjap mencari-cari cahaya, tapi
percuma saja, ini kan masih malam? Tari duduk bersandar pada piggiran kasur. Cahaya
bulan membuat bayangan proyeksi lemari pakaian yang sampai pada kaki tari.
Ia berusaha mengingat mimpi yang mengerikan tadi. Tentu
saja itu hanya mimpi, banyak kejadian tidak masuk akal yang membuatnya sampai
ketakutan. Ide bodohnya tentang majalah pria dewasa, sekelompok anak laki-laki
yang berubah jadi serigala, dan Reno yang bertransformasi menjadi makhluk
berkelamin tak jelas. Tak masalah kalau Reno adalah perempuan, tapi buah
dadanya itu loh, Tari tak bisa terima kalau milik Reno jauh lebih besar dari
miliknya.
Tari mengusap keringat. Ingin minta maaf saja sampai
begini gugup, bahkan hingga terbawa mimpi. Tari bangkit dari duduknya dan
menyalakan lampu kamar. Jam tiga dini hari. Ia baru akan merebahkan diri kembali
ke kasur, namun kaget dengan jejak tidurnya yang mengerikan. Sebuah pulau besar
terbentuk di seprei. Tari meraba permukaan yang masih basah itu. Ia mengernyit,
bisa gawat jika orang-orang sampai tahu kalau Tari ngiler saat tidur.
Bunyi denting piring dan sendok tanda sarapan telah
dimulai. Mereka sibuk masing-masing. Papa Tari dengan korannya, mama dengan
gadget-nya, Tari dengan nasi gorengnya, dan adiknya dengan omelan tentang dapur
yang berwarna hijau. Mama yang ngotot memilih warnanya. Semua ruangan yang
sering mama gunakan akan diwarnai hijau. Yang berarti hampir satu rumah selain
kamar Tari. Adik Tari, Reza, di umurnya yang genap sepuluh tahun dua minggu
lalu, belum memperleh otonomi atas kamarnya sendiri. ia ingin kamarnya dicat
biru.
“Kamu masih kecil.
Belum bisa ngatur kamar sendiri. Mama harus sering-sering ngecek” kata mama.
Dahi
papa hanya berekerut saat putranya mulai merengek untuk ganti cat kamar. Mama menggeleng
dari balik gadget-nya. Hijau adalah simbol tanaman, dan mama benar-benar
terobsesi dengannya. Setahu papa, istrinya tak pernah suka bercocok tanam.
Hanya sekedar ikut-ikutan teman sepertinya.
“Kita udah tua, Pa.
Kalau hijau kan enak kita lihatnya. Mata kita segar, pikiran tenang, gak bikin
stress, Pa,” mama meletakkan tabletnya dan menuangkan susu rendah lemak untuk
suaminya.
Papa melirik pada Reza,
“Sudah jelas?”
Anak
itu hanya mendengus sebelum kembali menghadapi flappy bird di tablet punya
Tari. Tari memandang geram bocah kelas 5 SD yang sedang menyandera tablet bermerk
sama dengan smartphone-nya. Sial, anak itu tahu Tari tak ikut ulangan kemarin.
Reno meminta laporan perkecambahan Tari yang ketinggalan pada Reza, dan
menjelaskannya sabagai benda yang maha penting. Dan Tari, sekali lagi, masuk
perangkap Reza. Bocah itu memancingnya untuk mengakui kesalahan dengan
intergoasi licik yang menyudutkan. Tari bingung, apakah adiknya yang terlalu
jenius atau dia yang terlalu bodoh?
Tari
memandangi anggrek-anggrek mamanya dari dalam city car yang mulai menjauh. Mama hanya sesekali memeriksa tanaman
dari ujung pedalaman Kalimantan itu saat ia ingat. Selebihnya Mbak Jum yang
mengurus. Tanaman-tanaman milik mama kebanyakan adalah pemberian klien. Mama tentu
akan berpikir dua kali untuk membeli sendiri tanaman mahal yang hanya punya
beberapa lembar daun. Termasuk dua pot sanseveira
di teras depan, hadiah selebriti yang menang atas hak asuh anak setelah
perceraian.
Suatu
hari Tari pernah bertanya pada mamanya, apa bagusnya sebuah tanaman yang hanya
terdiri dari daun berwarna merah dan hijau, dengan sebuah struktur seperti buah
pinang di tengahnya itu. Mama harus memutari tanaman itu beberapa kali,
melihatnya dari berbagai sudut berbeda.
“Ini cantik loh, Tar.
Masa kamu gak bisa melihat keindahan sebuah anthurium?”
kata mama sambil mengelus dagunya.
“Lebih bagus mawar,”
protes Tari.
“Ya nggaklah Tar, lebih
bagusan ini,” mama masih memutari anthurium
miliknya, kedengaran agak ragu dengan jawabannya sendiri.
***
Kriiiinnnggg............
Bel masuk sekolah terdengar begitu nyaring melalui
speaker-speaker yang dipasang di tiap kelas. Tapi kali ini sungguh keterlaluan.
Tari bahkan harus menutup kupingnya sampai bunyi yang mirip alarm jam kamarnya
itu berhenti. Tugas membunyikan bel sekolah hanya milik satu orang. Laki-laki
asal banyumas yang berantakan kalau berbicara. Sebenarnya tugas utamanya sama
dengan si penjaga gerbang, yaitu sebagai juru kunci sekolah. hanya saja
membunyikan bel adalah spesialisasinya. Berbeda dengan si penjaga gerbang yang
selalu terlihat galak, si juru bel adalah pria ramah yang selalu menyunggingkan
senyum genit setiap ada siswa putri yang lewat. Tari melirik pada Dita yang
sama herannya.
“Pak Agus patah hati
lagi ya?” tanya Dita.
“Sepertinya,” jawab
Tari.
Gelombang manusia mulai memasuki pintu berdaun dua yang
salah satunya ditutup. Mereka berdesak-desakan untuk menjadi yang pertama masuk
kelas. Sebagian saling dorong hanya untuk bercanda, membuat tawa renyah di pagi
hari, saat sebagian yang lain terlihat kesal. Tari
tahu siapa yang diincar lima orang laki-laki yang memulai keributan ini duluan.
Tubuh kecil Gideon dihempaskan dari kiri ke kanan, kanan ke kiri, dan
seterusnya. Gideon berusaha agar buku-buku yang dipeluknya tak jatuh, dan
menahan agar kaca mata tebalnya tak melorot.
Tari
sudah berdiri dari kursinya untuk menghentikan sekelompok anak yang dikenal
sebagai mafia kelas. Entah sampai kapan ia harus mengontrol lelucon mereka yang
tak lucu. Tari menghitung mereka satu per satu, dan kurang satu! Tari tidak
segera bergerak, tapi masih mencari si pencetus ide dari setiap kelakuan aneh mafia
level berudu yang belum muncul juga. Mana Reno?
“Tari!!!!!!”
Tari melonjak kaget saat Gideon menghambur ke mejanya.
Seragamnya jadi kacau balau setelah berhasil keluar dari kepungan Viktor, Beno,
Jali, dan juga Fredy. Rambut tipisnya yang menempel rapi dengan bantuan gel
pasaran, kini mulai awut-awutan, menunjukkan pertumbuhan rambut yang tidak
teralu lebat. Gideon akhirnya bisa menguasai diri, lalu segera berdiri tegap,
tak mau terlihat lemah di hadapan Tari. Gideon menunjukkan senyum pria pada
yang terkasih, yang tak pernah tahu betapa Gideon telah begitu menderita
karenanya.
Tari
tak tahu harus melakukan apa selain nyengir membalas Gideon yang pamer gigi.
Kasihan Gideon. Tari kemudian beralih pada empat orang yang masih berdiri dekat
pintu. Meski tanpa dedengkot mereka, empat orang itu masih sama berbahayanya. Keempatnya kompak memalingkan muka saat Tari
melotot pada mereka, lalu melenggang menuju bangku-bangku paling belakang. Tangan
Tari sudah terkepal. Entah kenapa ia ingin meninju seseorang yang bertanggung
jawab penuh atas kondisi kelas yang tak kondusif. RENO!!!! MANA RENO???!!!
“Tari...”
Tari
tersentak dari lamunannya. Di depannya masih ada Gideon, yang meski terlihat
masih ngos-ngosan setelah diserang, terus memamerkan giginya.
“Ya Dion?”
“Kak Bram nyari...,”
Tari
heran, bagaimana mungkin gigi-gigi yang bersarang di balik bibir kering itu
bisa terus Gideon pamerkan selama bicara? Seluruhnya, dari gigi seri sampai
geraham! Kak Bram sedang melambai padanya dari luar kelas, membuat Tari hanya
bisa cengengesan seperti orang bodoh. Ini masih pagi, dan Tari tidak mau
berteriak-teriak saking girangnya.
Ya
Tuhan, bisa nggak sih Kak Bram berhenti tersenyum terus? Tari hanya bisa
memandang sepatu Kak Bram setiap mereka berhadapan seperti ini. Bisa-bisa ia
meledak menjadi keping-keping kecil.
“Ada apa Kak?” tanya
Tari malu-malu.
“Kamu di cariin Bu
Nanik,”
“Oh iya Kak, makasih,”
Tari menggigit bibirnya.
Satu.. Dua.. Tiga.. Tari menghitung sampai sepuluh, namun
Kak Bram tidak segera beranjak. Kak Bram memasukkan tangannya ke dalam saku
celana dan memandang ke arah lain, Tari yakin dia salah tingkah. Aaahhh, kalau saja
dia adalah es, pasti Tari sudah meleleh sekarang. Tari ingin menjitak kepala
Kak Bram agar laki-laki itu segera pergi, tapi jangan jauh-jauh darinya. Oh dilema.
“Saya pergi dulu Kak,”
“Oh, silahkan. Aku juga
mau pergi,” Kak Bram menunjuk ke arah berlawanan.
Tari buru-buru ambil langkah panjang, lalu menengok ke
belakang. Sama. Kak Bram juga menengok. Mereka berpaling berbarengan. Tari
merasa wajahnya panas. Tidak, tidak, Tari menggeleng. Ia harus fokus dengan Bu
Nanik sekarang. Apa kira-kira yang ingin dibicarakan Bu Nanik? Apa tentang
insiden kemarin? Kalau benar begitu, ia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk
merayu Bu Nanik agar memperbolehkannya ikut ulangan di kelas lain. Tari sudah
siap dengan tampang memelas.
Tidak banyak guru yang berada di sana. Hanya dua atau
tiga orang yang sedang sibuk di tempat mereka masing-masing. Tari menyusuri
jalan kecil yang terbentuk di antara deretan meja menuju bagian pojok ruangan,
di mana ia akhirnya berhadapan dengan Bu Nanik yang bersembunyi di balik
majalah gossip. Tumpukan kertas ulangan maupun buku tugas yang makin meninggi belum
dihiraukan wanita yang masih melajang di usianya yang berkepala tiga.
“Ibu memanggil saya?”
Bu Nanik menurunkan sedikit majalahnya, memperlihatkan
mata elangnya yang menusuk sampai ke sanubari Tari. Tari memasukkan anak
rambutnya di antara telinga, tidak nyaman dengan Bu Nanik yang belum bicara
dari tadi. Tari merasa seakan sedang ditelanjangi.
“Saya sangat
menyayangkan kamu tidak ikut ulangan kemarin. Jelaskan pada saya apa yang
terjadi,”
Maka Tari menjelaskan segalanya, tentang laporan perkecambahannya
yang ketinggalan sampai Reno yang dia minta untuk mengambilnya di rumah. Bu
Nanik manggut-manggut di balik majalah yang sudah diturunkan setinggi hidung.
“Baik,” Bu Nanik
melipat majalah dan melemparnya ke atas meja, “Saya ceritakan semua ke wali
kelasmu dan dia minta saya untuk memikirkannya lagi. Mungkin dia benar, kamu
terlalu berharga untuk diperlakukan demikian. Mungkin kamu lagi apes saja
kemarin. Tapi saya punya pertimbangan lain, Mbak Tari. Semua jadi terlalu datar
kalau tak ada yang bisa menembus angka 90. Saya beri satu kesempatan padamu.
Besok lusa ulangan di kantor saya, pastikan kamu membawa laporanmu,”
“Baik, Bu,” Tari tak
bisa menyembukan senyum, satu nilai biologinya tidak akan begitu saja melayang,
“Tapi Bu, bagaimana dengan Reno?”
“Oh anak itu. Lupakan
saja dia,”
“Tapi dia tidak ikut
ulangan karena saya...”
“Kembali ke kelasmu
Mbak Tari. Saya tidak mau kena marah dari guru matematikamu,”
Tari hanya bisa
megap-megap selama beberapa saat. Ia bimbang antara bermain aman dengan menuruti
gurunya atau merasa terbebani lagi karena meninggalkan bocah itu. Ia menarik
napas, “Kalau begitu saya tidak bisa ikut Bu,”
“Tari!” bentak Bu Nanik
sambil melotot.
Tari hanya memandang lantai. Tangan Bu Nanik
gemetaran saat memegang gagang kacamata lalu melepasnya. Bu Nanik seperti
memperlihatkan dirinya yang berbeda tanpa kaca mata yang bertengger di hidung. Tari
sempat menebak-nebak kalau masih ada darah Tiongkok yang mengalir di nadi
gurunya. Semakin jelas sekarang, mata Bu Nanik yang sipit itu pantas
disandingkan dengan kulit kuningnya. Bu Nanik kelihatan manyun.
“Kamu pacarnya ya?”
“HAH????” Tari serasa
disedot masuk ke dalam pusaran kakus.
***
Tangannya bergerak lancar di atas kertas bergaris
menyelesaikan nomor terakhir persamaan trigonometri yang ditugaskan gurunya.
Tari mencoret-coret sudut yang tidak perlu, lalu mengotak-atiknya untuk
membuktikan persamaan. Apa maksud Bu Nanik tentang pacaran? Aarrgghh, membuat
Tari mual saja. Di saat konsentrasinya terpecah dua, Tari tetap bisa membuat
Dita, yang duduk sebangku dengannya, hanya bisa melongo melihat tinta yang
keluar membentuk angka-angka latin. Tari membubuhkan dua garis di atas jawaban
akhirnya. Selesai.
“Pinjem ya,” Dita
merebut buku Tari tanpa ba-bi-bu.
“Dit....” Tari hanya
bisa menghela napas.
Susana kelas layaknya Kuta tanpa wisatawan. Hanya ada
desir-desir dingin yang muncul dari moncong air conditioner. Semua sibuk dengan
soal pilihan Pak Bejo yang diambil dari buku berkurikulum asing. Sibuk mengeluh
sambil memikirkan kemungkinan penyelesaian. Tari menidurkan kepalanya di atas
meja, kalau bisa ia ingin memasukkannya ke dalam laci meja saja. Ia masih
memikirkan kata-kata guru biologi. Tari mengigit bibir bawahnya, lalu memutar
kepala ke belakang.
Tari menangkap anak itu sedang menguap, lalu mengucek
bagian bawah hidung. Reno melempar tatapan keluar ruangan lewat jendela di
sebelahnya. Tangannya memangku dagu seperti perawan yang sedang menanti untuk dipinang.
Tari yakin anak itu belum mengerjakan satu nomor pun. Tari segera mengalihkan
pandangannya ketika Reno menoleh ke depan. Gadis itu mencubit pipinya sendiri,
kenapa mesti memperhatikan anak itu?
Butuh lima belas menit sampai Tari yakin semua temannya
telah keluar untuk istirahat. Terutama empat orang dari lima serangkai itu. Sebuah kesempatan
yang langka saat Reno tidak bersama kroninya. Tari melirik ragu-ragu ke belakang.
Reno sedang serius membaca, sambil sesekali menelan ludah. Ia
membulatkan tekad, kalau tidak sekarang kapan lagi?
Mereka hanya berjarak lima meter, tapi sepertinya butuh
lebih dari satu jam agar Tari bisa memindahkan seluruh tubuhnya ke deret kursi
paling belakang. Kakinya susah digerakkan lebih cepat, tidak rela untuk
menginjak daerah hitam kelas. Baiklah, sekarang Tari hanya perlu melangkah lebih panjang, dan... Tara! Ia
langsung menduduki kursi di depan meja Reno.
“Sedang serius
rupanya,”
“Hemm...” katanya sambil menikmati gambar, “Hah?” Reno menyembunyikan bukunya dalam sekejap setelah sadar siapa yang menegur.
“Kukira kamu nggak
sekolah,”kata Tari sekedar basa-basi.
“Bukan urusanmu,” Reno
menimpali dengan dingin.
Reno melempar pandang ke lapangan, pura-pura kalau tidak
ada orang yang bersamanya. Tangannya yang saling remas gelisah tidak luput dari pengamatan Tari. Dahi Tari berkerut, ingin
tahu apa yang dipikirkan anak laki-laki sehabis mengonsumsi bacaan terlarang.
Tiba-tiba Tari merasa jijik, ingin muntah di atas meja. Tari sayang, sekarang
waktu yang tepat untuk mengutarakan tujuanmu. Bilang saja maaf dan urusanmu
selesai, batin Tari.
“Well, Reno...” Tari
memanggil pelan Reno sambil menatap kukunya sendiri. meminta maaf ternyata tak
sesederhana itu.
“Reno...” Tari
memanggilnya lagi, “Soal yang kemarin...”
Tari
membaranikan diri untuk mengangkat kepalanya. Sekarang mata mereka sejajar, ia
bisa melihat lubang kehitaman di tengah mata Reno. Cahaya akan memantul pada
tubuh Tari, lalu masuk melalui celah pupil yang bisa membesar dan mengecil
seperti diafragma pada kamera. Cahaya akan sampai di retina, digambarkan
terbalik dan kecil, lalu akan dikirm ke korteks penglihatan untuk diolah. Mata
Tari berkedut, kenapa ia malah memikirkan biologi? Reno sudah memangku dagu
dengan tangan lagi, ingin tahu apa yang akan
disampaikan gadis itu.
“Aku mau bilang kalau
aku...” Ayo Tari, sedkit lagi, “Aku minta ulangan susulan untuk kita berdua.
Besok,”
Tari
ingin membenturkan kepalanya sekarang juga. Kenapa kalimat itu yang keluar? Mana
kata ‘maaf’ nya?????
Sebelah alis Reno
terangkat, “Hanya itu?”
“Yap,” Tari bangkit
dari kursi. Ia belum mau pergi sih, tapi ia terlalu gengsi untuk minta maaf sekarang.
“Kamu nggak merasa
sudah melakukan sesuatu yang buruk kemarin?”
Tari mengangkat bahu,
“Toh kamu juga bakal ikut ulangan susulan kan?”
Reno tertawa kecil,
tidak percaya dengan Tari,“Kalau aku ikut ulangan kemarin, aku nggak akan
ulangan sendirian,”
“Apa bedanya?”
“Ya bedalah! Aku nggak akan ulangan sendirian!” Reno
memberikan penakanan pada empat kata terakhir.
Sejak awal ia sudah mengerti mau dibawa ke mana arah
pembicaraan mereka. Kalau ulangannya kemarin, maka Reno tidak perlu sulit-sulit
belajar, karena sudah ada back-up dari kroni-kroninya. Harusnya Tari langsung minta
maaf saja tadi, hingga ia tak perlu tersandera lagi seperti ini. Sekarang Reno
menumpahkan semua kesalahan padanya, memancing Tari untuk setuju ‘membantu’
ulangan Reno. Tari menyeringai, akan ia tunjukkan arti ‘membantu’ yang sesungguhnya.
“Baik. Nanti sore
datang ke tempatku. Biar kamu kuajari biologi sampai kepalamu ngelotok”
”Oi Tari! Bukan itu
maksudnya...” kata Reno gelagapan.
Kriiiiiinnnngggg........
“Wah, istirahat sudah
selesai! Ingat Reno, kutunggu jam empat ya!” Tari tersenyum, lalu berbalik dan
kembali menuju mejanya.
Tari nyengir
ketika mendengar Reno menggedor meja. Ia tahu kalau Reno masih
mau berunding dengannya, tapi anak-anak lain terlanjur masuk kelas. Sesuatu
yang mustahil bagi mereka berdua untuk kelihatan bersama. Tari juga sebenarnya
ogah mengajari Reno. Namun beban moralnya sebagai teman seangkatan yang sudah
mengarahkan Reno ke tepi jurang tidak perlu dipertanyakan lagi. Rasa setia
kawannya masih ada meski untuk orang menyebalkan yang terhitung musuh. Walau
tidak akan memberi kunci jawaban gratis, Reno harusnya bersyukur sudah diberi
bimbel cuma-cuma.
Tumbuhan liar bersulur menjalar di pagar, lalu merambat
naik ke tembok dan terus tumbuh sampai
ke balok-balok yang saling melintang di langit-langit teras. Mama meminta untuk
tidak dicabut. Katanya biar memberi kesan alami pada rumah dengan sedikit gaya
joglo ini. Mbak Jum meletakkan baki berisi satu kotak kue kering dan satu teko
perasan es jeruk limau segar di antara Tari dan Reno yang duduk selonjoran di
lantai teras.
Senandung
lagu tradisional dari mulut Mbak Jum mengisi keheningan sejak Reno bertamu ke
rumah Tari. Reno harus berpikir dua kali untuk datang ke sini, menyebabkan ia
terlambat seengah jam dari janji. Tari tidak menjelaskan apa-apa padanya sejak
ia datang selain menggelar buku-buku biologi dari berbagai penerbit. Jadi
mereka hanya diam-diam saja. Sementara Reno menunggu agar Tari mengajarinya,
Tari sendiri hanya membolak-balik cover buku
berharap agar Reno segera bertanya. Geeezzz, laki-laki ini pasif sekali,
gerutu Tari dalam hati. Dia tidak bisa membiarkan mereka diam terus.
“Sebutkan enzim-enzim
pencernaan pada usus halus!” tanya Tari tiba-tiba. Yang ditanya hanya melongo.
“Belum baca,”
“Apa fungsi getah
empedu?”
“Aku lupa,”
“Kamu udah belajar
sampai mana sih?” Tari jadi tidak sabaran.
Reno menjawab cuek,
“Belum mulai sama sekali,”
Rasanya Tari ingin mencabut sulur-sulur tanaman yang
paling dekat dengannya lalu menjerat Reno sampai mampus. Tari memalingkan wajah
dari anak laki-laki itu. Asap harusnya sudah keluar dari semua lubang-lubang di
tubuhnya. Tari mulai emosi.
“Ckck, kamu benar-benar
manusia tanpa harapan,”
“Siapa kira-kira yang
menghilangkan harapan itu?” Reno menyipitkan mata.
“Geeezzz... Ini!” Tari
melemparkan sebuah buku blok tebal. Reno menangkap dengan satu tangan. Tari
memejamkan mata sambil bersedekap, “Itu isinya ringkasan beberapa buku biologi.
Langsung tanyakan padaku kalau kamu tidak mengerti. Benar-benar menyedihkan
kalau kamu hanya dapat enam setelah membacanya,”
Reno mendekatkan
mukanya, lalu bertanya dengan volume rendah, “Apa jaminannya?”
Tari tidak mau kalah,
lalu ikut memajukan wajah, “Kalau nilaimu jelek, kutraktir tiga kebab Bang
Madun. Kalau nilaimu di atas enam...”
“Aku traktir satu
keranjang ayam kentucky!”
Mereka mengangguk berbarengan. Kesepakatan telah disetujui
dan Reno langsung merelakan otaknya dicekoki tulisan-tulisan Tari. Matahari
sisa gundukan kecil di batas cakrawala. Anak-anak di kompleks Tari sudah saling
mengucapkan selamat tinggal sebelum kembali ke rumah mereka masing-masing,
tidak peduli jika nanti dimarahi oleh ibu yang cerewet. Rumah tetap lah rumah,
seburuk apapun itu, baik bangunan rumah itu sendiri maupun penghuni di
dalamnya. Dan Reno masih mengabaikan panggilan untuk pulang.
Ekspresi di wajah Reno sepanjang satu setengah jam ini
hanya menyimpulkan kebingungan. Tari menghela napas setelah menjelaskan
mekanisme pencernaan, yang setelah ditunggu-tunggu, ditanyakan Reno malu-malu.
Tari tidak peduli apakah yang diajari bertambah jelas atau sebaliknya. Ia ingin
anak itu cepat pulang. Tari agak kikuk saat mamanya yang baru pulang kerja
menemukan anak gadisnya menjamu laki-laki dalam keremangan senja.
Sekarang
sudah hampir jam tujuh dan Reno cukup peka menangkap raut muka Tari
yang enggan untuk lebih lama mengajari. Tari akhirnya meminjamkan Reno buku
blok miliknya walau ia merasa terpaksa. Reno memasukan buku-buku ke dalam tas, lalu pamit pulang. Tari sempat melihatnya agak sempoyongan saat
berdiri. Tari menghela napas, ia jadi sangsi apakah catatan biologinya cukup
membantu.
Tari
menutup pintu di belakang, kemudian menuju dapur untuk mengambil air minum.
Tari meletakkan buku-bukunya, mengagetkan mama yang sedang menata
cokelat-cekolat kecil di atas piring.
“Loh, temanmu udah
pulang?”
Tari meneguk habis air
dingin sebelum menjawab mama, “Baru aja,”
“Padahal mama udah nyiapin
cokelat dari Belanda. Oleh-oleh dari Om Sutan,”
Tari memandang dua tangkai tulip putih agak layu yang
tidak jauh dari kotak cokelat. Barangkali oleh-oleh dari Om Sutan juga. Ia
kemudian beralih pada tumpukan buku. Buku biologi bergambar kodok yang masih
mulus itu bukan miliknya. Ia membuka cover depan, lalu mendapati nama dan tanda
tangan Reno. Anak itu benar-benar sudah semaput, batin Tari.
“Tari, nanti tolong
carikan info tentang tulip ya,”
Tari menangkap gelagat
tidak beres, “Untuk apa Ma?”
“Mama mau coba menanam
tulip di kebun belakang,” wanita berambut sebahu itu tersenyum. Hah, sudah dia
duga.
Matanya mulai memindai informasi dari blog seorang ahli
botani terkenal. Tari memijat pangkal hidung, ternyata tulip tidak bisa
hidup di alam terbuka daerah tropis. Kalaupun mama nekat untuk membangun rumah
kaca, mama pasti terlanjur mati kebosanan menunggu tulip yang baru berbunga
setelah tujuh tahun. Bunga tulip, bunga nasional Belanda yang tumbuh di tempat
bersuhu rendah, menyembunyikan arti dibalik tiap kelopaknya.
Tari menegakkan posisi duduk, meregangkan persendian, lalu bangkit dari kursi. Ia langsung turun
ke lantai bawah, meminta satu tangkai bunga tulip hampir layu pada mamanya.
Mama tak punya alasan untuk bilang tidak, karena tulipnya hanya tinggal tunggu
waktu untuk membusuk. Tari kembali lagi ke kamar, mengambil buku Reno yang
ketinggalan. Buku terbuka dari bagian tengahnya, kemudian Tari meletakkan tulip
di sana. Tari memejamkan mata, memikirkan bunga tulip putih
sebagai simbol permintaan maaf dari relung hatinya yang paling dalam.
***
Tari melintasi lapangan basket yang tergenang air,
berjalanan berlawanan dengan keriangan anak sekolah lain yang menuju gerbang
untuk pulang. Di depannya ada Reno, berjalan menjaga jarak darinya. Bu Nanik
sudah menunggu di ruang guru saat mereka masuk. Mengedikkan kepala ke arah dua
kursi yang terpisah jarak satu meter. Dua kertas disodorkan di bawah hidung
Tari. Satu kertas soal, satu kertas jawaban. Tari membalik soalnya setelah Bu
Nanik memberikan instruksi. Soal nomor satu sudah menarik perhatiannya. Cukup
menantang. Tari melirik ke samping kanan. Reno sedang menggaruki kepala. Tari
menadahkan tangan sebelum memegang pulpennya, berdoa. Dengan seluruh kerendahan
hati yang berusaha ia temukan kembali di balik diri hambanya yang dilumuti
kesombongan, Tari meminta agar dimudahkan. Tari tidak hanya mengharap berkah
untuk dirinya. Di bagian lain doanya, Tari menyisakan bagian untuk menyebut
nama orang lain. Reno, semoga beruntung...
Tari duduk di kursi panjang di depan ruang guru, menunggu
Reno yang keluar lima menit setelahnya. Reno
tidak tahan lama-lama di dalam, tangannya gatal untuk segera
menyelesaikan ulangan setiap kali ada orang yang sudah selesai. Mukanya
terlihat pasrah, pas dengan rambutnya yang makin acak-acakan. Reno kaget saat
tahu Tari menanti, lebih kaget lagi saat tangan Tari terjulur.
“Bukumu ketinggalan,”
“Oh ya, terima kasih,”
Tari meremas tangannya
yang sudah bebas, “Aku duluan,”
Yang diberi Reno tak lebih dari anggukan. Tari tidak
menyalahkannya, karena memang ia tidak menuntut yang lebih. Tari berjalan
mengikuti garis putih di tepi lapangan bola basket. Tari berharap Reno
akan menggunakan otaknya untuk mencari makna di balik tulip putihnya, walau itu terdengar mustahil. Tari kemarin lupa kalau Reno tak pernah membuka buku, jadi rasanya sia-sia saja
menyisipkan bunga itu di sana. Biarlah tulipnya menghitam lalu membusuk.
Hatinya entah kenapa jadi ringan sekarang. Permintaan maaf tulus yang cuma berakhir
sampai ujung lidah kini berpindah ke sepucuk tulip.
Tulip berwarna putih yang hampir
membusuk, aku titip maaf untuknya. Persetan jika ia akhirnya menemukanmu atau
tidak. Memohon maaf bukan tanggung jawabku lagi. Tulip, aku tak peduli jika kau
menarik perhatiannya melalui aroma harum atau busuk. Kalau kamu bertemu dia, sekali
lagi, tolong bilang aku minta maaf. Kalau tidak bertemu ya sudah, tidak apa-apa.
tolong segera dilanjutkn, sy yakin ini belum selesai :p
BalasHapushahhahhaha
哎呀,很好的故事啊,我在等下次的故事 :D
BalasHapusterima kasih temanzzz :D
BalasHapus