Simple Life

Minggu, 09 Februari 2014

Titip Maaf Buat Reno

Sekolah makin sepi sekarang. Sudah lewat satu jam dari jadwal pulang. Hanya beberapa orang yang selintas lewat sambil membawa barang-barang keperluan ekskul, termasuk gawang futsal yang digotong beramai-ramai. Masih sembunyi di balik salah satu tiang besar penopang gedung sekolahnya, Tari masih terus mengintai. Reno dikelilingi kroni-kroninya di bawah salah satu pohon rindang. Tari mengumpat dalam hati, kenapa mereka tak pulang saja sih?
            Tari mengetuk-ngetukkan dahi dengan telunjuk, sedang berpikir keras rupanya. Aha! Tari terkekeh penuh kegemilangan saat ia mengeluarkan salah satu majalah terlarang di sekolah. Logonya kelinci, dengan cover depan seorang wanita dewasa setengah bugil yang sedang memegang pentungan. Tari akan melemparnya ke sana, memancing teman-teman Reno agar mengejar santapan lezat itu. Setelahnya Tari bisa memanggil Reno untuk berbicara empat mata, tentang ia yang benar-benar menyesal atas kejadian kemarin.
Jadi Tari langsung mengeksekusi ide briliannya. Dan benar saja, teman-teman Reno berubah jadi serigala lapar saat majalah itu dibuang ke tengah lapangan. Air liur mereka menetes sepanjang mereka berlari dan saling serang untuk mendapatkan majalah. Hahaha, ini cukup mudah! Semacam melemparkan beras ke sekumpulan ayam! Maka Tari  berteriak memanggil Reno yang langsung mengikutinya menuju belakang sekolah.
Tangan Tari mengamit tangan Reno karena anak ini larinya sangat pelan benar. Bagaimana kalau kawanan laki-laki ganas itu menyadari satu di antara mereka ada yang hilang? Tari langsung melempar Reno ke tembok dengan tangan yang terus memegang pundak laki-laki ini. Napas Tari saling kejar, tak hanya karena kelelahan, tapi juga karena tantangan di depan mata yang membuat adrenalinnya meningkat. Susah benar mau minta maaf.
“Reno dengarkan!” Tari membentak Reno. Anak itu hanya diam.
“Aku hanya mengatakannya sekali dan tak akan mengulanginya lagi, maka dengar baik-baik!” Tari menatap Reno lekat-lekat, “Reno.. Reno aku mau... aku mau bilang kalau aku.. aku... min...”
“Tari dengar!” Reno memotong Tari, “Aku mau jujur sesuatu padamu. Semuanya salah! Kata orang-orang aku suka kamu, itu salah! Tari, sebenarnya aku tak suka kamu. Sangat tak suka, bahkan sama semua perempuan! Tar... sebenarnya...,” wajah Reno terlihat merah, Tari hanya melongo, “Tari, sebenarnya aku perempuan,”
 Reno tiba-tiba mengarahkan tangan Tari ke depan dadanya. Tari tersentak ketika merasakan benjolan di dada Reno. Matanya terbelalak! Tidak mungkin Reno adalah perempuan! Tidak mungkin! Tidak mungkin buah dada Reno lebih besar darinya!
“Tidak mungkin...!!!” Tari menjerit sejadi-jadinya, lalu mundur untuk menjauhi makhluk aneh yang kini berubah menjadi semacam siluman. Tari tidak menyadari selokan kecil yang berada di belakang, membuatnya terjomplang dan akhirnya terjatuh.
GEDEBUK!!!!
            Tari bangun dengan gelagapan. Keringatnya mengucur deras dari dahi, leher, punggung hingga ketiaknya. Napasnya saling memburu, jangan sampai putus di tengah jalan. Matanya mengerjap mencari-cari cahaya, tapi percuma saja, ini kan masih malam? Tari duduk bersandar pada piggiran kasur. Cahaya bulan membuat bayangan proyeksi lemari pakaian yang sampai pada kaki tari.
            Ia berusaha mengingat mimpi yang mengerikan tadi. Tentu saja itu hanya mimpi, banyak kejadian tidak masuk akal yang membuatnya sampai ketakutan. Ide bodohnya tentang majalah pria dewasa, sekelompok anak laki-laki yang berubah jadi serigala, dan Reno yang bertransformasi menjadi makhluk berkelamin tak jelas. Tak masalah kalau Reno adalah perempuan, tapi buah dadanya itu loh, Tari tak bisa terima kalau milik Reno jauh lebih besar dari miliknya.
            Tari mengusap keringat. Ingin minta maaf saja sampai begini gugup, bahkan hingga terbawa mimpi. Tari bangkit dari duduknya dan menyalakan lampu kamar. Jam tiga dini hari. Ia baru akan merebahkan diri kembali ke kasur, namun kaget dengan jejak tidurnya yang mengerikan. Sebuah pulau besar terbentuk di seprei. Tari meraba permukaan yang masih basah itu. Ia mengernyit, bisa gawat jika orang-orang sampai tahu kalau Tari ngiler saat tidur.
            Bunyi denting piring dan sendok tanda sarapan telah dimulai. Mereka sibuk masing-masing. Papa Tari dengan korannya, mama dengan gadget-nya, Tari dengan nasi gorengnya, dan adiknya dengan omelan tentang dapur yang berwarna hijau. Mama yang ngotot memilih warnanya. Semua ruangan yang sering mama gunakan akan diwarnai hijau. Yang berarti hampir satu rumah selain kamar Tari. Adik Tari, Reza, di umurnya yang genap sepuluh tahun dua minggu lalu, belum memperleh otonomi atas kamarnya sendiri. ia ingin kamarnya dicat biru.
“Kamu masih kecil. Belum bisa ngatur kamar sendiri. Mama harus sering-sering ngecek” kata mama.
Dahi papa hanya berekerut saat putranya mulai merengek untuk ganti cat kamar. Mama menggeleng dari balik gadget-nya. Hijau adalah simbol tanaman, dan mama benar-benar terobsesi dengannya. Setahu papa, istrinya tak pernah suka bercocok tanam. Hanya sekedar ikut-ikutan teman sepertinya.
“Kita udah tua, Pa. Kalau hijau kan enak kita lihatnya. Mata kita segar, pikiran tenang, gak bikin stress, Pa,” mama meletakkan tabletnya dan menuangkan susu rendah lemak untuk suaminya.
Papa melirik pada Reza, “Sudah jelas?”
Anak itu hanya mendengus sebelum kembali menghadapi flappy bird di tablet punya Tari. Tari memandang geram bocah kelas 5 SD yang sedang menyandera tablet bermerk sama dengan smartphone-nya. Sial, anak itu tahu Tari tak ikut ulangan kemarin. Reno meminta laporan perkecambahan Tari yang ketinggalan pada Reza, dan menjelaskannya sabagai benda yang maha penting. Dan Tari, sekali lagi, masuk perangkap Reza. Bocah itu memancingnya untuk mengakui kesalahan dengan intergoasi licik yang menyudutkan. Tari bingung, apakah adiknya yang terlalu jenius atau dia yang terlalu bodoh?
Tari memandangi anggrek-anggrek mamanya dari dalam city car yang mulai menjauh. Mama hanya sesekali memeriksa tanaman dari ujung pedalaman Kalimantan itu saat ia ingat. Selebihnya Mbak Jum yang mengurus. Tanaman-tanaman milik mama kebanyakan adalah pemberian klien. Mama tentu akan berpikir dua kali untuk membeli sendiri tanaman mahal yang hanya punya beberapa lembar daun. Termasuk dua pot sanseveira di teras depan, hadiah selebriti yang menang atas hak asuh anak setelah perceraian.
Suatu hari Tari pernah bertanya pada mamanya, apa bagusnya sebuah tanaman yang hanya terdiri dari daun berwarna merah dan hijau, dengan sebuah struktur seperti buah pinang di tengahnya itu. Mama harus memutari tanaman itu beberapa kali, melihatnya dari berbagai sudut berbeda.
“Ini cantik loh, Tar. Masa kamu gak bisa melihat keindahan sebuah anthurium?” kata mama sambil mengelus dagunya.
“Lebih bagus mawar,” protes Tari.
“Ya nggaklah Tar, lebih bagusan ini,” mama masih memutari anthurium miliknya, kedengaran agak ragu dengan jawabannya sendiri.
***
            Kriiiinnnggg............
            Bel masuk sekolah terdengar begitu nyaring melalui speaker-speaker yang dipasang di tiap kelas. Tapi kali ini sungguh keterlaluan. Tari bahkan harus menutup kupingnya sampai bunyi yang mirip alarm jam kamarnya itu berhenti. Tugas membunyikan bel sekolah hanya milik satu orang. Laki-laki asal banyumas yang berantakan kalau berbicara. Sebenarnya tugas utamanya sama dengan si penjaga gerbang, yaitu sebagai juru kunci sekolah. hanya saja membunyikan bel adalah spesialisasinya. Berbeda dengan si penjaga gerbang yang selalu terlihat galak, si juru bel adalah pria ramah yang selalu menyunggingkan senyum genit setiap ada siswa putri yang lewat. Tari melirik pada Dita yang sama herannya.
“Pak Agus patah hati lagi ya?” tanya Dita.
“Sepertinya,” jawab Tari.
            Gelombang manusia mulai memasuki pintu berdaun dua yang salah satunya ditutup. Mereka berdesak-desakan untuk menjadi yang pertama masuk kelas. Sebagian saling dorong hanya untuk bercanda, membuat tawa renyah di pagi hari, saat sebagian yang lain terlihat kesal.      Tari tahu siapa yang diincar lima orang laki-laki yang memulai keributan ini duluan. Tubuh kecil Gideon dihempaskan dari kiri ke kanan, kanan ke kiri, dan seterusnya. Gideon berusaha agar buku-buku yang dipeluknya tak jatuh, dan menahan agar kaca mata tebalnya tak melorot.
Tari sudah berdiri dari kursinya untuk menghentikan sekelompok anak yang dikenal sebagai mafia kelas. Entah sampai kapan ia harus mengontrol lelucon mereka yang tak lucu. Tari menghitung mereka satu per satu, dan kurang satu! Tari tidak segera bergerak, tapi masih mencari si pencetus ide dari setiap kelakuan aneh mafia level berudu yang belum muncul juga. Mana Reno?
“Tari!!!!!!”
            Tari melonjak kaget saat Gideon menghambur ke mejanya. Seragamnya jadi kacau balau setelah berhasil keluar dari kepungan Viktor, Beno, Jali, dan juga Fredy. Rambut tipisnya yang menempel rapi dengan bantuan gel pasaran, kini mulai awut-awutan, menunjukkan pertumbuhan rambut yang tidak teralu lebat. Gideon akhirnya bisa menguasai diri, lalu segera berdiri tegap, tak mau terlihat lemah di hadapan Tari. Gideon menunjukkan senyum pria pada yang terkasih, yang tak pernah tahu betapa Gideon telah begitu menderita karenanya.
Tari tak tahu harus melakukan apa selain nyengir membalas Gideon yang pamer gigi. Kasihan Gideon. Tari kemudian beralih pada empat orang yang masih berdiri dekat pintu. Meski tanpa dedengkot mereka, empat orang itu masih sama berbahayanya.  Keempatnya kompak memalingkan muka saat Tari melotot pada mereka, lalu melenggang menuju bangku-bangku paling belakang. Tangan Tari sudah terkepal. Entah kenapa ia ingin meninju seseorang yang bertanggung jawab penuh atas kondisi kelas yang tak kondusif. RENO!!!! MANA RENO???!!!
“Tari...”
Tari tersentak dari lamunannya. Di depannya masih ada Gideon, yang meski terlihat masih ngos-ngosan setelah diserang, terus memamerkan giginya.
“Ya Dion?”
“Kak Bram nyari...,”
Tari heran, bagaimana mungkin gigi-gigi yang bersarang di balik bibir kering itu bisa terus Gideon pamerkan selama bicara? Seluruhnya, dari gigi seri sampai geraham! Kak Bram sedang melambai padanya dari luar kelas, membuat Tari hanya bisa cengengesan seperti orang bodoh. Ini masih pagi, dan Tari tidak mau berteriak-teriak saking girangnya.
Ya Tuhan, bisa nggak sih Kak Bram berhenti tersenyum terus? Tari hanya bisa memandang sepatu Kak Bram setiap mereka berhadapan seperti ini. Bisa-bisa ia meledak menjadi keping-keping kecil.
“Ada apa Kak?” tanya Tari malu-malu.
“Kamu di cariin Bu Nanik,”
“Oh iya Kak, makasih,” Tari menggigit bibirnya.
            Satu.. Dua.. Tiga.. Tari menghitung sampai sepuluh, namun Kak Bram tidak segera beranjak. Kak Bram memasukkan tangannya ke dalam saku celana dan memandang ke arah lain, Tari yakin dia salah tingkah. Aaahhh, kalau saja dia adalah es, pasti Tari sudah meleleh sekarang. Tari ingin menjitak kepala Kak Bram agar laki-laki itu segera pergi, tapi jangan jauh-jauh darinya. Oh dilema.
“Saya pergi dulu Kak,”
“Oh, silahkan. Aku juga mau pergi,” Kak Bram menunjuk ke arah berlawanan.
            Tari buru-buru ambil langkah panjang, lalu menengok ke belakang. Sama. Kak Bram juga menengok. Mereka berpaling berbarengan. Tari merasa wajahnya panas. Tidak, tidak, Tari menggeleng. Ia harus fokus dengan Bu Nanik sekarang. Apa kira-kira yang ingin dibicarakan Bu Nanik? Apa tentang insiden kemarin? Kalau benar begitu, ia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk merayu Bu Nanik agar memperbolehkannya ikut ulangan di kelas lain. Tari sudah siap dengan tampang memelas.
            Tidak banyak guru yang berada di sana. Hanya dua atau tiga orang yang sedang sibuk di tempat mereka masing-masing. Tari menyusuri jalan kecil yang terbentuk di antara deretan meja menuju bagian pojok ruangan, di mana ia akhirnya berhadapan dengan Bu Nanik yang bersembunyi di balik majalah gossip. Tumpukan kertas ulangan maupun buku tugas yang makin meninggi belum dihiraukan wanita yang masih melajang di usianya yang berkepala tiga.
“Ibu memanggil saya?”
            Bu Nanik menurunkan sedikit majalahnya, memperlihatkan mata elangnya yang menusuk sampai ke sanubari Tari. Tari memasukkan anak rambutnya di antara telinga, tidak nyaman dengan Bu Nanik yang belum bicara dari tadi. Tari merasa seakan sedang ditelanjangi.
“Saya sangat menyayangkan kamu tidak ikut ulangan kemarin. Jelaskan pada saya apa yang terjadi,”
            Maka Tari menjelaskan segalanya, tentang laporan perkecambahannya yang ketinggalan sampai Reno yang dia minta untuk mengambilnya di rumah. Bu Nanik manggut-manggut di balik majalah yang sudah diturunkan setinggi hidung.
“Baik,” Bu Nanik melipat majalah dan melemparnya ke atas meja, “Saya ceritakan semua ke wali kelasmu dan dia minta saya untuk memikirkannya lagi. Mungkin dia benar, kamu terlalu berharga untuk diperlakukan demikian. Mungkin kamu lagi apes saja kemarin. Tapi saya punya pertimbangan lain, Mbak Tari. Semua jadi terlalu datar kalau tak ada yang bisa menembus angka 90. Saya beri satu kesempatan padamu. Besok lusa ulangan di kantor saya, pastikan kamu membawa laporanmu,”
“Baik, Bu,” Tari tak bisa menyembukan senyum, satu nilai biologinya tidak akan begitu saja melayang, “Tapi Bu, bagaimana dengan Reno?”
“Oh anak itu. Lupakan saja dia,”
“Tapi dia tidak ikut ulangan karena saya...”
“Kembali ke kelasmu Mbak Tari. Saya tidak mau kena marah dari guru matematikamu,”
Tari hanya bisa megap-megap selama beberapa saat. Ia bimbang antara bermain aman dengan menuruti gurunya atau merasa terbebani lagi karena meninggalkan bocah itu. Ia menarik napas, “Kalau begitu saya tidak bisa ikut Bu,”
“Tari!” bentak Bu Nanik sambil melotot.
 Tari hanya memandang lantai. Tangan Bu Nanik gemetaran saat memegang gagang kacamata lalu melepasnya. Bu Nanik seperti memperlihatkan dirinya yang berbeda tanpa kaca mata yang bertengger di hidung. Tari sempat menebak-nebak kalau masih ada darah Tiongkok yang mengalir di nadi gurunya. Semakin jelas sekarang, mata Bu Nanik yang sipit itu pantas disandingkan dengan kulit kuningnya. Bu Nanik kelihatan manyun.
“Kamu pacarnya ya?”
“HAH????” Tari serasa disedot masuk ke dalam pusaran kakus.
***
            Tangannya bergerak lancar di atas kertas bergaris menyelesaikan nomor terakhir persamaan trigonometri yang ditugaskan gurunya. Tari mencoret-coret sudut yang tidak perlu, lalu mengotak-atiknya untuk membuktikan persamaan. Apa maksud Bu Nanik tentang pacaran? Aarrgghh, membuat Tari mual saja. Di saat konsentrasinya terpecah dua, Tari tetap bisa membuat Dita, yang duduk sebangku dengannya, hanya bisa melongo melihat tinta yang keluar membentuk angka-angka latin. Tari membubuhkan dua garis di atas jawaban akhirnya. Selesai.
“Pinjem ya,” Dita merebut buku Tari tanpa ba-bi-bu.
“Dit....” Tari hanya bisa menghela napas.
            Susana kelas layaknya Kuta tanpa wisatawan. Hanya ada desir-desir dingin yang muncul dari moncong air conditioner. Semua sibuk dengan soal pilihan Pak Bejo yang diambil dari buku berkurikulum asing. Sibuk mengeluh sambil memikirkan kemungkinan penyelesaian. Tari menidurkan kepalanya di atas meja, kalau bisa ia ingin memasukkannya ke dalam laci meja saja. Ia masih memikirkan kata-kata guru biologi. Tari mengigit bibir bawahnya, lalu memutar kepala ke belakang.
            Tari menangkap anak itu sedang menguap, lalu mengucek bagian bawah hidung. Reno melempar tatapan keluar ruangan lewat jendela di sebelahnya. Tangannya memangku dagu seperti perawan yang sedang menanti untuk dipinang. Tari yakin anak itu belum mengerjakan satu nomor pun. Tari segera mengalihkan pandangannya ketika Reno menoleh ke depan. Gadis itu mencubit pipinya sendiri, kenapa mesti memperhatikan anak itu?
            Butuh lima belas menit sampai Tari yakin semua temannya telah keluar untuk istirahat. Terutama empat orang dari lima serangkai itu. Sebuah kesempatan yang langka saat Reno tidak bersama kroninya. Tari melirik ragu-ragu ke belakang. Reno sedang serius membaca, sambil sesekali menelan ludah. Ia membulatkan tekad, kalau tidak sekarang kapan lagi?
            Mereka hanya berjarak lima meter, tapi sepertinya butuh lebih dari satu jam agar Tari bisa memindahkan seluruh tubuhnya ke deret kursi paling belakang. Kakinya susah digerakkan lebih cepat, tidak rela untuk menginjak daerah hitam kelas. Baiklah, sekarang Tari hanya perlu melangkah lebih panjang, dan... Tara! Ia langsung menduduki kursi di depan meja Reno.
“Sedang serius rupanya,”
“Hemm...” katanya sambil menikmati gambar, “Hah?” Reno menyembunyikan bukunya dalam sekejap setelah sadar siapa yang menegur.
“Kukira kamu nggak sekolah,”kata Tari sekedar basa-basi.
“Bukan urusanmu,” Reno menimpali dengan dingin.
            Reno melempar pandang ke lapangan, pura-pura kalau tidak ada orang yang bersamanya. Tangannya yang saling remas gelisah tidak luput dari pengamatan Tari. Dahi Tari berkerut, ingin tahu apa yang dipikirkan anak laki-laki sehabis mengonsumsi bacaan terlarang. Tiba-tiba Tari merasa jijik, ingin muntah di atas meja. Tari sayang, sekarang waktu yang tepat untuk mengutarakan tujuanmu. Bilang saja maaf dan urusanmu selesai, batin Tari.
“Well, Reno...” Tari memanggil pelan Reno sambil menatap kukunya sendiri. meminta maaf ternyata tak sesederhana itu.
“Reno...” Tari memanggilnya lagi, “Soal yang kemarin...”
Tari membaranikan diri untuk mengangkat kepalanya. Sekarang mata mereka sejajar, ia bisa melihat lubang kehitaman di tengah mata Reno. Cahaya akan memantul pada tubuh Tari, lalu masuk melalui celah pupil yang bisa membesar dan mengecil seperti diafragma pada kamera. Cahaya akan sampai di retina, digambarkan terbalik dan kecil, lalu akan dikirm ke korteks penglihatan untuk diolah. Mata Tari berkedut, kenapa ia malah memikirkan biologi? Reno sudah memangku dagu dengan tangan lagi, ingin tahu apa yang akan  disampaikan gadis itu.
“Aku mau bilang kalau aku...” Ayo Tari, sedkit lagi, “Aku minta ulangan susulan untuk kita berdua. Besok,”
Tari ingin membenturkan kepalanya sekarang juga. Kenapa kalimat itu yang keluar? Mana kata ‘maaf’ nya?????
Sebelah alis Reno terangkat, “Hanya itu?”
“Yap,” Tari bangkit dari kursi. Ia belum mau pergi sih, tapi ia terlalu gengsi untuk minta maaf sekarang.
“Kamu nggak merasa sudah melakukan sesuatu yang buruk kemarin?”
Tari mengangkat bahu, “Toh kamu juga bakal ikut ulangan susulan kan?”
Reno tertawa kecil, tidak percaya dengan Tari,“Kalau aku ikut ulangan kemarin, aku nggak akan ulangan sendirian,”
“Apa bedanya?”
“Ya bedalah! Aku nggak akan ulangan sendirian!” Reno memberikan penakanan pada empat kata terakhir.
            Sejak awal ia sudah mengerti mau dibawa ke mana arah pembicaraan mereka. Kalau ulangannya kemarin, maka Reno tidak perlu sulit-sulit belajar, karena sudah ada back-up dari kroni-kroninya. Harusnya Tari langsung minta maaf saja tadi, hingga ia tak perlu tersandera lagi seperti ini. Sekarang Reno menumpahkan semua kesalahan padanya, memancing Tari untuk setuju ‘membantu’ ulangan Reno. Tari menyeringai, akan ia tunjukkan arti ‘membantu’ yang sesungguhnya.
“Baik. Nanti sore datang ke tempatku. Biar kamu kuajari biologi sampai kepalamu ngelotok”
”Oi Tari! Bukan itu maksudnya...” kata Reno gelagapan.
            Kriiiiiinnnngggg........
“Wah, istirahat sudah selesai! Ingat Reno, kutunggu jam empat ya!” Tari tersenyum, lalu berbalik dan kembali menuju mejanya.
             Tari nyengir ketika mendengar Reno menggedor meja. Ia tahu kalau Reno masih mau berunding dengannya, tapi anak-anak lain terlanjur masuk kelas. Sesuatu yang mustahil bagi mereka berdua untuk kelihatan bersama. Tari juga sebenarnya ogah mengajari Reno. Namun beban moralnya sebagai teman seangkatan yang sudah mengarahkan Reno ke tepi jurang tidak perlu dipertanyakan lagi. Rasa setia kawannya masih ada meski untuk orang menyebalkan yang terhitung musuh. Walau tidak akan memberi kunci jawaban gratis, Reno harusnya bersyukur sudah diberi bimbel cuma-cuma.
            Tumbuhan liar bersulur menjalar di pagar, lalu merambat naik ke tembok dan terus  tumbuh sampai ke balok-balok yang saling melintang di langit-langit teras. Mama meminta untuk tidak dicabut. Katanya biar memberi kesan alami pada rumah dengan sedikit gaya joglo ini. Mbak Jum meletakkan baki berisi satu kotak kue kering dan satu teko perasan es jeruk limau segar di antara Tari dan Reno yang duduk selonjoran di lantai teras.
Senandung lagu tradisional dari mulut Mbak Jum mengisi keheningan sejak Reno bertamu ke rumah Tari. Reno harus berpikir dua kali untuk datang ke sini, menyebabkan ia terlambat seengah jam dari janji. Tari tidak menjelaskan apa-apa padanya sejak ia datang selain menggelar buku-buku biologi dari berbagai penerbit. Jadi mereka hanya diam-diam saja. Sementara Reno menunggu agar Tari mengajarinya, Tari sendiri hanya membolak-balik cover buku  berharap agar Reno segera bertanya. Geeezzz, laki-laki ini pasif sekali, gerutu Tari dalam hati. Dia tidak bisa membiarkan mereka diam terus.
“Sebutkan enzim-enzim pencernaan pada usus halus!” tanya Tari tiba-tiba. Yang ditanya hanya melongo.
“Belum baca,”
“Apa fungsi getah empedu?”
“Aku lupa,”
“Kamu udah belajar sampai mana sih?” Tari jadi tidak sabaran.
Reno menjawab cuek, “Belum mulai sama sekali,”
            Rasanya Tari ingin mencabut sulur-sulur tanaman yang paling dekat dengannya lalu menjerat Reno sampai mampus. Tari memalingkan wajah dari anak laki-laki itu. Asap harusnya sudah keluar dari semua lubang-lubang di tubuhnya. Tari mulai emosi.
“Ckck, kamu benar-benar manusia tanpa harapan,”
“Siapa kira-kira yang menghilangkan harapan itu?” Reno menyipitkan mata.
“Geeezzz... Ini!” Tari melemparkan sebuah buku blok tebal. Reno menangkap dengan satu tangan. Tari memejamkan mata sambil bersedekap, “Itu isinya ringkasan beberapa buku biologi. Langsung tanyakan padaku kalau kamu tidak mengerti. Benar-benar menyedihkan kalau kamu hanya dapat enam setelah membacanya,”
Reno mendekatkan mukanya, lalu bertanya dengan volume rendah, “Apa jaminannya?”
Tari tidak mau kalah, lalu ikut memajukan wajah, “Kalau nilaimu jelek, kutraktir tiga kebab Bang Madun. Kalau nilaimu di atas enam...”
“Aku traktir satu keranjang ayam kentucky!”
            Mereka mengangguk berbarengan. Kesepakatan telah disetujui dan Reno langsung merelakan otaknya dicekoki tulisan-tulisan Tari. Matahari sisa gundukan kecil di batas cakrawala. Anak-anak di kompleks Tari sudah saling mengucapkan selamat tinggal sebelum kembali ke rumah mereka masing-masing, tidak peduli jika nanti dimarahi oleh ibu yang cerewet. Rumah tetap lah rumah, seburuk apapun itu, baik bangunan rumah itu sendiri maupun penghuni di dalamnya. Dan Reno masih mengabaikan panggilan untuk pulang.
            Ekspresi di wajah Reno sepanjang satu setengah jam ini hanya menyimpulkan kebingungan. Tari menghela napas setelah menjelaskan mekanisme pencernaan, yang setelah ditunggu-tunggu, ditanyakan Reno malu-malu. Tari tidak peduli apakah yang diajari bertambah jelas atau sebaliknya. Ia ingin anak itu cepat pulang. Tari agak kikuk saat mamanya yang baru pulang kerja menemukan anak gadisnya menjamu laki-laki dalam keremangan senja.
Sekarang sudah hampir jam tujuh dan Reno cukup peka menangkap raut muka Tari yang enggan untuk lebih lama mengajari. Tari akhirnya meminjamkan Reno buku blok miliknya walau ia merasa terpaksa. Reno memasukan buku-buku ke dalam tas, lalu pamit pulang. Tari sempat melihatnya agak sempoyongan saat berdiri. Tari menghela napas, ia jadi sangsi apakah catatan biologinya cukup membantu.
Tari menutup pintu di belakang, kemudian menuju dapur untuk mengambil air minum. Tari meletakkan buku-bukunya, mengagetkan mama yang sedang menata cokelat-cekolat kecil di atas piring.
“Loh, temanmu udah pulang?”
Tari meneguk habis air dingin sebelum menjawab mama, “Baru aja,”
“Padahal mama udah nyiapin cokelat dari Belanda. Oleh-oleh dari Om Sutan,”
            Tari memandang dua tangkai tulip putih agak layu yang tidak jauh dari kotak cokelat. Barangkali oleh-oleh dari Om Sutan juga. Ia kemudian beralih pada tumpukan buku. Buku biologi bergambar kodok yang masih mulus itu bukan miliknya. Ia membuka cover depan, lalu mendapati nama dan tanda tangan Reno. Anak itu benar-benar sudah semaput, batin Tari.
“Tari, nanti tolong carikan info tentang tulip ya,”
Tari menangkap gelagat tidak beres, “Untuk apa Ma?”
“Mama mau coba menanam tulip di kebun belakang,” wanita berambut sebahu itu tersenyum. Hah, sudah dia duga.
            Matanya mulai memindai informasi dari blog seorang ahli botani terkenal. Tari memijat pangkal hidung, ternyata tulip tidak bisa hidup di alam terbuka daerah tropis. Kalaupun mama nekat untuk membangun rumah kaca, mama pasti terlanjur mati kebosanan menunggu tulip yang baru berbunga setelah tujuh tahun. Bunga tulip, bunga nasional Belanda yang tumbuh di tempat bersuhu rendah, menyembunyikan arti dibalik tiap kelopaknya.
            Tari menegakkan posisi duduk, meregangkan persendian, lalu bangkit dari kursi. Ia langsung turun ke lantai bawah, meminta satu tangkai bunga tulip hampir layu pada mamanya. Mama tak punya alasan untuk bilang tidak, karena tulipnya hanya tinggal tunggu waktu untuk membusuk. Tari kembali lagi ke kamar, mengambil buku Reno yang ketinggalan. Buku terbuka dari bagian tengahnya, kemudian Tari meletakkan tulip di sana. Tari memejamkan mata, memikirkan bunga tulip putih sebagai simbol permintaan maaf dari relung hatinya yang paling dalam.
***
            Tari melintasi lapangan basket yang tergenang air, berjalanan berlawanan dengan keriangan anak sekolah lain yang menuju gerbang untuk pulang. Di depannya ada Reno, berjalan menjaga jarak darinya. Bu Nanik sudah menunggu di ruang guru saat mereka masuk. Mengedikkan kepala ke arah dua kursi yang terpisah jarak satu meter. Dua kertas disodorkan di bawah hidung Tari. Satu kertas soal, satu kertas jawaban. Tari membalik soalnya setelah Bu Nanik memberikan instruksi. Soal nomor satu sudah menarik perhatiannya. Cukup menantang. Tari melirik ke samping kanan. Reno sedang menggaruki kepala. Tari menadahkan tangan sebelum memegang pulpennya, berdoa. Dengan seluruh kerendahan hati yang berusaha ia temukan kembali di balik diri hambanya yang dilumuti kesombongan, Tari meminta agar dimudahkan. Tari tidak hanya mengharap berkah untuk dirinya. Di bagian lain doanya, Tari menyisakan bagian untuk menyebut nama orang lain. Reno, semoga beruntung...
            Tari duduk di kursi panjang di depan ruang guru, menunggu Reno yang keluar lima menit setelahnya. Reno  tidak tahan lama-lama di dalam, tangannya gatal untuk segera menyelesaikan ulangan setiap kali ada orang yang sudah selesai. Mukanya terlihat pasrah, pas dengan rambutnya yang makin acak-acakan. Reno kaget saat tahu Tari menanti, lebih kaget lagi saat tangan Tari terjulur.
“Bukumu ketinggalan,”
“Oh ya, terima kasih,”
Tari meremas tangannya yang sudah bebas, “Aku duluan,”
            Yang diberi Reno tak lebih dari anggukan. Tari tidak menyalahkannya, karena memang ia tidak menuntut yang lebih. Tari berjalan mengikuti garis putih di tepi lapangan bola basket. Tari berharap Reno akan menggunakan otaknya untuk mencari makna di balik tulip putihnya, walau itu terdengar mustahil. Tari kemarin lupa kalau Reno tak pernah membuka buku, jadi rasanya sia-sia saja menyisipkan bunga itu di sana. Biarlah tulipnya menghitam lalu membusuk. Hatinya entah kenapa jadi ringan sekarang. Permintaan maaf  tulus yang cuma berakhir sampai ujung lidah kini berpindah ke sepucuk tulip.
Tulip berwarna putih yang hampir membusuk, aku titip maaf untuknya. Persetan jika ia akhirnya menemukanmu atau tidak. Memohon maaf bukan tanggung jawabku lagi. Tulip, aku tak peduli jika kau menarik perhatiannya melalui aroma harum atau busuk. Kalau kamu bertemu dia, sekali lagi, tolong bilang aku minta maaf. Kalau tidak bertemu ya sudah, tidak apa-apa.


3 komentar:

  1. tolong segera dilanjutkn, sy yakin ini belum selesai :p
    hahhahhaha

    BalasHapus
  2. 哎呀,很好的故事啊,我在等下次的故事 :D

    BalasHapus