“Terus dribbling Tari!”
“Awas Tar! Hati-hati di
belakangmu!”
Bola basket itu masih tetap dalam kendali Tari. Tari
terus membawanya sendiri melewati teman, yang untuk sementara waktu, menjadi
musuhnya saat pelajaran olah raga ini. Seringai mulai muncul saat jaraknya
mulai dekat dengan ring. Tari memutari pemain lawan terakhir...
“Tari! Over ke Dita!!!!”
Siapa pula yang teriak menyuruhnya itu? sok tahu saja!
Tari mengabaikan perintah untuk meng-over
ke temannya yang berada di ujung, lebih dekat ke ring dibanding dia. Dia akan
melompat sekarang! Belum pernah lihat Tari melakukan slam dunk kan? Tari
menyiapkan kuda-kuda, melesatkan kakinya dari tanah, dan ia merasakan tubuhnya
melayang. Tari fokus pada ring, tangannya sudah dalam posisi memasukkan bola,
dan teriakan ‘uuuuhhh’ dari
teman-temannya yang terpana membuat Tari makin bersemangat. Yap, dan bola
memang sudah masuk, terpantul-pantul sementara Tari masih menggantung pada
keranjang bola. Poin lagi untuk timnya.
Tari mengusap keringat dengan punggung tangan, menebarkan
pesonanya yang terbawa angin sepanjang lapangan saat ia berjalan keluar arena.
Peluit dibunyikan tanda babak pertama yang sudah berakhir. Tari santai saja
saat bergabung dengan teman-temannya yang duduk di pinggir lapangan, yang cuma jadi
cadangan selama pertandingan. Tari meneguk dengan rakus air mineral dingin dari
botol, sementara teman setimnya tadi masih ada di lapangan, saling bisik dengan
seru. Nada mereka terdengar kesal saat membicarakan orang yang memonopoli game
pertama dan kedua, mungkin juga game ketiga dan keempat nanti. Ia mencetak
hampir setengah dari keseluruhan poin, dan itu masalahnya! Tari tak seharusnya
bermain individual seperti tadi.
“Tar...” Dita berjalan
sempoyongan, lalu duduk di sampingnya. Tari menyerahkan botol air berisi 1,5
liter itu pada sahabatnya.
“Kamu nggap capek ya?”
tanya Dita setelah mengusap air yang menempel di bibirnya.
Tari menggeleng,
“Belum, hehe,”
“Bukannya kamu nanti
sore ada latihan estafet?”
“Oh, aku masih sempat
istirahat kok, tenang aja,” kata Tari sambil tersenyum.
Tari
langsung berdiri begitu gurunya meniupkan peluit babak ketiga. Dita hanya
menghela napas karena maksud yang tersembunyi dibalik perkataan dan mata
sendunya tidak bisa dimengerti Tari. Tidak Cuma Dita, tapi juga teman-teman
lain yang menunggu giliran masuk lapangan. Mereka sampai lumutan sekarang. Hah
Tari, gantian dong sama yang lain...
“Pemain putri yang lain
di mana ya? Kok yang main yang ini terus...”
Langkah Tari terhenti begitu mendengar selorohan orang,
cukup yakin yang dimaksudkan adalah dia. Tari membalikkan badannya, kemudian
berjalan berlawanan dari arahnya tadi, mendekati Reno yang berdiri dekat ring.
“Masalah buat kamu?”
Reno mengangguk, “Bosen
lihat kamu,”
“Cuma kamu aja tuh,”
“Moso’? Coba tanya yang
lain satu per satu. Kayaknya banyak juga yang pengen main. Trus itu bola
punyamu apa? Kamu terus yang megang,”
Mata Tari menyapu sekelilingnya. Teman-teman putrinya
tidak ada yang mengangguk maupun menggeleng. Tapi Tari agak kaget saat
menemukan Dita yang duduk selonjoran di luar lapangan, diganti oleh Rina yang
tadi sudah melakukan pemanasan. Tari merasa seakan dikocok-kocok. Ia akan
keluar lapangan dengan cara menyakitkan seperti ini, karena diledek seseorang.
Tari melirik Reno lagi. Tari heran benar, orang ini sibuk sekali mencampuri
urusan Tari, padahal urusan teman-temannya yang lain dia hiraukan begitu saja.
Mau orang lain membakar sekolah, Reno tak peduli, kecuali yang melakukannya
adalah Tari.
Bibirnya bergetar, sama juga dengan tangannya. Tari
memungut bola basket yang tidak jauh darinya, lalu melempar sekeras mungkin
pada Reno. Anak itu bisa menangkap dengan mantap, meski harus mundur beberapa
langkah karena lemparan Tari yang luar biasa keras. Tari tak berpikir dua kali
untuk meninggalkan lapangan, menyusul Dita untuk duduk di sampingnya.
Dia
hanya jadi penonton kali ini. Tari mengangkat wajahnya menghadap langit,
berusaha agar air matanya tidak tumpah, atau barangkali biar matahari bisa
mengeringkannya. Kenapa teman-temannya tidak bilang saja kalau mereka mau
bermain? Toh dia akan bersedia diganti kalau ada yang ingin. Tidak perlu merasa
tidak-enakan padanya, atau pun rela memendam rasa kesal untuk Tari. Tentang ia yang
selalu menguasai bola, itu wajar saja kan? Dia ingin mencetak banyak skor, dan
temannya yang lain sepertinya susah untuk melakukan hal yang sama. Teknik
mereka saja terkadang salah!
Mungkin
mereka harusnya berterima kasih pada Reno yang repot-repot mengingatkannya
untuk berhenti. Tapi kenapa mesti dia lagi? Anak itu benar-benar tidak tahu
diri! Omongannya tadi seperti menggambarkan Tari sebagai orang yang paling
menjengkelkan sedunia. Dia tidak sadar apa? Orang-orang di kelas banyak
mengeluh tentang Reno yang nakal dan suka mengganggu, dan tadi dia berani
mengatai Tari seperti itu?
“Tar, lapar nggak? Ke
kantin yuk?”
Kerongkongan
Tari rasanya sakit saat ingin menjawab pertanyaan Dita. Dita sebenarnya hanya
ingin memulai percakapan agar mereka tidak diam-diaman seperti ini. Tari tak
segera menjawab dan mukanya jadi keras. Maka Dita kembali memandang
pertandingan, membiarkan sahabatnya
sibuk dengan pikirannya sendiri.
Di
sudut lain lapangan, ada yang sembunyi-sembunyi memperhatikan mereka. Bukan
mereka sih, tapi salah satu dari mereka, Tari tepatnya. Saat temannya asyik
mengomentari Rachel yang lari dengan pantat megal-megol, Reno sesekali mencuri
pandang ke arah lain. Ada rasa sesal di dalam dadanya ketika mendapati Tari
yang matanya berkaca-kaca.
Aroma collogne dari ujung belokan ruang ganti putri sudah
tercium dalam radius lima meter. Tari sudah mengganti pakaian olah raganya yang
basah kuyup dengan batik sekolahnya yang berwarna abu-abu dan rok putih selutut.
Ia memasukkan kaki ke dalam sepatu pan tofel hitam berhak tipis setelah memakai
kaos kaki setinggi mungkin. Rambutnya ditarik tinggi-tinggi lalu dikucir
seperti biasa, kuci ekor kuda, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan putih.
Lehernyalah bagian utama tubuhnya yang menyebarkan keharuman sandalwood, mengusik hidung setiap orang
untuk menoleh sebentar padanya.
Mereka sudah kembali bicara, Tari dan Dita, walaupun agak
aneh memperbincangkan cuaca yang sejak pagi cerah-cerah saja. Kelas-kelas lain
yang mereka lewati masih sibuk dengan proses belajar mengajar sebelum bel
istirahat akhirnya berbunyi beberapa menit kemudian. Pelajaran olah raga memang
menyenangkan, selalu selesai lima belas menit sebelum waktunya, memperpanjang
waktu istirahat mereka yang berlangsung selama setengah jam
Tari
dan Dita berjalan bersisi-sisian, lalu makin merapat saat anak-anak kelas lain
mulai menghambur keluar. Sesekali Dita kembali memandang Tari, tidak tahu kalau
Tari masih berpikir keras tentang kejadian tadi. Mungkin sebaiknya Tari meminta
maaf kepada yang lain, tetapi kenapa harus dia? Dia tidak salah apa-apa! Tidak!
Kenapa ia harus minta maaf ketika ada orang yang sudah terang-terangan
menyakiti perasaan yang lain, namun tetap saja cuek? Reno... Tari ingin
mematahkan tulang-tulangnya sekarang juga!
Matanya
memang melihat lurus ke depan, tetapi
sesungguhnya ia tidak memperhatikan apa-apa di hadapannya. Anak-anak yang
berlarian, guru-guru yang lewat, suara cekikian sepanjang jalan, bahkan Kak
Bram yang sudah berdiri siap saat mereka berdua makin mendekat. Dita hanya bisa
menganga ketika Tari mengabaikan Kak Bram yang tersenyum kepada mereka. Dita
menoleh lagi kepada Kak Bram, mencari apa yang salah dengan kakak kelasnya,
membalas tersenyum pada laki-laki itu, lalu cepat-cepat menjambret tangan Tari
agar dia berhenti.
“Tar, Kak Bram,” bisik
Dita.
“Hah? Apa?” Tari
bertanya gelagapan, lalu memalingkan muka ke belakang, ke arah yang sama dengan
Dita. Semu merah mulai menjalar di pipi Tari setiap Kak Bram mendekat selangkah.
“Mau ke kantin ya?”
tanya Kak Bram.
Tari
memilah-milih jawaban dalam otaknya yang sedang mumet. Ini tidak sesuai
rencana, karena Tari dan Dita akan kembali ke kelas untuk mengembalikan baju
olah raga. Tari melirik sahabatnya, mana mungkin ia mementingkan diri sendiri
lagi? Oh, yang benar saja, bukannya Dita juga akan senang kalau ke kantin
bersama Kak Bram? Barangkali kesempatan ini sama langkanya seperti melihat
komet Halley yang terlihat dari bumi setiap 75 tahun sekali.
“Errrr... Iya Kak,”
“Bareng yuk,” ajak Kak
Bram.
“Tar....” bisik Dita.
Tari
melempar tatapan awas pada Dita, lalu berdesis. Kamu tahu maksudku kan Dit?
Kita bisa makan bareng sama dia. Yang diajak berkonspirasi hanya menghela napas
saja. Dahi Dita berkerut, lalu memandang bolak-balik Kak Bram dan Tari. Senyum
nakal mengembang di bibir Dita.
“Duluan aja Tar, aku
mau ke kamar mandi dulu,”
“Kita bisa tungguin
temanmu kan Tari?”
“Nggak usah Kak. Saya
bakal lama, soalnya mau BAB,”
“Dit...”
Tari
menahan tangan kawannya saat gadis itu mau ngacir meninggalkan Tari. Ini bukan
yang diinginkan Tari, ia butuh Dita sebagai penengah! Paling tidak ia butuh
Dita ketika mereka berdua tidak punya topik lagi untuk dibicarakan. ia tidak
mau momen kebersamaan pertamanya akan diakhiri dengan desing jangkrik di tengah
kantin. Dita mendekatkan mulut ke telinga Tari lalu berbisik.
“Ganbatte kudasai ne,”
Lalu dalam satu kerlingan mata, Dita sudah menghilang di
balik kerumunan, meninggalkan Tari yang berdiri berhadapan dengan Kak Bram.
Sial, awas saja dia. Aku tak akan membagi jawaban PR kimia untuk besok. Tari
rasanya ingin mencak-mencak karena kepanasan ketika suara Kak Bram yang lembut
tapi berwibawa itu memintanya untuk segera bergerak.
“Ayo,”
Isi mangkok bergambar ayam jago itu hanya diaduk-aduk. Ia
bingung bagaimana menghabiskan tiga pesanan yang satu per satu mulai datang, es
buah, bakso, dan batagor. Ia cuma punya dua pilihan, membiarkan Kak Bram cepat
pergi atau mempertahakan Kak Bram selama mungkin di hadapannya. Ia memilih yang
kedua dan mengorbankan image-nya, berpura-pura rakus untuk kali ini saja. Tari
ingin meneteskan air mata setiap memasukkan batagor pelan-pelan ke dalam mulut.
Pelan-pelan saja Tari, kalau bisa sampai bel masuk baru kamu menghentikan ini
semua. Kak Bram menyapu bersih gado-gado di piringnya sebelum kembali
memperhatikan Tari.
“Kamu makannya banyak
juga ya?” godanya.
“Nggak kok, saya lagi
lapar aja, tadi habis olah raga,”
“Hahaha, aku suka cewek
yang makannya banyak,”
Kelontang.....!!!
Garpu terlepas dari genggamannya. Darahnya berdesir
cepat, mengisi kompartemen jantung yang mulai kosong setiap degupnya. Sebagian
pengunjung kantin yang duduk dekat mereka menoleh ingin tahu. Keberadaan Tari
di samping Kak Bram memang menarik perhatian sejak mereka datang.
Telinga-telinga mulai memicing, tidak ingin kelewatan kelanjutan dari serangan
Kak Bram. Jika Kak Bram menembaknya sekarang, ia akan mengangguk kuat-kuat.
Tari mengangkat kepalanya perlahan, mendapati Kak Bram yang sedang tersenyum.
Tari menanti sampai makanannya habis, tapi Kak Bram tidak mengatakan apa-apa
lagi.
“Aku yang traktir..”
“Tidak usah Kak, biar
saya bayar sendiri,”
Pak Bambang hanya bisa garuk-garuk kepala melihat Kak
Bram dan Tari yang berebut untuk membayar. Tangannya sudah menyambut rupiah
yang terulur, namun uang itu segera ditarik lagi oleh yang lain. Pak Bambang kembali
menyembunyikan tangan yang sudah gatal ingin menerima pembayaran di balik
kalkulator. Keributan kecil di depan kasir menimbulkan dengung-dengung yang
mencoba menerka hubungan di antara keduanya, dan Tari, suka atau tidak suka,
dia memang menyukainya.
“Aku memang berniat mau
nraktir, Tari. Aku ulang tahun kemarin,”
“Hah? Serius Kak?”
Kak Bram mengangguk,
lalu menggeser Tari ke samping, “Ini Pak,”
“Maaf Kak, saya nggak
tahu kalau Kakak kemarin ulang tahun,”
“Santai aja. Aku juga
nggak tahu kapan kamu ulang tahun,”
Tari jadi merasa tidak enak setelah memesan tiga porsi
makanan, bukan karena Cuma perutnya yang bergejolak kepenuhan, juga gara-gara
Kak Bram yang harus membayar lebih banyak. Padahal tadi Kak Bram hanya memesan
goda-gado Mbak Munaworoh. Hari ini, 10 Desember, lima belas hari sebelum
natalan, Tari akan melingkarinya dengan tinta merah jambu. Hari ulang tahun Kak
Bram tidak akan dia lewati lagi tahun depan. Kak Bram mengedipkan sebelah
matanya seusai membayar, lalu mereka membalikkan badan bersamaan, mendapati
seseorang yang sepertinya telah lama menunggu di belakang.
“Kak Fanny,”
Tari
menyapa sambil tersenyum kepada orang yang menundukkan kepala dari tadi. Kedua
tangannya disembunyikan di belakang.
Tari agak heran karena kapten estafetnya itu tak segera menyahut, lalu
ia melirik pada Kak Bram yang juga tak merespon apa-apa. Tatapan Kak Bram
berbeda dari yang biasa Tari lihat, Kak Bram benar-benar kelihatan serius kali
ini.
“Fanny...”
“Kak Bram selamat ulang
tahun,”
Mulut Tari ternganga begitu melihat Kak Fanny menyodorkan
kado berbungkus kertas merah muda dengan pita merah marun yang diikat rumit di
atasnya. Sebuah keterampilan wanita dalam membuat simpul yang tidak akan pernah
dikuasai Tari. Rasanya Tari ingin segera mengambil bingkisan itu, lalu
membuangnya jauh-jauh. Bukan cuma kado yang membuat Tari kaget, tapi juga nada
bicara Kak Fanny yang seolah menahan sesuatu. Tari yakin ia sempat mendengar
ingus yang disedot dari orang yang terus menunduk ini.
“Maaf, saya baru bisa
ngasih kado sekarang...”
“Tidak masalah,” Kak
Bram sudah memegang pemberian Kak Fanny di salah satu sisinya.
“Saya pergi dulu,”
Bulir-bulir air mata terpantul saat Kak Fanny menyeka
matanya, dan Tari berharap tangisan yang terjadi bukan karena Kak Bram,
melainkan karena uang jajannya yang terkuras habis untuk kado yang mahal-mahal
dia beli. Kak Bram belum mengatakan apa-apa sampai Kak Fanny benar-benar
berbalik dan berlari di antara orang-orang yang lalu lalang, serta meja dan
kursi yang memenuhi ruangan. Tubuhnya mungilnya yang ringan itu cepat saja
menghilang, diantar kaki-kaki yang lincah bergerak seperti kilat. Sekarang Tari
tahu, mengapa sekolahnya selalu punya alasan untuk memenangkan lomba estafet
dan lomba lari sprint setiap tahunnya.
“Tari, kamu tidak
keberatan kembali sendiri kan?” kata Kak Bram setelah sekian lama diam.
“Ya....”
Kata-katanya belum keluar semua, namun Kak Bram sudah terlanjur
pergi. Dari caranya berbicara tadi, Tari tahu Kak Bram cemas. Meski sangsi
apakah Kak Bram bisa menyusul perempuan paling cepat di sekolah itu, Tari
merasa Kak Bram akan berlari sungguh-sungguh. Meninggalkan kantin begitu saja,
meninggalkan Tari, dan meninggalkan kekhawatirannya terhadap Kak Fanny yang
masih menempel di lantai depan kasir, yang mulai menular ke Tari secara perlahan.
Tari benar-benar khawatir sekarang, ada apa di antara keduanya?
***
Tim estafet putri sekolahnya terdiri dari sepuluh orang
pelari, dibagi ke dalam tim Alfa, tim Bravo, serta tim Camat. Tim Alfa
merupakan tim utama yang berisi empat siswi paling cepat, lincah, lentur, tidak
peduli kamu pendek atau tinggi, kalau kamu bisa merebut pita finish duluan,
kamu akan terpilih. Tim Bravo adalah pelapis tim Alfa, hanya sedikit kurang
beruntung karena mereka masih kalah sepersekian detik dari pelari Alfa. Empat pelari
dari tim Bravo biasa digunakan sebagai cadangan pengganti anggota Alfa yang
cidera, sakit, ada kepentingan keluarga, maupun meninggal dunia. Terkadang tim
Bravo ikut serta sebagai tim utama jika sekolah perlu mengirimkan dua tim
langsung dalam perlombaan. Dan seperti biasanya, tim Bravo masih belum bisa
mengalahkan tim Alfa.
Yang
terakhir adalah tim Camat. Hanya berisi dua orang yang dipilih unuk
menggenapkan kuota menjadi sepuluh orang. Disiapkan untuk menggantikan pemain
Bravo yang tidak bisa mengisi kekosongan di tim Alfa. Seperti namanya yang
merupakan akronim untuk ‘Cadangan Mati’, sepanjang sejarah terbentuknya tim
ini, mereka belum pernah ikut bertanding. Hanya menjadi cadangan selama
hidupnya. Bisanya mereka menempati bangku pemain paling belakang, lebih memilih
mengawasi timeline twitter dari pada mengamati kawannya bertanding. Mereka juga
biasanya ditugaskan untuk berjaga di tribun penonton, diminta pelatih untuk
memastikan dukungan bagi pelari di track-nya. Terinspirasi oleh penonton alay
di stasiun televisi.
Tiga
jenis seragam berbeda yang dipakai masing-masing tim merupakan aroma menyengat
kasta yang telah terbentuk berpuluh-puluh tahun. Kesenjangan di antara tiga tim
bisa juga terlihat dari jadwal latihan dan fasilitas yang mereka pakai. Tim Alfa dengan pakaian merah bermotif garuda
selalu latihan paling awal dan pulang paling cepat, mendahului kedua tim
lainnya yang terkadang baru pulang ketika adzan maghrib berkumandang.
Loker bernomor lima akhirnya terbuka. Tari mengeluarkan
sepatu lari, lalu mengurai talinya. Tari berdiri dan menatap dirinya dalam
seragam merah melalui kaca kecil di dalam loker, memperbaiki kuciran ekor
kudanya yang agak longgar. Kaca dengan sticker Kangmas Garuda, maskot tim Alfa
berupa garuda yang memakai blangkon, memantulkan beberapa orang di belakang
Tari yang memperhatikannya.
“Tari, boleh bicara
sebentar?” kata Kak Jessica.
Tari menoleh pada anak
kelas XI itu, “Ya?”
“Ini tentang Kapten,
tentang Fanny. Dia terlambat sepuluh menit dari jadwal latihan. Kamu tahu
kira-kira dia kenapa?”
Kening
Tari berkerut. Kenapa mereka menanyakan Kak Fannya padanya? Pikiran Tari
kembali pada kejadian istirahat tadi. Dia yang berbahagia walau hanya sekejap,
Kak Bram yang bibirnya melengkung tiba-tiba berubah menjadi lempeng perak
datar, dan Kak Fanny yang muncul mendadak lalu menghilang dalam sekejap. Tari
ingin mengangguk, tapi kepalanya hanya bisa menggeleng. Tari tahu, sesuatu
telah terjadi di antara keduanya.
“Tidak, saya nggak tahu
Kak,”
“Kata Amanda kamu makan
siang sama Kak Bram?”
“Iya,”
“Terus kalian ketemu
Fanny?”
“Iya,”
Kak Jessica menghela
napas, “Tari dengar baik-baik. Aku mau kamu memikirkan apa yang telah dan
sedang terjadi. Fanny itu mantannya Kak Bram. Mereka jadian di awal semester
dua angkatan kami. Tetapi sejak jadian, prestasi akademik Fanny menurun.
Bagaimana tidak, setiap jam pelajaran yang ditulis hanya namanya Kak Bram. Kak
Bram merasa bersalah pas ngelihat nilai raport Fanny, terus mutusin untuk
berpisah aja, biar Fanny bisa konsentrasi belajar. Emang benar sih nilai Fanny
membaik. Tapi mereka berdua memandang perpisahan itu melalui dua perspektif
yang berbeda. Kak Bram berpikir kalau mereka memang berakhir dan tidak ada
ikatan lagi, sedangkan menurut Fanny mereka hanya berada dalam status quo, yang
artinya mereka bisa kembali jika prestasi akademik Fanny mulai membaik.”
Kening Tari berkerut,
“Lalu?”
“Sejak awal semester
ini Fanny berusaha terus ngedeketin Kak Bram, meski udah aku ingatkan kalau Kak
Bram udah nggak punya perasaan lagi. Tapi anak itu emang keras kepala, apalagi
setelah kejadian kamu nabrak Fanny sebulan yang lalu, terus Fanny digendong Kak
Bram. Dia pikir Kak Bram masih suka sama dia. Tari, kalau memang sesuatu telah
terjadi di antara kamu sama Kak Bram, tolong jangan anggap itu serius..”
“Loh, kenapa?”
“Karena itu bisa
membuat tim jadi tidak kondusif! Fanny akan menganggap kamu merebut Kak Bram
dari dia! Tari, kita harus terus kompak! Lombanya tiga bulan lagi dan kita
ditargetkan untuk meraih juara nasional!”
“Kenapa aku yang harus
mengalah?” teriak Tari tidak mau kalah.
“Tari! Kamu jangan
egois! Lagipula kamu belum tahu bagaimana Kak Bram yang sebenarnya! Dia suka
gonta-ganti pacar, dan lagipula siapa yang tahu kalau dia ngedeketin kamu biar
bisa jauh dari Fanny....”
“Ehem...”
Seseorang
yang tidak diharapkan berdehem dari pintu masuk. Kak Fanny akhirnya datang
dengan mata yang bengkak. Matanya menelusuri semua anggota tim, tapi langsung
melompati Tari, tidak mau memandangnya. Suaranya terdengar dari dunia yang jauh
saat berbicara, terasa basah dan dingin saat meminta tim untuk berlatih. Tari
tetap berdiri menantang, seolah tidak terjadi apa-apa. Gigi Tari terasa ngilu
setiap kata-kata Kak Fanny numpang lewat di telinganya. Ia tak mau mengalah,
tak akan.
Tanda-tanda tidak beres mulai terasa ketika latihan. Sungguh
kondisi yang tidak menguntungkan karena mereka berada pada posisi berurutan,
ketiga dan keempat. Tari sudah fokus untuk berlari, menuggu aba-aba untuk
ditiupkan. Ia berharap Sang Kapten akan bersikap profesional, meniadakan
konflik yang terjadi di antara mereka. Maka Tari memejamkan mata sampai aba-aba
terdengar, menanti tongkat untuk datang padanya.
Tari
langsung berlari menyusuri jarak 100 meter yang memisahkannya dari pelari
keempat, bersiap untuk menyelipkan tongkat ke tangan Kak Fanny. Namun mata Tari
terbelalak saat mendapati tangan Kak Fanny yang menggenggam udara kosong.
Tangannya terkepal. Tari sudah menyentuhkan ujung tongkat padanya, namun Kak
Fanny tak bergeming. Ia tidak mau menerima.
“Kenapa harus kamu?”
tanya Kak Fanny tiba-tiba.
Tongkat estafet jatuh berkelontangan. Tari melepaskan
ujung tongkat yang tidak disambut pelari di depan. Ia hanya bisa terhenyak,
mendengar kaptennya yang mulai terisak. Pelari yang lain berteriak memarahi
Tari yang akan membuat tim terdiskualifikasi jika mereka sedang ada dalam
perlombaan benaran, sebagian mendekat ingin tahu kenapa aktivitas terhenti.
Pembina olah raga mulai tidak sabaran, lalu ikut campur.
Semua
beralih pada kakak kelasnya, membiarkan Tari berdiri sendiri di tengah lintasan
atletik. Ia mulai menggigil karena sikap dingin Kak Fanny, juga karena angin
sore yang menerbangkan daun-daun. Selama perhatian mereka teralih, Tari
memutuskan untuk kabur dari latihan. Dengan berbagai pikiran yang berkecamuk,
Tari menggondol tas dalam loker tanpa mengganti seragamnya.
Tari
melewati kanopi pohon trambesi kerdil hasil mutasi klub biologi. Daun-daun
rindang yang menutupi langit sepanjang 30 meter di sebelah barat, berakhir
sampai jalan kecil dekat parkiran motor. Sensasi biru mengganti kesegaran hijau
yang disukai mamanya. Tari menghembuskan napas kuat-kuat, berusaha mengelurkan
beban berat di hatinya. Semakin berat bebannya, maka hatinya yang ringkih akan
makin gampang untuk merengek lagi. Tari tak tahan lagi, ia butuh kamar untuk
bersedu sedan sekarang.
“Tari...” suara yang
tidak asing terdengar begitu Tari keluar dari gerbang sekolah.
Ia
menengok ke kanan, mendapati orang menyebalkan yang baru keluar dari shelter
bis Trans dekat sekolah. Baju batiknya dibiarkan keluar dan kancingnya terbuka
sampai kancing keempat dari atas. Anak itu mendekat sambil menggaruki kepalanya
yang ditumbuhi rambut lebih dari tiga centi meter, yang berarti telah melanggar
peraturan sekolah. Anak itu tersenyum, Tari tahu dia terpaksa untuk menimbulkan
kesan baik pada dirinya. Tapi tetap saja Tari eneg setiap bertemu dia. Reno
akan selalu pahit! Titik!
“Hai...”
“Pulanglah, ini sudah
jam lima,” kata Tari dengan suara tercekat.
“Aku nungguin kamu,”
“Apa maumu?”
“Em, well..” Reno
menggaruki kepalanya lagi, “Soal yang di lapangan basket tadi.... Aku... Aku
minta maaf,”
Tari menaikkan sebelah
alis, “Kamu tidak perlu minta maaf untuk apa pun,”
“Kata-kataku tadi
kasar. Sampai bikin kamu... nangis,”
“Hah? Siapa yang
menangis?”
“Kamu,”
Mata Tari melotot, “Aku
tidak menangis!” bentaknya.
“Ya kamu menangis! Aku
lihat tadi!”
“Aku tidak akan
menangis hanya karena hal seperti itu!!!!”
“Hah? Lalu kenapa kamu
menangis sekarang???!!!” kata Reno ngotot.
Tari
merasakan air mata yang mulai meleleh di pipinya. Mukanya memerah, ia tidak mau
menangis di depan orang ini. Terlalu memalukan. Tapi ia memang tidak bisa
menahannya lagi, dan tanggul Tari akhirnya jebol.
“AKU MENANGIS BUKAN
KARENA KAMU BODOH!!!”
Tari menamparnya. Ya, Tari telah menamparnya tanpa perlu
melayangkan tangan. Tari berharap kalimat itu bisa ia sedot kembali, ia
benar-benar tidak bermaksud mengatai Reno bodoh. Tari mengatupkan mulut, lalu
menutup dengan tangan. Wajah Reno tanpa ekspresi, dia hanya berdiri diam saja.
Ya Tuhan, apa lagi yang sudah dia perbuat terhadap orang ini? Debu-debu yang
terbawa angin menyesakkan Tari, tapi Reno masih tetap diam. Bunyi klakson
mobil, suara kernet angkot, nyanyian pengamen jalanan, dan tangisan Tari yang makin
menjadi, masih tetap tidak menggerakkan Reno.
“Bismu sudah datang,”
kata Tari di sela-sela isakan.
Reno akhirnya menoleh ke arah bis jurusan 3B yang baru
muncul. Ia masih belum beranjak sampai bis sudah merapat di shelter dan
penumpang ada di dalam sudah keluar. Reno melirik ragu-ragu pada Tari. Jangan
Reno, tolong jangan memandangku seperti itu, batin Tari.
“Tari, maaf sudah
membuatmu menangis makin keras,” katanya sebelum berlari menuju bis.
Tari hanya menganga, bingung mau melanjutkan menangis
atau malah tertawa. Astaga, ia belum mengerti juga maksud Tari. Bukan kamu yang
membuatnya menangis, Reno...
***
“Rr. Bestari Inggrid
Kartosasmito. Seperti biasa,”
Bu Nanik mengacungkan kertas ulangan yang segera diambil
Tari tanpa banyak komentar. Sembilan puluh delapan, tidak terlalu jelek memang,
tapi hasil ulangan minggu lalu itu tidak banyak membuatnya gembira. Tari menyeret
kakinya kembali ke kursi, lalu merebahkan kepalanya yang berat di atas meja.
Semalam matanya hanya bisa terpejam dengan kesadaran penuh. Ia tidak bisa tidur
sampai pagi. Tari mengusap kantung mata hitam yang terbentuk, semua gara-gara
si kapten estafet.
Satu per satu temannya maju untuk mengambil hasil.
Kebanyakan yang Tari dengar setelah mereka melihat nilai masing-masing adalah
keluhan tentang soal yang susah dan Bu Nanik yang terlalu pelit memberi nilai.
Termasuk Dita yang duduk di sebelah, terus mengomel tentang nilainya yang di
bawah standar kelulusan, tapi tidak berani protes secara langsung pada Bu
Nanik. Tari memiringkan kepalanya, tidak peduli dengan banyaknya orang yang
harus remidiasi. Yang sekarang ada di pikirannya hanya Kak Bram, Kak Fanny, dan
karirnya di tim estafet. Mana yang harus dia pilih, Tari masih bingung.
“Wah-wah. Ada kejutan
rupanya. Kamu akhirnya bisa ngelewatin nilai KKM juga ya,” kertas hvs putih
masih ada di depan mata Bu Nanik. Ia masih meniliti nama yang tertera di kertas,
kira-kira benar atau salah, “Alreno Atmadja, tujuh puluh delapan,”
Kelas jadi senyap seketika. Semua orang menahan napas
begitu mendengar kabar yang mengagetkan. Tari bahkan sampai bangun dari posisi
tidurnya, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Ini benar-benar geledek di
siang bolong, untuk pertama kali dalam sejarah, Reno tidak ikut remidi.
Mata-mata setiap kepala langung menoleh ke belakang, mencari orang yang bikin
kejutan pagi-pagi. Reno sama bingungnya ketika mendengar nilai tujuh puluh
delapan yang akhirnya bisa mampir juga dalam daftar nilainya.
Reno berdiri dengan gemetaran, lalu berjalan ke depan
seperti melayang. Tari jadi cemas anak ini bakal pingsan tiba-tiba. Kertas
dalam genggamannya ikut bergetar dan saat Reno melewati Tari untuk kembali ke
kursinya, mata mereka bertemu sejenak. Mata merah lawan mata bening, mata yang
menahan kantuk lawan mata yang diselimuti kekagetan, membentuk lintasan lurus,
tempat rahasia-rahasia yang mengalir di antara keduanya.
Keajaiban belum berhenti, karena sepanjang kelas biologi,
yang hari ini digunakan untuk me-review pelajaran selama satu semester sebelum
ujian akhir, tidak terdengar keributan dari baris belakang. Bu Nanik tidak
perlu repot-repot menegur lima sekawan yang biasanya cekikan sendiri. Barangkali
si dedengkot sedang meresapi indahnya mempunyai nilai biologi bagus.
Namun
harapan Tari supaya keadaan kelas tetap hening setelah jam biologi ternyata hanya
angan belaka. Mafia berudu mulai beraksi kembali dalam kelas sejarah. Tari mungkin
bisa menoleransi mereka kali ini, karena ia sendiri mengantuk dan tertidur saat
guru pria yang sudah bungkuk itu menjelaskan apa itu kyokenmodinger. Bahkan sampai jam istirahat, suara mereka terus menguasai
satu kelas, tertawa-tawa ketika main lempar penghapus papan tulis, mengganggu
Gideon, dan mengambil jajan anak lain tanpa permisi. Tari masih membenamkan
muka dalam lipatan tangan. Ia benar-benar masa bodoh sekarang. Ia mau tidur.
“Tari..” seseorang
mengguncang tangannya.
“Hmm,”
“Dicari Kak Bram,”
Tari mengangkat kepala. Kak Bram sudah ada di depan
pintu, melambai sambil tersenyum padanya. Dada Tari rasanya sesak, ia ingin meledakkan
kemarahan di depan Kak Bram, karena sudah berani membuatnya dalam posisi
tertekan, di antara perasaan suka yang bisa membuatnya tertawa seperti orang
gila dan kerelaan untuk melepasnya demi kesolidan tim estafet. Tawa Reno dan
kawan-kawannya masih terdengar. Suara bak-buk dari lemparan penghapus papan
tulis makin membabi buta. Tari, seperti biasa, hanya bisa menunduk di depannya.
Ia memejamkan mata agar air bening dari sudut matanya tidak keluar, maaf Kak
Bram, aku harus memilih sekarang.
“Habis pulang sekolah
kamu, errr, kamu mau nemenin aku minum kopi?”
“Saya nggak bisa Kak,
saya mau ke toko buku,” jawab Tari asal saja. ia tidak punya rencana untuk
pergi ke sana sebenarnya.
“Oh, gimana kalau kamu
ke toko bukunya yang di Mall Malioboro aja? Aku mau ngopi di sana,”
“Nggak bisa Kak,”
lehernya sakit karena menahan tangis, dan kepalanya puyeng karena keibutan di
dalam. Lima ekor berudu itu benar-benar menyebalkan, “Saya ada janji sama orang
lain. Kita mau ke Plaza Ambarukmo”
“Sama siapa? Dita?”
Kalau
menjawab Dita, maka Kak Bram gampang saja mengarahkan mereka untuk mengikutinya.
Ia akan kehabisan alasan untuk menolak meski ia sebenarnya mau menemani Kak
Bram-nya, kemana pun itu di seluruh dunia. Bayangan Kak Fanny yang terisak di
lintasan atletik kemarin muncul lagi. haruskah dia menyerah sekarang? Tari meremas tangan, ‘ya’. Alternatif nama
lain melintas di kepalanya. Astaga, anak ini benar-benar... Tawa nyaring Reno
menusuk-nusuk telinga. Reno, awas kau...
“Bukan Dita. Tapi Reno”
jawab Tari ketus, “Reno, kita jadi ke Gramed kan hari ini?” suara Tari cukup
keras untuk terdengar oleh anak yang langsung berhenti melempar penghapus.
“Hah?”
Keheningan menyelimuti kelas yang hanya berisi Kak Bram,
Tari, lima ekor berudu, dan Gideon yang menjadi bulan-bulanan mereka. Tari
mengumpat dalam hati, ia telah menggali kuburan baru untuknya sendiri. Tapi
untung saja hanya mereka yang mendengar, jadi Tari tidak perlu mati saking
malunya sekarang. Muka Tari jadi merah ketika tiba-tiba ada yang nyeletuk.
“Ciiiieeee, Tari dan
Reno....”
***
Tari membuka kotak masuk pesan dalam ponsel berlogo apel
yang sudah digigit miliknya. Ia menyeringai, akhirnya anak itu mau juga. Tari membaca
ulang percakapan melalui pesan singkat yang sudah berlangsung sejak pelajaran
kimia, dua jam sebelum kelas bubar.
‘Reno,
aku udah bilang kalau aku pergi sama kamu,’ sent 12.10
‘Terus?
Aku gak mau ikut campur sama urusan kalian,’ received
12.15
‘Tolong,
kali ini aja. Aku takut dia bakal berubah pikiran untuk pergi ke Plaza
Ambarukmo juga, dan dia akhirnya tau kalo aku bohong,’ sent 12.17
‘Bilang
sama dia aku memang nganter kamu, terus aku pulang duluan,’ received12.40
‘Aku
gak mau bohong. Setidaknya kamu benar-benar harus ikut ke sana,’ sent 12.41
‘Bodo
amat,’ received
13.05
‘Ren,
urusan kita yang kemarin belum selesai. Jangan membuatku menangis lagi
sekarang,’ sent
13.06
‘Anjrit!
Dasar cengeng! Jangan nangis!’ received
13.15
‘Berarti
kamu ikut?’sent
13.17
‘Ya,’ received
13.55
Reno sudah berdiri gelisah di dekat shelter. Wajahnya jadi
merah saat tahu Tari sudah muncul di sebelahnya. Mungkin dia marah, Tari juga
bakal begitu kalau jadi dia. Mereka langsung naik bis jurusan 1A, yang membawa
sampai ke jalan Solo. Bis saat itu penuh, jadi mereka berdua haya bisa
bergelantungan. Reno mengambil jarak sejauh mungkin dari Tari, pura-pura tidak
saling kenal.
Bis
akhirnya sampai di depan plaza. Mereka sekarang sedang berdiri di tepi zebra
cross, menanti arus kendaraan agar sedikit mereda. Tari melirik taku-takut pada
Reno. Anak itu masih diam sejak mereka berangkat. Mereka berdua masuk lewat
pintu barat, lalu naik eskalator sampai lantai tiga. Melewati beberapa etalase
baju import dan juga tempat permainan anak-anak, mereka tiba juga di depan toko
buku yang dituju Tari.
“Makasih ya udah mau
ngantar. Kalau kamu mau pulang sekarang nggak apa-apa,” kata Tari sambil
tersenyum. Reno hanya mengangguk setelah itu menghilang. Hah, Tari kini
sendirian.
Sekarang ia benar-benar bingung. Rak-rak yang memajang
buku-buku fantasi dan novel terjemahan luar negeri ini sudah dia datangi lebih
dari lima kali hanya sekedar untuk membolak-balik, lalu membaca sinopsisnya. Tari
membeturkan kepala pada rak kayu yang memajang trilogi Hunger Games. Bahkan jika
dia tertarik pada sebuah buku, ia tak punya cukup uang untuk membelinya.
Tari melanjutkan penjelajahan lagi pada bagian
anak-anak, mendapati serial Lima Sekawan yang dulu dia gandrungi. Ia hampir
punya seluruh serinya, tapi beberapa hilang saat di Jakarta dulu. Teman-temannya
banyak yang meminjam, ada yang lupa, sebagian ada yang pura-pura lupa untuk
mengembalikan. Tari duduk di kursi empuk yang melingkari tiang di dalam toko,
menyandarkan kepalanya yang dijejali alunan Jazz ringan. Tari menguap, jam
tangannya menunjukkan ia sudah satu jam berada di sini. Lebih baik ia pulang
sekarang, ia mengantuk dan lapar.
Sesosok tubuh sudah mencuri perhatiannya saat ia baru
saja mau keluar. Dari sudut ini, Tari yakin ia mengenal orang itu. Ia melangkah
pelan, meredam bunyi sepatu sekolah yang menapak lantai. Benar, orang itu
berdiri di depan pintu masuk, memandang manusia lain yang lalu lalang.
“Reno?” panggil Tari.
“Oi,” Reno gelagapan
saat menjawab.
“Kukira kamu udah
pulang,”
Reno perlahan-lahan
menjulurkan tangan yang ia sembunyikan di belakang punggung. Ia menggenggam
kantong plastik berisi satu keranjang ayam kentucky, “Aku sekalian mau bayar
utang,”
Mereka duduk di kursi, di halaman depan plaza yang
berbatasan langsung dengan jalan raya. Banyak orang yang melakukan hal yang
sama, hanya sekedar duduk sambil mengobrol, ngemil, maupun merokok di bawah iklan
rokok yang bertengger di lampu jalanan. Padahal iklan rokok sekarang tampil
agak garang, ada gambar tengkorak dengan tulisan frontal ‘merokok dapat membunuhmu’. Petugas kamanan yang memegang penanda bertuliskan
‘STOP’ membantu menyeberangkan orang dari satu sisi ke sisi lain, menghentikan
kendaraan yang seenak jidat nyelonong.
Tari
meminta berhenti sebentar di sini agar ia bisa memijat kakinya yang pegal,
setelah itu beralih pada keranjang ayamnya. Ia meletakkan tutup bulat putih
setelah berhasil membukanya, lalu mencomot satu bagian paha dan langsung
menyantapnya. Bunyi kriuk tepung garing yang ia gigit membuatnya bertambah
lapar. Tari menutup mulut dengan tangan, menyembunyikan remah-remah yang
melompat. Reno hanya memperhatikan dengan mulut sedikit terbuka.
“Ayo bantu,” Tari
menyodorkan keranjang ayam padanya.
“Tidak, buat kamu saja,”
“Aku nggak mungkin
menghabiskan ini sendiri. Ayo,”
Reno menatap Tari yang tersenyum, lalu ikut merogoh ke
dalam keranjang, mengambil bagian sayap dan memakannya.
“Ternyata kamu berbakat
biologi juga ya?”
“Hmmm,” gumamnya, “Itu
belum 100% kemampuanku,” kata Reno.
Seringai
Tari makin lebar saat melihat Reno yang asyik menggerogoti ayam keduanya. Reno
kemudian mengelap tangan dengan tisu, setelah itu mangambil tisu lain untuk
membungkus ayam yang belum selesai dia makan. Ia mengambil tasnya, lalu
mengobrak-abrik untuk mendapatkan sesuatu. Reno mengeluarkan buku blok berwarna
hijau yang pernah dipinjamkan Tari. Ringkasan biologinya dari berbagai sumber. Catatan
saktinya.
“Maaf baru
kukembalikan. Ini cukup banyak membantu, makasih ya,” Reno menyodorkan buku
tanpa berani menatap Tari.
Hati
Tari mencelos. Ia teringat tulip putihnya. Tari memandang Reno ingin tahu,
apakah anak itu berhasil mendapatkan pesannya. Tari menghela napas, ya sudahlah
kalau tidak. Ia akan minta maaf suatu hari nanti secara langsung. Jadi sekarang
Tari menguatkan hati, mencoba untuk berbicara lembut padanya.
“Bilang saja kalau kamu
butuh sesuatu,”
Derum bis Trans berwarna hijau yang datang terlambat lima
menit mengawali perjalanan Tari menuju rumah. Bis masih sama penuhnya seperti
saat mereka berangkat dari sekolah, namun kali ini mereka cukup beruntung
mendapat dua kursi kosong menyamping yang menghadap pintu. Mereka sempat
bertukar pandang canggung saat harus duduk berdekatan dan saling tempel seperti
ini. Reno langsung membuang pandangannya ke arah supir, meski terhalang orang
yang menggelantung di depannya. Sedangkan Tari sendiri hanya menatap kernet
yang menyebutkan pemberhentian selanjutnya.
Tari menikmati goncangan dalam bis, saat sesekali bis terpaksa
masuk lubang kecil, maupun saat supir bis mengerem mendadak dan memasukkan persneling
dengan kasar. Tari membiarkan tubuhnya mengalun, dengan suara obrolan berisik dalam
bahasa Jawa, juga semilir angin yang satu dua kali lewat begitu pintu otomatis
terbuka di setiap pemberhentian. Ia benar-benar bersyukur sekarang, atas
hidupnya, atas hari ini, mengacuhkan masalah tentang Kak Bram dan tim estafet
yang menghilang bersama asap kendaraan. Tari mengelus perutnya yang penuh
terisi ayam-ayam taruhan Reno, dan mulai memejamkan matanya, terlena dengan indahnya
hidup yang bisa dinikmati bahkan dalam keruwetan bis Trans Jogja sekalipun.
Tari hanya ingin tersenyum terus sekarang,
mengantar kesadarannya yang makin menurun sampai benar-benar menghilang. Kepala
Tari terkulai lemah, bersandar pada pundak orang di sebelahnya. Tari sudah
jatuh tertidur, tidak peduli bahwa harum melon rambutnya telah membuat
panas-dingin tubuh anak laki-laki di sampingnya. Jantung Reno berdegup makin
cepat saat menemukan senyum damai pada bibir lembut gadis cantik ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar