Klik...
Lampu kamar akhirnya menyala juga. Tari berjalan
terhuyung-huyung menuju kasur, lalu melemparkan diri di atasnya. Ia tak
menyangka tiba di rumah jam segini. Astaga, satu jam di dalam bis Trans. Tari
memijat pelipisnya, ingin menghilangkan rasa pusing yang ia dapat pada
saat-saat terakhir. Tari berusaha mengingat apa yang terjadi. Tari
berguling-guling di atas kasurnya, memikirkan sesuatu yang mengerikan. Reno
membangunkannya ketika Tari tanpa sengaja bersandar. Astaga, pipi Tari bersemu
merah. Semoga saja tak terjadi. Semoga anak itu tidak memperhatikan kalau Tari
sempat ngiler dan ngorok dalam tidurnya. Sungguh memalukan.
Perutnya tiba-tiba bergejolak melihat menu makan malam.
Betapapun Tari adalah pecinta ayam goreng, memakan hampir lima potong ayam Reno
sore tadi cukup membuatnya mual. Kini ditambah ayam tepung buatan Mbak Jum yang
mejeng di atas meja, Tari hanya bisa menebak rasa nikmat ayam mbak Jum hanya
akan terasa seperti buntalan kapas tawar. Aaahhh, belum lagi dengan bahaya
kolesterol yang mengintai sehabis mengonsumsi frenchise dari Amerika itu, Tari
akhirnya hanya mengambil tempe dan menuang sayur asem ke dalam piring.
“Ayamnya kok nggak
dimakan, Tari?” kata mama dari balik papan liquid metal yang selalu dia bawa
kemana-mana. Jemarinya sibuk memencet layar.
“Tempe aja Ma. Ayamnya buat si Reza aja, biar
dia nggak keder kalau berdiri di antara teman-temannya,” seringai Tari
terbentuk saat melirik adiknya yang pendek dan gemuk itu.
“Nggak masalah kalau
aku makannya banyak. Aku nggak bakalan berdiri di depan kaca, meratapi
lemak-lemak yang ada di perut dan paha,” kata Reza cuek.
“Oi! Tutup mulut ya!
Dasar tukang ngintip!”
“Beeeeeekkk!!!!” Reza
menjulurkan lidah mengejek Tari yang sudah berdiri dari kursi.
“Sssssstttt.... Jangan
berkelahi terus! Kalau papa sampai tahu kalian kayak gini, darah tingginya
bakal naik lagi,” mama menurunkan gadget-nya, mengawasi mereka satu per satu, kemudian
kembali asyik memandang layar tipis itu, “Mbak Jum, ini loh ada resep baru.
Kambing Muda Merinding Disko namanya. Hmm, kayaknya enak nih. Ini resep dari
chef Haryo, tolong besok dibikinin ya,”
“Ma, ingat loh Papa
darah tinggi,” kata Tari.
“Ya Papamu jangan makan
dagingnya, biar dia makan tomat sama wortelnya aja,”
Tari tersedak kacang panjang dalam sayurnya. Hah, kasihan
papa yang makin mirip kelinci itu. Tidak boleh makan ini dan itu, tersandera
gula dan tekanan darah tinggi. Tari menatap kursi kebesaran papanya yang masih
kosong. Papanya hanya laki-laki biasa yang terjebak cinta dengan perempuan
ningrat. Sama seperti Tari, papa hanya seorang jawa yang hampir kehilangan
identitas. Papa adalah pengguna pasif bahasa Jawa, hanya bisa mendengarkan
tanpa bisa berbicara. Tari selalu merasa lucu kalau menyimak papanya yang
mencoba mengatakan satu dua kata kromo inggil lewat lidah kaku miliknya. Papa
sejak kecil memang mengikuti orangtuanya yang merantau ke Sumatera. Tari jadi
ingin tahu bagaimana papanya bisa meyakinkan ayah mama, eyang yang kumisnya
seperti sherrif Amerika itu.
Sebenarnya
mama termasuk orang yang cukup keras dan bangga dengan identitasnya sebagai
priyayi Jawa. Tapi siapa yang tahu cinta? Tidak peduli darah apa yang mengalir
dalam nadimu, semenjak dia ikut masuk dalam hembusan napas, cinta menjadi
semacam noda kopi yang susah dihilangkan dari seragam putih SMA. Walau banyak
kesenjangan yang susah untuk dikaburkan, gengsi mama akhirnya luntur juga untuk
lelaki itu. Semuanya berani mama korbankan kecuali satu: Karir.
“Aku sudah tiga tahun
capek-capek kuliah, lalu mesti magang pula biar dapat sertifikat advokat,
sekarang kamu seenak jidat menyuruhku untuk menjaga anak dan mengurus dapur
doang, hah? Pulangkan saja aku pada orang tuaku sekarang!”
Tari menggeleng kuat-kuat, menghapus
imajinasi liar tentang mama yang suara nyaringnya menggema di sebuah ruang
interogasi, memarahi karyawan bank swasta yang jarang sekali dapat promosi,
yang kini resmi jadi suaminya. Bahkan setelah menikah bertahun-tahun kesenjangan
itu pun tetap ada, antara pengacara cemerlang yang sering masuk koran, dan
kepala bagian penagihan kredit yang biasa-biasa saja.
“Papa kemana sih? Kok belum pulang?”
“Hmm, dia lagi nemenin
anak buahnya nagihin utang. Habis imlek gini pengusaha-pengusaha banyak
alasannya,”
“Papa nggak nyewa debt
collector?” kata Tari sambil menyeruput kuah sayur asem. Ngeri \juga
membayangkan papanya datang ke rumah customer didampingi orang-orang berbadan
hitam besar.
“Halah, mana berani
papamu. Dia takut masuk penjara kalau ada kejadian macam-macam,” mama akhirnya
selesai dengan gadget-nya, lalu menyendok nasi merah ke dalam piring, “Tar,
mama mau bikin rumah kaca,”
Kening Tari berkerut, “Mama
jadi nanam tulip?”
“Siapa yang mau nanam
tulip? Mama mau budidaya strawberry. Ibu-ibu ngomongin strawberry terus setelah
pulang arisan dari cafe strawberry. Oh ya, tolong cariin info tentang rumah
kaca ya,”
“Emang mama mau bikin
sendiri?”
“Kalau bisa kenapa
enggak?” ucapan terakhir mama seperti menyedot muka Tari ke dalam piringnya
yang masih penuh sayur. Astaga, mama muncul lagi dengan obsesi gilanya.
Tari mengucek matanya yang mulai lelah dan merah karena
radiasi komputer. Jemarinya memutar scroll mouse, menurunkan halaman pada
website yang hanya dibacanya sekilas. Rencananya mama akan membangun rumah kaca
impiannya di halaman belakang, berukuran 4x4 meter, dengan atap segitiga yang
melengkung pada bagian atas. Mama akan menjadi arsitek dadakan, dan barangkali
Tari akan jadi buruh dadakan juga. Astaga, entah apa yang akan dikatakan papa
jika medengar biaya yang harus dikeluarkan. Tidak murah untuk membeli acrilyc
sebagai dinding transparan yang membatasi lahan garapan strawberry dari
lingkungan sekitar yang terlalu panas untuk tempat tumbuh. Belum untuk bibit,
pupuk, dan juga alat-alat canggih yang sudah masuk daftar belanja mama.
Hujan lagi malam ini, gemuruh makin keras di luar. Rasa
dingin dari udara yang merambat melewati ventilasi mulai merayapi kulit Tari.
Rambut-rambut di tangan dan tengkuknya menegak, entah karena hawa yang adem
atau suasana malam jumat yang bikin merinding. Gadis ini tiba-tiba bergidik,
teringat kisah misteri dibalik Jogja yang mistik. Tari langsung saja duduk
tegap, jantungnya saling buru, pendengarannya jadi awas ketika kaget sendiri
mendengar suara pesan masuk dari smartphone berlogo apel yang sudah digigit.
Sial.
Tari beranjak menuju kasurnya, menarik tasnya yang masih
tergeletak di dekat bantal. Tangannya merogoh ke dalam kompartemen tas paling
depan yang cukup luas. Tari mengeluarkan smartphone yang masih berderit-derit,
seiring dengan pesan yang masuk terus-terusan. Layar sentuh yang langsung
disapu Tari dengn telunjuk itu menunjukkan tiga pesan masuk, dua dari nomor
tidak dikenal dan satunya lagi dari Dita. Pesan pertama yang ia baca adalah
dari nomor tak dikenal, pesan paling baru yang ia terima.
“Tari
apa kamu menerima sms-ku? Kamu bisa membalas dengan segera?” received 21.38
Jari Tari bergerak lagi, menyentuh tombol keluar dan
mencari pesan yang lain. Barangkali si pengirim telah mengirimkan pesan
sebelumnya. Tari membuka pesan yang masuk lebih dulu, namun yang ia dapati
hanya promosi dari provider seluler dan Dita yang menanyakan tugas kimia. Tari jadi tergelitik, ingin tahu siapa yang
tiba-tiba menodongnya dengan pertanyaan seperti itu. sepertinya orang yang tak
dikenal punya sesuatu yang penting untuk dibicarakan, namun sampai akhirnya
Tari meletakkan kembali smartphone berlogo apel digigit miliknya dan beralih
mencari-cari buku dalam tasnya, sms dari orang tak dikenal itu terlupa begitu
saja.
Tari mengeluarkan lima buku catatan yang disampul bening,
buku paket matematika dan kimia, dan buku blok hijau berisi ringkasan biologi
yang baru dikembalikan Reno. Keningnya kembali berkerut begitu melihat kertas yang
nampak dari sisi kanan buku agungnya sudah kelihatan tidak mulus lagi. Sejak
kapan kertas bukunya jadi keriting seperti ini? Dasar tidak tahu diri, sudah
baik-baik diberi pinjaman malah merusak buku orang! Hati Tari remuk redam ketika
mengecek kerusakan apa saja yang terjadi karena anak itu.
Lembar
per lembar mulai dia buka sampai ke halaman terakhir yang dia tulis. Tari sudah
siap meledak saat merasakan ganjalan dari halaman di belakangnya. Ada sesuatu
yang cukup besar sudah diselipkan di sana. Tari menyibak halaman yang hanya dia
tulisi setengahnya itu dan mulutnya ternganga
menemukan sesuatu di baliknya. Seseorang telah menulis dan menyisipkan
sesuatu di bukunya. Mata Tari melebar saat mendapati huruf-huruf yang membentuk
kata, lalu jadi kalimat yang memiliki arti dalam bahsa Indonesia itu. Hanya
beberapa baris yang sudah cukup menarik rahang bawah Tari agar terbuka.
Wajahnya mulai panas, dan tangan Tari cepat-cepat meremas kertas yang membuatnya
malu setengah mati. Ia ingin merobeknya, lalu membakar dan melarung abunya ke
laut.
Namun
Tari bimbang. Gadis kecil yang sembunyi di balik tirai merah muda kalbunya kini
tersipu. Bukan hanya karena kalimat manis yang berhasil membuatnya ketar-ketir,
tapi juga setangkai bunga layu yang meninggalkan noda merah pada kertas yang
membuatnya gemas. Tari pelan-pelan melepaskan genggamannya, lalu meratakan
kertas yang sudah dia kucek-kucek itu. Tari mengambil kembang di tengah buku,
membenarkan tiap helai kelopak yang tidak lagi tegak. Tari membaca kembali
dengan malu-malu, meresapi setiap tetesan tinta yang tertuang. Lagi, ia membaca
dari atas, mengabaikan senyum yang tidak mau menghilang dari wajahnya. Barangkali
ia akan membiarkan saja tulisan bocah itu di sana. Walau acak-acakan dan banyak
coretan di sana-sini, Tari tak sanggup untuk mengomel tentang matanya yang jadi
sakit setelah memindai huruf-huruf alfabet yang tertera. Hatinya kini terasa
lapang begitu tahu Reno bisa memakai otaknya juga.
Hai, terima kasih untuk tulpi tulipnya.
Sudah layu, tapi tetap saja berarti. Aku tidak tahu mau membalas dengan apa
saat itu, alasan yang membuatku menahan bukumu lebih lama. Sebaiknya kamu
bilang secara langsung, jadi aku tidak perlu sampai repot-repot pusing-pusing berburu bunga di pasar kembang. Ini mawar,
agak murahan memang. Tiidak ada hubungannya dengan masalah maaf-memaafkan. Tapi
ini, mawar, tanda maaf yang tumbuh dari kerak-kerak batu dalam kepala. Susah
awalnya, tapi permintaan maafmu sudah diterima.
Reno
***
Decit-decit sol sepatu basah di atas lantai berubin
abu-abu, suara nyaring orang-orang yang saling bertanya jawab, keriuhan di
waktu istirahat yang jarang sekali terjadi, mengiringi waktu yang terus
terpotong sampai ujian akhir semester satu yang kurang dari tujuh hari lagi. Tari
makin merapat ke dinding sekolah. Dingin dinding makin menembus punggung Tari.
Sesekali ia melihat ke arah pintu. ia tidak berusaha menghindari teman-temannya
yang selalu bertanya keroyokan belakangan ini, tapi ia hanya enggan menampakkan
diri di depan Reno yang sekarang sedang mengerjai Gideon lagi. Tari
menyembunyikan wajahnya begitu Reno menoleh. Wajahnya memerah, kalau saja bukan
karena tulisan itu, ia mungkin akan memaki Reno seperti biasa. Tari berjengit
ketika suara suram yang dibisikkan perlahan dari belakang mengagetkan Tari. Ia
mendekap mulutnya dan langsung memelototi Pak Agus yang ekspresinya datar.
“Sugeng siang mbak,”
“Pak Agus! Jangan
ngegetin!”
“Mbak Tari ngopo’e
sembunyi neng kene?”
“Siapa yang sembunyi?”
kata Tari tak sabaran.
Pak Agus seperti beberapa minggu terakhir,
masih sama sendunya. Senyuman genitnya, sapaan sok akrabnya, dan basa-basi lain
yang biasa dilambungkan setiap bertemu siswa putri tidak keluar kali ini. Pak
Agus menghela napas lalu menggeleng dan pergi. Bukan hanya dia, tapi juga
kelompok gangster berudu yang sedari tadi tertawa melihat Gideon berputar-putar
di tempat, kini diam sebentar memperhatikan Pak Agus yang berjalan dengan
pundak naik turun. Apa gerangan yang membuatnya seperti itu? Apa dia patah hati
lagi? Setahu Tari laki-laki berkepala tiga yang suka menggoda kaum hawa itu
sedang sibuk pedekate dengan Mbak Munawaroh, pedagang gado-gado yang membuka
los di kantin.
“Hei Tari! Kamu nolak
Pak Agus lagi ya? Hahahaha,” tawa Viktor yang menular pada kroni-kroninya yang
lain, menusuk-nusuk lapisan tipis gendang telinga Tari.
Sinyal-sinyal listrik yang sampai pada
pengolahan informasi dalam otak telah menyalakan kembali kemarahan permanen
yang selalu ada untuk kelima orang ini. Tari berjalan garang mendekati mereka,
bibir dan tatapan matanya berlomba menjadi semakin tipis. Viktor tahu, dia
telah mengorek singa betina yang sedari tadi diam
“Tutup mulutmu,”
Seringai Viktor makin
lebar, ia telah mendapat mainan baru, “Gak mau. Cewek galak koyok kowe
syukur-syukur ono seng gelem. Mbok yo Pak Agus ojo ditolak meneh, ahahah,”
Diam, ia hanya memandangi satu per satu dari mereka dalam
diam. Tari tak pernah mengerti bagaimana mereka bisa menertawai guyonan yang
tidak pernah terasa lucu olehnya. Anak-anak di depannya tertawa terbahak-bahak,
menenggelamkan Tari yang berbalut amarah. Tari mendapati Reno yang sama
girangnya, menepuk-nepuk lutut dan memeluk perutnya sendiri. Anak itu kembali
jadi menyebalkan, meninggalkan Tari yang malu karena sempat tersipu dengan
coretan-coretan Reno semalam. Gideon yang menundukkan wajah makin merepet pada
Tari, menyadarkan gadis ini kalau dia adalah sandera mereka. Tangan Tari yang
dari tadi gatal ingin membekap mulut anak-anak itu kini bergerak cepat
menyambar tangan kecil Gideon.
“Dion, ayo pergi. kalau
lama-lama di sini kamu bisa ikut-ikutan sinting juga,”
Mereka berdua baru saja berjalan ketika Tari merasa
tangan Gideon menahannya. Tari menatap marah Gideon yang menggeleng,
menjelaskan kalau ia tak bisa bergerak. Tari lalu menarik tangan Gideon dengan
kasar sebelum tahu kalau di sisi yang lain, Reno sedang menahan dengan menarik
ikat pinggang Gideon. Gideon meringis, kesakitan karena pergelangan tangannya
yang terus ditarik dan diremas Tari, juga Reno yang membuat rasa perih pada
kulit di pinggangnya. Dalam beberapa detik kemudian Tari kaget karena terjorok
ke depan, membebaskan usahanya yang tertahan, ditambah dengan Gideon yang
menubruk dari belakang begitu Reno berhenti memegangi ikat pinggangnya.
Semburat merah muncul dari pori-pori wajah Gideon yang
ditumbuhi rambut-rambut halus. Mereka tak pernah sedekat ini. Tari menunduk,
berusaha mengelak dari Gideon yang menatapnya ingin tahu. Kembali anak-anak
nakal itu tergelak-gelak, sementara teman sekelasnya yang lain, yang dari tadi
hanya menonton, terperangah. Sebagian ikut terbahak. Tari memicingkan
telinganya, menyaring tawa yang sepertinya terasa kurang. Ia menoleh ragu-ragu
ke belakang, mendapati Reno yang hanya nyengir. Bel tanda istirahat selesai
telah berbunyi, menyadarkan Tari kalau ia cukup lama hanya berdiri di depan
kelas, lalu tanpa pikir panjang berlari ke kursinya, duduk manis dengan kedua
tangan bersedekap di atas meja.
“Tari, kamu nggak
apa-apa to? Mereka keterlaluan banget tadi,” tanya Dita.
“Nggak apa-apa. Mereka
akan kena batunya nanti,”
Sejak
tadi bulpen Tari tak lepas dari genggamannya, menari-nari di atas bukunya. Yang
dikerjakannya tidak sama dengan soal matematika yang sedang dikerjakan Gideon
di papan. Dita menatap penuh selidik setiap Tari menghembuskan napas
keras-keras, melampiaskan isi hati dan otaknya. Rasa penasaran akhirnya
mengundang Dita untuk melihat lebih dekat ke buku Tari, dan dia hanya bisa
berjengit. Dita tahu kenapa Tari tidak maju ke depan untuk menyelesaikan
persamaan, karena gadis itu sibuk menggambar lima orang dengan berbagai
skenario mengenaskan.
Tari melirik Dita, lalu melayangkan senyum kecut.
Awalnya Dita mengira Tari bermain hangman,
sampai Dita cukup yakin lima orang yang sedang digantung adalah sosok penghuni
baris belakang yang sudah dijadikan model dalam karyanya. Ya, karena Tari
dengan sengaja menulis nama di atas tiang gantungan sosok paling menderita,
dengan luka dan cipratan cairan di mana-mana, memperjelas kalau dia Reno.
“Menyebalkan. Sangat
menyebalkan,” kata Tari sambil menusuk-nusuk gambar kepala yang dinamai Reno
dengan bulpen.
Hari jumat selalu terasa pendek, mungkin karena waktu
pulang sekolah yang lebih awal dari hari-hari biasa, perpustakaan yang tutup
lebih cepat, loket layanan sipil yang sudah tutup sebelum jam dua, dan
orang-orang yang solat jumat. Bahkan tanpa melakuka kegiatan apapun jumat
selalu terasa sekilas saja lewat, sebuah peralihan dari hari sibuk menjadi hari
libur. Ya, sabtu masih masuk dalam jadwal sekolah sih, tapi Tari lebih suka
menyelipkannya dalam kelompok ‘tanggal merah’ karena pada hari itu mama dan
papa akan ada di rumah, makan siang satu meja bersama Tari dan adiknya, pergi
bersama naik mobil tanpa tujuan, atau hanya nonton tivi saja berempat. Sabtu,
cuti bersama untuk pegawai swasta dan pegawai negeri juga, tetapi Bu Nanik
selau merasa tidak adil dan sempat protes.
“Lah, terus guru itu
apa? Kita juga statusnya PNS. Kalau mau adil ya juga diliburkan. Toh anak-anak
juga senang-senang saja kalau tidak sekolah,”
Tangan Tari tergantung bebas di sofa ruang tengah dengan
tangan sebelahnya menutup mata. Dia sudah berbaring di sana sejak pulang
sekolah, masih memakai pakaian sekolah lengkap, yang hari jumat berupa seragam
pramuka. Dia punya waktu empat jam sampai jam 3 nanti sebelum guru privat
musiknya datang untuk mengajar. Tari menggoyangkan kaki yang masih terbungkus
kaos kaki hitam, mengikuti musik Tchaikovsky yang bermain di kepalanya,
sementara pikirannya terus bekerja mencari ide, bagaimana caranya menghentikan
Reno.
Dertt.. derrtt... dertt...
Tari meraih smartphone-nya yang berlogo apel digigit,
lalu membuka pesan yang baru masuk. Keningnya mengernyit, dari nomor yang tidak
dikenal lagi. Astaga, dia lupa membalas pesan dari nomor yang sama kemarin.
Mungkin orang ini punya berita penting.
“Tari,
kamu nerima sms-ku yang semalam? Bisa tolong kamu jawab? Bisa kita ketemuan?” sent 12.14
Ia baru mau
menjawab ketika ponselnya berderit lagi, kali ini diiringi nada konvesional
telepon sedunia. Tebakannya salah ketika membca nama yang tertera di layar.
Bukan nomor yang tidak dikenal melainkan Dita.
Kriiingg...
“Halo Dit,”
“Oi Tari, aku mau ke tempatmu.
Mau nanya matematika. Boleh kan? Aku ke sana ya, bye.. byee.. eh, udah makan
siang belum? Kubawain burger ya, hehe. Dada... tut...tut..tut...”
Tari mengehembuskan napas sekuat mungkin. Dia bahkan
belum mengiyakan apa-apa dan Dita membuat keputusan sepihak seperti itu. Mau
bagaimana lagi? sahabatnya dalam perjalanan ke sini. Tidak apa-apalah
mengorbankan waktu istirahat siang untuk membantu Dita yang kepalanya selalu
berasap setiap berhadapan dengan matematika. Toh dia juga bisa sekalian belajar
untuk ujian semester yang kurang dari seminggu. Tari beralih pada ponselnya
lagi, mengetikkan ‘Maaf, dengan siapa
ya?’ Sampai Dita akhirnya muncul, nomor yang sama belum membalas.
Penasaran, ya, Tari mulai penasaran.
“Tar, habis kayak gini
terus gimana?” Dita menunjuk soal yang baru dikerjakan setengah dengan pensil,
sementara mulutnya sibuk mengunyah burger.
Tari
mengambil pensil yang dipegang Dita, lalu mulai meneruskan, membagi yang perlu
dibagi, mengurai tangen, membaginya lagi, lalu mendapatkan hasil yang diberi dua garis di bawahnya. Setelahnya, Tari
kembali memandangi layar ponsel, menunggu pesan dari nomor tak dikenal yang
belum datang juga.
“Tari, aku cuma nanya gimana, apa udah bener atau
belum. Aku nggak nyuruh kamu ngerjain”
“.....”
“Tari....”
“Ya?” Tari mengalihkan
perhatiannya pada Dita yang kini bersedekap dan cemberut.
“Kamu ngapain sih? Itu
hape dari tadi di depan mukamu terus,” Dita bertanya menyelidik.
“Oh, ada orang nggak
dikenal yang sms semalam. Tapi baru kujawab tadi. Udah lima pesan yang terkirim
tapi nggak dibales juga sama dia,”
Dita tanpa permisi langsung merebut smartphone Tari, dan
mulai melakukan penyidikan, membuka berkas-berkas pesan sahabatnya. Matanya
bergulir dari kiri ke kanan, lalu jarinya menyapu layar ke atas. Dahinya kemudian
berkerut, lalu Dita merogoh ponsel miiknya yang jadi saingan berat merk apel
digigit. Dita menengok ponselnya, lalu kembali kepada ponsel Tari.
“Tari...” panggil Dita.
Suaranya seperti cenayang yang berhasil memecah rahasia masa depan.
“Hmmm...”
“Sepertinya ada yang
nge-fans sama kamu,”
Tari
tertawa kecil. Merupakan rahasia umum kalau banyak yang jatuh hati padanya dan
dia sendiri tahu itu. Baiklah, ternyata ini bukan hal penting, dia seharusnya
tidak perlu berlaku konyol seperti tadi, menanti jawaban dari nomor tak
dikenal. Hanya sekedar fans yang lain ternyata.
“Hahaha, siapa lagi
Dit?”
“Tari, ini nomor Kak
Bram!”
“Hah??????!!!!”
***
Smartphone itu tergeletak berantakan; tutup belakangnya
sudah terlepas, baterainya tercabut, dan SIM card-nya kini ada dalam genggaman
Tari. Tari melakukan hal yang sama pada ponsel biasa berisi nomornya yang lain.
Setelahnya Tari keluar dari semua akun media sosial, offline untuk beberapa
saat. Ia sudah memutuskan, menghindar dari seseorang yang selalu membuatnya
tertawa sendiri selama hampir satu semester. Sejak terakhir kali Kak Bram
mengajaknya ke kantin, mereka belum pernah bertemu lagi.
Tari menyandarkan kepalanya yang puyeng pada spring bed.
Kalau saja Kak Fanny tidak datang dan mengacaukan segalanya... Tapi dia tak bisa
disalahkan juga, Kak Bram lah yang terlalu cemerlang untuk menawan keduanya.
Senyum Kak Bram tiba-tiba terlintas. Ini benar-benar tidak adil. Tari sudah
berusaha untuk menghindar, melupakan Kak Bram yang selalu bisa membuat hatinya
serasa mau pecah, memberi kesempatan pada Kak Fanny untuk berdekatan lagi
dengan laki-laki itu. Hati Tari terasa nyeri lagi, pantas saja tidak pernah ada
wanita yang mau dimadu. Sulit ternyata berbagi laki-laki. Orang bilang cinta
tak harus memiliki, aaahhh, semuanya omong kosong!
Sampai minggu pagi ini pun sama, Tari masih terisolir
dari dunia maya dan tidak bisa dihubungi lewat ponselnya. Sesekali ia hanya
menyalakan smartphone-nya lagi jika ingin meminta jemputan dari papa atau supir
kantor papa. Papa tak punya cukup uang untuk menyewa supir pribadi meski mama
sudah mendesaknya sejak mereka masih di Jakarta. Teman-temannya banyak yang
protes kemarin, mengomel karena Tari tak menjawab pesan ataupun mention mereka di Twitter. Tari hanya
tersenyum saja, mengatakan kalau dia puasa berkomunikasi lewat media apapun
sampai ujian semester selesai.
Tari kadang-kadang tergoda untuk menyalakan
lagi smartphone-nya, mengecek apakah Kak Bram membalas pesannya atau tidak.
Kenapa dia tidak langsung membalas sms Tari saat itu? Apakah Kak Bram marah
karena Tari membalasnya terlalu lama? Aahh, bukannya itu memang tujuan Tari
sejak awal? Tari menggeleng kuat-kuat, ia tak bisa membiarkan Kak Bram
mendekatinya sementara sang kapten sudah siap untuk membuat konfilk baru dalam
tim. Berusaha menghindar dari Kak Bram untuk menyelamatkan karirnya di tim estafet,
membiarkan Kak Bram menghibur Kak Fanny yang merengek di lintasan balap, Tari
memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Huueekk, Tari ingin muntah
melihat kapten estafetnya yang bermental tempe. Walau sebenarnya tak tega
melihat Kak Fanny yang merana, tapi sekali lagi ia bertanya, kenapa mesti ia
yang berkorban?
Tok...
tok.... kriieett...
Sebuah
kepala bulat menyembul dari balik pintu. Reza menengok ke kiri dan kanan,
mencari Tari yang duduk nelangsa di atas tempat tidur.
“Mbak Tari, dicari Mama,”
Cahaya yang masuk lewat ventilasi di sepanjang lorong
menuju ruang makan memantulkan warna hijau yang masuk ke dalam jaras
penglihatan Tari. Suara kaki yang melompat di antara lari-lari kecil teredam
karpet yang membentang. Sayup-sayup suara dari ruang makan di lantai satu sudah
kedengaran saat Tari mencapai tangga kelima yang memutar dari atas. Sejenak ia
berhenti. Merupakan hal yang biasa jika kedua orang tuanya berdebat. Meski
hanya mempersengketakan hal-hal konyol, suara meninggi keduanya yang saling
sahut penuh emosi sesaat tetap menggganggunya. Sedewasa apapun dia, Tari tak
cukup kuat untuk menyaksikan kedua orang tuanya berseberangan.
“Mama sudah bilang mau
nemenin Papa kan?”
“Tapi ada telepon
penting dari Pak Tampubolon,”
“Alah, ini lebih
penting dari kumpul-kumpulmu itu!”
Tari makin mendekat ragu-ragu ke arah sumber suara. Tari
bisa melihat papa yang sudah rapi dengan batik khas kondangan, berjingkrat-jingkrat
meminta mama untuk menemaninya ke arisan kantor. Tas tangan mama sudah
bertengger di bahunya, sedang ia masih terus berkaca dan membubuhkan bedak pada
bagian yang terlihat noda-noda hitam, sebuah kodrat yang harus diterima wanita
yang makin menua. Mama menutup kotak bedaknya begitu sadar Tari sedang menonton
dua pasangan tua yang masih kekanakan.
“Tari, mana menurutmu
yang lebih penting? Pergi bertemu rekanan untuk membicarakan nasib klien yang
dituntut seumur hidup karena kasus narkoba atau pergi ke acara makan-makan
arisan kantor?”
“Emm..” Tari menggaruki
kepalanya. Dengan menjawab pertanyaan ini, Tari secara tidak langsung sudah
berpihak ke salah satu dari orang tuanya. Astaga, “Emm, bertemu rekanan?”
jawabnya ragu-ragu.
“Cerdas sekali, Nak.
Nah Pa, mama pergi dulu ya,”
Papa menghadang mama
yang baru berjalan, “Tapi Papa belum pernah ngenalin Mama ke teman-teman
kantor!”
“Ya sudah, lain kali
kita bikin arisan di sini saja,” mama ngotot, matanya mendelik.
“Itu ngerepotin! Kamu
ini, jangan bikin kerjaan!”
“Kalau gitu kita tunggu
arisan berikutnya. Nanti Mama pasti ikut, Pa. Mama janji,” mama menunjukkan
kelingking yang dipandangi papa penuh curiga. Kumis tipisnya bergerak-gerak,
Tari tahu mama berhasil membungkam papa. Ajakan mama akhirnya disambut papa,
kelingking saling bertaut dan mama sudah mengikrarkan janji.
“Oke,”
“Gitu dong, Pa,” mama
menepuk-nepuk pipi suaminya sambil tersenyum, lalu beranjak pergi, “Jangan
kenyang-kenyang makannya loh, Mama nyuruh Mbak Jum buat bikin Kambing Merinding
Disko. Oh iya, Mama sekalian mau ngecek bahan-bahan rumah kaca,”
“Hei, kita belum
sepakat tentang rumah kacamu!”
“Kalau begitu aku akan
membuatmu sepakat. Da..da Papa..” mama berseru dari depan pintu.
Tidak
lama kemudian deru sedan Altis Mama sudah terdengar, lalu menghilang
perlahan-lahan. Papa masih berdiri di tempatnya, tidak percaya dia kalah lagi
dari istrinya. Entah karena mama yang terlalu mempesona sebagai wanita atau
karena profesinya sebagai advokat yang menuntut mama untuk pintar berbicara,
papa selalu takluk.
“Apa yang kamu tunggu?
Ganti baju sana!” Papa akhirnya bicara setelah sekian lama termenung.
City car yang
gasnya meraung-raung membawa paksa Tari yang sebenarnya enggan ikut. Apa yang
bisa dia lakukan di acara perkumpulan orang tua? Tari menengok ke arah papa
yang serius mengemudi. Mobil terus bergerak ke timur, melewati perempatan lampu
merah, dekat kantor pos dan kantor BNI tua yang masih aktif digunakan.
Siang-siang begini lalu lintas di salah satu kawasan wisata ini tidak terlalu
padat. Delman-delman masih ketiplak-ketipluk di jalan, sedangkan di pinggiran
jalan yang saling berseberangan, terdapat dua ironi nyata yang terlihat jelas.
Di salah satu sisi terdapat gedung megah Bank Indonesia yang berdiri, sedangkan
di sisi lain orang-orang penjual jasa penukaran uang receh bertebaran.
Mendekati musim libur seperti ini, mereka seakan muncul dari ketiadaan, semakin
banyak seperti jamur di musim hujan.
Mobil terus melaju melewati jembatan Sayidan. Tari
ternganga ketika membaca billoboard besar di jalan yang mereka lalui sekarang.
Gambar binatang dengan tulisan ‘Gembira
Loka’ di atasnya.
“Arisannya di Kebun
Binatang?” yang ditanyai hanya tersenyum.
“Ya bukanlah. Rumah
boss dekat sini,” Papa membanting setir ke kanan ketika menemui perempatan. Tari
membaca plangnya, Jalan Kenari.
Jalan raya tidak sebesar yang tadi, sekarang lebih sempit
dan makin sempit lagi ketika mobil sudah memasuki kawasan perumahan. Papa menyetir
mengikuti tanda peringatan yang hanya memperbolehkan kecepatan 10 km/jam. Rumah
di sini hampir sama semua, bergaya mediterania dengan dua lantai dan juga
halaman yang luas. Mereka berbelok, lalu papa menyuruh Tari memperhatikan nomor
rumah yang mereka lalui satu per satu.
“Itu Pa,” Tari menujuk
mobil-mobil yang berderet di depan jalan sebuah rumah. Benar, ini blok D 5
nomor 35.
Seorang bapak langsung datang menyambut mereka berdua
yang baru turun dari mobil. bapak yang agak botak itu menyalami papa dan langsung
membuat obrolan singkat, lalu mereka tertawa bersama. Tari mendengus,
prediksinya tidak salah. tamu yang datang cukup banyak sampai si tuan rumah
membuka pintu garasi dan menambah kursi-kursi di luar. Kebanyakan mereka datang
berpasangan, beberapa membawa anak kecil, dan terlibat aktif dalam
perbincangan. Bunyi piring dan sendok yang saling adu, ditambah dengan suara
decap orang yang makan sambil mengobrol membuat Tari mengernyit, ia ingin
pulang sesegera mungkin.
Hal yang menarik perhatian Tari hanya air mancur khas
Jepang di depan rumah. Tidak seperti rumahnya yang penuh tumbuhan hijau milik
mama, yang ada di halaman ini hanya rumput teki, dan beberapa pot tanaman, yang
menurut Tari, tidak bisa dibandingkan dengan tanaman mama yang berharga. Yah,
walaupun hanya sekedar mengikuti kebanyakan temannya yang suka berkebun, mama
cukup bisa dibanggakan untuk yang satu itu.
Awalnya Tari mengira bapak botak itu lah si pemilik
rumah, alias boss papa, tapi dugaannya salah ketika mereka diarahkan menuju
seorang wanita yang masih cukup muda, dengan rambut pendek hitam tanpa uban,
memakai kacamata berpigura cokelat kecil. Wajahnya wajah milik wanita
berintelektual tinggi, dan ketika ia tersenyum, Tari berpikir siapa pun yang
bekerja pada wanita ini hanya akan bisa terbengong ketika diberi perintah. Selain
mama, wanita ini adalah salah satu sosok nyata wanita mandiri yang sukses mempraktekkan
emansipasi. Boss papa kelewat cantik dan terlalu muda untuk seorang kepala
cabang.
“Pak Hanang!!!!” seru
perempuan itu ketika melihat mereka datang.
“Bu Marni, maaf saya
terlambat,” kata papa sambil menjabat erat tangan wanita yang dipanggil Bu
Marni. Tari memandang papa dengan galak sampai papa jadi salah tingkah dan
melepaskan genggamannya.
“Wah, nyonya-nya mana
pak?”
“Oh, dia lagi banyak
kerjaan, lagi rapat,”
“Dengar-dengar kasus
narkoba ya Pak?”
“Yah, seperti itu.
Bukan sekali dua kali dia nangani kasus kayak gitu, di Jakarta pernah lebih
parah, kasus anaknya menteri, ahahahah,”
“Oh, hebat ya, Pak,”
“Ya begitulah,” kata
papa sambil membusungkan dada, ikut bangga dengan wanita yang tadi pagi
mendebatnya. Mereka berdua sempat terkekeh sejenak sebelum Bu Marni beralih
pada Tari.
“Ini putranya ya Pak?”
Tari mengangkat sebelah alisnya? Putra? Apa dia kurang
jelas menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder wanita? Tari menyelipkan anak
rambut yang terbang-terbang ke dalam sela-sela telinga, memberi isyarat kalau
dia gadis remaja tanggung yang memiliki rambut panjang berkilau, buah dada yang
berkembang baik, lekuk tubuh yang indah, dan pantat yang cukup montok.
“Ya, ini anak saya yang
pertama. Adiknya satu, tapi nggak mau ikut ke mari,”
“Halo dek, namanya
siapa?” tanya Bu Marni yang tersenyum ramah. Tari menyambut tangan wanita yang
terjulur ini, bersalaman.
“Tari tante,”
“Waaahh, pasti Bu
Hanang cantik ya, anaknya cantik begini, ahahahah,” Bu Marni tertawa sambil
menutupi mulutnya, “Tari kelas berapa?”
Tari
nyengir, dia merasa konyol diperlakukan seperti anak kecil. Tapi Bu Marni
wanita yang cukup menyenangkan, jadi Tari meladeni dengan saja. Lagipula ia
harus memberikan kesan baik untuk mempermudah promosi papa.
“Kelas 1 SMA, Tante,”
“Oh, anak tante juga
kelas 1 SMA,” Bu Marni kemudian menoleh ke belakang ketika seseorang menepuknya
untuk pamit, “Mau pulang Bu? Ya, hati-hati ya. Yuk Pak Hanang, kita ngorbrol di
dalam aja,”
Tari sempat berbisik
pada papanya, “Pa, kok putra sih?”
“Putra artinya anak,”
“Anak cowok?”
“Bukan cuma anak cowok,
semua jenis anak ya bahasa Jawanya putra,”
“Ooohhh...”
Tari dan papa mengikuti Bu Marni yang berjalan di depan
sambil sesekali manyapa tamunya. Mereka memasuki pintu depan rumah, dan
keramaian di dalam ruang tamu sama meriahnya dengan di luar. Perhatian Tari
tercuri oleh gambar lukisan besar anggota Angkatan Darat yang memakai baju
loreng-loreng, dengan baret merah, sedang memegang senjata laras panjang. Di sisi
lain ruangan terdapat foto keluarga berpigura keemasan. Laki-laki yang ada
dalam foto sama dengan yang ada di lukisan, namun kali ini dia tidak memakai
baju perang. Seragamnya berupa pakaian dinas cokelat dengan tanda pangkat
warna-warni. Dari dua balok yang ada di pundaknya, Tari bisa menebak pangkat
suami Bu Marni adalah letnan satu. Laki-laki itu kelihatan tersenyum lepas
sambil berdiri berdampingan dengan wanita muda, yang Tari tebak Bu Marni,
menggandeng bersama seorang anak kecil berumur empat tahun yang mukanya serius,
beda dari kedua orang tuanya.
Mereka bertiga kini duduk di ruang tengah, dekat tivi
plasma yang dibiarkan menyala. Tari sibuk menyendok agar-agar dalam es buahnya
sementara papa dan bosnya berbincang-bincang. Dari banyaknya orang yang Tari
temui tadi dia belum menemukan sosok laki-laki tegap dalam foto. Yang dia
dapati hanya foto-foto lain bergambar sang prajurit dan keluarganya. Tari juga
belum menemukan anak kecil yang ikut serta jadi modelnya. Hmm, kata Bu Marni
anaknya seumuran dengan dia. Tari mengusap dagunya, bapaknya aja cakep, pasti
anaknya nggak beda jauh, batin Tari sambil senyum-senyum sendiri.
“Mbak Tari sekolah di
mana Mbak?” tanya Bu Marni. Tari menelan pepaya sebelum menjawab.
“SMA 212 Jogja, Tante,”
“Wah, sama dong dengan
anak Tante. Nggak semua orang bisa mauk ke sana loh, hahaha. Ngomong-ngomong kenal
nggak sama Ochan?”
“Ochan?” Tari mengulang
namanya, takut salah dengar. Bu Marni mengangguk. Kening Tari mengernyit,
mencoba mengingat nama itu.
“Ochan...!!!! Ochan...!!!!
Ke sini dulu, Nak! ” Bu Marni berseru memanggil anaknya.
Tari
masih berusaha mengingat-ngingat nama ‘Ochan’ sambil menyeruput kuah es buah. Papa
baru saja pergi ke sisi lain rumah, menemui temannya di beranda, meninggalkan
Tari dengan Bu Marni yang bersemangat bercerita tentang anaknya. Mulai dari
anaknya yang suka membantu, anaknya yang pintar memasak, anaknya yang
berprestasi, dan anaknya yang ini-itu. Tari hanya mengangguk sambil tertawa
kecil, penasaran dengan orang yang diceritakan bos papa ini. Tari seketika menyemburkan
kuah es buah yang belum semua ditelannya saat tahu siapa yang dipanggil Bu
Marni. Anak itu berpakaian kemeja rapi, rambutnya disisir ke belakang dengan
bantuan gel rambut, membuatnya agak sedikit culun.
“RENO????!!!!” Tari tak
bisa menahan diri untuk berteriak, “Hahahahahahah!!!!”
Kekagetannya
bercampur kelucuan melihat Reno yang
wajahnya merah, hanya menunduk memandangi lantai. Bu Marni memandang mereka
secara bergantian, bingung dengan Tari yang masih tertawa. Reno hanya berdiri
mematung, berusaha untuk mengabaikan Tari yang membuatnya malu. Reno menarik
napas dalam-dalam kemudian berbicara pada ibunya seakan-akan Tari tidak ada di
antara mereka.
“Ndalem Bu?” kata Reno
pada Bu Marni. Yang diajak bicara hanya bengong.
Tari mengatur napas
yang masih disela tawanya sendiri, “Dia teman sekelas saya, Tante,”
Bahkan setelah lima belas menit mereka duduk bersebarangan
seperti ini, Tari masih menatapnya lekat-lekat, dari ujung kepala sampai ujung
kaki. Reno menjadi pribadi yang berbeda sekarang, sungguh lain dari sosoknya
yang urakan di sekolah. Peraturan sekolah tidak akan bisa membuatnya untuk
duduk kalem, tapi sekarang Reno hanya manggut-manggut menuruti dan mengiyakan
perkatakan ibunya dengan takzim. Bu Marni yang duduk di sebelah Reno sesekali
merapikan rambut anaknya yang berantakan di bagian depan. Tari masih tidak
percaya yang dihadapinya sekarang adalah Reno yang sering mengacaukan kelas.
“Ibu nemuin tamu yang
lain dulu ya,” kata Bu Marni yang disambut jawaban ‘Nggih’ dari Reno, “Tari, tante permisi dulu ya, monggo dimakan
lagi kuenya,”
“Iya Tante,” Tari masih
belum bisa menyembunyikan kegelian dalam suaranya.
Reno celigak-celinguk tidak lama setelah Bu Marni
menghilang, kemudian mengacak-acak rambutnya, dan mengelurkan kemeja yang tadi
dimasukkan ke dalam celana. Reno mengambil tisu dan mengelap tangannya yang
berminyak karena gel rambut, sambil melirik Tari yang berusaha menahan tawa.
“Apa yang lucu?” gertak
Reno.
Tari menggeleng pelan, “Nggak
ada yang lucu, Ochan, hahaha,”
“Hei dengar ya,” Reno
menuding Tari dengan telunjuknya, “Jangan sampai anak-anak lain tahu,”
“Kenapa? Kamu tadi...
Aku hampir nggak bisa ngebedain kamu dari Gideon, Ochan, ahahaha,”
“Jangan manggil aku
Ochan!”
“Lah, itu emang namamu
kan? Hahaha,”
“Ggggggggggrrrrrrrr......”
***
Tari masih senyum-senyum sendiri sepanjang perjalanan
pulang. Semua tentang Reno yang dikenalnya selama hampir satu semester ini
berubah karena kunjungan arisan tadi. Reno yang berbeda sampat Tari temui walau
tak sampai setengah jam, kemdian dia berubah lagi menjadi anak menyebalkan yang
suka meledek orang lain. Tak lama memang, karena kemudian Reno bertransformasi lagi
menjadi anak baik ketika ibunya datang. Dari sana Tari tahu, Reno tak sebusuk
yang dia kira. Anak itu adalah anak tunggal Bu Marni, yang berusaha untuk
tampil menjadi apa yang ibunya inginkan. Berpura-pura menjadi anak manis dan
penurut, menggunakan kata-kata halus saat berbicara dengan orang lain. Dibalik kelakuan
Reno yang kekanak-kanakan, tak ada yang tahu dia begitu dewasa, menjadi tempat
bersandar bagi ibunya yang sempat labil karena kehilangan suami di usia muda.
Berawal dari sebuah pertanyaan yang sempat disesali Tari
kenapa sampai keluar. Ayah Reno adalah anggota kopassus, meregang nyawa saat
bertugas di tengah-tengah konflik Aceh tahun 2003 lalu. Sebuah perang tak akan
pernah membawa kebahagiaan, baik untuk pihak yang menang sekalipun. Pemberontakan
yang sempat terjadi itu lebih banyak membawa nestapa dan luka perih, meniupkan
trauma pada jiwa-jiwa, kecacatan, kematian dan kehilangan bagi orang yang
disayangi. Ayah Reno hanya orang yang sekedar lewat saja, namun ikut terenggut
juga. Orang tua itu terambil paksa dari anaknya yang baru berusia lima tahun,
meninggalkan istri yang shock
setengah mati.
Esok paginya, matahari senin mengundang keringat untuk
keluar sepanjang upacara bendera. Suara cekikikan di baris belakang terdengar
lagi. Tidak perlu diterka punya siapa itu, jelas sekali Reno and the gank sudah menggeliat tidak
sabaran untuk keluar dari barisan. Kesan yang berbeda tentang Reno tiba-tiba muncul,
antara simpati, kesal, dan lucu.
Dan
kini Tari punya senjata untuk membungkam Reno sekali tembak. Seperti tadi,
ketika upacara baru saja selesai dan anak-anak lain berlarian menuju kelas
untuk mencari kesegaran dari moncong air conditioner. Reno dan beberapa
kawannya melakukan tradisi biasa, memutar-mutar Gideon di depan kelas. Reno sudah
menatap Tari dengan awas begitu melihatnya dari ujung lorong. Tari tetap
mengembangkan senyum dan berjalan santai mendekati mereka, tanpa teriakan dan
kemarahan yang biasa tertumpah setiap melihat gerombolan berudu ini. Anak-anak
itu sempat kaget ketika Tari menghampiri Reno cukup dekat dan berbisik di
telinganya.
“Hai Ochan, selamat
pagi,” suara Tari kedengaran pelan dan lembut.
Setelahnya, Reno berhenti memutar-mutar Gideon dan
menatap Tari dengan ngeri. Tari menyunggingkan senyum, lalu melewati Reno yang
was-was, jangan sampai anak lain tahu rahasia apa yang dia punya. Hari-hari
berikutnya, ketika Reno kembali berulah, Tari hanya perlu memanggilnya lagi dan
anak itu akan berhenti. Asal orang lain belum tahu, Reno akan selalu menurut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar