Simple Life

Sabtu, 15 Februari 2014

Dilema di Ujung Tongkat



“Terus dribbling Tari!”
“Awas Tar! Hati-hati di belakangmu!”
            Bola basket itu masih tetap dalam kendali Tari. Tari terus membawanya sendiri melewati teman, yang untuk sementara waktu, menjadi musuhnya saat pelajaran olah raga ini. Seringai mulai muncul saat jaraknya mulai dekat dengan ring. Tari memutari pemain lawan terakhir...
“Tari! Over ke Dita!!!!”
            Siapa pula yang teriak menyuruhnya itu? sok tahu saja! Tari mengabaikan perintah untuk meng-over ke temannya yang berada di ujung, lebih dekat ke ring dibanding dia. Dia akan melompat sekarang! Belum pernah lihat Tari melakukan slam dunk kan? Tari menyiapkan kuda-kuda, melesatkan kakinya dari tanah, dan ia merasakan tubuhnya melayang. Tari fokus pada ring, tangannya sudah dalam posisi memasukkan bola, dan teriakan ‘uuuuhhh’ dari teman-temannya yang terpana membuat Tari makin bersemangat. Yap, dan bola memang sudah masuk, terpantul-pantul sementara Tari masih menggantung pada keranjang bola. Poin lagi untuk timnya.
            Tari mengusap keringat dengan punggung tangan, menebarkan pesonanya yang terbawa angin sepanjang lapangan saat ia berjalan keluar arena. Peluit dibunyikan tanda babak pertama yang sudah berakhir. Tari santai saja saat bergabung dengan teman-temannya yang duduk di pinggir lapangan, yang cuma jadi cadangan selama pertandingan. Tari meneguk dengan rakus air mineral dingin dari botol, sementara teman setimnya tadi masih ada di lapangan, saling bisik dengan seru. Nada mereka terdengar kesal saat membicarakan orang yang memonopoli game pertama dan kedua, mungkin juga game ketiga dan keempat nanti. Ia mencetak hampir setengah dari keseluruhan poin, dan itu masalahnya! Tari tak seharusnya bermain individual seperti tadi.
“Tar...” Dita berjalan sempoyongan, lalu duduk di sampingnya. Tari menyerahkan botol air berisi 1,5 liter itu pada sahabatnya.
“Kamu nggap capek ya?” tanya Dita setelah mengusap air yang menempel di bibirnya.
Tari menggeleng, “Belum, hehe,”
“Bukannya kamu nanti sore ada latihan estafet?”
“Oh, aku masih sempat istirahat kok, tenang aja,” kata Tari sambil tersenyum.
Tari langsung berdiri begitu gurunya meniupkan peluit babak ketiga. Dita hanya menghela napas karena maksud yang tersembunyi dibalik perkataan dan mata sendunya tidak bisa dimengerti Tari. Tidak Cuma Dita, tapi juga teman-teman lain yang menunggu giliran masuk lapangan. Mereka sampai lumutan sekarang. Hah Tari, gantian dong sama yang lain...
“Pemain putri yang lain di mana ya? Kok yang main yang ini terus...”
            Langkah Tari terhenti begitu mendengar selorohan orang, cukup yakin yang dimaksudkan adalah dia. Tari membalikkan badannya, kemudian berjalan berlawanan dari arahnya tadi, mendekati Reno yang berdiri dekat ring.
“Masalah buat kamu?”
Reno mengangguk, “Bosen lihat kamu,”
“Cuma kamu aja tuh,”
“Moso’? Coba tanya yang lain satu per satu. Kayaknya banyak juga yang pengen main. Trus itu bola punyamu apa? Kamu terus yang megang,”
            Mata Tari menyapu sekelilingnya. Teman-teman putrinya tidak ada yang mengangguk maupun menggeleng. Tapi Tari agak kaget saat menemukan Dita yang duduk selonjoran di luar lapangan, diganti oleh Rina yang tadi sudah melakukan pemanasan. Tari merasa seakan dikocok-kocok. Ia akan keluar lapangan dengan cara menyakitkan seperti ini, karena diledek seseorang. Tari melirik Reno lagi. Tari heran benar, orang ini sibuk sekali mencampuri urusan Tari, padahal urusan teman-temannya yang lain dia hiraukan begitu saja. Mau orang lain membakar sekolah, Reno tak peduli, kecuali yang melakukannya adalah Tari.
            Bibirnya bergetar, sama juga dengan tangannya. Tari memungut bola basket yang tidak jauh darinya, lalu melempar sekeras mungkin pada Reno. Anak itu bisa menangkap dengan mantap, meski harus mundur beberapa langkah karena lemparan Tari yang luar biasa keras. Tari tak berpikir dua kali untuk meninggalkan lapangan, menyusul Dita untuk duduk di sampingnya.
Dia hanya jadi penonton kali ini. Tari mengangkat wajahnya menghadap langit, berusaha agar air matanya tidak tumpah, atau barangkali biar matahari bisa mengeringkannya. Kenapa teman-temannya tidak bilang saja kalau mereka mau bermain? Toh dia akan bersedia diganti kalau ada yang ingin. Tidak perlu merasa tidak-enakan padanya, atau pun rela memendam rasa kesal untuk Tari. Tentang ia yang selalu menguasai bola, itu wajar saja kan? Dia ingin mencetak banyak skor, dan temannya yang lain sepertinya susah untuk melakukan hal yang sama. Teknik mereka saja terkadang salah!
Mungkin mereka harusnya berterima kasih pada Reno yang repot-repot mengingatkannya untuk berhenti. Tapi kenapa mesti dia lagi? Anak itu benar-benar tidak tahu diri! Omongannya tadi seperti menggambarkan Tari sebagai orang yang paling menjengkelkan sedunia. Dia tidak sadar apa? Orang-orang di kelas banyak mengeluh tentang Reno yang nakal dan suka mengganggu, dan tadi dia berani mengatai Tari seperti itu?
“Tar, lapar nggak? Ke kantin yuk?”
Kerongkongan Tari rasanya sakit saat ingin menjawab pertanyaan Dita. Dita sebenarnya hanya ingin memulai percakapan agar mereka tidak diam-diaman seperti ini. Tari tak segera menjawab dan mukanya jadi keras. Maka Dita kembali memandang pertandingan,  membiarkan sahabatnya sibuk dengan pikirannya sendiri.
Di sudut lain lapangan, ada yang sembunyi-sembunyi memperhatikan mereka. Bukan mereka sih, tapi salah satu dari mereka, Tari tepatnya. Saat temannya asyik mengomentari Rachel yang lari dengan pantat megal-megol, Reno sesekali mencuri pandang ke arah lain. Ada rasa sesal di dalam dadanya ketika mendapati Tari yang matanya berkaca-kaca.
            Aroma collogne dari ujung belokan ruang ganti putri sudah tercium dalam radius lima meter. Tari sudah mengganti pakaian olah raganya yang basah kuyup dengan batik sekolahnya yang berwarna abu-abu dan rok putih selutut. Ia memasukkan kaki ke dalam sepatu pan tofel hitam berhak tipis setelah memakai kaos kaki setinggi mungkin. Rambutnya ditarik tinggi-tinggi lalu dikucir seperti biasa, kuci ekor kuda, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan putih. Lehernyalah bagian utama tubuhnya yang menyebarkan keharuman sandalwood, mengusik hidung setiap orang untuk menoleh sebentar padanya.
            Mereka sudah kembali bicara, Tari dan Dita, walaupun agak aneh memperbincangkan cuaca yang sejak pagi cerah-cerah saja. Kelas-kelas lain yang mereka lewati masih sibuk dengan proses belajar mengajar sebelum bel istirahat akhirnya berbunyi beberapa menit kemudian. Pelajaran olah raga memang menyenangkan, selalu selesai lima belas menit sebelum waktunya, memperpanjang waktu istirahat mereka yang berlangsung selama setengah jam
Tari dan Dita berjalan bersisi-sisian, lalu makin merapat saat anak-anak kelas lain mulai menghambur keluar. Sesekali Dita kembali memandang Tari, tidak tahu kalau Tari masih berpikir keras tentang kejadian tadi. Mungkin sebaiknya Tari meminta maaf kepada yang lain, tetapi kenapa harus dia? Dia tidak salah apa-apa! Tidak! Kenapa ia harus minta maaf ketika ada orang yang sudah terang-terangan menyakiti perasaan yang lain, namun tetap saja cuek? Reno... Tari ingin mematahkan tulang-tulangnya sekarang juga!
Matanya memang melihat lurus ke depan,  tetapi sesungguhnya ia tidak memperhatikan apa-apa di hadapannya. Anak-anak yang berlarian, guru-guru yang lewat, suara cekikian sepanjang jalan, bahkan Kak Bram yang sudah berdiri siap saat mereka berdua makin mendekat. Dita hanya bisa menganga ketika Tari mengabaikan Kak Bram yang tersenyum kepada mereka. Dita menoleh lagi kepada Kak Bram, mencari apa yang salah dengan kakak kelasnya, membalas tersenyum pada laki-laki itu, lalu cepat-cepat menjambret tangan Tari agar dia berhenti.
“Tar, Kak Bram,” bisik Dita.
“Hah? Apa?” Tari bertanya gelagapan, lalu memalingkan muka ke belakang, ke arah yang sama dengan Dita. Semu merah mulai menjalar di pipi Tari setiap Kak Bram mendekat selangkah.
“Mau ke kantin ya?” tanya Kak Bram.
Tari memilah-milih jawaban dalam otaknya yang sedang mumet. Ini tidak sesuai rencana, karena Tari dan Dita akan kembali ke kelas untuk mengembalikan baju olah raga. Tari melirik sahabatnya, mana mungkin ia mementingkan diri sendiri lagi? Oh, yang benar saja, bukannya Dita juga akan senang kalau ke kantin bersama Kak Bram? Barangkali kesempatan ini sama langkanya seperti melihat komet Halley yang terlihat dari bumi setiap 75 tahun sekali.
“Errrr... Iya Kak,”
“Bareng yuk,” ajak Kak Bram.
“Tar....” bisik Dita.
Tari melempar tatapan awas pada Dita, lalu berdesis. Kamu tahu maksudku kan Dit? Kita bisa makan bareng sama dia. Yang diajak berkonspirasi hanya menghela napas saja. Dahi Dita berkerut, lalu memandang bolak-balik Kak Bram dan Tari. Senyum nakal mengembang di bibir Dita.
“Duluan aja Tar, aku mau ke kamar mandi dulu,”
“Kita bisa tungguin temanmu kan Tari?”
“Nggak usah Kak. Saya bakal lama, soalnya mau BAB,”
“Dit...”
Tari menahan tangan kawannya saat gadis itu mau ngacir meninggalkan Tari. Ini bukan yang diinginkan Tari, ia butuh Dita sebagai penengah! Paling tidak ia butuh Dita ketika mereka berdua tidak punya topik lagi untuk dibicarakan. ia tidak mau momen kebersamaan pertamanya akan diakhiri dengan desing jangkrik di tengah kantin. Dita mendekatkan mulut ke telinga Tari lalu berbisik.
“Ganbatte kudasai ne,”
            Lalu dalam satu kerlingan mata, Dita sudah menghilang di balik kerumunan, meninggalkan Tari yang berdiri berhadapan dengan Kak Bram. Sial, awas saja dia. Aku tak akan membagi jawaban PR kimia untuk besok. Tari rasanya ingin mencak-mencak karena kepanasan ketika suara Kak Bram yang lembut tapi berwibawa itu memintanya untuk segera bergerak.
“Ayo,”
            Isi mangkok bergambar ayam jago itu hanya diaduk-aduk. Ia bingung bagaimana menghabiskan tiga pesanan yang satu per satu mulai datang, es buah, bakso, dan batagor. Ia cuma punya dua pilihan, membiarkan Kak Bram cepat pergi atau mempertahakan Kak Bram selama mungkin di hadapannya. Ia memilih yang kedua dan mengorbankan image-nya, berpura-pura rakus untuk kali ini saja. Tari ingin meneteskan air mata setiap memasukkan batagor pelan-pelan ke dalam mulut. Pelan-pelan saja Tari, kalau bisa sampai bel masuk baru kamu menghentikan ini semua. Kak Bram menyapu bersih gado-gado di piringnya sebelum kembali memperhatikan Tari.
“Kamu makannya banyak juga ya?” godanya.
“Nggak kok, saya lagi lapar aja, tadi habis olah raga,”
“Hahaha, aku suka cewek yang makannya banyak,”
Kelontang.....!!!
            Garpu terlepas dari genggamannya. Darahnya berdesir cepat, mengisi kompartemen jantung yang mulai kosong setiap degupnya. Sebagian pengunjung kantin yang duduk dekat mereka menoleh ingin tahu. Keberadaan Tari di samping Kak Bram memang menarik perhatian sejak mereka datang. Telinga-telinga mulai memicing, tidak ingin kelewatan kelanjutan dari serangan Kak Bram. Jika Kak Bram menembaknya sekarang, ia akan mengangguk kuat-kuat. Tari mengangkat kepalanya perlahan, mendapati Kak Bram yang sedang tersenyum. Tari menanti sampai makanannya habis, tapi Kak Bram tidak mengatakan apa-apa lagi.
“Aku yang traktir..”
“Tidak usah Kak, biar saya bayar sendiri,”
            Pak Bambang hanya bisa garuk-garuk kepala melihat Kak Bram dan Tari yang berebut untuk membayar. Tangannya sudah menyambut rupiah yang terulur, namun uang itu segera ditarik lagi oleh yang lain. Pak Bambang kembali menyembunyikan tangan yang sudah gatal ingin menerima pembayaran di balik kalkulator. Keributan kecil di depan kasir menimbulkan dengung-dengung yang mencoba menerka hubungan di antara keduanya, dan Tari, suka atau tidak suka, dia memang menyukainya.
“Aku memang berniat mau nraktir, Tari. Aku ulang tahun kemarin,”
“Hah? Serius Kak?”
Kak Bram mengangguk, lalu menggeser Tari ke samping, “Ini Pak,”
“Maaf Kak, saya nggak tahu kalau Kakak kemarin ulang tahun,”
“Santai aja. Aku juga nggak tahu kapan kamu ulang tahun,”
            Tari jadi merasa tidak enak setelah memesan tiga porsi makanan, bukan karena Cuma perutnya yang bergejolak kepenuhan, juga gara-gara Kak Bram yang harus membayar lebih banyak. Padahal tadi Kak Bram hanya memesan goda-gado Mbak Munaworoh. Hari ini, 10 Desember, lima belas hari sebelum natalan, Tari akan melingkarinya dengan tinta merah jambu. Hari ulang tahun Kak Bram tidak akan dia lewati lagi tahun depan. Kak Bram mengedipkan sebelah matanya seusai membayar, lalu mereka membalikkan badan bersamaan, mendapati seseorang yang sepertinya telah lama menunggu di belakang.
“Kak Fanny,”
Tari menyapa sambil tersenyum kepada orang yang menundukkan kepala dari tadi. Kedua tangannya disembunyikan di belakang.  Tari agak heran karena kapten estafetnya itu tak segera menyahut, lalu ia melirik pada Kak Bram yang juga tak merespon apa-apa. Tatapan Kak Bram berbeda dari yang biasa Tari lihat, Kak Bram benar-benar kelihatan serius kali ini.
“Fanny...”
“Kak Bram selamat ulang tahun,”
            Mulut Tari ternganga begitu melihat Kak Fanny menyodorkan kado berbungkus kertas merah muda dengan pita merah marun yang diikat rumit di atasnya. Sebuah keterampilan wanita dalam membuat simpul yang tidak akan pernah dikuasai Tari. Rasanya Tari ingin segera mengambil bingkisan itu, lalu membuangnya jauh-jauh. Bukan cuma kado yang membuat Tari kaget, tapi juga nada bicara Kak Fanny yang seolah menahan sesuatu. Tari yakin ia sempat mendengar ingus yang disedot dari orang yang terus menunduk ini.
“Maaf, saya baru bisa ngasih kado sekarang...”
“Tidak masalah,” Kak Bram sudah memegang pemberian Kak Fanny di salah satu sisinya.
“Saya pergi dulu,”
            Bulir-bulir air mata terpantul saat Kak Fanny menyeka matanya, dan Tari berharap tangisan yang terjadi bukan karena Kak Bram, melainkan karena uang jajannya yang terkuras habis untuk kado yang mahal-mahal dia beli. Kak Bram belum mengatakan apa-apa sampai Kak Fanny benar-benar berbalik dan berlari di antara orang-orang yang lalu lalang, serta meja dan kursi yang memenuhi ruangan. Tubuhnya mungilnya yang ringan itu cepat saja menghilang, diantar kaki-kaki yang lincah bergerak seperti kilat. Sekarang Tari tahu, mengapa sekolahnya selalu punya alasan untuk memenangkan lomba estafet dan lomba lari sprint setiap tahunnya.
“Tari, kamu tidak keberatan kembali sendiri kan?” kata Kak Bram setelah sekian lama diam.
“Ya....”
            Kata-katanya belum keluar semua, namun Kak Bram sudah terlanjur pergi. Dari caranya berbicara tadi, Tari tahu Kak Bram cemas. Meski sangsi apakah Kak Bram bisa menyusul perempuan paling cepat di sekolah itu, Tari merasa Kak Bram akan berlari sungguh-sungguh. Meninggalkan kantin begitu saja, meninggalkan Tari, dan meninggalkan kekhawatirannya terhadap Kak Fanny yang masih menempel di lantai depan kasir, yang mulai menular ke Tari secara perlahan. Tari benar-benar khawatir sekarang, ada apa di antara keduanya?
***
            Tim estafet putri sekolahnya terdiri dari sepuluh orang pelari, dibagi ke dalam tim Alfa, tim Bravo, serta tim Camat. Tim Alfa merupakan tim utama yang berisi empat siswi paling cepat, lincah, lentur, tidak peduli kamu pendek atau tinggi, kalau kamu bisa merebut pita finish duluan, kamu akan terpilih. Tim Bravo adalah pelapis tim Alfa, hanya sedikit kurang beruntung karena mereka masih kalah sepersekian detik dari pelari Alfa. Empat pelari dari tim Bravo biasa digunakan sebagai cadangan pengganti anggota Alfa yang cidera, sakit, ada kepentingan keluarga, maupun meninggal dunia. Terkadang tim Bravo ikut serta sebagai tim utama jika sekolah perlu mengirimkan dua tim langsung dalam perlombaan. Dan seperti biasanya, tim Bravo masih belum bisa mengalahkan tim Alfa.
Yang terakhir adalah tim Camat. Hanya berisi dua orang yang dipilih unuk menggenapkan kuota menjadi sepuluh orang. Disiapkan untuk menggantikan pemain Bravo yang tidak bisa mengisi kekosongan di tim Alfa. Seperti namanya yang merupakan akronim untuk ‘Cadangan Mati’, sepanjang sejarah terbentuknya tim ini, mereka belum pernah ikut bertanding. Hanya menjadi cadangan selama hidupnya. Bisanya mereka menempati bangku pemain paling belakang, lebih memilih mengawasi timeline twitter dari pada mengamati kawannya bertanding. Mereka juga biasanya ditugaskan untuk berjaga di tribun penonton, diminta pelatih untuk memastikan dukungan bagi pelari di track-nya. Terinspirasi oleh penonton alay di stasiun televisi.
Tiga jenis seragam berbeda yang dipakai masing-masing tim merupakan aroma menyengat kasta yang telah terbentuk berpuluh-puluh tahun. Kesenjangan di antara tiga tim bisa juga terlihat dari jadwal latihan dan fasilitas yang mereka pakai.  Tim Alfa dengan pakaian merah bermotif garuda selalu latihan paling awal dan pulang paling cepat, mendahului kedua tim lainnya yang terkadang baru pulang ketika adzan maghrib berkumandang.
            Loker bernomor lima akhirnya terbuka. Tari mengeluarkan sepatu lari, lalu mengurai talinya. Tari berdiri dan menatap dirinya dalam seragam merah melalui kaca kecil di dalam loker, memperbaiki kuciran ekor kudanya yang agak longgar. Kaca dengan sticker Kangmas Garuda, maskot tim Alfa berupa garuda yang memakai blangkon, memantulkan beberapa orang di belakang Tari yang memperhatikannya.
“Tari, boleh bicara sebentar?” kata Kak Jessica.
Tari menoleh pada anak kelas XI itu, “Ya?”
“Ini tentang Kapten, tentang Fanny. Dia terlambat sepuluh menit dari jadwal latihan. Kamu tahu kira-kira dia kenapa?”
Kening Tari berkerut. Kenapa mereka menanyakan Kak Fannya padanya? Pikiran Tari kembali pada kejadian istirahat tadi. Dia yang berbahagia walau hanya sekejap, Kak Bram yang bibirnya melengkung tiba-tiba berubah menjadi lempeng perak datar, dan Kak Fanny yang muncul mendadak lalu menghilang dalam sekejap. Tari ingin mengangguk, tapi kepalanya hanya bisa menggeleng. Tari tahu, sesuatu telah terjadi di antara keduanya.
“Tidak, saya nggak tahu Kak,”
“Kata Amanda kamu makan siang sama Kak Bram?”
“Iya,”
“Terus kalian ketemu Fanny?”
“Iya,”
Kak Jessica menghela napas, “Tari dengar baik-baik. Aku mau kamu memikirkan apa yang telah dan sedang terjadi. Fanny itu mantannya Kak Bram. Mereka jadian di awal semester dua angkatan kami. Tetapi sejak jadian, prestasi akademik Fanny menurun. Bagaimana tidak, setiap jam pelajaran yang ditulis hanya namanya Kak Bram. Kak Bram merasa bersalah pas ngelihat nilai raport Fanny, terus mutusin untuk berpisah aja, biar Fanny bisa konsentrasi belajar. Emang benar sih nilai Fanny membaik. Tapi mereka berdua memandang perpisahan itu melalui dua perspektif yang berbeda. Kak Bram berpikir kalau mereka memang berakhir dan tidak ada ikatan lagi, sedangkan menurut Fanny mereka hanya berada dalam status quo, yang artinya mereka bisa kembali jika prestasi akademik Fanny mulai membaik.”
Kening Tari berkerut, “Lalu?”
“Sejak awal semester ini Fanny berusaha terus ngedeketin Kak Bram, meski udah aku ingatkan kalau Kak Bram udah nggak punya perasaan lagi. Tapi anak itu emang keras kepala, apalagi setelah kejadian kamu nabrak Fanny sebulan yang lalu, terus Fanny digendong Kak Bram. Dia pikir Kak Bram masih suka sama dia. Tari, kalau memang sesuatu telah terjadi di antara kamu sama Kak Bram, tolong jangan anggap itu serius..”
“Loh, kenapa?”
“Karena itu bisa membuat tim jadi tidak kondusif! Fanny akan menganggap kamu merebut Kak Bram dari dia! Tari, kita harus terus kompak! Lombanya tiga bulan lagi dan kita ditargetkan untuk meraih juara nasional!”
“Kenapa aku yang harus mengalah?” teriak Tari tidak mau kalah.
“Tari! Kamu jangan egois! Lagipula kamu belum tahu bagaimana Kak Bram yang sebenarnya! Dia suka gonta-ganti pacar, dan lagipula siapa yang tahu kalau dia ngedeketin kamu biar bisa jauh dari Fanny....”
“Ehem...”
Seseorang yang tidak diharapkan berdehem dari pintu masuk. Kak Fanny akhirnya datang dengan mata yang bengkak. Matanya menelusuri semua anggota tim, tapi langsung melompati Tari, tidak mau memandangnya. Suaranya terdengar dari dunia yang jauh saat berbicara, terasa basah dan dingin saat meminta tim untuk berlatih. Tari tetap berdiri menantang, seolah tidak terjadi apa-apa. Gigi Tari terasa ngilu setiap kata-kata Kak Fanny numpang lewat di telinganya. Ia tak mau mengalah, tak akan.
            Tanda-tanda tidak beres mulai terasa ketika latihan. Sungguh kondisi yang tidak menguntungkan karena mereka berada pada posisi berurutan, ketiga dan keempat. Tari sudah fokus untuk berlari, menuggu aba-aba untuk ditiupkan. Ia berharap Sang Kapten akan bersikap profesional, meniadakan konflik yang terjadi di antara mereka. Maka Tari memejamkan mata sampai aba-aba terdengar, menanti tongkat untuk datang padanya.
Tari langsung berlari menyusuri jarak 100 meter yang memisahkannya dari pelari keempat, bersiap untuk menyelipkan tongkat ke tangan Kak Fanny. Namun mata Tari terbelalak saat mendapati tangan Kak Fanny yang menggenggam udara kosong. Tangannya terkepal. Tari sudah menyentuhkan ujung tongkat padanya, namun Kak Fanny tak bergeming. Ia tidak mau menerima.
“Kenapa harus kamu?” tanya Kak Fanny tiba-tiba.
            Tongkat estafet jatuh berkelontangan. Tari melepaskan ujung tongkat yang tidak disambut pelari di depan. Ia hanya bisa terhenyak, mendengar kaptennya yang mulai terisak. Pelari yang lain berteriak memarahi Tari yang akan membuat tim terdiskualifikasi jika mereka sedang ada dalam perlombaan benaran, sebagian mendekat ingin tahu kenapa aktivitas terhenti. Pembina olah raga mulai tidak sabaran, lalu ikut campur.
Semua beralih pada kakak kelasnya, membiarkan Tari berdiri sendiri di tengah lintasan atletik. Ia mulai menggigil karena sikap dingin Kak Fanny, juga karena angin sore yang menerbangkan daun-daun. Selama perhatian mereka teralih, Tari memutuskan untuk kabur dari latihan. Dengan berbagai pikiran yang berkecamuk, Tari menggondol tas dalam loker tanpa mengganti seragamnya.
Tari melewati kanopi pohon trambesi kerdil hasil mutasi klub biologi. Daun-daun rindang yang menutupi langit sepanjang 30 meter di sebelah barat, berakhir sampai jalan kecil dekat parkiran motor. Sensasi biru mengganti kesegaran hijau yang disukai mamanya. Tari menghembuskan napas kuat-kuat, berusaha mengelurkan beban berat di hatinya. Semakin berat bebannya, maka hatinya yang ringkih akan makin gampang untuk merengek lagi. Tari tak tahan lagi, ia butuh kamar untuk bersedu sedan sekarang.
“Tari...” suara yang tidak asing terdengar begitu Tari keluar dari gerbang sekolah.
Ia menengok ke kanan, mendapati orang menyebalkan yang baru keluar dari shelter bis Trans dekat sekolah. Baju batiknya dibiarkan keluar dan kancingnya terbuka sampai kancing keempat dari atas. Anak itu mendekat sambil menggaruki kepalanya yang ditumbuhi rambut lebih dari tiga centi meter, yang berarti telah melanggar peraturan sekolah. Anak itu tersenyum, Tari tahu dia terpaksa untuk menimbulkan kesan baik pada dirinya. Tapi tetap saja Tari eneg setiap bertemu dia. Reno akan selalu pahit! Titik!
“Hai...”
“Pulanglah, ini sudah jam lima,” kata Tari dengan suara tercekat.
“Aku nungguin kamu,”
“Apa maumu?”
“Em, well..” Reno menggaruki kepalanya lagi, “Soal yang di lapangan basket tadi.... Aku... Aku minta maaf,”
Tari menaikkan sebelah alis, “Kamu tidak perlu minta maaf untuk apa pun,”
“Kata-kataku tadi kasar. Sampai bikin kamu... nangis,”
“Hah? Siapa yang menangis?”
“Kamu,”
Mata Tari melotot, “Aku tidak menangis!” bentaknya.
“Ya kamu menangis! Aku lihat tadi!”
“Aku tidak akan menangis hanya karena hal seperti itu!!!!”
“Hah? Lalu kenapa kamu menangis sekarang???!!!” kata Reno ngotot.
Tari merasakan air mata yang mulai meleleh di pipinya. Mukanya memerah, ia tidak mau menangis di depan orang ini. Terlalu memalukan. Tapi ia memang tidak bisa menahannya lagi, dan tanggul Tari akhirnya jebol.
“AKU MENANGIS BUKAN KARENA KAMU BODOH!!!”
            Tari menamparnya. Ya, Tari telah menamparnya tanpa perlu melayangkan tangan. Tari berharap kalimat itu bisa ia sedot kembali, ia benar-benar tidak bermaksud mengatai Reno bodoh. Tari mengatupkan mulut, lalu menutup dengan tangan. Wajah Reno tanpa ekspresi, dia hanya berdiri diam saja. Ya Tuhan, apa lagi yang sudah dia perbuat terhadap orang ini? Debu-debu yang terbawa angin menyesakkan Tari, tapi Reno masih tetap diam. Bunyi klakson mobil, suara kernet angkot, nyanyian pengamen jalanan, dan tangisan Tari yang makin menjadi, masih tetap tidak menggerakkan Reno.
“Bismu sudah datang,” kata Tari di sela-sela isakan.
            Reno akhirnya menoleh ke arah bis jurusan 3B yang baru muncul. Ia masih belum beranjak sampai bis sudah merapat di shelter dan penumpang ada di dalam sudah keluar. Reno melirik ragu-ragu pada Tari. Jangan Reno, tolong jangan memandangku seperti itu, batin Tari.
“Tari, maaf sudah membuatmu menangis makin keras,” katanya sebelum berlari menuju bis.
            Tari hanya menganga, bingung mau melanjutkan menangis atau malah tertawa. Astaga, ia belum mengerti juga maksud Tari. Bukan kamu yang membuatnya menangis, Reno...
***
“Rr. Bestari Inggrid Kartosasmito. Seperti biasa,”
            Bu Nanik mengacungkan kertas ulangan yang segera diambil Tari tanpa banyak komentar. Sembilan puluh delapan, tidak terlalu jelek memang, tapi hasil ulangan minggu lalu itu tidak banyak membuatnya gembira. Tari menyeret kakinya kembali ke kursi, lalu merebahkan kepalanya yang berat di atas meja. Semalam matanya hanya bisa terpejam dengan kesadaran penuh. Ia tidak bisa tidur sampai pagi. Tari mengusap kantung mata hitam yang terbentuk, semua gara-gara si kapten estafet.
            Satu per satu temannya maju untuk mengambil hasil. Kebanyakan yang Tari dengar setelah mereka melihat nilai masing-masing adalah keluhan tentang soal yang susah dan Bu Nanik yang terlalu pelit memberi nilai. Termasuk Dita yang duduk di sebelah, terus mengomel tentang nilainya yang di bawah standar kelulusan, tapi tidak berani protes secara langsung pada Bu Nanik. Tari memiringkan kepalanya, tidak peduli dengan banyaknya orang yang harus remidiasi. Yang sekarang ada di pikirannya hanya Kak Bram, Kak Fanny, dan karirnya di tim estafet. Mana yang harus dia pilih, Tari masih bingung.
“Wah-wah. Ada kejutan rupanya. Kamu akhirnya bisa ngelewatin nilai KKM juga ya,” kertas hvs putih masih ada di depan mata Bu Nanik. Ia masih meniliti nama yang tertera di kertas, kira-kira benar atau salah, “Alreno Atmadja, tujuh puluh delapan,”
            Kelas jadi senyap seketika. Semua orang menahan napas begitu mendengar kabar yang mengagetkan. Tari bahkan sampai bangun dari posisi tidurnya, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Ini benar-benar geledek di siang bolong, untuk pertama kali dalam sejarah, Reno tidak ikut remidi. Mata-mata setiap kepala langung menoleh ke belakang, mencari orang yang bikin kejutan pagi-pagi. Reno sama bingungnya ketika mendengar nilai tujuh puluh delapan yang akhirnya bisa mampir juga dalam daftar nilainya.
            Reno berdiri dengan gemetaran, lalu berjalan ke depan seperti melayang. Tari jadi cemas anak ini bakal pingsan tiba-tiba. Kertas dalam genggamannya ikut bergetar dan saat Reno melewati Tari untuk kembali ke kursinya, mata mereka bertemu sejenak. Mata merah lawan mata bening, mata yang menahan kantuk lawan mata yang diselimuti kekagetan, membentuk lintasan lurus, tempat rahasia-rahasia yang mengalir di antara keduanya.
            Keajaiban belum berhenti, karena sepanjang kelas biologi, yang hari ini digunakan untuk me-review pelajaran selama satu semester sebelum ujian akhir, tidak terdengar keributan dari baris belakang. Bu Nanik tidak perlu repot-repot menegur lima sekawan yang biasanya cekikan sendiri. Barangkali si dedengkot sedang meresapi indahnya mempunyai nilai biologi bagus.
Namun harapan Tari supaya keadaan kelas tetap hening setelah jam biologi ternyata hanya angan belaka. Mafia berudu mulai beraksi kembali dalam kelas sejarah. Tari mungkin bisa menoleransi mereka kali ini, karena ia sendiri mengantuk dan tertidur saat guru pria yang sudah bungkuk itu menjelaskan apa itu kyokenmodinger. Bahkan sampai jam istirahat, suara mereka terus menguasai satu kelas, tertawa-tawa ketika main lempar penghapus papan tulis, mengganggu Gideon, dan mengambil jajan anak lain tanpa permisi. Tari masih membenamkan muka dalam lipatan tangan. Ia benar-benar masa bodoh sekarang. Ia mau tidur.
“Tari..” seseorang mengguncang tangannya.
“Hmm,”
“Dicari Kak Bram,”
            Tari mengangkat kepala. Kak Bram sudah ada di depan pintu, melambai sambil tersenyum padanya. Dada Tari rasanya sesak, ia ingin meledakkan kemarahan di depan Kak Bram, karena sudah berani membuatnya dalam posisi tertekan, di antara perasaan suka yang bisa membuatnya tertawa seperti orang gila dan kerelaan untuk melepasnya demi kesolidan tim estafet. Tawa Reno dan kawan-kawannya masih terdengar. Suara bak-buk dari lemparan penghapus papan tulis makin membabi buta. Tari, seperti biasa, hanya bisa menunduk di depannya. Ia memejamkan mata agar air bening dari sudut matanya tidak keluar, maaf Kak Bram, aku harus memilih sekarang.
“Habis pulang sekolah kamu, errr, kamu mau nemenin aku minum kopi?”
“Saya nggak bisa Kak, saya mau ke toko buku,” jawab Tari asal saja. ia tidak punya rencana untuk pergi ke sana sebenarnya.
“Oh, gimana kalau kamu ke toko bukunya yang di Mall Malioboro aja? Aku mau ngopi di sana,”
“Nggak bisa Kak,” lehernya sakit karena menahan tangis, dan kepalanya puyeng karena keibutan di dalam. Lima ekor berudu itu benar-benar menyebalkan, “Saya ada janji sama orang lain. Kita mau ke Plaza Ambarukmo”
“Sama siapa? Dita?”
Kalau menjawab Dita, maka Kak Bram gampang saja mengarahkan mereka untuk mengikutinya. Ia akan kehabisan alasan untuk menolak meski ia sebenarnya mau menemani Kak Bram-nya, kemana pun itu di seluruh dunia. Bayangan Kak Fanny yang terisak di lintasan atletik kemarin muncul lagi. haruskah dia menyerah sekarang?  Tari meremas tangan, ‘ya’. Alternatif nama lain melintas di kepalanya. Astaga, anak ini benar-benar... Tawa nyaring Reno menusuk-nusuk telinga. Reno, awas kau...
“Bukan Dita. Tapi Reno” jawab Tari ketus, “Reno, kita jadi ke Gramed kan hari ini?” suara Tari cukup keras untuk terdengar oleh anak yang langsung berhenti melempar penghapus.
“Hah?”
            Keheningan menyelimuti kelas yang hanya berisi Kak Bram, Tari, lima ekor berudu, dan Gideon yang menjadi bulan-bulanan mereka. Tari mengumpat dalam hati, ia telah menggali kuburan baru untuknya sendiri. Tapi untung saja hanya mereka yang mendengar, jadi Tari tidak perlu mati saking malunya sekarang. Muka Tari jadi merah ketika tiba-tiba ada yang nyeletuk.
“Ciiiieeee, Tari dan Reno....”
***
            Tari membuka kotak masuk pesan dalam ponsel berlogo apel yang sudah digigit miliknya. Ia menyeringai, akhirnya anak itu mau juga. Tari membaca ulang percakapan melalui pesan singkat yang sudah berlangsung sejak pelajaran kimia, dua jam sebelum kelas bubar.
‘Reno, aku udah bilang kalau aku pergi sama kamu,’ sent 12.10
‘Terus? Aku gak mau ikut campur sama urusan kalian,’ received 12.15
‘Tolong, kali ini aja. Aku takut dia bakal berubah pikiran untuk pergi ke Plaza Ambarukmo juga, dan dia akhirnya tau kalo aku bohong,’ sent 12.17
‘Bilang sama dia aku memang nganter kamu, terus aku pulang duluan,’ received12.40
‘Aku gak mau bohong. Setidaknya kamu benar-benar harus ikut ke sana,’ sent 12.41
‘Bodo amat,’ received 13.05
‘Ren, urusan kita yang kemarin belum selesai. Jangan membuatku menangis lagi sekarang,’ sent 13.06
‘Anjrit! Dasar cengeng! Jangan nangis!’ received 13.15
‘Berarti kamu ikut?’sent 13.17
‘Ya,’ received 13.55
            Reno sudah berdiri gelisah di dekat shelter. Wajahnya jadi merah saat tahu Tari sudah muncul di sebelahnya. Mungkin dia marah, Tari juga bakal begitu kalau jadi dia. Mereka langsung naik bis jurusan 1A, yang membawa sampai ke jalan Solo. Bis saat itu penuh, jadi mereka berdua haya bisa bergelantungan. Reno mengambil jarak sejauh mungkin dari Tari, pura-pura tidak saling kenal.
Bis akhirnya sampai di depan plaza. Mereka sekarang sedang berdiri di tepi zebra cross, menanti arus kendaraan agar sedikit mereda. Tari melirik taku-takut pada Reno. Anak itu masih diam sejak mereka berangkat. Mereka berdua masuk lewat pintu barat, lalu naik eskalator sampai lantai tiga. Melewati beberapa etalase baju import dan juga tempat permainan anak-anak, mereka tiba juga di depan toko buku yang dituju Tari.
“Makasih ya udah mau ngantar. Kalau kamu mau pulang sekarang nggak apa-apa,” kata Tari sambil tersenyum. Reno hanya mengangguk setelah itu menghilang. Hah, Tari kini sendirian.
            Sekarang ia benar-benar bingung. Rak-rak yang memajang buku-buku fantasi dan novel terjemahan luar negeri ini sudah dia datangi lebih dari lima kali hanya sekedar untuk membolak-balik, lalu membaca sinopsisnya. Tari membeturkan kepala pada rak kayu yang memajang trilogi Hunger Games. Bahkan jika dia tertarik pada sebuah buku, ia tak punya cukup uang untuk membelinya.
 Tari melanjutkan penjelajahan lagi pada bagian anak-anak, mendapati serial Lima Sekawan yang dulu dia gandrungi. Ia hampir punya seluruh serinya, tapi beberapa hilang saat di Jakarta dulu. Teman-temannya banyak yang meminjam, ada yang lupa, sebagian ada yang pura-pura lupa untuk mengembalikan. Tari duduk di kursi empuk yang melingkari tiang di dalam toko, menyandarkan kepalanya yang dijejali alunan Jazz ringan. Tari menguap, jam tangannya menunjukkan ia sudah satu jam berada di sini. Lebih baik ia pulang sekarang, ia mengantuk dan lapar.
            Sesosok tubuh sudah mencuri perhatiannya saat ia baru saja mau keluar. Dari sudut ini, Tari yakin ia mengenal orang itu. Ia melangkah pelan, meredam bunyi sepatu sekolah yang menapak lantai. Benar, orang itu berdiri di depan pintu masuk, memandang manusia lain yang lalu lalang.
“Reno?” panggil Tari.
“Oi,” Reno gelagapan saat menjawab.
“Kukira kamu udah pulang,”
Reno perlahan-lahan menjulurkan tangan yang ia sembunyikan di belakang punggung. Ia menggenggam kantong plastik berisi satu keranjang ayam kentucky, “Aku sekalian mau bayar utang,”
            Mereka duduk di kursi, di halaman depan plaza yang berbatasan langsung dengan jalan raya. Banyak orang yang melakukan hal yang sama, hanya sekedar duduk sambil mengobrol, ngemil, maupun merokok di bawah iklan rokok yang bertengger di lampu jalanan. Padahal iklan rokok sekarang tampil agak garang, ada gambar tengkorak dengan tulisan frontal ‘merokok dapat membunuhmu’. Petugas kamanan yang memegang penanda bertuliskan ‘STOP’ membantu menyeberangkan orang dari satu sisi ke sisi lain, menghentikan kendaraan yang seenak jidat nyelonong.
Tari meminta berhenti sebentar di sini agar ia bisa memijat kakinya yang pegal, setelah itu beralih pada keranjang ayamnya. Ia meletakkan tutup bulat putih setelah berhasil membukanya, lalu mencomot satu bagian paha dan langsung menyantapnya. Bunyi kriuk tepung garing yang ia gigit membuatnya bertambah lapar. Tari menutup mulut dengan tangan, menyembunyikan remah-remah yang melompat. Reno hanya memperhatikan dengan mulut sedikit terbuka.
“Ayo bantu,” Tari menyodorkan keranjang ayam padanya.
“Tidak, buat kamu saja,”
“Aku nggak mungkin menghabiskan ini sendiri. Ayo,”
            Reno menatap Tari yang tersenyum, lalu ikut merogoh ke dalam keranjang, mengambil bagian sayap dan memakannya.
“Ternyata kamu berbakat biologi juga ya?”
“Hmmm,” gumamnya, “Itu belum 100% kemampuanku,” kata Reno.
Seringai Tari makin lebar saat melihat Reno yang asyik menggerogoti ayam keduanya. Reno kemudian mengelap tangan dengan tisu, setelah itu mangambil tisu lain untuk membungkus ayam yang belum selesai dia makan. Ia mengambil tasnya, lalu mengobrak-abrik untuk mendapatkan sesuatu. Reno mengeluarkan buku blok berwarna hijau yang pernah dipinjamkan Tari. Ringkasan biologinya dari berbagai sumber. Catatan saktinya.
“Maaf baru kukembalikan. Ini cukup banyak membantu, makasih ya,” Reno menyodorkan buku tanpa berani menatap Tari.
Hati Tari mencelos. Ia teringat tulip putihnya. Tari memandang Reno ingin tahu, apakah anak itu berhasil mendapatkan pesannya. Tari menghela napas, ya sudahlah kalau tidak. Ia akan minta maaf suatu hari nanti secara langsung. Jadi sekarang Tari menguatkan hati, mencoba untuk berbicara lembut padanya.
“Bilang saja kalau kamu butuh sesuatu,”
            Derum bis Trans berwarna hijau yang datang terlambat lima menit mengawali perjalanan Tari menuju rumah. Bis masih sama penuhnya seperti saat mereka berangkat dari sekolah, namun kali ini mereka cukup beruntung mendapat dua kursi kosong menyamping yang menghadap pintu. Mereka sempat bertukar pandang canggung saat harus duduk berdekatan dan saling tempel seperti ini. Reno langsung membuang pandangannya ke arah supir, meski terhalang orang yang menggelantung di depannya. Sedangkan Tari sendiri hanya menatap kernet yang menyebutkan pemberhentian selanjutnya.
            Tari menikmati goncangan dalam bis, saat sesekali bis terpaksa masuk lubang kecil, maupun saat supir bis mengerem mendadak dan memasukkan persneling dengan kasar. Tari membiarkan tubuhnya mengalun, dengan suara obrolan berisik dalam bahasa Jawa, juga semilir angin yang satu dua kali lewat begitu pintu otomatis terbuka di setiap pemberhentian. Ia benar-benar bersyukur sekarang, atas hidupnya, atas hari ini, mengacuhkan masalah tentang Kak Bram dan tim estafet yang menghilang bersama asap kendaraan. Tari mengelus perutnya yang penuh terisi ayam-ayam taruhan Reno, dan mulai memejamkan matanya, terlena dengan indahnya hidup yang bisa dinikmati bahkan dalam keruwetan bis Trans Jogja sekalipun.
 Tari hanya ingin tersenyum terus sekarang, mengantar kesadarannya yang makin menurun sampai benar-benar menghilang. Kepala Tari terkulai lemah, bersandar pada pundak orang di sebelahnya. Tari sudah jatuh tertidur, tidak peduli bahwa harum melon rambutnya telah membuat panas-dingin tubuh anak laki-laki di sampingnya. Jantung Reno berdegup makin cepat saat menemukan senyum damai pada bibir lembut gadis cantik ini.

Minggu, 09 Februari 2014

Titip Maaf Buat Reno

Sekolah makin sepi sekarang. Sudah lewat satu jam dari jadwal pulang. Hanya beberapa orang yang selintas lewat sambil membawa barang-barang keperluan ekskul, termasuk gawang futsal yang digotong beramai-ramai. Masih sembunyi di balik salah satu tiang besar penopang gedung sekolahnya, Tari masih terus mengintai. Reno dikelilingi kroni-kroninya di bawah salah satu pohon rindang. Tari mengumpat dalam hati, kenapa mereka tak pulang saja sih?
            Tari mengetuk-ngetukkan dahi dengan telunjuk, sedang berpikir keras rupanya. Aha! Tari terkekeh penuh kegemilangan saat ia mengeluarkan salah satu majalah terlarang di sekolah. Logonya kelinci, dengan cover depan seorang wanita dewasa setengah bugil yang sedang memegang pentungan. Tari akan melemparnya ke sana, memancing teman-teman Reno agar mengejar santapan lezat itu. Setelahnya Tari bisa memanggil Reno untuk berbicara empat mata, tentang ia yang benar-benar menyesal atas kejadian kemarin.
Jadi Tari langsung mengeksekusi ide briliannya. Dan benar saja, teman-teman Reno berubah jadi serigala lapar saat majalah itu dibuang ke tengah lapangan. Air liur mereka menetes sepanjang mereka berlari dan saling serang untuk mendapatkan majalah. Hahaha, ini cukup mudah! Semacam melemparkan beras ke sekumpulan ayam! Maka Tari  berteriak memanggil Reno yang langsung mengikutinya menuju belakang sekolah.
Tangan Tari mengamit tangan Reno karena anak ini larinya sangat pelan benar. Bagaimana kalau kawanan laki-laki ganas itu menyadari satu di antara mereka ada yang hilang? Tari langsung melempar Reno ke tembok dengan tangan yang terus memegang pundak laki-laki ini. Napas Tari saling kejar, tak hanya karena kelelahan, tapi juga karena tantangan di depan mata yang membuat adrenalinnya meningkat. Susah benar mau minta maaf.
“Reno dengarkan!” Tari membentak Reno. Anak itu hanya diam.
“Aku hanya mengatakannya sekali dan tak akan mengulanginya lagi, maka dengar baik-baik!” Tari menatap Reno lekat-lekat, “Reno.. Reno aku mau... aku mau bilang kalau aku.. aku... min...”
“Tari dengar!” Reno memotong Tari, “Aku mau jujur sesuatu padamu. Semuanya salah! Kata orang-orang aku suka kamu, itu salah! Tari, sebenarnya aku tak suka kamu. Sangat tak suka, bahkan sama semua perempuan! Tar... sebenarnya...,” wajah Reno terlihat merah, Tari hanya melongo, “Tari, sebenarnya aku perempuan,”
 Reno tiba-tiba mengarahkan tangan Tari ke depan dadanya. Tari tersentak ketika merasakan benjolan di dada Reno. Matanya terbelalak! Tidak mungkin Reno adalah perempuan! Tidak mungkin! Tidak mungkin buah dada Reno lebih besar darinya!
“Tidak mungkin...!!!” Tari menjerit sejadi-jadinya, lalu mundur untuk menjauhi makhluk aneh yang kini berubah menjadi semacam siluman. Tari tidak menyadari selokan kecil yang berada di belakang, membuatnya terjomplang dan akhirnya terjatuh.
GEDEBUK!!!!
            Tari bangun dengan gelagapan. Keringatnya mengucur deras dari dahi, leher, punggung hingga ketiaknya. Napasnya saling memburu, jangan sampai putus di tengah jalan. Matanya mengerjap mencari-cari cahaya, tapi percuma saja, ini kan masih malam? Tari duduk bersandar pada piggiran kasur. Cahaya bulan membuat bayangan proyeksi lemari pakaian yang sampai pada kaki tari.
            Ia berusaha mengingat mimpi yang mengerikan tadi. Tentu saja itu hanya mimpi, banyak kejadian tidak masuk akal yang membuatnya sampai ketakutan. Ide bodohnya tentang majalah pria dewasa, sekelompok anak laki-laki yang berubah jadi serigala, dan Reno yang bertransformasi menjadi makhluk berkelamin tak jelas. Tak masalah kalau Reno adalah perempuan, tapi buah dadanya itu loh, Tari tak bisa terima kalau milik Reno jauh lebih besar dari miliknya.
            Tari mengusap keringat. Ingin minta maaf saja sampai begini gugup, bahkan hingga terbawa mimpi. Tari bangkit dari duduknya dan menyalakan lampu kamar. Jam tiga dini hari. Ia baru akan merebahkan diri kembali ke kasur, namun kaget dengan jejak tidurnya yang mengerikan. Sebuah pulau besar terbentuk di seprei. Tari meraba permukaan yang masih basah itu. Ia mengernyit, bisa gawat jika orang-orang sampai tahu kalau Tari ngiler saat tidur.
            Bunyi denting piring dan sendok tanda sarapan telah dimulai. Mereka sibuk masing-masing. Papa Tari dengan korannya, mama dengan gadget-nya, Tari dengan nasi gorengnya, dan adiknya dengan omelan tentang dapur yang berwarna hijau. Mama yang ngotot memilih warnanya. Semua ruangan yang sering mama gunakan akan diwarnai hijau. Yang berarti hampir satu rumah selain kamar Tari. Adik Tari, Reza, di umurnya yang genap sepuluh tahun dua minggu lalu, belum memperleh otonomi atas kamarnya sendiri. ia ingin kamarnya dicat biru.
“Kamu masih kecil. Belum bisa ngatur kamar sendiri. Mama harus sering-sering ngecek” kata mama.
Dahi papa hanya berekerut saat putranya mulai merengek untuk ganti cat kamar. Mama menggeleng dari balik gadget-nya. Hijau adalah simbol tanaman, dan mama benar-benar terobsesi dengannya. Setahu papa, istrinya tak pernah suka bercocok tanam. Hanya sekedar ikut-ikutan teman sepertinya.
“Kita udah tua, Pa. Kalau hijau kan enak kita lihatnya. Mata kita segar, pikiran tenang, gak bikin stress, Pa,” mama meletakkan tabletnya dan menuangkan susu rendah lemak untuk suaminya.
Papa melirik pada Reza, “Sudah jelas?”
Anak itu hanya mendengus sebelum kembali menghadapi flappy bird di tablet punya Tari. Tari memandang geram bocah kelas 5 SD yang sedang menyandera tablet bermerk sama dengan smartphone-nya. Sial, anak itu tahu Tari tak ikut ulangan kemarin. Reno meminta laporan perkecambahan Tari yang ketinggalan pada Reza, dan menjelaskannya sabagai benda yang maha penting. Dan Tari, sekali lagi, masuk perangkap Reza. Bocah itu memancingnya untuk mengakui kesalahan dengan intergoasi licik yang menyudutkan. Tari bingung, apakah adiknya yang terlalu jenius atau dia yang terlalu bodoh?
Tari memandangi anggrek-anggrek mamanya dari dalam city car yang mulai menjauh. Mama hanya sesekali memeriksa tanaman dari ujung pedalaman Kalimantan itu saat ia ingat. Selebihnya Mbak Jum yang mengurus. Tanaman-tanaman milik mama kebanyakan adalah pemberian klien. Mama tentu akan berpikir dua kali untuk membeli sendiri tanaman mahal yang hanya punya beberapa lembar daun. Termasuk dua pot sanseveira di teras depan, hadiah selebriti yang menang atas hak asuh anak setelah perceraian.
Suatu hari Tari pernah bertanya pada mamanya, apa bagusnya sebuah tanaman yang hanya terdiri dari daun berwarna merah dan hijau, dengan sebuah struktur seperti buah pinang di tengahnya itu. Mama harus memutari tanaman itu beberapa kali, melihatnya dari berbagai sudut berbeda.
“Ini cantik loh, Tar. Masa kamu gak bisa melihat keindahan sebuah anthurium?” kata mama sambil mengelus dagunya.
“Lebih bagus mawar,” protes Tari.
“Ya nggaklah Tar, lebih bagusan ini,” mama masih memutari anthurium miliknya, kedengaran agak ragu dengan jawabannya sendiri.
***
            Kriiiinnnggg............
            Bel masuk sekolah terdengar begitu nyaring melalui speaker-speaker yang dipasang di tiap kelas. Tapi kali ini sungguh keterlaluan. Tari bahkan harus menutup kupingnya sampai bunyi yang mirip alarm jam kamarnya itu berhenti. Tugas membunyikan bel sekolah hanya milik satu orang. Laki-laki asal banyumas yang berantakan kalau berbicara. Sebenarnya tugas utamanya sama dengan si penjaga gerbang, yaitu sebagai juru kunci sekolah. hanya saja membunyikan bel adalah spesialisasinya. Berbeda dengan si penjaga gerbang yang selalu terlihat galak, si juru bel adalah pria ramah yang selalu menyunggingkan senyum genit setiap ada siswa putri yang lewat. Tari melirik pada Dita yang sama herannya.
“Pak Agus patah hati lagi ya?” tanya Dita.
“Sepertinya,” jawab Tari.
            Gelombang manusia mulai memasuki pintu berdaun dua yang salah satunya ditutup. Mereka berdesak-desakan untuk menjadi yang pertama masuk kelas. Sebagian saling dorong hanya untuk bercanda, membuat tawa renyah di pagi hari, saat sebagian yang lain terlihat kesal.      Tari tahu siapa yang diincar lima orang laki-laki yang memulai keributan ini duluan. Tubuh kecil Gideon dihempaskan dari kiri ke kanan, kanan ke kiri, dan seterusnya. Gideon berusaha agar buku-buku yang dipeluknya tak jatuh, dan menahan agar kaca mata tebalnya tak melorot.
Tari sudah berdiri dari kursinya untuk menghentikan sekelompok anak yang dikenal sebagai mafia kelas. Entah sampai kapan ia harus mengontrol lelucon mereka yang tak lucu. Tari menghitung mereka satu per satu, dan kurang satu! Tari tidak segera bergerak, tapi masih mencari si pencetus ide dari setiap kelakuan aneh mafia level berudu yang belum muncul juga. Mana Reno?
“Tari!!!!!!”
            Tari melonjak kaget saat Gideon menghambur ke mejanya. Seragamnya jadi kacau balau setelah berhasil keluar dari kepungan Viktor, Beno, Jali, dan juga Fredy. Rambut tipisnya yang menempel rapi dengan bantuan gel pasaran, kini mulai awut-awutan, menunjukkan pertumbuhan rambut yang tidak teralu lebat. Gideon akhirnya bisa menguasai diri, lalu segera berdiri tegap, tak mau terlihat lemah di hadapan Tari. Gideon menunjukkan senyum pria pada yang terkasih, yang tak pernah tahu betapa Gideon telah begitu menderita karenanya.
Tari tak tahu harus melakukan apa selain nyengir membalas Gideon yang pamer gigi. Kasihan Gideon. Tari kemudian beralih pada empat orang yang masih berdiri dekat pintu. Meski tanpa dedengkot mereka, empat orang itu masih sama berbahayanya.  Keempatnya kompak memalingkan muka saat Tari melotot pada mereka, lalu melenggang menuju bangku-bangku paling belakang. Tangan Tari sudah terkepal. Entah kenapa ia ingin meninju seseorang yang bertanggung jawab penuh atas kondisi kelas yang tak kondusif. RENO!!!! MANA RENO???!!!
“Tari...”
Tari tersentak dari lamunannya. Di depannya masih ada Gideon, yang meski terlihat masih ngos-ngosan setelah diserang, terus memamerkan giginya.
“Ya Dion?”
“Kak Bram nyari...,”
Tari heran, bagaimana mungkin gigi-gigi yang bersarang di balik bibir kering itu bisa terus Gideon pamerkan selama bicara? Seluruhnya, dari gigi seri sampai geraham! Kak Bram sedang melambai padanya dari luar kelas, membuat Tari hanya bisa cengengesan seperti orang bodoh. Ini masih pagi, dan Tari tidak mau berteriak-teriak saking girangnya.
Ya Tuhan, bisa nggak sih Kak Bram berhenti tersenyum terus? Tari hanya bisa memandang sepatu Kak Bram setiap mereka berhadapan seperti ini. Bisa-bisa ia meledak menjadi keping-keping kecil.
“Ada apa Kak?” tanya Tari malu-malu.
“Kamu di cariin Bu Nanik,”
“Oh iya Kak, makasih,” Tari menggigit bibirnya.
            Satu.. Dua.. Tiga.. Tari menghitung sampai sepuluh, namun Kak Bram tidak segera beranjak. Kak Bram memasukkan tangannya ke dalam saku celana dan memandang ke arah lain, Tari yakin dia salah tingkah. Aaahhh, kalau saja dia adalah es, pasti Tari sudah meleleh sekarang. Tari ingin menjitak kepala Kak Bram agar laki-laki itu segera pergi, tapi jangan jauh-jauh darinya. Oh dilema.
“Saya pergi dulu Kak,”
“Oh, silahkan. Aku juga mau pergi,” Kak Bram menunjuk ke arah berlawanan.
            Tari buru-buru ambil langkah panjang, lalu menengok ke belakang. Sama. Kak Bram juga menengok. Mereka berpaling berbarengan. Tari merasa wajahnya panas. Tidak, tidak, Tari menggeleng. Ia harus fokus dengan Bu Nanik sekarang. Apa kira-kira yang ingin dibicarakan Bu Nanik? Apa tentang insiden kemarin? Kalau benar begitu, ia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk merayu Bu Nanik agar memperbolehkannya ikut ulangan di kelas lain. Tari sudah siap dengan tampang memelas.
            Tidak banyak guru yang berada di sana. Hanya dua atau tiga orang yang sedang sibuk di tempat mereka masing-masing. Tari menyusuri jalan kecil yang terbentuk di antara deretan meja menuju bagian pojok ruangan, di mana ia akhirnya berhadapan dengan Bu Nanik yang bersembunyi di balik majalah gossip. Tumpukan kertas ulangan maupun buku tugas yang makin meninggi belum dihiraukan wanita yang masih melajang di usianya yang berkepala tiga.
“Ibu memanggil saya?”
            Bu Nanik menurunkan sedikit majalahnya, memperlihatkan mata elangnya yang menusuk sampai ke sanubari Tari. Tari memasukkan anak rambutnya di antara telinga, tidak nyaman dengan Bu Nanik yang belum bicara dari tadi. Tari merasa seakan sedang ditelanjangi.
“Saya sangat menyayangkan kamu tidak ikut ulangan kemarin. Jelaskan pada saya apa yang terjadi,”
            Maka Tari menjelaskan segalanya, tentang laporan perkecambahannya yang ketinggalan sampai Reno yang dia minta untuk mengambilnya di rumah. Bu Nanik manggut-manggut di balik majalah yang sudah diturunkan setinggi hidung.
“Baik,” Bu Nanik melipat majalah dan melemparnya ke atas meja, “Saya ceritakan semua ke wali kelasmu dan dia minta saya untuk memikirkannya lagi. Mungkin dia benar, kamu terlalu berharga untuk diperlakukan demikian. Mungkin kamu lagi apes saja kemarin. Tapi saya punya pertimbangan lain, Mbak Tari. Semua jadi terlalu datar kalau tak ada yang bisa menembus angka 90. Saya beri satu kesempatan padamu. Besok lusa ulangan di kantor saya, pastikan kamu membawa laporanmu,”
“Baik, Bu,” Tari tak bisa menyembukan senyum, satu nilai biologinya tidak akan begitu saja melayang, “Tapi Bu, bagaimana dengan Reno?”
“Oh anak itu. Lupakan saja dia,”
“Tapi dia tidak ikut ulangan karena saya...”
“Kembali ke kelasmu Mbak Tari. Saya tidak mau kena marah dari guru matematikamu,”
Tari hanya bisa megap-megap selama beberapa saat. Ia bimbang antara bermain aman dengan menuruti gurunya atau merasa terbebani lagi karena meninggalkan bocah itu. Ia menarik napas, “Kalau begitu saya tidak bisa ikut Bu,”
“Tari!” bentak Bu Nanik sambil melotot.
 Tari hanya memandang lantai. Tangan Bu Nanik gemetaran saat memegang gagang kacamata lalu melepasnya. Bu Nanik seperti memperlihatkan dirinya yang berbeda tanpa kaca mata yang bertengger di hidung. Tari sempat menebak-nebak kalau masih ada darah Tiongkok yang mengalir di nadi gurunya. Semakin jelas sekarang, mata Bu Nanik yang sipit itu pantas disandingkan dengan kulit kuningnya. Bu Nanik kelihatan manyun.
“Kamu pacarnya ya?”
“HAH????” Tari serasa disedot masuk ke dalam pusaran kakus.
***
            Tangannya bergerak lancar di atas kertas bergaris menyelesaikan nomor terakhir persamaan trigonometri yang ditugaskan gurunya. Tari mencoret-coret sudut yang tidak perlu, lalu mengotak-atiknya untuk membuktikan persamaan. Apa maksud Bu Nanik tentang pacaran? Aarrgghh, membuat Tari mual saja. Di saat konsentrasinya terpecah dua, Tari tetap bisa membuat Dita, yang duduk sebangku dengannya, hanya bisa melongo melihat tinta yang keluar membentuk angka-angka latin. Tari membubuhkan dua garis di atas jawaban akhirnya. Selesai.
“Pinjem ya,” Dita merebut buku Tari tanpa ba-bi-bu.
“Dit....” Tari hanya bisa menghela napas.
            Susana kelas layaknya Kuta tanpa wisatawan. Hanya ada desir-desir dingin yang muncul dari moncong air conditioner. Semua sibuk dengan soal pilihan Pak Bejo yang diambil dari buku berkurikulum asing. Sibuk mengeluh sambil memikirkan kemungkinan penyelesaian. Tari menidurkan kepalanya di atas meja, kalau bisa ia ingin memasukkannya ke dalam laci meja saja. Ia masih memikirkan kata-kata guru biologi. Tari mengigit bibir bawahnya, lalu memutar kepala ke belakang.
            Tari menangkap anak itu sedang menguap, lalu mengucek bagian bawah hidung. Reno melempar tatapan keluar ruangan lewat jendela di sebelahnya. Tangannya memangku dagu seperti perawan yang sedang menanti untuk dipinang. Tari yakin anak itu belum mengerjakan satu nomor pun. Tari segera mengalihkan pandangannya ketika Reno menoleh ke depan. Gadis itu mencubit pipinya sendiri, kenapa mesti memperhatikan anak itu?
            Butuh lima belas menit sampai Tari yakin semua temannya telah keluar untuk istirahat. Terutama empat orang dari lima serangkai itu. Sebuah kesempatan yang langka saat Reno tidak bersama kroninya. Tari melirik ragu-ragu ke belakang. Reno sedang serius membaca, sambil sesekali menelan ludah. Ia membulatkan tekad, kalau tidak sekarang kapan lagi?
            Mereka hanya berjarak lima meter, tapi sepertinya butuh lebih dari satu jam agar Tari bisa memindahkan seluruh tubuhnya ke deret kursi paling belakang. Kakinya susah digerakkan lebih cepat, tidak rela untuk menginjak daerah hitam kelas. Baiklah, sekarang Tari hanya perlu melangkah lebih panjang, dan... Tara! Ia langsung menduduki kursi di depan meja Reno.
“Sedang serius rupanya,”
“Hemm...” katanya sambil menikmati gambar, “Hah?” Reno menyembunyikan bukunya dalam sekejap setelah sadar siapa yang menegur.
“Kukira kamu nggak sekolah,”kata Tari sekedar basa-basi.
“Bukan urusanmu,” Reno menimpali dengan dingin.
            Reno melempar pandang ke lapangan, pura-pura kalau tidak ada orang yang bersamanya. Tangannya yang saling remas gelisah tidak luput dari pengamatan Tari. Dahi Tari berkerut, ingin tahu apa yang dipikirkan anak laki-laki sehabis mengonsumsi bacaan terlarang. Tiba-tiba Tari merasa jijik, ingin muntah di atas meja. Tari sayang, sekarang waktu yang tepat untuk mengutarakan tujuanmu. Bilang saja maaf dan urusanmu selesai, batin Tari.
“Well, Reno...” Tari memanggil pelan Reno sambil menatap kukunya sendiri. meminta maaf ternyata tak sesederhana itu.
“Reno...” Tari memanggilnya lagi, “Soal yang kemarin...”
Tari membaranikan diri untuk mengangkat kepalanya. Sekarang mata mereka sejajar, ia bisa melihat lubang kehitaman di tengah mata Reno. Cahaya akan memantul pada tubuh Tari, lalu masuk melalui celah pupil yang bisa membesar dan mengecil seperti diafragma pada kamera. Cahaya akan sampai di retina, digambarkan terbalik dan kecil, lalu akan dikirm ke korteks penglihatan untuk diolah. Mata Tari berkedut, kenapa ia malah memikirkan biologi? Reno sudah memangku dagu dengan tangan lagi, ingin tahu apa yang akan  disampaikan gadis itu.
“Aku mau bilang kalau aku...” Ayo Tari, sedkit lagi, “Aku minta ulangan susulan untuk kita berdua. Besok,”
Tari ingin membenturkan kepalanya sekarang juga. Kenapa kalimat itu yang keluar? Mana kata ‘maaf’ nya?????
Sebelah alis Reno terangkat, “Hanya itu?”
“Yap,” Tari bangkit dari kursi. Ia belum mau pergi sih, tapi ia terlalu gengsi untuk minta maaf sekarang.
“Kamu nggak merasa sudah melakukan sesuatu yang buruk kemarin?”
Tari mengangkat bahu, “Toh kamu juga bakal ikut ulangan susulan kan?”
Reno tertawa kecil, tidak percaya dengan Tari,“Kalau aku ikut ulangan kemarin, aku nggak akan ulangan sendirian,”
“Apa bedanya?”
“Ya bedalah! Aku nggak akan ulangan sendirian!” Reno memberikan penakanan pada empat kata terakhir.
            Sejak awal ia sudah mengerti mau dibawa ke mana arah pembicaraan mereka. Kalau ulangannya kemarin, maka Reno tidak perlu sulit-sulit belajar, karena sudah ada back-up dari kroni-kroninya. Harusnya Tari langsung minta maaf saja tadi, hingga ia tak perlu tersandera lagi seperti ini. Sekarang Reno menumpahkan semua kesalahan padanya, memancing Tari untuk setuju ‘membantu’ ulangan Reno. Tari menyeringai, akan ia tunjukkan arti ‘membantu’ yang sesungguhnya.
“Baik. Nanti sore datang ke tempatku. Biar kamu kuajari biologi sampai kepalamu ngelotok”
”Oi Tari! Bukan itu maksudnya...” kata Reno gelagapan.
            Kriiiiiinnnngggg........
“Wah, istirahat sudah selesai! Ingat Reno, kutunggu jam empat ya!” Tari tersenyum, lalu berbalik dan kembali menuju mejanya.
             Tari nyengir ketika mendengar Reno menggedor meja. Ia tahu kalau Reno masih mau berunding dengannya, tapi anak-anak lain terlanjur masuk kelas. Sesuatu yang mustahil bagi mereka berdua untuk kelihatan bersama. Tari juga sebenarnya ogah mengajari Reno. Namun beban moralnya sebagai teman seangkatan yang sudah mengarahkan Reno ke tepi jurang tidak perlu dipertanyakan lagi. Rasa setia kawannya masih ada meski untuk orang menyebalkan yang terhitung musuh. Walau tidak akan memberi kunci jawaban gratis, Reno harusnya bersyukur sudah diberi bimbel cuma-cuma.
            Tumbuhan liar bersulur menjalar di pagar, lalu merambat naik ke tembok dan terus  tumbuh sampai ke balok-balok yang saling melintang di langit-langit teras. Mama meminta untuk tidak dicabut. Katanya biar memberi kesan alami pada rumah dengan sedikit gaya joglo ini. Mbak Jum meletakkan baki berisi satu kotak kue kering dan satu teko perasan es jeruk limau segar di antara Tari dan Reno yang duduk selonjoran di lantai teras.
Senandung lagu tradisional dari mulut Mbak Jum mengisi keheningan sejak Reno bertamu ke rumah Tari. Reno harus berpikir dua kali untuk datang ke sini, menyebabkan ia terlambat seengah jam dari janji. Tari tidak menjelaskan apa-apa padanya sejak ia datang selain menggelar buku-buku biologi dari berbagai penerbit. Jadi mereka hanya diam-diam saja. Sementara Reno menunggu agar Tari mengajarinya, Tari sendiri hanya membolak-balik cover buku  berharap agar Reno segera bertanya. Geeezzz, laki-laki ini pasif sekali, gerutu Tari dalam hati. Dia tidak bisa membiarkan mereka diam terus.
“Sebutkan enzim-enzim pencernaan pada usus halus!” tanya Tari tiba-tiba. Yang ditanya hanya melongo.
“Belum baca,”
“Apa fungsi getah empedu?”
“Aku lupa,”
“Kamu udah belajar sampai mana sih?” Tari jadi tidak sabaran.
Reno menjawab cuek, “Belum mulai sama sekali,”
            Rasanya Tari ingin mencabut sulur-sulur tanaman yang paling dekat dengannya lalu menjerat Reno sampai mampus. Tari memalingkan wajah dari anak laki-laki itu. Asap harusnya sudah keluar dari semua lubang-lubang di tubuhnya. Tari mulai emosi.
“Ckck, kamu benar-benar manusia tanpa harapan,”
“Siapa kira-kira yang menghilangkan harapan itu?” Reno menyipitkan mata.
“Geeezzz... Ini!” Tari melemparkan sebuah buku blok tebal. Reno menangkap dengan satu tangan. Tari memejamkan mata sambil bersedekap, “Itu isinya ringkasan beberapa buku biologi. Langsung tanyakan padaku kalau kamu tidak mengerti. Benar-benar menyedihkan kalau kamu hanya dapat enam setelah membacanya,”
Reno mendekatkan mukanya, lalu bertanya dengan volume rendah, “Apa jaminannya?”
Tari tidak mau kalah, lalu ikut memajukan wajah, “Kalau nilaimu jelek, kutraktir tiga kebab Bang Madun. Kalau nilaimu di atas enam...”
“Aku traktir satu keranjang ayam kentucky!”
            Mereka mengangguk berbarengan. Kesepakatan telah disetujui dan Reno langsung merelakan otaknya dicekoki tulisan-tulisan Tari. Matahari sisa gundukan kecil di batas cakrawala. Anak-anak di kompleks Tari sudah saling mengucapkan selamat tinggal sebelum kembali ke rumah mereka masing-masing, tidak peduli jika nanti dimarahi oleh ibu yang cerewet. Rumah tetap lah rumah, seburuk apapun itu, baik bangunan rumah itu sendiri maupun penghuni di dalamnya. Dan Reno masih mengabaikan panggilan untuk pulang.
            Ekspresi di wajah Reno sepanjang satu setengah jam ini hanya menyimpulkan kebingungan. Tari menghela napas setelah menjelaskan mekanisme pencernaan, yang setelah ditunggu-tunggu, ditanyakan Reno malu-malu. Tari tidak peduli apakah yang diajari bertambah jelas atau sebaliknya. Ia ingin anak itu cepat pulang. Tari agak kikuk saat mamanya yang baru pulang kerja menemukan anak gadisnya menjamu laki-laki dalam keremangan senja.
Sekarang sudah hampir jam tujuh dan Reno cukup peka menangkap raut muka Tari yang enggan untuk lebih lama mengajari. Tari akhirnya meminjamkan Reno buku blok miliknya walau ia merasa terpaksa. Reno memasukan buku-buku ke dalam tas, lalu pamit pulang. Tari sempat melihatnya agak sempoyongan saat berdiri. Tari menghela napas, ia jadi sangsi apakah catatan biologinya cukup membantu.
Tari menutup pintu di belakang, kemudian menuju dapur untuk mengambil air minum. Tari meletakkan buku-bukunya, mengagetkan mama yang sedang menata cokelat-cekolat kecil di atas piring.
“Loh, temanmu udah pulang?”
Tari meneguk habis air dingin sebelum menjawab mama, “Baru aja,”
“Padahal mama udah nyiapin cokelat dari Belanda. Oleh-oleh dari Om Sutan,”
            Tari memandang dua tangkai tulip putih agak layu yang tidak jauh dari kotak cokelat. Barangkali oleh-oleh dari Om Sutan juga. Ia kemudian beralih pada tumpukan buku. Buku biologi bergambar kodok yang masih mulus itu bukan miliknya. Ia membuka cover depan, lalu mendapati nama dan tanda tangan Reno. Anak itu benar-benar sudah semaput, batin Tari.
“Tari, nanti tolong carikan info tentang tulip ya,”
Tari menangkap gelagat tidak beres, “Untuk apa Ma?”
“Mama mau coba menanam tulip di kebun belakang,” wanita berambut sebahu itu tersenyum. Hah, sudah dia duga.
            Matanya mulai memindai informasi dari blog seorang ahli botani terkenal. Tari memijat pangkal hidung, ternyata tulip tidak bisa hidup di alam terbuka daerah tropis. Kalaupun mama nekat untuk membangun rumah kaca, mama pasti terlanjur mati kebosanan menunggu tulip yang baru berbunga setelah tujuh tahun. Bunga tulip, bunga nasional Belanda yang tumbuh di tempat bersuhu rendah, menyembunyikan arti dibalik tiap kelopaknya.
            Tari menegakkan posisi duduk, meregangkan persendian, lalu bangkit dari kursi. Ia langsung turun ke lantai bawah, meminta satu tangkai bunga tulip hampir layu pada mamanya. Mama tak punya alasan untuk bilang tidak, karena tulipnya hanya tinggal tunggu waktu untuk membusuk. Tari kembali lagi ke kamar, mengambil buku Reno yang ketinggalan. Buku terbuka dari bagian tengahnya, kemudian Tari meletakkan tulip di sana. Tari memejamkan mata, memikirkan bunga tulip putih sebagai simbol permintaan maaf dari relung hatinya yang paling dalam.
***
            Tari melintasi lapangan basket yang tergenang air, berjalanan berlawanan dengan keriangan anak sekolah lain yang menuju gerbang untuk pulang. Di depannya ada Reno, berjalan menjaga jarak darinya. Bu Nanik sudah menunggu di ruang guru saat mereka masuk. Mengedikkan kepala ke arah dua kursi yang terpisah jarak satu meter. Dua kertas disodorkan di bawah hidung Tari. Satu kertas soal, satu kertas jawaban. Tari membalik soalnya setelah Bu Nanik memberikan instruksi. Soal nomor satu sudah menarik perhatiannya. Cukup menantang. Tari melirik ke samping kanan. Reno sedang menggaruki kepala. Tari menadahkan tangan sebelum memegang pulpennya, berdoa. Dengan seluruh kerendahan hati yang berusaha ia temukan kembali di balik diri hambanya yang dilumuti kesombongan, Tari meminta agar dimudahkan. Tari tidak hanya mengharap berkah untuk dirinya. Di bagian lain doanya, Tari menyisakan bagian untuk menyebut nama orang lain. Reno, semoga beruntung...
            Tari duduk di kursi panjang di depan ruang guru, menunggu Reno yang keluar lima menit setelahnya. Reno  tidak tahan lama-lama di dalam, tangannya gatal untuk segera menyelesaikan ulangan setiap kali ada orang yang sudah selesai. Mukanya terlihat pasrah, pas dengan rambutnya yang makin acak-acakan. Reno kaget saat tahu Tari menanti, lebih kaget lagi saat tangan Tari terjulur.
“Bukumu ketinggalan,”
“Oh ya, terima kasih,”
Tari meremas tangannya yang sudah bebas, “Aku duluan,”
            Yang diberi Reno tak lebih dari anggukan. Tari tidak menyalahkannya, karena memang ia tidak menuntut yang lebih. Tari berjalan mengikuti garis putih di tepi lapangan bola basket. Tari berharap Reno akan menggunakan otaknya untuk mencari makna di balik tulip putihnya, walau itu terdengar mustahil. Tari kemarin lupa kalau Reno tak pernah membuka buku, jadi rasanya sia-sia saja menyisipkan bunga itu di sana. Biarlah tulipnya menghitam lalu membusuk. Hatinya entah kenapa jadi ringan sekarang. Permintaan maaf  tulus yang cuma berakhir sampai ujung lidah kini berpindah ke sepucuk tulip.
Tulip berwarna putih yang hampir membusuk, aku titip maaf untuknya. Persetan jika ia akhirnya menemukanmu atau tidak. Memohon maaf bukan tanggung jawabku lagi. Tulip, aku tak peduli jika kau menarik perhatiannya melalui aroma harum atau busuk. Kalau kamu bertemu dia, sekali lagi, tolong bilang aku minta maaf. Kalau tidak bertemu ya sudah, tidak apa-apa.