Simple Life

Selasa, 20 April 2021

Tiga Tahun Ini

    Sudah lewat tiga tahun  setelah postinganku yang terakhir. Uraian membosankan tentang aku yang tidak memiliki kegiatan apapun setelab lulus menjadi dokter. Sebenarnya tentu ada banyak hal yang terjadi setelah itu. Membaca kembali tulisanku di masa lampau, sungguh sia-sia sebenarnya ya memusingkan sesuatu yang belum terjadi. Beberapa waktu setelah tulisanku publish aku bekerja paruh waktu sebagai asisten diklat di bagian Anestesi dan Perawatan Intensif di RSUP dr. Sardjito. Sebenarnya ada juga tawaran dari seorang teman sebagai pengajar bimbel, tapi aku tahu diri juga ya kalau ilmuku masih belum sanggup ku pertanggugjawabkan. Di sela-sela itu aku masih sempat menjadi pengajar bimbel untuk anak SMP dan SMA. 

    Banyak hal yang terjadi selama tiga tahun ini. Di tahun 2018-2019  aku akhirnya menjalani program internsip, Sesudahnya, aku kembali memasuki masa-masa kelam karena harus menentukan rute perjalanan lagi. Sempat tiga bulan menganggur setelah internsip, sambil terus menyusun lamaran dan mengirimkannya ke berbagai RS. Namun tidak kunjung ada jawaban. Periode kedua masa penantianku. Aku ada di persimpangan, di antara menjadi PNS atau tetap menanti tawaran PTT saja, Sampai akhirnya di awal tahun 2020 aku berangkat ke Mappi sebagai dokter kontrak. Daerah yang tak pernah kudengar sama sekali, kini aku harus menjalani satu tahun di tempat antah berantah itu. Aku kira sangat jarang sebuah rumah sakit daerah  membuka open recruitment untuk tenaga dokter, kecuali jika rumah sakit tersebut memang dalam kondisi sangat membutuhkan tenaga dokter. 

    Akhirnya aku menjalani satu tahun yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku tak akan menyebutnya sebagai pegalaman yang buruk, karena jujur saja Mappi banyak mengajarkanku ilmu-ilmu yang berharga, mengenalkanku pada orang-orang yang kuanggap sebagai saudara, bertemu dengan mentor yang luar biasa, sampai aku bisa lebih baik mengenal diri sendiri dan berusaha untuk berkompromi dengannya. Sampai pada titik tersebut, aku tak pernah merasa sedekat itu dengan diriku sendiri.

    Hingga beberapa bulan berada di Mappi, sejujurnya aku masih tak tahu apa yang kuinginkan untuk 5 atau 10 tahun ke depan. Menjadi spesialis tentu saja masuk dalam proyeksiku, namun tampakannya masih kabur. Aku bahkan tak tahu harus melanjutkan ke bagian apa, karena aku tak tahu apa yang kuinginkan, aku tak tahu passionku, aku mash tak tahu bagaimana nanti peranku di masyarakat, aku tak kenal diriku sendiri. Sama sekali. Tujuanku ke Mappi hanya untuk mencari uang saja. Menyedihkan bukan? Aku tak pernah bercerita ke orang lain tentang ambisiku, karena ku kira aku tak punya. 

    Bulan Juni 2020 merupakan saat-saat yang tak mudah bagiku. Di pertengahan tahun ini aku harus menghadapi banyak ujian. Dari menghadapi housemate yang sedang tantrum, menghadapi kasus-kasus yang hampir membuatku menangis, hingga akhirnya diberi tanggung jawab memegang ruang bayi. Sebenarnya apa yang kualami bertolak belakang dengan apa yang selalu kuharapkan. Aku merasa tak punya skill sosial yang bagus, sehingga aku tak pernah mempunyai hubungan yang dekat dengan residen saat koas. Namun, aku harus menjalani 6 bulan pertamaku di Mappi dengan tinggal bersama residen anak. Selama koas hingga internsip aku selalu berdoa agar terhindari dari pasien pediatrik, namun lihatlah, jantungku selalu berdegup ketika harus melaporkan pasien anak pada housemate ku. Mau tidak mau aku harus belajar agar tidak terlihat bodoh dan memalukan. 

    Segala penolakan yang selalu terngiang di  kepalaku muncul satu per satu. Lucunya, hal yang selalu kuhindari mulai bermunculan. Seperti magnet, semakin berlawanan dengan keinginanku, semakin kuat semestaku menarik segala yang kubenci. Tiap malam ketika aku sendirian, aku coba merenunginya. Apa yang membuatku puas sejauh ini? Apa yang membuatku kuat untuk berangkat tiap hari? Apa yang membuatku kuat setiap bertemu dengan wajah-wajah kecil yang kadang kurus karena gizi buruk?Apa yang membuatku rela memberi minum bayi-bayi itu? Kenapa aku bisa menatap bayi-bayi mungil dalam inkubator selama berjam-jam? Kenapa aku bisa dengan sabar membuat mama-mama untuk sedikit mengerti bagaimana seharusnya gizi dan kebersihan anak mereka? Saat itulah kukira aku sadar apa yang membuatku tetap bertahan. Aku kira aku sudah menemukan kekuatanku, menemukan alasanku, menemukan makna hidupku, menemukan peranku dalam masyarakat.

     Ada banyak hal yang ingin kuceritakan dari Mappi, tapi waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Ceritaku tentang Mappi akan kulanjutkan di lain hari saja. Namun ketahuilah, sekarang aku berada di periode ketiga masa penantianku. Setelah 6 bulan kembali dari Mappi, aku kembali berada di persimpangan. Berada di antara pilihan-pilihan. Mempunyai banyak pilihan tentu merupakan sebuah kemewahan, tetapi terlalu banyakpun kukira akan membelitku sampai tidak bisa bernapas dan bergerak. Tetapi seperti masa-masa penantianku sebelumnya, periode ini pun pasti akan berlalu. Aku tak tahu kelanjutan apa yang akan kutulis nanti. Semoga merupakan sesuatu yang baik. Oke, sampai jumpa lagi ya, aku tak tahu kapan lagi akan kembali menulis di sini. Sampai jumpa!

Senin, 23 April 2018

Ssstt

23 April 2018
Aku berbaring di dalam kamarku, baru saja kesal dengan teman yang menggampangkan sekali keadaanku saat ini. Tidak pernah sebelumnya aku curhat di blog. Malu untuk cerita lagi. Ingin cerita ke teman, tapi aku rasa mereka terlalu sibuk. Atau barangkali aku terlalu sungkan juga untuk cerita ke mereka. Mungkin mereka sudah lelah mendengarkan curhat2 seperti ini. Atau mereka tak punya waktu.  Atau kadang mereka membuatmu malah merasa lebih buruk. Lebih baik ngobrol sama tembok di twitter. Namun sekarang twitter jadi ramai lagi. Tapi sungguh, sendirian dengan beban ini di dalam kamar hanya membuatmu semakin sedih. Karena hanya ada kamu dan sesuatu yg kamu sebut masalah ini. Aku kini mulai menyadari beberapa orang yang katanya suka menangis sendiri di kamar. Dulu aku merasa aneh benar dengan orang-orang macam itu. Ih, dasar secara emosional tidak stabil, mengerikan! Dan sekarang aku takut aku akan menangis atau mengalami gangguan secara psikis. Wkwk, lebay amat ya. Kadang aku membayangkan akan jadi hikikomori karena terlalu lama menganggur dan sendirian. Jadi aku luapkan saja semuanya di sini. Aaaaakkkkkk!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!??!!??5?5/9/5=5/4@!48=hahaghHAUANA

Aku, 23 tahun, baru saja lulus ujian dokter, sedang menunggu sumpah mei nanti.  Namun saat ini, selama 23 tahun lebih kehidupanku, aku berada pada kondisi yang menganggap diriku paling tidak berguna. Ya, semua orang pasti akan bilang "kamu harus bersyukur". Namun orang-orang itu secara de facto memiliki kondisi lebih baik dariku. Aku tahu harus bersyukur, tapi bukan itu respon yang kuharapkan. Aku bisa mengingatkan diriku berjuta kali untuk bersyukur. Tapi apa lagi yang bisa kau beri agar aku merasa lebih baik? Aku saat ini berada di bawahmu, aku berharap kamu dapat membantuku naik agar bisa sejajar denganmu. Atau cukup tegarkan lah hatiku. Jangan ceramahi aku untuk menerima semua ini! Aku juga ingin maju, tapi memang kepercayaan diriku tidak sebagus itu. Itulah kenapa kata Karl Marx "Agama adalah candu". Bersyukur aja terus! Toh di agama dikatakan "Kejarlah dunia seakan kau akan hidup 1000 tahun lagi. Kejarlah akhirat seakan kau akan mati besok". Hm.

Aku tahu aku harus menerima semua nikmat Allah ini dengan syukur. Aku bahkan yakin Allah punya rencana yang lebih baik. Namun kalau hanya berakhir di situ? Oh, poor me. Aku berharap  bisa mengejar pintu rezeki yang lain, namun di saat aku ragu dengan pilihanku kamu seharusnya bisa menegakkanku lagi. Banyak sebenarnya jalan di luar sana. Namun sekali lagi, terkadang dorongan dari teman itu yang jadi amat penting! Bukan ceramahi aku. Aku sudah cerita bagaimana pikiranku saat ini, aku harap kamu mengerti. Kadang aku merasa anak FK itu tidak terlalu sensitif dengan hal-hal seperti ini. Padahal kami dikatakan harus empati.

Orang selalu bilang saat ini kondisiku lebih baik dari beribu-ribu orang lain yang menganggur dengan masa depan tidak lebih jelas dariku. Lagipula kondisiku saat ini tidak buruk-buruk amat. Bukannya sejak S1 aku memang ingin hidup yang lempeng-lempeng saja? Yeah, tapi memang tekanan sosial di sekelilingku membuatku berharap dapat melakukan lebih. Tapi memang mungkin aku yang terlalu malas, kenapa ogah sekali mengejar kesempatan yang ada? Dan kadang heran juga kenapa jadi orang kok terlalu rendah diri? Tidak ada ambisi-ambisi seperti orang lain. Tapi di satu sisi jadi takut juga dengan masa depan nanti, aku bakal jadi apa ya dibanding teman-teman yang lain? Tapi sekali lagi, aku tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki kualitas diri. Wkwk, ingin menertawakan diri sendiri.

Yeah itu saja. Aku mencoba menyerahkan kembali pada Allah Yang Maha Pemurah. Semua kembali pada-Nya. Aku tahu itu. Dan mungkin mulai saat ini, kamu akan jadi tempat sampahku ya blog! Wkwk, kamu ga pernah bantah aku yang cuma pengen buang sampah ini. Dan walaupun tidak ada kata2 menyemangati darimu atau saran2 untukku agar lebih baik, aku tetap suka deh! Wkwkwk

Selasa, 31 Oktober 2017

PRASANGKA



               
Dada bapak naik turun kejar-kejaran. Bapak kehilangan cukup banyak darah katanya, bapak anemia katanya, bapak kini terbaring lemah dengan masker oksigen. Tidak ada yang tahu kondisi bapak. Bapak memang hanya tinggal sendiri, tidak mau merepotkan anak-anaknya untuk menemani setelah kematian ibu. Tidak heran juga kenapa ia tidak mau karena seketika muka-muka anaknya pada berkerut.
“Repot juga kalau mau urus Bapak. Anak-anak masih kecil,” ujar kakak iparku. Kakak laki-lakiku hanya diam membeo ucapan istrinya.
                Aku hanya mendesah, tidak mungkin kubawa bapak tinggal bersamaku di luar kota, aku hanya pegawai magang yang tinggal di kos-kosan kecil. Sehingga  bapak akhirnya tinggal seorang diri di rumah. Maka pagi itu bapak diketahui muntah dan berak darah. Bapak kemudian terkapar lemas di kursi ruang tamu, putus asa menanti anak-anaknya yang tak kunjung datang setelah ditelepon. Kakakku dan istrinya hanya saling pandang ketika ditanya dokter, tidak tahu bagaimana kondisi bapak dan juga sejak kapan perut bapak mulai membesar seperti sekarang. Aku langsung memacu motorku dari kota yang berjarak 2 jam, mengutuk diri sendiri karena tidak pernah menaruh pehatian pada bapak.
                Seorang perempuan tiba-tiba masuk kamar, membangunkanku dari lamunan. Mukanya terlihat kucel, berbeda dari seorang lagi yang datang sebelumnya. Ia langsung memasang manset tensimeter di lengan bapak, lalu sambil menguap menyebutkan hasil pemeriksaannya. Di sudut tempat tidur itu aku merengut. Seenaknya saja ia masuk kamar bapak dan memasang alat-alat itu. Tanpa ba bi bu meraih jari bapak dan menjepitnya dengan alat kecil.
“Eh, bapak saya mau kamu apakan?” gertakku. Wajah sembab itu menoleh padaku.
“Saya harus cek kondisi bapak, bapak sempat sesak kan tadi?” katanya datar.
“Kenapa tidak permisi dulu?” Ia tak menjawab pertanyaanku, “Bapak saya kenapa?”
“Kami observasi dulu ya Mas”
“Dari tadi jawabannya observasi terus...”
“Saya kerja dulu ya Mas!” potongnya kasar. Aku tertegun. Diam, melotot sebesar mungkin padanya.
                Perempuan itu mengulum bibirnya. Tidak bisa mengeluarkan kata-kata di ujung lidahnya, memilih untuk menelannya bulat-bulat. Suaranya berubah sengau ketika ia kemudian minta maaf dan minta izin untuk melanjutkan pekerjaannya. Dari nama di baju jaganya itu, ketahuan si Lulu adalah dokter muda. Setelah menyelesaikan tugasnya, Lulu menyeret kakinya menuju pintu. Tak menjelaskan apapun, meninggalkanku dengan beribu tanya tentang kondisi bapak dan perasaan dongkol pada sosok menyebalkan itu.
                Aku tak pernah suka suasana rumah sakit. Mulai dari baunya yang bau orang sakit, atmosfernya yang penuh duka, lorong-lorong panjang yang redup, dan obrolan-obrolan keluarga pasien lain tentang pengobatan alternatif. Pasien di sebelah tempat tidur bapak kini sedang ditanya-tanyai. Untung bapak itu memang gemar bercerita. Sudah lebih dari sekali pagi itu ia ditanyai oleh sekelompok orang berjas putih, dengan ukuran lengan jas yang berbeda dan degradasi warna putih yang beragam, dari yang seputih salju sampai yang seputih gading. Kamu jadi bisa tahu mana yang sudah dipakai lebih dari setahun, mana yang baru dipakai tidak sampai seminggu.
“Tidak bosan, Pak?” tanyaku pada bapak pengidap kanker usus itu. Dokter bilang kankernya tak bisa diangkat, sudah terlanjur menyebar ke jaringan lain, sehingga dikemoterapi saja.
“Hahaha,” ia menggeleng, tulang-tulang tampak menonjol di wajahnya, “Selama ini saya tidak pernah ditanyai kondisinya selengkap itu. Mumpung di rumah sakit. Kalau sudah pulang siapa yang mau tanya? Anak saya? Capek dia dengerin saya.”
                Pemilik ranjang yang lain berbeda lagi. Ada pria seusia bapak yang sudah tidak sabar ingin pulang. Setiap perawat memasuki ruangan berisi enam ranjang itu, todongan pertanyaan ‘kapan pulang’ selalu menggema dalam ruangan. Pria setengah baya di bagian kamar lain berbeda lagi isi pikirannya. Mukanya sejak bapak datang di sini selalu tidak santai. Tagihan rumah sakit pasti akan membengkak sepanjang ia terus tinggal di sini, mungkin seperti itu pikirannya. Pasien yang ranjangannya dekat pintu mengatakan ia belum sempat membuat asuransi yang digadang-gadang pemerintah, sialnya ia terlanjur masuk rumah sakit karena sesak nafas. Dokter bilang karena kebiasaannya merokok selama 20 tahun.
                Aku tidak pernah suka suasana rumah sakit. Apalagi makanannya. Sisa sarapan bapak masih tergeletak di atas meja. Aku mengambil mangkok berisi bubur itu dan memakannya pelan-pelan. Bapak masih tergolek lemah. Belum mau bicara banyak padaku, barangkali masih kesal karena anak-anaknya datang terlambat. Kali ini seorang laki-laki muda, barangkali teman perempuan semalam, datang untuk memeriksa. Ia tersenyum sopan meminta izin, kemudian mulai menempelkan stetoskop. Sesekali ia menyeka rambutnya yang terjuntai walapun telah diberi pomade. Dandanannya parlente. Harga jam tangan yang berkilau itu pasti di atas satu juta. Aromanya yang harum menerobos bau-bau orang sakit di sini.
“Kondisi Bapak sudah mulai baik ya, Mas. Tadi sudah masuk 4 kantong darah, hemoglobinnya sudah naik.” katanya sambil memperbaiki kacamata.
 “Jadi untuk mengetahui penyebab bapak muntah darah.....” aku tak bisa mengingat kata-katanya selanjutnya. Aku hanya mengangguk asal saja, ingin pamer pada keluarga pasien lain yang melihat ingin tahu ke arah kami. Sok tahu.
Pendidikanku tidak cukup tinggi untuk mengerti kata-kata seperti suspek hepatitis kronis, sirosis, keganasan dan sebagainya. Dokter muda itu tersenyum  lagi, lalu menjelaskan tentang prosedur USG yang harus dijalani bapak. Aku hanya mengangguk setuju, kemudian diminta ke sebuah ruangan bertemu dokter yang lebih tua. Aku teringat doker muda yang menjawab dongkol semalam. Barangkali akan sia-sia juga ia bercerita tentang kondisi bapak saat kumintai penjelasan.
Ruangan itu berada di bagian depan bangsal. Terdapat semacam tirai tidak terlihat antara bagian depan -yang merupakan tempat berkumpul perawat dan dokter- dan bagian belakang yang berisi para pesakitan. Batas antara dua bagian itu cukup ditandai dengan samar-samar suara tawa yang sesekali muncul dari sebuah ruangan. Bagian depan itu terdiri dari 3 ruangan, yaitu nurse station, sebuah ruangan tempat munculnya suara tawa bertuliskan ‘Ruang Diskusi’, dan ruangan lain bertuliskan ‘Ruang konsultasi’. Ruang terakhir adalah tempatku menunggu dokter tua yang dijanjikan. Dokter-dokter muda dengan jas yang lebih menjuntai ke bawah hilir mudik keluar masuk ruang Diskusi sambil meredam tawa.
Dari bilik ini aku bisa mendengar cerita dokter-dokter muda itu. Ceritanya cukup menarik untukku sampai aku harus menempelkan telinga cukup dekat ke dinding walau cuma terdengar samar-samar. Ada yang baru pulang liburan dari Lombok, ada yang dibelikan mobil baru, cerita tentang pasien yang membandel, tentang pengidap kanker usus di kamar bapak yang harapan hidupnya tidak lama lagi, gosip-gosip tentang teman mereka sendiri, sampai ke hal-hal lain yang sama terlarangnya untuk diketahui olehku.
“Kasihan sekali yang jaga semalam,”
“Kenapa?”
“Tidak bisa tidur. Empat pasien butuh pengawasan. Satu harus dipijat jantung,”
“Siapa saja yang jaga?”
“Rara dan mantannya Doni,”
“Hanya berdua? Kasihan sekali, pasti capek,”
“Kasihan mantannya Doni. Dia habis dibantai konsulen pas maju kasus, sampai nangis. Kamu tahu, dia belajar mati-matian semalaman sebelum berhadapan dengan konsulen. Lalu jaga malamnya perlu bolak-balik ke lab dan nganterin obat. Kamu harus liat mukanya tadi pagi. Muka orang tidak istirahat seharian! Untung aku sempat nyuruh dia tidur sebentar sebelum visite pasien,”
“Oh iya, dia bilang semalam juga habis diomelin keluarga pasien,”
“Kok bisa?”
“Dia lupa minta izin ke keluarganya buat periksa, hahaha,”
“Ih, jahat banget ngetawain. Kalau kondisiku juga sama lelahnya dengan dia, aku juga bakal nggak mikir mau izin ini itu, jelasin ini itu, yang penting cepat selesai. Kasihan memang si Lulu,”
                Aku tertegun mendengar nama itu. Dokter muda yang mukanya kucel semalam, yang sembab seperti habis menangis. Perutku tiba-tiba terasa tidak enak.
                “Bapak akan ‘diteropong’ dan juga di USG besok,” begitu kata dokter yang lebih tua, yang sudah kutunggu kedatangannya.
Setelah hampir 2 jam menunggu akhirnya aku bisa duduk berhadapan dengannya. Rasa bosan sempat muncul saat menunggu sosok pendek itu, apalagi saat ruangan sebelah mulai ditinggalkan para dokter muda. Tidak ada lagi cerita yang terdengar. Semua kembali pada kesibukannya. Berdasarkan cerita dari ruang ‘diskusi’ di sebelah, dokter yang kunanti ini baru saja kehilangan anaknya seminggu yang lalu. Tapi di depanku ia selalu tersenyum, berusaha membesarkan hatiku, dan mungkin hatinya, melalui cerita-ceritanya tentang Tuhan Yang Maha Mengatur, Tuhan Yang Maha Baik. Tidak ada yang tahu seberapa besarnya kesedihan lelaki itu. Jarinya yang gemuk menunjuk bagian mana yang harus kutandatangani sebagai tanda aku setuju untuk tindakan medis yang lain. Kemudian tangannya menepuk pundakku, memintaku berdoa dan bersabar.
                Aku tak pernah suka rumah sakit, kecuali bagian di mana sesama keluarga pasien saling menyemangati dan barangkali ketika beberapa dokter serta perawat yang manis-manis melewatimu. Kakakku dan istrinya belum juga datang untuk menggantikan aku menemani bapak. Aku tak perlu pendapat mereka tentang prosedur USG dan ‘teropong’ itu. Tak ada bedanya mereka tahu, begitu jawabku ketika dokter tua itu bertanya pendapat anak bapak yang lain.
 Tempat tidur bapak kini ditutupi tirai ketika aku bejalan masuk kamarnya. Bapak dengan kanker usus sedang menatap kosong ke depan. Kali ini loyo, tidak seperti tadi pagi saat ia begitu bersemangat menjawab pertanyaan yang diulang-ulang. Mungkin rindu keluarganya. Mungkin seperti bapak yang rindu aku.  Hatiku mencelos ketika mata kami bertemu. Tatapan dari mata cekung itu mungkin tak akan bertahan lebih lama. Bapak yang kukira mungkin kesusahan biaya rumah sakit kini tertawa terbahak bersama istrinya. Mungkin habis menang lotere. Pasien yang ranjangnya paling dekat pintu memanggilku.
“Bapakmu habis muntah darah tadi,” katanya. Aku mengangguk padanya sambil tersenyum.
                Dari balik tirai itu aku bisa mendengar bapak bercakap-cakap, sesekali disisipi gelak tawa seorang perempuan. Yang pasti itu bukan kakak iparku. Tak pernah ada yang tahan mendengar cerita bapak sebelumnya, termasuk aku. Kusibak sedikit tirai, kudapati wajah bapak yang bersemangat. Seseorang berdiri dengan baskom berisi muntahan berwarna merah, masih menyimak cerita bapak, lalu memberikan ucapan semangat untuknya. Aku mengenali orang itu sebagai dokter muda yang aku pelototi  semalam. Tiba-tiba ia menoleh padaku, aku membalas senyumnya sambil menggaruki kepala. Merasa tidak enakan setelah menghakimi orang seenaknya.

Senin, 13 Oktober 2014

TEMAN LAMA

Mataku memindai dari kiri ke kanan pemandangan di depan. Suasana kali ini begitu aneh. Dunia terasa tidak begitu cerah seperti hari biasa yang terang benderang, tidak begitu gelap seperti saat hujan turun, ingin turun, dan sudah turun. Aku menangkap kesan seakan ada pencahayaan khusus. Aku merasa seperti berada dalam tayangan film bioskop. Aku memandang wajah-wajah tegang di sekitarku, hingga aku tersadar sudah memakai baju renang. Desir angin mengenai bagian bolong baju renang di punggungku.
 Sambil ngos-ngosan, aku tersenyum. Aku memenangkan kejuaraan itu meski aku tak tahu sejak kapan aku bisa berenang. Dari lintasan renang, kini aku berada di tengah jalan tol, mengendarai mobil kijang Rover tua milik ayahku. kuinjak pedal gas sepenuhnya, melintasi laut Jawa yang memisahkan pulau Kalimanatan dan pulau Jawa. Sekelebat pikiran muncul dalam kepalaku, sejak kapan ada jalan tol yang menghubungkan kedua pulau?
            Lalu, sekarang aku berada di dalam rumah orang tuaku. Semua yang ada di sini berwarna putih, bahkan pakaian yang kami kenakan. Aku memperhatikan orang-orang yang sibuk lalu lalang di depan, sementara aku hanya duduk manis di sini. Sebagian dari mereka membawa kotak-kotak sambil tersenyum padaku, sebagian lagi cuek saja. Ibuku masih memendam wajahnya di pundak ayahku, menangis tersedu-sedu. Di dalam kebingungan aku melirik adik laki-lakiku yang berjalan mendekat. Dengan seringai di mukanya, laki-laki yang selalu bertengkar denganku itu berbisik.
            “Akad nikahnya sudah selesai,”
            “Hah? Siapa yang menikah?”
            “Kamu,”
            Aku mendelik kesal, mulutku baru mau kubuka untuk memarahinya, namun adegan telah berubah lagi. Seorang wanita yang tidak kukenal menarikku dengan paksa, melewati orang-orang yang duduk melantai. Dari sini, aku bisa melihat ibuku masih menangis sesenggukan. Kami berjalan mendekati bagian tengah ruangan yang ditempati ayahku dan beberapa orang lain. Semua mata tertuju padaku kecuali seseorang yang masih terus memunggungiku. Bahkan ketika aku sudah duduk di sampingnya pun ia masih saja menatap ke depan mengacuhkanku. Dari balik kain putih tranparan yang menutupi sebagian wajahku, aku melirik ingin tahu padanya. Mulai dari tangannya yang putih kekar, lalu naik ke atas, kini lehernya, dagunya yang bersih, hidungnya, dan aku langsung saja berjengit ketika mendapati mata siapa yang masih belum mau menatapku itu.
            “IQBAL????!!!!!!!!!!!!”
            Allahu akbar.. Allahu akbar...
            Gambaran tadi lenyap sudah. Alunan adzan mengembalikan lagi rasionalias yang sempat hilang. Degup jantungku seirama dengan nafasku yang ngos-ngosan. Akal sehatku mulai menjawab, bahwa aku tak mungkin memenangkan lomba renang karena aku tak bisa berenang, tol yang menghubungkan pulau Kalimantan dan Pulau Jawa tidak pernah dibangun di dunia ini, dan pernikahan tadi... Aku masih memejamkan mataku, menyusun adegan-adegan itu sebelum aku melupakannya, tentu saja tidak akan mungkin terjadi.
***
            Foto yang diunggah kawan kecil lamaku di instagram itu menjadi pangkal dari mimpiku. Foto yang diambil ayah Radit ketika Radit berulang tahun yang ke-10. Kami berempat memang berteman dekat sehingga hanya aku, Bobi, dan Iqbal saja yang diminta menemani Radit di depan ketika ia akan meniup lilin. Aku adalah yang paling muda, sekaligus satu-satunya venus yang dikerubungi mars. Namun bukan berarti aku yang paling lemah, karena aku tidak pernah menjadi yang terakhir yang harus berjaga di pos permainan petak umpet. Aku juga tak pernah kalah cepat berlari dibanding mereka ketika bermain bentengan. Tetapi tetap saja mereka menganggapku sebagai anak bawang, dan karenanya setiap bermain permainan beregu, aku selalu berada satu tim dengan Iqbal, anak paling tua di genk kami -yang kami anggap sebagai ketua genk. Mungkin bukan karena aku yang benar-benar kuat, tetapi karena bersamanya lah aku bisa menjadi lebih hebat. Aku bahkan sempat berpikir, hidupku tidak akan menjadi lebih buruk kecuali ia meninggalkanku.
            Ide-ide masa kecil kembali terbit lagi saat aku membuka foto untuk yang kesekian kali. Senyumku terus saja mengembang, melihat wujud-wujud kami yang masih imut. Iqbal tetap yang paling tinggi dan yang paling putih,  Bobi yang paling montok, Radit masih dengan giginya yang ompong, dan anak paling kecil berambut pendek mirip laki-laki itu aku. Jemariku memainkan scroll mouse, menurunkan halaman web untuk membaca komentar-komentar mereka.
Radit               : Nih, kita masih kelihatan unyu di sini, hahaha.
AmandaS        : Diiiittt, kangen!!!!!!!! :’)
Bobi Delayota : Dit, jangan senyum lebar-lebar, ketahuan lo gak punya gigi, wkwkwkwk
Radit               : Sial lo Bob -_- Inget gak Bobi itu yang paling sering jaga kalo main petak umpet. Larinya paling pelan, haaha.
AmandaS        : Jahat banget Dit -_- Kita kan dulu sering dijajanin Bobi, hihihi
dr. Iqbal          : Hahaha, kok baru di upload sih? Gak kerasa udh 12 tahun ya guys. Manda banyak berubah btw J.
.....
            Aku tidak melanjutkan membaca komentar berikutnya. Meski kami memiliki nomor hape satu sama lain, sudah saling mengikuti akun media sosial, baru kali ini kami berkomunikasi lagi. Iqbal, laki-laki pertama selain ayahku yang bisa memberikan rasa aman. Setelah 12 tahun kami berpisah karena ayahnya melanjutkan sekolah ke luar negeri, aku baru menyadari hanya dia yang membuatku merasa seperti itu. Aku menelan ludah, mungkin setelah kembali membaca komentarnya, aku bisa memimpikannya sekali lagi, tidak peduli kalau terakhir kali aku melihat status hubungannya di facebook, ia sudah menjalin kasih dengan perempuan lain. Tidak peduli juga... ya sudahlah.
***
            Libur semester genap ini ibu memintaku untuk pulang kampung lebih awal. Katanya biar bisa berpuasa lebih lama di kampung halaman.  Rencanaku untuk naik gunung bersama pemuda-pemuda gondrong anggota mahasiswa pecinta alam akhirnya dibatalkan. Dengan penerbangan paling pagi dari Yogyakarta, aku mendarat di bandara Sepinggan dua jam kemudian. Dafa, adik laki-laki semata wayangku, menjemput dengan mobil kijang Rover tua milik ayah. Bocah yang baru kelas 2 SMA itu dengan bangga mempersilahkan aku masuk. Tentu saja ia ingin menyombong karena aku tak bisa menyetir mobil. Awalnya semua terlihat meyakinkan, mulai dari ia menyalakan mobil sampai mobil berjalan hingga 100 meter. Namun dahiku mulai mengernyit ragu ketika bemper mobil menabrak pembatas jalan saat kami ingin berbelok keluar dari area bandara.
            “Kamu udah ada SIM belum sih?”
            “Belum lah. KTP aja belum ada,”
            “Terus kenapa ayah bolehin bawa mobil?” tanyaku tak terima.
            “Loh, kan aku cowok, hehe,” katanya sambil menyeringai. Ekspresi mukanya langsung berubah saat menangkap rasa kesalku atas obrolan gender yang diskriminatif ini, “Errr, ngomong-ngomong Kak, Om Rizal sekeluarga udah balik loh,”
            “Oh udah balik. Hah??? Om Rizal udah balik dari Australia???” tanyaku tak percaya, “Sekeluarga?” adikku mengangguk.
Matahari Balikpapan mulai sampai di puncak. Hawa panas di hari ketiga puasa diperparah dengan mobil kami yang tidak ber-AC. Tamparan angin kering yang menerobos lewat jendela menampar wajahku. Sebulan yang lalu laki-laki yang baru pulang bersama keluarganya itu menyelinap di dalam mimpi. Rasa rindu yang mulai merambah kalbuku ketika memandang foto kami berempat tidak kuasa kumanipulasi. Rinduku tidak bisa kubagi sama rata, melainkan hanya untuk dia seorang. Mobil kami akhirnya memasuki gerbang perumahan tempat kami tumbuh besar. Aku melirik rumah pertama berwarna putih di blok A. Tanda-tanda kehidupan sudah tampak di sana. Bahkan aku sempat membalas lambaian Ibu Iqbal yang tersenyum di saat mataku bergerak liar mencari putranya yang tak terlihat.
Aku tak berani keluar rumah. Tidak, sebenarnya lebih tidak ingin bertemu dengannya. Setelah tiga hari berada di rumah, aku hanya bisa mengintip lewat jendela ketika Iqbal sedang lari sore menjelang buka puasa. Aku bersembunyi di balik dinding, menghindari Iqbal yang menoleh ke arahku. Menahan perasaan yang menggebu-gebu, aku menolak ajakan Dafa untuk bertamu ke rumah Om Rizal. Kecuali Iqbal yang pertama kali menemuiku, aku tidak akan menemuinya! Maka sama seperti liburan-liburan sebelumnya, nasibku berakhir di depan televisi saja.
Program liburan yang telah kusiapkan sebelum pulang kampung hanya sebatas wacana. Aku yang berniat menguasai berbagai keterampilan wanita selama di rumah hanya bisa menjadi penonton ketika ibuku memasak. Bukan karena seseorang, tetapi entah mengapa panggilan untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga muncul begitu saja ketika usiamu semakin meninggi. Ibu selalu menggiringku keluar dapur ketika aku ingin membantu. Yah, mungkin ibu berusaha melindungi segalanya; melindungi masakan agar tak gosong, melindungi perabotan agar tak pecah, dan melindungiku agar tak terkena cipratan minyak panas.  Aku sih tahu diri saja, karena terakhir kali aku membantu, opor ayam tak lagi terasa seperti opor ayam.
            Kali ini dengan mengendarai sepeda fixie, aku hanya ditugaskan ibu untuk mengambil pesanan ayam di pasar. Pasar yang buka hingga maghrib itu cukup jauh dari kompleks perumahan kami, mungkin sekitar 7 km. Maka dengan kantong plastik berisi dua ekor ayam –sudah dibubuti- yang menggantung di stang sepeda, aku meliuk-liuk di jalan yang baru saja diaspal ini. Keringat di pelipis mulai menetes karena matahari sore masih bersinar terik. Di depan sana, sebuah mobil tua memantulkan cahaya menyilaukan. Tiba-tiba seorang wanita yang kukenal melompat keluar dari mobil tersebut untuk menghentikanku. Bunyi decit ban sepeda terdengar begitu aku meremas rem di kanan dan kiri.
            “Ada apa tante?” tanyaku khawatir. Aku tidak membayangkan jika terlambat mengerem sepeda, barangkali Ibu Iqbal sudah tertabrak olehku.
            “Eh, mobil tante mogok Manda. Nak Manda kuliah di teknik mesin, bukan?” Ibu Iqbal tersenyum malu. Aku nyengir saja mendengar basa-basi Ibu Iqbal, lalu tanpa menjawab pertanyaannya, aku memarkir sepeda kemudian berjalan ke kap mobil yang sudah terbuka.
            “Hahaha, terima kasih Nak Manda. Tante mungkin bakal panggil mobil derek kalau nggak ketemu Nak Manda. Si Tole nggak bisa diharapkan, masa dari tadi udah ngutak-ngatik tapi mobilnya masih belum benar juga? Hahaha,”
Tawa melengking Ibu Iqbal membuatku melirik sosok yang berdiri di sampingku. Keringat membasahi kemeja Iqbal yang sudah dibuka hingga kancing ketiga. Dada putihnya kelihatan mengkilap. Dengan kunci inggris di tangannya, Iqbal menyapu bulir-bulir peluh dari pelipisnya, membuat coreng-moreng baru di wajahnya. Untuk sementara aku merasa seperti berada dalam ruangan kedap udara. Bunyi degup jantungku lebih kuat dari seperangkat sound system yang dipasang setiap tujuh belas agustus. Mataku berkunanga-kunang, nadiku yang berdenyut cepat seakan mau pecah! Iqbal yang sedang menjalani semester akhirnya di Fakultas Kedokteran Adelaide pasti tahu kalau aku terkena serangan panik.
“Manda?” suara lembut yang terakhir kudengar 12 tahun lalu merambat lambat di telinga. Tetapi kali ini lebih berat dan berwibawa, kecuali bagian berikutnya ketika ia berterima kasih karena aku berhasil membenarkan mobilnya kurang dari lima belas menit. Aku tahu ia malu karena kalah dari seorang gadis manis sepertiku, hahaha.
“Santai, Bro! Kamu harus jadi mahasiswa semester lima dulu untuk bisa memperbaiki mobil seperti itu, hahaha,” aku sengaja tertawa semenyenangkan mungkin. Kedua tanganku yang masih gemetaran saling meremas di balik punggung.
Itulan pertemuan pertama dua kawan lama setelah sekian tahun. Hari-hari berikutnya tidak ada tanda-tanda kemunculan Iqbal. Ia tak lagi lari sore melewati rumahku ketika sedang menantikan waktu berbuka. Aku sempat menyesal kenapa harus bertemu dengannya dalam situasi seperti kemarin. Barangkali sosok yang menurutnya berubah begitu drastis tidak didapatkan dari diriku. Kalau tahu pertemuan itu akan terjadi, sebelumnya aku akan memilih memakai rok panjang ketimbang celana training, aku akan menata rambutku lebih cantik daripada hanya sekedar mengikatnya seperti ekor kuda, dan aku akan memilih memakai sepeda berkeranjang daripada sepeda fixie.
Namun kekecewaanku langsung terobati ketika beberapa hari berikutnya ayah dan ibuku tidak ada di rumah dari pagi hingga habis maghrib. Ayah akan berbuka puasa di kantor karena harus lembur malam ini, sedangkan ibu bersama kelompok majelis taklimnya akan mengadakan buka puasa bersama anak panti asuhan. Ibu tidak sempat menitipkan pesan apa-apa tentang menu berbuka puasa, sehingga tanpa diketahui oleh Dafa, aku akan menyiapkan menu berbuka spesial hari ini. Jika Brownies Amanda sudah biasa, maka kolak Amanda tentu luar biasa!
Maka sekitar jam dua siang, aku menggenjot sepedaku menyusuri jalan yang aspalnya masih mulus. Jarak ke pasar menjadi lebih dekat karena semangat kolak yang menggebu sepanjang perjalanan. Setelah melakukan penelusuran di semua sudut pasar, aku berhasil mendapatkan kolang-kaling, kelapa parut, singkong, pisang, gula merah, dan bahan-bahan lain dengan harga yang sukses kutawar. Sesampainya di rumah, aku menggelar seluruh bahan dan mulai melakukan eksperimen pertama. Santan yang telah kuperas selanjutnya kupanaskan hingga mendidih, kemudian kutambahkan potongan singkong, pisang, kolang-kaling, gula merah, garam, dan seikat daun pandan. Tidak sampai 30 menit, panci yang tutupnya kuangkat mengepulkan uap tebal.
Setelah memastikan masakan pertamaku sudah matang, aku melirik jam. Mulutku menguap besar-besar. Masih jam lima, aku akan tidur dulu sampai waktunya berbuka. Ya, awalnya hanya ingin tidur setengah jam saja, namun apa mau dikata, sensasi gelap langsung merayapi mataku ketika aku terbangun. Astaga, sudah jam setengah tujuh? Aku buru-buru bangkit dari tempat tidur, berlari ke dapur, meminum segelas air untuk membatalkan puasaku. Aku baru saja ingin menyendok kolak ke dalam mangkok ketika kulihat tv di ruang tengah menyala. Dafa pasti tidak mematikan televisi setelah bermain playstation, pikirku.
Namun langkahku tiba-tiba terhenti ketika melihat pintu depan tidak ditutup. Bocah itu! Awas saja! Aku berjalan dengan kaki yang sengaja kuhentakkan keras-keras di lantai. Dari sini aku bisa melihat siluet orang yang sedang duduk di kursi teras. Kalau pun maling atau penerobos rumah orang yang akan kuhadapi, aku tak takut! Modal sabuk biru taekwondo sudah cukup untuk meremukkan tulang mereka. Aku siap untuk menghardik orang itu namun niatku luntur seketika. Yang kudapati bukan penyamun atau semacamnya, melainkan Iqbal yang sedang duduk manis sambil menyendok kolak ke dalam mulut. Aku meleleh ketika melihatnya tersenyum.
“Dafa pergi sebentar menjemput Ibumu,” kata Iqbal.
“Kok bisa kamu di sini? Disuruh Dafa jagain rumah ya? Hahaha,” aku tertawa sambil meremas tangan yang lagi-lagi bergetar.
“Jagain kamu maksudnya? Hahahaha.” Semburat merah terbit di wajahku. Aku yakin tampakanku akan menjadi lebih mirip kepiting rebus kalau saja Iqbal tidak menambahkan pernyataan lain, “Bercanda Non, aku tadi ke sini untuk main playstation. Terus ibumu minta dijemput. Karena kamu lagi tidur aku akhirnya harus jaga rumahmu sebentar,” Iqbal mengakhirinya dengan senyum simpul. Aku tidak tahan untuk membalas senyumnya, lalu melirik sebentar ke arah mangkok yang isinya sudah ludes.
“Ngomong-ngomong enak nggak kolaknya?”
“Wah, ini kolak paling enak yang pernah aku makan!”
“Oh ya? Kalau gitu tambah lagi ya?” aku tak bisa menyembunyikan binar bahagia di mata. Iqbal menyerahkan mangkoknya yang sudah kosong. Semenit kemudian Iqbal kembali melahap kolak yang baru pertama kali kubuat itu.
“Masakan ibumu enak ya?”
“Masakan ibuku? Hahahaha, itu masakanku, Bal,” Iqbal berhenti mengunyah seketika.
“Seriusan?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Aku nggak pernah diizinkan masak sebelumnya. Ternyata cuma mitos keluargaku aja kalau makananku nggak enak. Kamu orang pertama yang menyukai masakanku loh, hahaha” kataku sambil memukul pundaknya. Aku mengehentikan tawaku karena Iqbal hanya diam. Angin malam melewati celah antara aku dan dia. Astaga! Aku seharusnya tidak memukulnya sekeras tadi!
“Apa aku juga yang pertama kali bilang aku menyukaimu?” ujar Iqbal setelah beberapa menit membisu.
“Hah?”
“Aku suka kamu,” suaranya makin tegas. Selintas pikiran mengerikan lewat.
“Kamu nggak keracunan kolak, kan?” tanyaku pelan. Iqbal hanya tersenyum tipis. Tatapannya tiba-tiba melayang padaku.
“Sejak kita masih kecil, kamu tahu kenapa aku selalu mau satu tim dengan kamu? Aku pengen melindungi kamu. Bahkan setelah Papa berangkat ke Australia, aku sempat menyesali kita masih terlalu kecil untuk cinta-cintaan. Aku belum bisa bilang aku suka kamu,” Iqbal berhenti untuk menelan ludah sebentar, “Amanda, sebelum aku kembali ke Australia aku mau kamu tahu sebelum terlambat.” Kami diam lagi. Iqbal masih belum menurunkan intensitas tatapannya. Wajahku makin panas, kini ditambah mataku.
“Bro, kamu memang sudah terlambat,” leherku tercekit ketika bicara. Aku berusaha untuk balas menatapnya, kini sambil tersenyum, “Dari foto-foto profil media sosial apa kamu nggak lihat aku selalu foto dengan seseorang? Dia mengatakannya lebih dulu dari kamu.”
“Ku.. kukira dia temanmu atau semacamnya,” aku bisa mendengar suaranya bergetar, “Manda kan memang suka main sama anak cowok. Apalagi sekarang kuliah di teknik mesin. Kukira kamu belum pernah suka sama seseorang...”
“Aku suka kamu, loh. Suka sekali. Semenjak kamu marah sama Radit karena dia jahil padaku,” aku mengusap butir-butir bening yang mulai menetes, “Tapi sekarang berbeda. Kamu milik orang lain sedangkan aku milik yang lain juga,”
“Aku sudah putus. Sudah lama...”
Kami diam lagi. Sekumpulan laron mengerubungi lampu teras, sebagian terbang di atas kami berdua. Kedua tanganku masih saling menggenggam. Iqbal tak berani menatapku lagi. Entah berapa menit yang kami habiskan dengan pikiran masing-masing. Ingatanku kembali ke setahun yang lalu. Setelah tahu Iqbal menjalin kasih dengan seseorang, aku tak menolak ajakan Bayu untuk jalan bersama. Walau tak ada yang bisa diharapkan dari Bayu, namun usahanya membuatku luluh. Bukan rasa suka melainkan iba yang kuharap akan menjadi lebih. Namun setelah setahun ini, Bayu hanya tetap Bayu.
Kukira gerombolan anak-anak yang lewat di depan rumah telah mengembalikan kesadaran Iqbal lagi, karena kini ia sudah berdiri dari posisinya. Tanpa menoleh, ia berjalan menuju pagar rumahku.
“Oh, sudah jam segini. Aku pulang dulu, mau tarawih,”
“Iqbal, temui ayahku dan aku akan memberimu jawaban berbeda,” aku sudah terlanjur menangis kali ini. Berhenti! Jangan Pergi! Aku hanya bisa menjerit dalam kepala.
“Manda, kamu ingat 12 tahun yang lalu? Hahaha, kita masih sebesar anak-anak yang lewat ini. Kita bisa saling bergandengan tangan tanpa rasa bersalah.” Katanya sebelum benar-benar menghilang.
Aku bisa merasakan kehampaan dalam tawa datarnya. Aku ingin menghentikannya namun tak bisa. Untuk pertama kali dalam hidupku, kalau tangisan karena murka ayah tak dihitung, hanya dia laki-laki yang berhasil membuatku bersedu sedan seperti ini. Sisa malam ini kuhabiskan meratap dalam kamar. Aku tak peduli dengan jeritan adikku ketika tahu aku yang memasak kolak (“Harusnya aku nggak ngebiarin Mas Iqbal makan kolak!!!”), tak peduli dengan ajakan tarawih ibu (“tentu saja tidak, ternyata aku menstruasi  Bu!”).
Hari-hari berikutnya aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Sama seperti Bayu, barangkali Iqbal terlalu takut untuk memintaku secara langsung pada ayah. Aku tak tertarik mendengar kabar apapun tentangnya. Bahkan kabar tentang Iqbal yang diare setelah menghabiskan kolak buatanku pun hanya lewat begitu saja. Lebaran yang ditunggu-tunggu hanya menjadi lebaran biasa. Aku masih belum bertemu Iqbal, hanya bertemu orang tua dan dua adiknya. Barangkali ia terlalu malu untuk bertemu denganku, mungkin juga karena trauma setelah tragedi kolak itu. Yang pasti, di saat aku sudah kembali ke kota pelajar sedangkan ia belum kembali ke Australia, aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Aku tahu mimpiku beberapa waktu lalu tak akan pernah terwujud.
Yah, namun hidup harus terus berjalan bukan? Beberapa saat lalu Bayu menemuiku. Dengan rambut acak-acakan ia bersimpuh di depanku sambil menangis. Aku hanya bisa melongo mendengar pengakuaannya bahwa ia lelaki pengecut, bahwa ia tidak bisa lebih baik dariku, bahwa ia merasa tertekan bila terus bersamaku. Sebenarnya aku lebih ingin tertawa daripada menangis ketika ia memintaku untuk putus dengannya. Dan ketika vonisku keluar, Bayu langsung tertawa kegirangan.
 Sendiri mungkin lebih nyaman untuk saat ini. Aku mulai berani untuk melihat foto yang diunggah Radit lagi. Bukan hanya foto ulang tahun, namun foto-foto lain juga. Banyak sekali, lebih dari seratus! Misalnya saat kami sedang berlibur di pantai, atau saat Bobi jadi pengantin sunat, dan sebagainya. Kali ini aku berusaha untuk menekan perasaan saat memandang anak paling tinggi dan paling putih. Termasuk mimpi beberapa waktu lalu, sebaiknya kulupakan saja. Ya, mereka semua sama, mereka kakak-kakakku. Ponselku tiba-tiba berbunyi di saat aku asyik menyusun memori lagi. Kenapa ayah menelepon malam-malam begini?
“Halo, Manda,”
“Halo, Yah?” aku mengernyitkan kening ketika mendengar keraguan dalam suara ayah.
“Dengar, aku tidak tahu harus mulai dari mana tapi... Ini sungguh mengejutkan,”
“Apa?”
“Begini, sebelum dia berangkat ke Australia, Iqbal datang menemuiku. Dia bilang...” ayahku berhenti.
“Hmmm?”
Ayah menarik napas panjang, lalu mengucapkan kalimat berikutnya dalam sekali napas, “Dia bilang dia ingin menikahimu dan kujawab ‘ya’”
Butuh beberapa detik sampai aku bisa mencerna maksudnya. Sebaiknya ini benar, sebaiknya ini benar! Lalu seperti yang sudah-sudah, kupikir aku kena serangan panik!

“AYAH TIDAK BERCANDA KAN????!!!!”

Kosan pak Taji, Senin 13 Oktober 2014 21.40

Minggu, 07 September 2014

BISIK-BISIK TETANGGA

            Sore itu sama seperti sore-sore lain. Anak-anak belarian ke sana ke mari, menerbangkan debu di jalan yang tak beraspal. Maklum, sekarang masih musim kemarau dan tukang es lilin laku benar jualannya. Di depan salah satu rumah, Pak Topo si tua-tua keladi, sedang sibuk mengipasi dirinya yang kepanasan. Kaos dalam putih yang berlubang tampak lengket menempel padanya. Apalagi barusan cucunya, yang baru saja ia belikan hape berkamera, menunjukkan video yang membuat Pak Topo tak berhenti berkeringat sampai saat ini.
Salah satu bagian terpenting dari sore di kampung antah berantah ini adalah sekelompok ibu-ibu yang asyik berdiskusi. Kali ini mereka berkumpul di depan warung, sambil sesekali berteriak memanggil pemiliknya untuk ikut bergabung. Seseorang dari kelompok itu adalah ibu muda yang kewalahan mengejar anak balitanya, lalu cepat-cepat kembali ke kelompok untuk menyimak. Meski anggota mereka kurang seorang, tapi itulah syarat agar topik kali ini bisa dibicarakan. Terdengar semua yang hadir berjengit ketika Jeng Rani selesai bercerita tentang tetangganya yang absen itu.
“Keterlaluan. Benar-benar keterlaluan ibu-ibu,” kata Jeng Rani sambil membenarkan kacamatanya.
“Benar Bu, Lala juga bilang begitu. Ini bukan sekali dua kali loh. Masa kata Lala waktu dia makan di kantin sekolah, ada ulat di sambal baksonya!” kerumunan ibu-ibu itu langsung berdengung.
“Coba lihat saja ke dapurnya! Iiiihh, jorok banget. Lantainya lengket dan tumpukan panci-panci berhari-hari belum dicuci!” suasana makin riuh ketika Ibu Marlina berkomentar, “Nah, sekarang saya nggak habis pikir, kenapa dia tega melakukan hal itu ke anak-anak kita?” ibu-ibu itu langsung mengangguk sambil bergumam mengamini pimpinan mereka.
“Tapi-tapi, anak saya si Toing kok nggak komentar ya setelah makan nasi kotak MOSnya?” celetuk ibu Rosyidah yang dari tadi diam sambil berpikir.
“Hahahaha, Jeng Idah, Jeng Idah kayak nggak tahu si Toing aja. Segala makanan kan diembat sama dia. Iya nggak ibu-ibu? Hahahahaha,” tawa keras Ibu Ratih membahana.
Ibu Rosyidah masih tetap diam. Kali ini bukan karena sedang mencari alasan untuk tidak menuduh tetangga sebelah rumahnya, melainkan karena kesal putra kebanggaan satu-satunya yang gembul dan menggemaskan itu diledek habis-habisan.
***
Awalnya semua berasal dari jeritan seorang siswi saat ia membuka nasi kotak makan siang di hari pertama acara orientasi siswa baru. Siswa yang lain jadi ikut panik ketika mendapati serbuk putih seperti parutan kelapa yang ternyata adalah ulat pada ikan mereka. Guru yang mengawas langsung mengecek ke ruangan yang lain dan ia mendapati hal yang sama. Kemudian guru itu bercerita kepada guru yang lain, sementara murid-murid juga aktif berceloteh kepada sesama mereka, lalu kepada orang tua mereka sesampainya di rumah. Guru-guru pun tak mau kalah karena kini pasangan mereka juga sudah tahu apa yang terjadi. Dari semua percakapan mengenai ulat di kotak nasi, hanya ada satu nama yang terus disebutkan, yaitu Ibu Nurlela.
            Malam hari di rumah Ibu Marlina pun saat ini masih dibahas janda beranak dua yang membuat heboh itu. Dugaannya pasti benar. Ia tak hanya dapat kabar dari Tito, anaknya yang mengikuti orientasi, tapi juga dari suaminya yang menjadi guru PPKN di sana. Sambil menyeterika pakaian untuk anaknya besok, Ibu Marlina masih terus membahas kejadian tadi pagi, meski harus adu volume suara dengan sinetron yang diputar keras-keras.
            “Desas-desus yang dulu itu ternyata terbukti kan Pak?” tanya Ibu Marlina. Suaminya hanya menggumam, sibuk menonton opera sabun yang sudah dua tahun tak kunjung tamat.
            “Ckckckck, tapi Ibu Nurlela itu kok nggak sadar ya? padahal udah banyak yang komplain ke dia, tapi tetap saja nggak mau ngaku. Waktu itu Ibu Menik pesan cake, eehh ternyata cake-nya bantet. Awalnya dikira kebetulan, tapi pas pesan lagi ternyata cake-nya bantet lagi, ckckckck, aku nggak habis pikir loh,”
            “Hmmmm...”
            “Pak, pihak sekolah udah komplain ke dia belum?”
            “Hmmm...”
            “Terus dia bilang apa?”
            “Katanya dia pakai ikan yang segar,”
            Ibu Marlina geleng-geleng kepala, “Kok begitu terus alasannya? Kalau yang masak Ibu sih pasti terjamin kualitas bahan bakunya. Oh iya Pak, kantin sekolah yang megang masih dia?” Suaminya hanya menggeleng, “Bagus itu, harusnya dari dulu diganti. Aduh, kalau Tito jajannya di dia, Tito bisa keracunan. Coba kalau Ibu yang ngurusin kantin, pasti terjamin kebersihannya. Eeeehh, tapi Bapak kan nggak mau KKN. Urusan yang banyak duitnya malah dikasih ke orang lain, istri sendiri cuma dikasih orderan bakwan untuk MOS . Itu pun cuma untuk besok aja....”
            “Sssssttt... Ibu ribut saja dari tadi! Bikin bakwan aja repotnya bukan main, apalagi kalau disuruh masak besar? Sudah-sudah, Bapak mau nonton lagi!”
            Ibu Marlina hanya merengut. Pantas saja mereka tidak kaya-kaya, padahal suaminya merangkap juga sebagai bendahara sekolah. Kalau saja pelajaran yang ia ajarkan bukan PPKN, telinga Ibu Marlina tidak perlu kepanasan mendengar pidato suaminya tentang korupsi dan nepotisme. Suaminya masih terus saja setia dengan idealismenya di saat yang mereka punyai di dapur hanya tempe dan tahu. Bahkan karena omong kosong suaminya pula Tito tak bisa bersekolah di sekolah swasta terkenal. Biayanya terlalu mahal, begitu kata suaminya. Ibu Marlina melirik cincin yang terakhir ia beli sepuluh tahun lalu. Harusnya bapak Tito mengajar ekonomi saja!
            Esok paginya keributan terjadi di rumah mungi itu. Ibu Marlina harus setengah mati membangunkan Tito yang tak mau bangkit. Bukan salah Tito juga kalau ia berperilaku seperti ini. Jika saja semalam Ibu Marlina tak memaksa Tito begadang hingga jam tiga pagi untuk membantunya membuat bakwan, Tito akan mudah saja dibangunkan. Namun Ibu Marlina punya pembelaan tersendiri. Ia akan melirik jengel pada suaminya yang sudah berpakaian dinas.
            “Nanti akan ada orang dari sekolah yang menjemput kuenya. Bapak akan repot kalau membawanya sendiri,” suaminya berusaha mengalihkan topik.
            “Baiklah, akan ibu tunggu. Ibu sudah siapkan teh di meja. Sarapannya sama bakwan aja ya, ibu nggak sempat bikin yang lain.... Hei Tito! Ayo bangun!!!!”
            Suami Ibu Marlina bergeming ketika istrinya menyebut bakwan sebagai menu sarapan. Matanya perlahan mencari kue bundar itu. Semalam Ibu Marlina menyuruhnya membeli telur yang harganya sedang naik untuk adonan bakwan. Ia terbelalak ketika Ibu Marlina memecah telur yang dibelinya. Kuning telurnya tak lagi bulat dan sudah mulai memerah. Kedua pasangan itu saling tukar pandang, lalu membaui telurnya. Suami Ibu Marlina baru saja mengatakan ‘ganti saja dengan yang baru’, namun ia terlambat karena telur yang tampak mulai rusak itu sudah bercampur dengan tepung terigu, air, dan sayur mayur.
            “Telurnya masih bagus kok, belum busuk,” katanya.
            Maka dengan hati yang tak tenang, suami Ibu Marlina menjalankan tugasnya sebagai pengawas orientasi. Hatinya berdenyut menyakitkan melihat bakwan yang sudah datang dibungkus dalam plastik bening bersama kue-kue lainnya. Obrolan rekan guru lain yang masih membahas tragedi kemarin membuat ngilu kupingnya. Apalagi waktu pembagian snack pagi dilakukan. Ia saja tak mau memakan bakwan itu, kenapa ia tega membiarkan orang lain memakannya? Suami ibu Marlina nelangsa. Hanya doa dalam kengerian yang bisa ia lakukan, semoga tragedi baru tidak terjadi.
            Satu jam, dua jam, suami Ibu Marlina terus mengawasi murid-murid yang baik-baik saja. rekan gurunya pun demikian. Suami Ibu Marlina menghembuskan napas panjang, mungkin memang bakwan istrinya aman. Ia berjanji dalam hati akan memakan bakwan istrinya sepulang sekolah nanti. Suami Ibu Marlina kini dengan hati riang memberikan tanda tangan untuk murid-murid baru, sampai kemudian terdengar teriakan.
“ADA YANG MUNTAH!!!!!!!”
            Suami Ibu Marlina dengan gelagapan segera menyusul orang-orang yang berlarian ke aula. Anak yang dikabarakan muntah itu dikelilingi yang lain. Suami Ibu Marlina kembali cemas. Ia menerobos agar sampai di samping anak itu. Celaka, sungguh celaka, batin suami Ibu Marlina. Ya, benar-benar celaka, karena yang menjadi korban pertama bakwan Ibu Marlina adalah anaknya sendiri!
            Tito terbaring lemah, mukanya pucat. Seorang guru memijat kepalanya, lalu Tito muntah lagi. Tak butuh waktu lama, sesuai prediksinya, anak-anak lain juga ikut keracunan, kemudian disusul rekan gurunya. Suami Ibu Marlina menepok jidat, barangkali masa orientasi sampai hari ini saja. Panitia dan peserta, hampir semuanya terbaring tak berdaya.
***
            Sore ini sama seperti sore-sore lainnya. Anak-anak masih berlarian ke sana ke mari dan Pak Topo yang memakai kaos singlet putih terus mengipasi dirinya yang kepanasan. Di bagian yang lain, elemen terpenting dari sore hari di kampung antah berantah ini masih berlangsung. Di depan sebuah warung, sekelompok ibu-ibu asyik berdiskusi. Ibu muda mengejar anak balitanya, lalu kembali lagi ke kelompok untuk menyimak. Meski anggota mereka kurang seorang, tapi itulah syarat agar topik kali ini bisa dibicarakan. Terdengar semua yang hadir berjengit ketika Jeng Rani selesai bercerita tentang tetangganya yang absen itu.
“Keterlaluan. Benar-benar keterlaluan ibu-ibu,” kata Jeng Rani sambil membenarkan kacamatanya.
“Benar Bu, anak saya juga bilang begitu. Kemarin dia yang jadi panitianya. Untung dia lagi puasa untuk bayar hutang Ramadhan, jadi nggak ikut nyicipi. Saya nggak nyangka Ibu Marlina tega masukin telur busuk ke adonan bakwannya. Tapi Ibu Marlina kalau masak memang kurag sip. Eh, sekarang berani ngirimi bakwan ke acara MOS,” kata Ibu Nurlela. Tragedi kemarin ternyata sudah terhapus dari memorinya. Ibu Nurlela tak sadar dijadikan tersangka pada diskusi sebelumnya.
“Tapi-tapi...”
“Tapi apa Bu Idah? Toing nggak keracunan lagi, ya? Hahahahaha,” tawa Ibu Ratih membahana.

            Ibu Rosyidah diam. Kali ini bukan karena sedang mencari alasan untuk tidak menuduh tetangga sebelah rumahnya, ataupun karena kesal putranya yang gembul dan menggemaskan itu diledek habis-habisan. Ibu Rosyidah diam karena ingin tahu apa yang akan dibicarakan tetangganya ketika ia punya masalah.

Yogyakarta, kosan Pak Taji, Minggu 7 Sepetmeber 2014 14.28