Simple Life

Senin, 13 Oktober 2014

TEMAN LAMA

Mataku memindai dari kiri ke kanan pemandangan di depan. Suasana kali ini begitu aneh. Dunia terasa tidak begitu cerah seperti hari biasa yang terang benderang, tidak begitu gelap seperti saat hujan turun, ingin turun, dan sudah turun. Aku menangkap kesan seakan ada pencahayaan khusus. Aku merasa seperti berada dalam tayangan film bioskop. Aku memandang wajah-wajah tegang di sekitarku, hingga aku tersadar sudah memakai baju renang. Desir angin mengenai bagian bolong baju renang di punggungku.
 Sambil ngos-ngosan, aku tersenyum. Aku memenangkan kejuaraan itu meski aku tak tahu sejak kapan aku bisa berenang. Dari lintasan renang, kini aku berada di tengah jalan tol, mengendarai mobil kijang Rover tua milik ayahku. kuinjak pedal gas sepenuhnya, melintasi laut Jawa yang memisahkan pulau Kalimanatan dan pulau Jawa. Sekelebat pikiran muncul dalam kepalaku, sejak kapan ada jalan tol yang menghubungkan kedua pulau?
            Lalu, sekarang aku berada di dalam rumah orang tuaku. Semua yang ada di sini berwarna putih, bahkan pakaian yang kami kenakan. Aku memperhatikan orang-orang yang sibuk lalu lalang di depan, sementara aku hanya duduk manis di sini. Sebagian dari mereka membawa kotak-kotak sambil tersenyum padaku, sebagian lagi cuek saja. Ibuku masih memendam wajahnya di pundak ayahku, menangis tersedu-sedu. Di dalam kebingungan aku melirik adik laki-lakiku yang berjalan mendekat. Dengan seringai di mukanya, laki-laki yang selalu bertengkar denganku itu berbisik.
            “Akad nikahnya sudah selesai,”
            “Hah? Siapa yang menikah?”
            “Kamu,”
            Aku mendelik kesal, mulutku baru mau kubuka untuk memarahinya, namun adegan telah berubah lagi. Seorang wanita yang tidak kukenal menarikku dengan paksa, melewati orang-orang yang duduk melantai. Dari sini, aku bisa melihat ibuku masih menangis sesenggukan. Kami berjalan mendekati bagian tengah ruangan yang ditempati ayahku dan beberapa orang lain. Semua mata tertuju padaku kecuali seseorang yang masih terus memunggungiku. Bahkan ketika aku sudah duduk di sampingnya pun ia masih saja menatap ke depan mengacuhkanku. Dari balik kain putih tranparan yang menutupi sebagian wajahku, aku melirik ingin tahu padanya. Mulai dari tangannya yang putih kekar, lalu naik ke atas, kini lehernya, dagunya yang bersih, hidungnya, dan aku langsung saja berjengit ketika mendapati mata siapa yang masih belum mau menatapku itu.
            “IQBAL????!!!!!!!!!!!!”
            Allahu akbar.. Allahu akbar...
            Gambaran tadi lenyap sudah. Alunan adzan mengembalikan lagi rasionalias yang sempat hilang. Degup jantungku seirama dengan nafasku yang ngos-ngosan. Akal sehatku mulai menjawab, bahwa aku tak mungkin memenangkan lomba renang karena aku tak bisa berenang, tol yang menghubungkan pulau Kalimantan dan Pulau Jawa tidak pernah dibangun di dunia ini, dan pernikahan tadi... Aku masih memejamkan mataku, menyusun adegan-adegan itu sebelum aku melupakannya, tentu saja tidak akan mungkin terjadi.
***
            Foto yang diunggah kawan kecil lamaku di instagram itu menjadi pangkal dari mimpiku. Foto yang diambil ayah Radit ketika Radit berulang tahun yang ke-10. Kami berempat memang berteman dekat sehingga hanya aku, Bobi, dan Iqbal saja yang diminta menemani Radit di depan ketika ia akan meniup lilin. Aku adalah yang paling muda, sekaligus satu-satunya venus yang dikerubungi mars. Namun bukan berarti aku yang paling lemah, karena aku tidak pernah menjadi yang terakhir yang harus berjaga di pos permainan petak umpet. Aku juga tak pernah kalah cepat berlari dibanding mereka ketika bermain bentengan. Tetapi tetap saja mereka menganggapku sebagai anak bawang, dan karenanya setiap bermain permainan beregu, aku selalu berada satu tim dengan Iqbal, anak paling tua di genk kami -yang kami anggap sebagai ketua genk. Mungkin bukan karena aku yang benar-benar kuat, tetapi karena bersamanya lah aku bisa menjadi lebih hebat. Aku bahkan sempat berpikir, hidupku tidak akan menjadi lebih buruk kecuali ia meninggalkanku.
            Ide-ide masa kecil kembali terbit lagi saat aku membuka foto untuk yang kesekian kali. Senyumku terus saja mengembang, melihat wujud-wujud kami yang masih imut. Iqbal tetap yang paling tinggi dan yang paling putih,  Bobi yang paling montok, Radit masih dengan giginya yang ompong, dan anak paling kecil berambut pendek mirip laki-laki itu aku. Jemariku memainkan scroll mouse, menurunkan halaman web untuk membaca komentar-komentar mereka.
Radit               : Nih, kita masih kelihatan unyu di sini, hahaha.
AmandaS        : Diiiittt, kangen!!!!!!!! :’)
Bobi Delayota : Dit, jangan senyum lebar-lebar, ketahuan lo gak punya gigi, wkwkwkwk
Radit               : Sial lo Bob -_- Inget gak Bobi itu yang paling sering jaga kalo main petak umpet. Larinya paling pelan, haaha.
AmandaS        : Jahat banget Dit -_- Kita kan dulu sering dijajanin Bobi, hihihi
dr. Iqbal          : Hahaha, kok baru di upload sih? Gak kerasa udh 12 tahun ya guys. Manda banyak berubah btw J.
.....
            Aku tidak melanjutkan membaca komentar berikutnya. Meski kami memiliki nomor hape satu sama lain, sudah saling mengikuti akun media sosial, baru kali ini kami berkomunikasi lagi. Iqbal, laki-laki pertama selain ayahku yang bisa memberikan rasa aman. Setelah 12 tahun kami berpisah karena ayahnya melanjutkan sekolah ke luar negeri, aku baru menyadari hanya dia yang membuatku merasa seperti itu. Aku menelan ludah, mungkin setelah kembali membaca komentarnya, aku bisa memimpikannya sekali lagi, tidak peduli kalau terakhir kali aku melihat status hubungannya di facebook, ia sudah menjalin kasih dengan perempuan lain. Tidak peduli juga... ya sudahlah.
***
            Libur semester genap ini ibu memintaku untuk pulang kampung lebih awal. Katanya biar bisa berpuasa lebih lama di kampung halaman.  Rencanaku untuk naik gunung bersama pemuda-pemuda gondrong anggota mahasiswa pecinta alam akhirnya dibatalkan. Dengan penerbangan paling pagi dari Yogyakarta, aku mendarat di bandara Sepinggan dua jam kemudian. Dafa, adik laki-laki semata wayangku, menjemput dengan mobil kijang Rover tua milik ayah. Bocah yang baru kelas 2 SMA itu dengan bangga mempersilahkan aku masuk. Tentu saja ia ingin menyombong karena aku tak bisa menyetir mobil. Awalnya semua terlihat meyakinkan, mulai dari ia menyalakan mobil sampai mobil berjalan hingga 100 meter. Namun dahiku mulai mengernyit ragu ketika bemper mobil menabrak pembatas jalan saat kami ingin berbelok keluar dari area bandara.
            “Kamu udah ada SIM belum sih?”
            “Belum lah. KTP aja belum ada,”
            “Terus kenapa ayah bolehin bawa mobil?” tanyaku tak terima.
            “Loh, kan aku cowok, hehe,” katanya sambil menyeringai. Ekspresi mukanya langsung berubah saat menangkap rasa kesalku atas obrolan gender yang diskriminatif ini, “Errr, ngomong-ngomong Kak, Om Rizal sekeluarga udah balik loh,”
            “Oh udah balik. Hah??? Om Rizal udah balik dari Australia???” tanyaku tak percaya, “Sekeluarga?” adikku mengangguk.
Matahari Balikpapan mulai sampai di puncak. Hawa panas di hari ketiga puasa diperparah dengan mobil kami yang tidak ber-AC. Tamparan angin kering yang menerobos lewat jendela menampar wajahku. Sebulan yang lalu laki-laki yang baru pulang bersama keluarganya itu menyelinap di dalam mimpi. Rasa rindu yang mulai merambah kalbuku ketika memandang foto kami berempat tidak kuasa kumanipulasi. Rinduku tidak bisa kubagi sama rata, melainkan hanya untuk dia seorang. Mobil kami akhirnya memasuki gerbang perumahan tempat kami tumbuh besar. Aku melirik rumah pertama berwarna putih di blok A. Tanda-tanda kehidupan sudah tampak di sana. Bahkan aku sempat membalas lambaian Ibu Iqbal yang tersenyum di saat mataku bergerak liar mencari putranya yang tak terlihat.
Aku tak berani keluar rumah. Tidak, sebenarnya lebih tidak ingin bertemu dengannya. Setelah tiga hari berada di rumah, aku hanya bisa mengintip lewat jendela ketika Iqbal sedang lari sore menjelang buka puasa. Aku bersembunyi di balik dinding, menghindari Iqbal yang menoleh ke arahku. Menahan perasaan yang menggebu-gebu, aku menolak ajakan Dafa untuk bertamu ke rumah Om Rizal. Kecuali Iqbal yang pertama kali menemuiku, aku tidak akan menemuinya! Maka sama seperti liburan-liburan sebelumnya, nasibku berakhir di depan televisi saja.
Program liburan yang telah kusiapkan sebelum pulang kampung hanya sebatas wacana. Aku yang berniat menguasai berbagai keterampilan wanita selama di rumah hanya bisa menjadi penonton ketika ibuku memasak. Bukan karena seseorang, tetapi entah mengapa panggilan untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga muncul begitu saja ketika usiamu semakin meninggi. Ibu selalu menggiringku keluar dapur ketika aku ingin membantu. Yah, mungkin ibu berusaha melindungi segalanya; melindungi masakan agar tak gosong, melindungi perabotan agar tak pecah, dan melindungiku agar tak terkena cipratan minyak panas.  Aku sih tahu diri saja, karena terakhir kali aku membantu, opor ayam tak lagi terasa seperti opor ayam.
            Kali ini dengan mengendarai sepeda fixie, aku hanya ditugaskan ibu untuk mengambil pesanan ayam di pasar. Pasar yang buka hingga maghrib itu cukup jauh dari kompleks perumahan kami, mungkin sekitar 7 km. Maka dengan kantong plastik berisi dua ekor ayam –sudah dibubuti- yang menggantung di stang sepeda, aku meliuk-liuk di jalan yang baru saja diaspal ini. Keringat di pelipis mulai menetes karena matahari sore masih bersinar terik. Di depan sana, sebuah mobil tua memantulkan cahaya menyilaukan. Tiba-tiba seorang wanita yang kukenal melompat keluar dari mobil tersebut untuk menghentikanku. Bunyi decit ban sepeda terdengar begitu aku meremas rem di kanan dan kiri.
            “Ada apa tante?” tanyaku khawatir. Aku tidak membayangkan jika terlambat mengerem sepeda, barangkali Ibu Iqbal sudah tertabrak olehku.
            “Eh, mobil tante mogok Manda. Nak Manda kuliah di teknik mesin, bukan?” Ibu Iqbal tersenyum malu. Aku nyengir saja mendengar basa-basi Ibu Iqbal, lalu tanpa menjawab pertanyaannya, aku memarkir sepeda kemudian berjalan ke kap mobil yang sudah terbuka.
            “Hahaha, terima kasih Nak Manda. Tante mungkin bakal panggil mobil derek kalau nggak ketemu Nak Manda. Si Tole nggak bisa diharapkan, masa dari tadi udah ngutak-ngatik tapi mobilnya masih belum benar juga? Hahaha,”
Tawa melengking Ibu Iqbal membuatku melirik sosok yang berdiri di sampingku. Keringat membasahi kemeja Iqbal yang sudah dibuka hingga kancing ketiga. Dada putihnya kelihatan mengkilap. Dengan kunci inggris di tangannya, Iqbal menyapu bulir-bulir peluh dari pelipisnya, membuat coreng-moreng baru di wajahnya. Untuk sementara aku merasa seperti berada dalam ruangan kedap udara. Bunyi degup jantungku lebih kuat dari seperangkat sound system yang dipasang setiap tujuh belas agustus. Mataku berkunanga-kunang, nadiku yang berdenyut cepat seakan mau pecah! Iqbal yang sedang menjalani semester akhirnya di Fakultas Kedokteran Adelaide pasti tahu kalau aku terkena serangan panik.
“Manda?” suara lembut yang terakhir kudengar 12 tahun lalu merambat lambat di telinga. Tetapi kali ini lebih berat dan berwibawa, kecuali bagian berikutnya ketika ia berterima kasih karena aku berhasil membenarkan mobilnya kurang dari lima belas menit. Aku tahu ia malu karena kalah dari seorang gadis manis sepertiku, hahaha.
“Santai, Bro! Kamu harus jadi mahasiswa semester lima dulu untuk bisa memperbaiki mobil seperti itu, hahaha,” aku sengaja tertawa semenyenangkan mungkin. Kedua tanganku yang masih gemetaran saling meremas di balik punggung.
Itulan pertemuan pertama dua kawan lama setelah sekian tahun. Hari-hari berikutnya tidak ada tanda-tanda kemunculan Iqbal. Ia tak lagi lari sore melewati rumahku ketika sedang menantikan waktu berbuka. Aku sempat menyesal kenapa harus bertemu dengannya dalam situasi seperti kemarin. Barangkali sosok yang menurutnya berubah begitu drastis tidak didapatkan dari diriku. Kalau tahu pertemuan itu akan terjadi, sebelumnya aku akan memilih memakai rok panjang ketimbang celana training, aku akan menata rambutku lebih cantik daripada hanya sekedar mengikatnya seperti ekor kuda, dan aku akan memilih memakai sepeda berkeranjang daripada sepeda fixie.
Namun kekecewaanku langsung terobati ketika beberapa hari berikutnya ayah dan ibuku tidak ada di rumah dari pagi hingga habis maghrib. Ayah akan berbuka puasa di kantor karena harus lembur malam ini, sedangkan ibu bersama kelompok majelis taklimnya akan mengadakan buka puasa bersama anak panti asuhan. Ibu tidak sempat menitipkan pesan apa-apa tentang menu berbuka puasa, sehingga tanpa diketahui oleh Dafa, aku akan menyiapkan menu berbuka spesial hari ini. Jika Brownies Amanda sudah biasa, maka kolak Amanda tentu luar biasa!
Maka sekitar jam dua siang, aku menggenjot sepedaku menyusuri jalan yang aspalnya masih mulus. Jarak ke pasar menjadi lebih dekat karena semangat kolak yang menggebu sepanjang perjalanan. Setelah melakukan penelusuran di semua sudut pasar, aku berhasil mendapatkan kolang-kaling, kelapa parut, singkong, pisang, gula merah, dan bahan-bahan lain dengan harga yang sukses kutawar. Sesampainya di rumah, aku menggelar seluruh bahan dan mulai melakukan eksperimen pertama. Santan yang telah kuperas selanjutnya kupanaskan hingga mendidih, kemudian kutambahkan potongan singkong, pisang, kolang-kaling, gula merah, garam, dan seikat daun pandan. Tidak sampai 30 menit, panci yang tutupnya kuangkat mengepulkan uap tebal.
Setelah memastikan masakan pertamaku sudah matang, aku melirik jam. Mulutku menguap besar-besar. Masih jam lima, aku akan tidur dulu sampai waktunya berbuka. Ya, awalnya hanya ingin tidur setengah jam saja, namun apa mau dikata, sensasi gelap langsung merayapi mataku ketika aku terbangun. Astaga, sudah jam setengah tujuh? Aku buru-buru bangkit dari tempat tidur, berlari ke dapur, meminum segelas air untuk membatalkan puasaku. Aku baru saja ingin menyendok kolak ke dalam mangkok ketika kulihat tv di ruang tengah menyala. Dafa pasti tidak mematikan televisi setelah bermain playstation, pikirku.
Namun langkahku tiba-tiba terhenti ketika melihat pintu depan tidak ditutup. Bocah itu! Awas saja! Aku berjalan dengan kaki yang sengaja kuhentakkan keras-keras di lantai. Dari sini aku bisa melihat siluet orang yang sedang duduk di kursi teras. Kalau pun maling atau penerobos rumah orang yang akan kuhadapi, aku tak takut! Modal sabuk biru taekwondo sudah cukup untuk meremukkan tulang mereka. Aku siap untuk menghardik orang itu namun niatku luntur seketika. Yang kudapati bukan penyamun atau semacamnya, melainkan Iqbal yang sedang duduk manis sambil menyendok kolak ke dalam mulut. Aku meleleh ketika melihatnya tersenyum.
“Dafa pergi sebentar menjemput Ibumu,” kata Iqbal.
“Kok bisa kamu di sini? Disuruh Dafa jagain rumah ya? Hahaha,” aku tertawa sambil meremas tangan yang lagi-lagi bergetar.
“Jagain kamu maksudnya? Hahahaha.” Semburat merah terbit di wajahku. Aku yakin tampakanku akan menjadi lebih mirip kepiting rebus kalau saja Iqbal tidak menambahkan pernyataan lain, “Bercanda Non, aku tadi ke sini untuk main playstation. Terus ibumu minta dijemput. Karena kamu lagi tidur aku akhirnya harus jaga rumahmu sebentar,” Iqbal mengakhirinya dengan senyum simpul. Aku tidak tahan untuk membalas senyumnya, lalu melirik sebentar ke arah mangkok yang isinya sudah ludes.
“Ngomong-ngomong enak nggak kolaknya?”
“Wah, ini kolak paling enak yang pernah aku makan!”
“Oh ya? Kalau gitu tambah lagi ya?” aku tak bisa menyembunyikan binar bahagia di mata. Iqbal menyerahkan mangkoknya yang sudah kosong. Semenit kemudian Iqbal kembali melahap kolak yang baru pertama kali kubuat itu.
“Masakan ibumu enak ya?”
“Masakan ibuku? Hahahaha, itu masakanku, Bal,” Iqbal berhenti mengunyah seketika.
“Seriusan?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Aku nggak pernah diizinkan masak sebelumnya. Ternyata cuma mitos keluargaku aja kalau makananku nggak enak. Kamu orang pertama yang menyukai masakanku loh, hahaha” kataku sambil memukul pundaknya. Aku mengehentikan tawaku karena Iqbal hanya diam. Angin malam melewati celah antara aku dan dia. Astaga! Aku seharusnya tidak memukulnya sekeras tadi!
“Apa aku juga yang pertama kali bilang aku menyukaimu?” ujar Iqbal setelah beberapa menit membisu.
“Hah?”
“Aku suka kamu,” suaranya makin tegas. Selintas pikiran mengerikan lewat.
“Kamu nggak keracunan kolak, kan?” tanyaku pelan. Iqbal hanya tersenyum tipis. Tatapannya tiba-tiba melayang padaku.
“Sejak kita masih kecil, kamu tahu kenapa aku selalu mau satu tim dengan kamu? Aku pengen melindungi kamu. Bahkan setelah Papa berangkat ke Australia, aku sempat menyesali kita masih terlalu kecil untuk cinta-cintaan. Aku belum bisa bilang aku suka kamu,” Iqbal berhenti untuk menelan ludah sebentar, “Amanda, sebelum aku kembali ke Australia aku mau kamu tahu sebelum terlambat.” Kami diam lagi. Iqbal masih belum menurunkan intensitas tatapannya. Wajahku makin panas, kini ditambah mataku.
“Bro, kamu memang sudah terlambat,” leherku tercekit ketika bicara. Aku berusaha untuk balas menatapnya, kini sambil tersenyum, “Dari foto-foto profil media sosial apa kamu nggak lihat aku selalu foto dengan seseorang? Dia mengatakannya lebih dulu dari kamu.”
“Ku.. kukira dia temanmu atau semacamnya,” aku bisa mendengar suaranya bergetar, “Manda kan memang suka main sama anak cowok. Apalagi sekarang kuliah di teknik mesin. Kukira kamu belum pernah suka sama seseorang...”
“Aku suka kamu, loh. Suka sekali. Semenjak kamu marah sama Radit karena dia jahil padaku,” aku mengusap butir-butir bening yang mulai menetes, “Tapi sekarang berbeda. Kamu milik orang lain sedangkan aku milik yang lain juga,”
“Aku sudah putus. Sudah lama...”
Kami diam lagi. Sekumpulan laron mengerubungi lampu teras, sebagian terbang di atas kami berdua. Kedua tanganku masih saling menggenggam. Iqbal tak berani menatapku lagi. Entah berapa menit yang kami habiskan dengan pikiran masing-masing. Ingatanku kembali ke setahun yang lalu. Setelah tahu Iqbal menjalin kasih dengan seseorang, aku tak menolak ajakan Bayu untuk jalan bersama. Walau tak ada yang bisa diharapkan dari Bayu, namun usahanya membuatku luluh. Bukan rasa suka melainkan iba yang kuharap akan menjadi lebih. Namun setelah setahun ini, Bayu hanya tetap Bayu.
Kukira gerombolan anak-anak yang lewat di depan rumah telah mengembalikan kesadaran Iqbal lagi, karena kini ia sudah berdiri dari posisinya. Tanpa menoleh, ia berjalan menuju pagar rumahku.
“Oh, sudah jam segini. Aku pulang dulu, mau tarawih,”
“Iqbal, temui ayahku dan aku akan memberimu jawaban berbeda,” aku sudah terlanjur menangis kali ini. Berhenti! Jangan Pergi! Aku hanya bisa menjerit dalam kepala.
“Manda, kamu ingat 12 tahun yang lalu? Hahaha, kita masih sebesar anak-anak yang lewat ini. Kita bisa saling bergandengan tangan tanpa rasa bersalah.” Katanya sebelum benar-benar menghilang.
Aku bisa merasakan kehampaan dalam tawa datarnya. Aku ingin menghentikannya namun tak bisa. Untuk pertama kali dalam hidupku, kalau tangisan karena murka ayah tak dihitung, hanya dia laki-laki yang berhasil membuatku bersedu sedan seperti ini. Sisa malam ini kuhabiskan meratap dalam kamar. Aku tak peduli dengan jeritan adikku ketika tahu aku yang memasak kolak (“Harusnya aku nggak ngebiarin Mas Iqbal makan kolak!!!”), tak peduli dengan ajakan tarawih ibu (“tentu saja tidak, ternyata aku menstruasi  Bu!”).
Hari-hari berikutnya aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Sama seperti Bayu, barangkali Iqbal terlalu takut untuk memintaku secara langsung pada ayah. Aku tak tertarik mendengar kabar apapun tentangnya. Bahkan kabar tentang Iqbal yang diare setelah menghabiskan kolak buatanku pun hanya lewat begitu saja. Lebaran yang ditunggu-tunggu hanya menjadi lebaran biasa. Aku masih belum bertemu Iqbal, hanya bertemu orang tua dan dua adiknya. Barangkali ia terlalu malu untuk bertemu denganku, mungkin juga karena trauma setelah tragedi kolak itu. Yang pasti, di saat aku sudah kembali ke kota pelajar sedangkan ia belum kembali ke Australia, aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Aku tahu mimpiku beberapa waktu lalu tak akan pernah terwujud.
Yah, namun hidup harus terus berjalan bukan? Beberapa saat lalu Bayu menemuiku. Dengan rambut acak-acakan ia bersimpuh di depanku sambil menangis. Aku hanya bisa melongo mendengar pengakuaannya bahwa ia lelaki pengecut, bahwa ia tidak bisa lebih baik dariku, bahwa ia merasa tertekan bila terus bersamaku. Sebenarnya aku lebih ingin tertawa daripada menangis ketika ia memintaku untuk putus dengannya. Dan ketika vonisku keluar, Bayu langsung tertawa kegirangan.
 Sendiri mungkin lebih nyaman untuk saat ini. Aku mulai berani untuk melihat foto yang diunggah Radit lagi. Bukan hanya foto ulang tahun, namun foto-foto lain juga. Banyak sekali, lebih dari seratus! Misalnya saat kami sedang berlibur di pantai, atau saat Bobi jadi pengantin sunat, dan sebagainya. Kali ini aku berusaha untuk menekan perasaan saat memandang anak paling tinggi dan paling putih. Termasuk mimpi beberapa waktu lalu, sebaiknya kulupakan saja. Ya, mereka semua sama, mereka kakak-kakakku. Ponselku tiba-tiba berbunyi di saat aku asyik menyusun memori lagi. Kenapa ayah menelepon malam-malam begini?
“Halo, Manda,”
“Halo, Yah?” aku mengernyitkan kening ketika mendengar keraguan dalam suara ayah.
“Dengar, aku tidak tahu harus mulai dari mana tapi... Ini sungguh mengejutkan,”
“Apa?”
“Begini, sebelum dia berangkat ke Australia, Iqbal datang menemuiku. Dia bilang...” ayahku berhenti.
“Hmmm?”
Ayah menarik napas panjang, lalu mengucapkan kalimat berikutnya dalam sekali napas, “Dia bilang dia ingin menikahimu dan kujawab ‘ya’”
Butuh beberapa detik sampai aku bisa mencerna maksudnya. Sebaiknya ini benar, sebaiknya ini benar! Lalu seperti yang sudah-sudah, kupikir aku kena serangan panik!

“AYAH TIDAK BERCANDA KAN????!!!!”

Kosan pak Taji, Senin 13 Oktober 2014 21.40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar