Simple Life

Jumat, 29 Agustus 2014

KISAH MADA


                        Kereta yang kami tumpangi mulai memelankan lajunya begitu bangunan stasiun terlihat. Aku menjulurkan kepala keluar dari jendela merasakan angin daerah asing yang belum kukenal ini menampar wajahku. Deretan pohon pisang, kemudian pepaya, lalu berganti lagi dengan pohon lain yang aku tak tahu pasti namanya berbaris sepanjang rel kereta, memagari rumah-rumah penduduk yang menunjukkan tampak belakang dan baju-baju yang dijemur terpanggang panas matahari jam sepuluh pagi ini. Aku memincingkan mataku lagi, menangkap bangunan bata merah dengan orang-orang yang berubah posisi dari  duduk ke berdiri ketika kereta kami memasuki stasiun.
“Shinta, kita sudah sampai!” kataku sambil mengguncang perempuan yang kepalanya menempel pada jendela, tertidur.
                        Aku lupa nama kota kampung halaman Shinta ini. Entah mengapa, mungkin karea namanya terlalu asing untuk telinga orang dari Indonesia timur sepertiku. Yang pasti diawali huruf P dan terletak di ujung selatan pulau Jawa. Aku menggendong ransel kecil miliku, lalu melakukan sedikit peregangan punggung, mengingat aku harus duduk selama enam jam di atas kereta ekonomi AC yang tempat duduknya keras dan tidak bisa kau atur posisinya, membuat tubuhmu sangat tak nyaman.
                        Shinta memimpin mencari jalan keluar dari stasiun yang katanya sudah beroperasi sejak zaman Belanda. Pedagang asongan meneriakkan dagangannya, salah satu mendekatiku, menawarkan sebungkus tahu sumedang yang plastiknya beruap. Aku hanya tersenyum dengan agak menyesal karena tidak membeli dagangan anak laki-laki yang hidungnya kotor itu. Aku berjalan mengikuti Shinta yang ranselnya kini di taruh di depan dada.
“Banyak copet, taruh tasmu di depan,” aku tiba-tiba teringat nasehatnya.
                        Aku akan menghabiskan liburan semester ini di tempat kawanku, Shinta. Walau agak sedih karena tidak bisa pulang ke kampung halaman sendiri, tetapi Ibu Shinta yang gempal dan ramah itu sangat menyenangkan saat pertama kali aku bertemu dengannya di hari-hari awal masuk perguruan tinggi. Ajakannya untuk ikut berlibur dengan putrinya di tempat antah-berantah ini langung ku-iya-kan saja.
                        Perjalanan kami belum selesai, kami harus melanjutkan dengan angkot untuk sampai ke desa Shinta. Mobil berwarna biru langit itu bergoyang-goyang begitu melewati jalan berkerikil. Halusnya aspal jalanan sudah tidak kami rasakan sejak kami memasuki jalanan kampung, sekitar 10 km dari kota yang sampai sekarang berusaha kuingat namanya. Belum tampak rumah-rumah, pemandangan yang ada masih pohon-pohon lebat, sungai, lalu pematang sawah. Beberapa orang bersepeda onthel dengan jerami di tempat duduk belakang. Aku memberi tatapan bosan pada Shinta yang duduk di hadapanku.
“Sebentar lagi,” katanya sambil tersenyum, “Kita akan melewati satu belokan lagi untuk sampai. Nah itu belokannya!”
                        Angkot di sini berhenti di posnya, membuat kami harus berjalan kaki sendiri menuju rumah Shinta yang berjarak 200m lagi. Orang-orang makin ramai berlalu lalang. Anak-anak berlarian, itik-itik berbaris, kambing-kambing mengembik. Sekumpulan remaja putra yang sedang bermain bola berteriak dari tengah lapangan begitu melihat kami. Aku memandang Shinta yang namanya diserukan penjaga gawang botak di bawah gawang bambu. Shinta tersenyum.
                        Kami sampai di depan sebuah rumah yang berbeda dari rumah di sekitarnya. Hanya rumah ini yang dikelilingi pagar besi tinggi, dengan dua patung makhluk bertaring memegang pentungan di kiri kanannya. Di bagian lain halaman terdapat pendopo yang kutebak sebagai tempat nongkrong-nongkrong saja. Aku mengerutkan kening melihat dua mobil yang terparkir di depan garasi. Kenapa ia tidak meminta orang rumah untuk menjemput? Shinta yang memiliki gelar roro di depan namanya masih memukulkan gembok besi pada pagar sambil berteriak.
                        Aku mengamati lagi lingkungan sekitarnya sampai mataku terpaku pada sebuah rumah diseberang rumah Shinta. Rumah itu rumah kedua dari batu bata selain rumah Shinta yang kulihat di sini. Pohon-pohon rindang besar menutupi halamannya. Dinding bercat putihnya sudah ditumbuhi lumut. Langit-langit di nagian depan rumah sudah rusak sebagian, tripleks berjamur menggantung dari sana. Rumahnya memiliki cerobong asap, seperti rumah di negara dingin saja. Rumah tua bergaya Belanda itu pasti mengerikan di malam hari, membayangkannya saja sudah membuatku merinding, apalagi saat aku melihat sesuatu mengintip dari jendelanya.....
“AAAARRRRGGGHHHH!!!!!!!!!!!!!!”
***
“Jadi kamu melhatnya?”
                        Aku mengangguk pelan. Tanganku masih gemetaran saat memegang gelas teh manis. Aku menjulurkan lidahku yang kelu karena kepanasan. Ayah Shinta menghembukan asap tebal dari cerutunya, lalu membiarkan cerutu itu terjepit di antara telunjuk dan jari tengahnya, mengabaikan putrinya yang pura-pura batuk. Ayah Shinta menengok sebentar rumah tua itu dari balik jendela ruang tamu, lalu ia memandangku sambil tersenyum tipis. Aku memukul jidatku sendiri karena jeritan histerisku tadi, jeritan yang berhasil memanggil pembantu Shinta untuk membuka gerbang rumah, dan memnbangunkan ayah Shinta dari tidur siangnya.
“Walau mengerikan tetap saja anak-anak itu setiap sore berdiri di depannya, menatap ingin tahu apa yang ada di dalam. Ingin lihat Mbak Mada.”
“Hah?” tubuhku seperti kena sengat listrik, “Memang di sana benar-benar ada sesuatu om? Saya bukan salah lihat?”
Ayah Shinta mengangguk ragu-ragu, “Mungkin. Saya juga belum pernah lihat. Ada cerita dari rumah itu,”
“Cerita? Jadi ada ceritanya?”
“Ayo makan dulu. Nak Tari belum pernah makan rica-rica enthok kan?” Ibu Shinta yang makin gempal itu menyela.
                        Pantas saja seluruh anggota keluarga Shinta berbadan tambun. Begitu mencium aroma masakan olahan unggas blasteran ayam dan itik itu,langsung saja air liurku menetes. Tidak salah lagi, Ibu Shinta memang pintar memasak. Aku hanya bisa memejamkan mata, menikmati rica-rica enthok yang baru pertama kali kumakan seumur hidupku. Aku menyendok lagi nasi putih hangat pulen sambil mendengarkan ayah Shinta yang mulai mendongeng setelah meniupkan asap cerutunya.
“Jad begini....”
***
                        Kaki ramping yang putihnya seperti porselen meniti dengan hati-hati tangga delman sampai akhirnya ia berhasil menjejak tanah dengan selamat. Matanya dengan liar mengikuti anak-anak yang berlarian dengan kaki telanjang, anak-anak pribumi. Kaki-kaki dengan jari-jari manis yang menyembul dari selopnya sudah tidak sabar menjejak kampung halamannya. Gadis manis ini menarik napas dalam-dalam. Setelah sekian lama bersekolah di dataran Eropa, lalu melalui perjalanan panjang di atas samudera, Mada kembali ke Hindia Belanda. Mada memang sudah rindu pada ayah dan ibunya, juga sudah tidak sabar untuk menemui seseorang.
                        Tahun itu ia berusia 16 tahun dan desas desus dari orang di sekitarnya mengabarkan organisasi bernama Boedi Oetomo telah berdiri. Mada sedang duduk di belakang meja kerjanya, menuliskan dengan hati-hati huruf-huruf tegak bersambung. Setelah membubuhkan tanda tangannya dan memasukkan kertas ke dalam amplop merah jambu, Mada menciumnya berkali-kali, menitipkan kasih dan rindunya pada sepucuk surat.
                        DI ruang depan Mada bisa mendengar ayahnya mengumpat dalam bahasa Perancis saat jongos di rumah lupa memoles senapan berburunya. Tidak perlu heran, karena ayah Mada memang orang Perancis. Mata biru dan rambut pirangnya diturunkan pada anaknya yang seorang itu. Ibu Mada sendiri adalah wanita Jawa berkasta, yang sempat mendapat picingan mata tidak mengenakkan dari kerabatnya karena menikahi lelaki pemburu berkulit putih itu. Tidak jauh berbeda dengan istrinya, Monsieur De Nicholaus harus rela dibuang jauh-jauh dari komunitas Eropanya karena dianggap merendahkan diri melalui pernikahan dengan pribumi.
                        Tapi tidak masalah bagi Tuan Perancis begitu dibuang oleh teman-teman sesama Kaukasian. Ia memang sudah jatuh cinta benar pada istrinya, pun dengan tempatnya mendapat buruan Harimau Jawa ini. Tuan Perancis lebih senang berblangkon dan bersarung ketimbang berjas dan berdasi. Bahkan dalam bercakap-cakap dengan keluarganya, Tuan Perancis akan bebahasa Jawa dengan fasih,kecuali saat ia mengumpat. Maka begitulah, dengan mengabaikan perbedaan darah yang mengalir dalam nadinya, Monsieur de Nicholaus telah menjadi seorang Jawa. Totalitas dalam berbudaya Jawa juga ditunjukkan oleh Mada, yang sehari-hari berkebaya dan berkonde.
                        Kini Mada hanya bisa berbaring sambil nyengir dalam kamarnya. Tadi ia menitipkan suratnya pada supir delman yang akan melalui rumah Kanda Pram-nya. Sudah banyak yang tahu tentang keduanya. Ayah ibu Mada pun sudah tahu, begitu juga Raden Kartosasmito, ayah kekasihnya. Mada hanya bisa tersenyum mendengar pernyataan iri teman-teman gadisnya yang lain. Saat kawannya harus meninggalkan cinta dan menerima lamaran laki-laki lain lewat perjodohan, Mada memang menjalin kasih dengan laki-laki yang tanpa ia ketahui sebelumnya, memang akan dijodohkan dengannya. Ia tidak peduli dengan latar belakang perjodohan mereka, yaitu agar Raden Kartosasmito dapat menjalin hubungan keluarga dengan Bupati daerah sini, yaitu paman Mada sendiri. Ya, perjalanan cintanya memang mulus kecuali mendapatkan restu dari Ibu Pram, wanita Jawa konservatif yang memandang Mada bukan dari turunan bangsawan murni, dan juga Mada yang bersekolah jauh dari pengawasan keluarganya menimbulkan kecurigaan dalam hatinya kalau Mada tak lagi perawan.
“Siapa yang tahu apa yang dia lakukan di Eropa sana?” tanya Nyonya Kartosasmito dengan suara tinggi.
                        Tetapi Pram akan menggenggam tangannya erat-erat dan menentramkan hatinya dengan menjelaskan bahwa semua akan baik-baik saja. begitu juga saat ini, saat ia sedang bermain tenis dengan kawan-kawan Belandanya, supir delman yang mampir sebentar memanggil dari pinggir lapangan. Mada merobek amplop yang sudah ditunggu selama 14 jam sejak kemarin malam. Matanya menyisir kertas dari kiri ke kanan, lalu senyumnya mengembang.
“Ia akan ke rumahku besok bersama orang tuanya,”
“Itu bagus,”kata nona berrok merah yang tidak peduli latar belakang kawannya itu.
“Tapi...” air muka Mada kini berubah.
“Tapi apa?”
“Ibunya ingin tahu apakah aku bisa memasak. Ia ingin aku memasakkan sesuatu untuknya. Kau tahu, ayah dan ibu sangat ingin pikiranku berkembang seperti wanita di Eropa, tetapi mereka lupa untuk mengajarkanku keterampilan di dapur,”
                         Keempat orang itu saling berpandangan, dan tak sampai lima menit kemudian Mada berlari kecil menuju rumah. Ia mencari-cari ibunya yang sedang menjahit, ditunjukannya surat itu, lalu ia meminta agar diajarkan memasak. Keduanya sangat bersemangat menyambut kedatangan tamu besar esok hari, kecuali Monsieur yang duduk merajuk karena takut sang putri kecipratan minyak panas atau pun jari putrinya teriris pisau. Terlalu berbahaya, begitulah komentar singkatnya.
                         Mereka mencoba berbagai resep yang dikuasai Ibu Mada, sampai mereka tiba pada kesimpulan apa yang akan dimasak untuk besok.
“Rica-rica enthok membuat ayahmu tidak bisa berhenti mengunyah. Tenang nduk, semua akan baik-baik saja besok,” katanya sambil mengelus rambut Mada.
                         Maka esoknya mereka bersiap-siap. Rumah bercerobong asap khas negara-negara dingin itu sudah sibuk pagi-pagi sekali. Rumah disapu, halaman dibersihkan. Di dapur Mada dan ibunya sudah menyiapkan bahan-bahan; bawang merah, bawang putih, cabai, asam jawa, daun bawang dan lain-lain. Enthoknya? Ibu Mada meminta agar dipotong nanti saja ketika calon menantunya datang. Enthok segar adalah salah satu rahasia kelezatan menu ini.
                         Mada sendiri masih saja mondar-mandir, mengecek apakah bahan-bahan sudah siap, lalu ia akan berkeliling lagi, mengucapkan tanpa suara tahapan memasak yang benar dan mengingat lagi bentuk bahan yang akan ia masukkan. Ditengoknya enthok gemuk yang juga sama gelisahnya karena mau dipotong.
“Sebaiknya kau benar-benar enak enthok!” ancam Mada.
                         Derap langkah kaki kuda membangunkan Mada dari lamunannya. Mada segera berlari ke depan dan mengintip dari tralis jendela, calon suami dan calon mertuanya sudah tiba. Sesuai rencana, setelah sedikit  basa-basi, Mada dan Nyonya Kartosasmito tidak butuh waktu lama untuk menuju dapur. Mada berusaha mengingat-ngingat kembali apa yang sudah dipelarinya kemarin, mulutnya komat-kamit menyebutkan tanpa suara bahan-bahan dari masakannya. Tangan Mada bergerak-gerak di atas alat yang akan diambilnya. Pisau! Kau butuh pisau untuk mengupas bawang!
                         Mada mulai mengupas bawang satu per satu, lalu mengirisnya dan..
“Aduh!” Mada meringis sebentar, kemudian cepat-cepat menghisap darahnya sendiri, sebuah tindakan yang tidak luput dari pengamatan calon mertuanya.
“Apa kau masih bisa melanjutkan?”
                         Mada mengangguk kuat-kuat, diambilnya bawang lagi. jantungnya berdegup makin kencang, tidak ada yang bisa ia dengar selain suara Nyonya Kartosasmito dalam khayalannya. Perempuan itu melotot padanya, kini ia membentak keras-keras agar Mada mengiris bawang-bawang itu makin cepat sementara tepat di sampingnya, Nyonya Kartosasmito di dunia nyata menatap gadis itu dengan heran. Beberapa kali Nyonya Kartosasmito memanggil, tetapi Mada hanya mengangguk atau menggeleng, dan wanita bersanggul tinggi itu berpikir calon mantu yang terpaksa dipilihnya itu tidak ingin diganggu.
                         Mada kemudian membentak seorang jongos untuk menyalakan tungku, lalu ia meletakkan belanga besar, menuang minyak, setelah itu mulai menumis bumbu sampai harum. Beberapa meter jauhnya di ruang tamu sana, Pramono beserta kedua orang tuanya dan juga empat adiknya, ditambah Monsieur de Nicholaus dan istrinya mengendus aroma harum tumisan bumbu. Ibu Mada melirik ke calon besannya yang memejamkan mata, kemudian bersin.
“Sepertinya sedap sekali,” ujar Tuan Kartosasmito sembari mengusap hidungnya yang berair. Jelas ia mulai tergoda.
“Kau terlalu banyak memasukkan garamnya!” bisik Mada pada dirinya, “Tidak, tidak, santannya jangan sampai pecah! Oh tidak! Enthok? Mana enthok???!!!”
                         Enthok yang benar-benar baru dipotong itu dicelupkan ke dalam air panas agar bulunya mudah dilepas. Mada yang pikirannya dipenuhi Tuan dan Nyonya Kartosasmito melirik arloji emasnya. Keringat mengujur di dahinya, menuruni pelipis, kemudian sampai di pipi. Tangan Mada saling meremas, jantungnya terasa tertarik. Udara yang dihirupnya terasa sangat kering, sampai ia merasa gelagapan karena tak bisa bernapas.
“Kau tidak bisa membubutinya lebih cepat?” bentak Mada.
“Sebentar non, bulunya masih susah dicabut,” kata jongos ketakutan.
“Tidak usah kau bubuti! Langsung kuliti saja!”
                         Kini Mada sedang berhadapan dengan enthok utuh tanpa kulit. Tangan kanannya menggenggam gemetar pisau daging besar. Mada mengangkat pisaunya dan mulai memotong tapi tidak juga berhasil. Sepertinya butuh tenaga lebih untuk memotong daging beserta tulang-tulangnya ini. Mada mengarahkan ujung tajam pisau yang mengkilap memantulkan sinar matahari ke matanya, memberinya tekad untuk mengayunkan pisaunya lebih kuat. Sekali lagi Mada mengangkatnya, dan ya berhasil! Bagian pahanya kini sudah terpisah. Mada yang ngos-ngosan menyeringai bahagia. Ia makin bersemangat untuk memotong enthok menjadi bagian-bagian kecil. Yah, enthok-enthok yang masih segar mengeluarkan darah begitu mata pisaunya dihantamkan ke badan enthok. Banyak sekali darahnya, berarti enthok-enthok ini segar benar, begitu pikirnya.
                         Maka ia mengangkat pisau, lalu memotong. Mengangkat, memotong. Terus saja sampai semuanya menjadi kecil, setelah itu dimasukkannya ke dalam belanga berisi santan mendidih berwarna merah. Mada mengambil spatula, tidak peduli dengan tangannya yang berlumur darah. ia mengaduk-ngaduk  masakannya sampai matang, mengamati warnanya yang menjadi sangat merah, lebih merah dari hasil percobaan mereka kemarin. Namun Mada tak peduli. Bahkan ia membiarkan saja tangannya yang masih berlumuran darah itu menata rica-rica enthok di piring saji.
“Mbok Ijah, letakkanlah makanan ini di meja makan. Ayah dan Ibu serta tamu sudah di sana. Aku mau cuci tangan dulu. Darah enthok terlalu banyak,” perintah Mada yang langsung dituruti oleh jongosnya.
                         Mada meringis merasakan keanehan pada tangan kirinya.
“Mungkin karena aku memegang enthok teralu kuat, tangan kiriku jadi kebas begini,” batinnya.
                         Baru saja Mada berjalan menuju kamar mandi, celotehan Tuan Kartosasmito menghentikan langkahnya.
“Ini enak sekali!” ujarnya.
                         Tidak perlu menunggu lama sampai Mada juga mendengar pujian dari calon suaminya kemudian diikuti ayah dan ibunya sendiri. Namun Mada masih termangu, menunggu pernyataan dari sosok yang masih memandangnya sebelah mata.
“Panggil Nduk Mada ke mari, dia harus memakannya juga. Dia harus sering membuatkanku ini,”
                         Sayup-sayup Mada mendengar wanita ningrat itu memuji masakannya. Mada tak tahu lagi apa yang bisa membuatnya lebih bahagia dari ini. Ia melompat-lompat kegirangan, kekhawatirannya berganti dengan rasa bahagia yang luar biasa. Mada cepat-cepat berlari ke kamar mandi, menyiram tangannya yang berwarna merah, menggosok tangannya dengan sabun, menggosok sela-sela jari, yang kanan dan kiri, yang kanan dan.....
                         Dunia Mada terhenti untuk sementara waktu. Matanya melebar setelah mendapati penyebab rasa kebas yang ia rasakan. Darah yang sudah disiram terus mengucur dari sumbernya. Jemari kanannya terus meraba mencari sesuatu yang hilang, sementara pandangannya tetap lurus ke depan, ke arah tembok kamar mandi, tidak berani menengok ke bawah. Ia tidak merasakannya lagi! tidak mungkin!
“TIIDDDAAAKKK!!!!!!!!!!!!” Mada menjerit sejadi-jadinya.

***
                         Ayah Shinta mengakhiri ceritanya dengan jeritan menyerupai wanita. Aku hanya termangu setelah mendengarnya. Walau kini suara Ayah Shinta sudah kembali ke semula, suaranya dalam kengerian saat bercerita tadi masih terngiang di telingaku. Kisahnya masih terputar di dalam otakku, tidak mau berganti dengan yang lain. Aku memandang tiga wajah di depanku yang tampak tenang-tenang saja, bahkan cenderung girang. Mulut mereka masih mengunyah nasi dan enthok rica-rica. Aku menelan ludahku, merasa jijik dengan apa yang kualami kurang dari tiga jam ini, mulai dari sebuah tatapan di rumah tua itu, cerita Ayah Shinta, dan kini ekspresi keluarga Shinta.
“Jadi, rumah tua khas Belanda itu milik Mada om?” tanyaku pelan. Yang ditanya hanya mengangguk.
“Terus apa yang terjadi padanya?”
“Orang-orang bilang mereka mencari jari ke-2, ke-3, dan ke-4nya di dalam piring saji. Tapi yang ditemukan hanya telunjuknya. Tidak ada yang tahu ke mana sisanya, masuk ke perut siapa dua jari itu.”
“Dia jadi nikah sama Pramono?” aku memaksakan diri untuk bertanya meski merasa mual.
“Ada yang bilang jadi, ada yang bilang tidak. Versi yang ‘jadi’ mengatakan Mada akhirnya tetap menikah dan hidup bahagia. Ia menemukan bakat terpendam dalam memasak dan berhasil meluluhkan hati mertuanya, apalagi saat itu dia cacat. Kemudian ia meninggal, lalu dikremasi dan abunya ditaruh di rumah itu. Versi yang lain mengatakan ia tak menikah karena malu atas kecacatannya meski Pramono terus menyatakan cinta dan niatnya untuk menikahi Mada. Mada hanya mengurung diri di kamar, depresi, hingga akhirnya meninggal. Ayahnya yang sangat sayang padanya langsung mengambil senapan angin dan menembak kepalanya sendiri. sedangkan ibunya tidak ada yang tahu.”
                         Ayah Shinta berhenti bercerita sebentar untuk menghisap cerutu yang baru ia nyalakan. Kepulan asap bulat keluar dari mulutnya. Aku memandang Shinta yang sedang menyeruput kuah rica-rica enthok berwarna merah itu.
“Memang akhir kisahnya masih simpang siur. Bahkan rumah yang katanya angker pun masih jadi pembicaraan juga. Namun yang pasti  Mada telah mewariskan sebuah cerita cinta luar biasa dan yang  terpenting adalah.... ia telah menurunkan sebuah resep lezat,”
                         Aku terpaku menatap asap bulat yang terus mengepul dari mulut Ayah Shinta. Butuh waktu beberapa saat sampai aku bisa mencerna kata-katanya. Perlahan aku memandang piringku, menatap potongan daging yang sudah sebagian kumakan. Dengan sendok dan garpu yang gemetaran, aku mencoba memutar posisi daging. Hatiku mencelos. Perutku terasa terkocok-kocok ingin memuntahkan seluruh isi perut yang baru kumasukkan. Kepalaku pening mencium aroma berempah kuah rica-rica yang memenuhi ruangan. Aku melirik Shinta yang sedang menyeringai kepadaku. Mulutnya yang penuh makanan menelurkan tanya.

“Enak bukan?”