Simple Life

Kamis, 14 Februari 2013

Burjo Boim

Aku tersentak saat berbelanja di supermarket. Uangku sisa Rp20.000,00. Keningku mengernyit. Semenjak libur ini aku belum mengecek kalender di kamar kos lagi, tapi bisa kutebak sekarang tanggal 28. Ya, dan aku benar. Semenjak menjadi anak rantau, aku beradaptasi di segala aspek kehidupan, terutama dalam mengisi perut. Sebenarnya bukan aku sih yang beradaptasi, tapi dompetku, dia tak pernah menjadi lebih tebal seperti dulu. Dan tempat pelarian dalam krisis seperti ini biasanya adalah burjo. Sebenarnya makan di burjo dulu hanya dalam khayalanku saja, ternyata aku salah. Tapi kupikir makan di burjo sama saja, tak lebih murah dari makan di warteg biasa. Jika kamu pikir kamu bisa selamat dari godaan untuk jajan, mungkin kamu memang bisa lebih hemat. 

Sepulang dari supermarket, aku tak langsung pulang, tapi kuputar motorku ke arah yang lain. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk menjalin silaturahmi kembali dengan kakak sepupuku. Namanya Boim. Dia satu kota denganku, tapi jarang aku menemuinya, bukan jarang sih, aku berkunjung berdasarkan periode waktu, yaitu di saat-saat seperti ini. Saat di mana uangku tak ikhlas keluar dari dompet, tapi kebutuhan gizi memang harus dipenuhi. Masih di  khayalanku, dulu aku percaya bahwa tidak seorang pun anggota keluargaku akan bermain dalam bisnis burjo, dan sekarang aku salah lagi.

Boim. Aku yakin semua orang yang mengenalnya akan terkaget-kaget ketika mengetahui usaha abangku itu. Anak urakan yang menurut khayalanku dulu pasti tak akan bisa berdiri di kakinya sendiri, yang akan menggelantung di lengan ibunya untuk minta jajan seperti benalu, sekarang memikul tanggung jawab besar yang diberi ibunya. Sebenarnya yang aku heran kenapa budeku itu berani-beraninya menyerahkan warung bermodal awal 20 juta itu padanya, dan kenapa Boim yang kepala batu dan bisanya cuma main saja itu akhirnya sadar, bahwa ia punya kehidupan sendiri. Tapi yang paling membuatku penasaran, kenapa nama burjo Boim begitu konyol? Seperti tak ada nama yang lain saja. Namun sepertinya, memang ada sesuatu di balik nama itu: 'Monalisa Esmeralda'

Dan sekarang Boim melepas napas panjang sambil duduk di atas kursi plastik merek *****. Kelihatannya ia bertambah gendut, dengan perut yang mulai membucit. Ia tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa ia mulai tua. Asap rokok mengepul keluar dari mulut, hidung, dan telinga. Kemudian ia menatapku yang sedang menyantap intel buatannya. Pandangannya teduh penuh arti ketika kuberi ia pertanyaan yang membuatku bingung itu.

"Hah, aku belum pernah menceritakan ini sebelumnya. Tapi karena kau orang pertama yang menanyakan ini, maka akan aku jawab. Sejak pertama kali merantau..."
"Uhuk..uhuk.. bagaimana mungkin kau sebut tinggal sejauh 20 km dari mamimu itu merantau????" tanyaku tak setuju. Ia mengernyit.
"Hei, tinggal sendiri seperti ini jauh dari mami dan, aakkhh, lupakan. Itu benar-benar menyesakkan. Aku rindu padanya siang dan malam. Kamu tahu betapa sakitnya itu? Dan berdasarkan buku yang kubaca, itu adalah karakteristik orang merantau!!" jawabnya sambil melotot. Aku hanya diam sambi mengusap bulir-bulir liurnya yang sampai di wajahku.
"Mau dengar tidak?" tanyanya. Aku mengangguk. Dan sepanjang ia bercerita. aku tak sadar telah menitikkan air mata. Siapa nyana, Boimku ternyata memiliki kisah yang begitu menyayat hati....

****
 Boim, pemuda tanggung berbadan bidang, tinggi tegap dengan wajah rupawan ini adalah atlet bulu tangkis di sekolahnya. Dalam sistem kasta di sekolah, ia termasuk dalam golongan Ksatria, mungkin bisa saja Brahma jika pada saat itu ia cukup gila untuk memakzulkan kepala sekolah. Siapa yang tak kenal dia? Anggota elite OSIS ini pintar bersilat lidah, tak heran banyak siswi yang berjejer di belakangnya, memohon kemurahan hati, bahkan sampai-sampai menjatuhkan diri di hadapannya untuk diangkat sebagai kekasih. Melihat remaja flamboyan dengan dandanan parlente ini pasti dengan mudah ditebak bahwa ia telah menjatuhkan hati pada gadis yang tak kalah populernya. Monalisa.

Monalisa, gadis manis berlesung pipi, berambut hitam panjang tergerai, adalah ahli perbintangan di kota tempat jalannya cerita Boim ini. Ia adalah wakil kotanya dalam olimpiade sains bidang astronomi tingkat nasional. Konon katanya, keberhasilan Monalisa menjerat Boim tidak jauh-jauh dari keahliannya dalam astronomi. Suatu malam saat mereka selesai belajar kelompok, keduanya duduk di teras sambil memandangi bintang. Monalisa mengungkapakan bahwa zodiak mereka cocok satu sama lain, dan ini merupakan hal yang besar bila mereka bisa bersama. Sejak saat itu, mereka berdua bagai sepasang merpati yang sulit sekali dipisahkan, dan tak bisa dielakkan lagi bahwa mereka memang saling jatuh cinta.

Ayah Monalisa adalah seorang politisi lokal terkenal yang pada saat itu menjabat sebagai ketua parlemen setempat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Ayahnya secara kebetulan adalah teman baik papi Boim yang merupakan pejabat tinggi militer di kota mereka. Sehingga terdengar desas-desus di antara teman-teman sekolah Boim jika jalan menuju pelaminan bagi mereka berdua sudah terbuka lebar, mengingat kedua keluarga papan atas di kota itu sudah saling mengenal.

Angin politik pada tahun 90-an tak menentu. Demo di mana-mana. Orang-orang yang menyebut diri mereka mahasiswa itu  berteriak-teriak di jalan, menuntut presiden yang berkuasa lebih dari tigapuluh tahun untuk  mundur. Kekusutan politik mulai berhumbus sejak ketidakpastian ekonomi menggoncang negeri ini. Kata orang-orang pintar, hutang kita melonjak, IMF menjebak. Kabarnya, orang-orang dalam lingkar kekuasaan menggerogoti  daging saudara sendiri: korupsi besar-besaran terjadi. Dan yang Boim dengar pada saat itu adalah negara dalam kondisi darurat, ada yang mengatakan: akan chaos

Boim melihat papinya sibuk bukan main. Rapat ini itu. Bahkan sekarang hampir tidak pernah lagi sempat menatapnya sambil berkata bangga: 

"Lihat mukamu, tubuhmu, mirip aku sekali. Kelak kau pasti akan jadi jenderal hebat, seperti presiden kita, bintangnya ada lima, hahaha" 

Boim tersenyum jika mengingatnya. Indonesia memang kacau pada saat itu, tapi Boim tak terlalu peduli. Selama tim Indonesia masih bisa memenangkan piala Thomas, apa yang perlu dikhawatirkan? Dan selama masih ada Monalisa, jiwaku mash tetap utuh, begitu pikirnya. Monalisa, wanita lain yang berbagi tempat dengan mami Boim dalam hati lelaki itu. Tak ada yang lain, hanya mereka berdua, dua hawa yang paling dicinta Boim. 

Semakin lama, keadaan semakin kacau. Orang yang demo itu makin gila-gilaan. Papi semakin sering rapat. Pernah Boim mendengar papinya berkata pada maminya: "Aku harus apa? Melindungi rezim atau mengabaikan anak bangsa sendiri?" 

Benar, kedaan memang makin memburuk, karena Monalisa ikut-ikutan bicara politik, bahwa keadaan makin tidak aman. Mereka sedang berjalan-jalan di tepi pantai ketika Boim melihat Monalisa begitu rapuh saking takutnya. Boim meraih tangannya, kemudian mengenggamnya, menguatkan kekasihnya. 
"Keluargaku terancam, ayahku adalah anggota partai berkuasa sekarang, bukan tidak mungkin ia akan diserang orang demo yang makin barbar itu, hiikkkss.. Kamu tahu, ia pernah diancam orang.." Monalisa tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
"Tak perlu takut. Kita aman. Papiku adalah pejabat militer yang genius. Percayalah padaku" kata Boim. Ia menatap lekat-lekat wajah cantik itu. Monalisa sesenggukan, lalu mengangguk.

Gelombang mahasiswa masih belum mereda. Bahkan sekarang Boim tak begitu yakin pada stabilitas negeri ini, bahkan pada papinya. Mami terlihat khawatir saat papi pergi. Monalisa menelopon Boim siang itu, minta bertemu. Saat sekolah tadi, Monalisa menghindarinya. Entah mengapa. Dan saat di kelas Boim mencuri pandang ke arahnya, didapatinya Monalisa juga sedang memandang padanya. Ketika akhirnya mereka bertemu di tempat yang dijanjikan, Boim tersadar itu akan menjadi pertemuan yang terakhir. Monalisa berurai air mata. Ia bertanya pada Boim apa yang harus dilakukannya, tapi Boim diam. Boim tahu, mereka tak bisa melakukan apa-apa. Mereka akan terpisah. Keluarga Monalisa tak sanggup menahan ancaman orang tak dikenal. Monalisa akan ke Amerika besok.

Boim berbaring merana di kamarnya. Separuh jiwanya pergi. Boim tak ingin mengingat kejadian tadi siang, ia yakin mereka akan bertemu kembali. Ya, Boim ingin melupakan perpisahan itu kecuali sentuhan lembut bibir Monalisa pada bibirnya tadi siang. Kecupan pertama dan terakhir yang pernah Boim alami.

Siapa yang harus disalahkan? Siapa yang harus di salahkan untuk setiap kejadian tragis dalam hidupnya? Untuk kepergian Monalisa! Bahkan untuk kepergian ayahnya sekarang!  Beberapa minggu yang lalu saat Boim pikir kakinya masih menginjak tanah. Pada hari naas itu, di pertengahan maret, ketika kerusuhan sudah mulai merangsek sampai kota Boim, papinya menghilang! Lusanya ketika Boim pulang sekolah, yang didapati di rumahnya adalah susunan kursi dan tenda, serta bendera putih. Papinya telah dihabisi orang.  Entah siapa. Entah orang-orang di belakang presiden tua itu, entah mereka yang teriak-teriak minta reformasi. Yang Boim pikir saat itu adalah: sekarang ini titik kehancuran hidupnya. 

Boim tak tahu lagi alasan apa untuk dia hidup. Untuk bersama Monalisa menghitung banyaknya bintang tiap malam, atau untuk jadi jenderal hebat berbintang banyak seperti pinta ayahnya. Pastinya bukan untuk keduanya sekarang. Dan ketika kamu menjauhkan diri dari cahaya, lalu mulai masuk dalam kegelapan, kamu benar-benar tersesat. Ya, Boim melangkah terlalu jauh sekarang, dan dunianya berhias lampu disko kelap-kelip, serta butir-butir obat kecil. Jika ada reformasi untuk negeri ini, tentu ada reformasi untuk dirinya, begitu pikir Boim tiap malam. Reformasi yang ditandai dengan tato di sekujur tubuhnya. Di saat maminya berusaha membangun kembali hidup mereka, Boim meruntuhkannya.

Mami Boim tak pernah meyakini bahwa roda itu berputar, ia selalu berpikir bahwa keuarganya selalu berada di atas puncak. Tapi siapa yang bisa menolak sekarang? Ketika akhirnya mahasiswa dan orang-orang itu berteriak puas, dan si presiden tua akhirnya lengser, itu tak membawa perubahan apa-apa baginya keculi kemerosotan kehidupan dan suaminya yang telah tiada. Atau Jangan-jangan, putra semata wayangnya juga ikut berubah? Begitulah kata orang-orang terdekatnya. Boimnya sering pulang malam, sekolahnya berantakan. Tapi mami begitu naif dengan menyangka bahwa memang itulah yang terjadi pada remaja seusia Boim yang kehilangan papi. Bahwa tidak mengenal putranya sendiri merupakan fase yang harus dilewati setiap orang tua. Maminya harus bekerja keras untuk menyokong hidup mereka, untuk terus bertahan dalam kehidupan borjuis mereka yang dulu, untuk terus mendukung anak satu-satunya yang selalu butuh uang lebih untuk alasan yang maminya tak tahu. Sampai pada suatu titik di mana mami Boim sadar, bahwa mereka bangkrut. Dan kebangkrutan itu membuka mata mami Boim, anaknya bukan Boim yang dulu, melainkan  seorang berandal.

Ya, reformasi memang merubah segalanya. Boim dan maminya menjalani hidup yang berbeda. Dan yang terjadi setiap mereka satu meja makan di rumah yang kecil itu adalah pertengkaran. Pertengkaran yang terakhir terjadi menyebabkan Boim minggat. Ia tak pulang sampai tiga hari dan mami rindu. Ia selalu berharap pintu depan rumah akan diketok anaknya, tapi harapan itu selalu meleset. Begitu pun setelah shalat ashar ini, seusai berdoa, dibukanya pintu depan dan yang didapati bukan Boim, tapi beberapa temannya. Muka mereka gusar.
"Ada apa?" tanya mami.
"Boim tante, overdosis.."

Mami berjalan cepat sekali. Langkahnya panjang-panjang, dan sudah beberapa kali menabrak orang. Cukup sudah dengan kepergian suaminya, kali ini jangan anaknya. Mami menyusuri lorong rumah sakit, mencari kamar putranya, membukanya, dan mendapati Boim terbaring lemah di ranjang. Ia masih sempat tersenyum menyambut maminya yang berjalan semakin dekat dan Boim tahu, mami pasti sedang menahan tangis. Sampai pada ujung ranjangnya, Boim kaget ketika mami mengayunkan tas tangannya tepat ke kepala, badan, dan segala bagian lain dari Boim yang dapat ia jangkau.
"DASAR!! APA YANG KAMU PIKIRKAN, BRENGSEK KAU???!!!" kata mami sambil terus menghajar Boim.
"Aduh.. aduh.. apaan sih mam?"
"KAMU HANYA BISA BIKIN BEBAN SAJA!!! KAMU TAHU BERAPA UANG YANG HARUS KUKELUARKAN UNTUK BIAYA RUMAH SAKIT INI HEH???" mami masih menghajar anaknya, tidak peduli pasien lain yang terheran-heran, tak pedulli beberapa perawat dan teman Boim yang menghalanginya memukuli pemuda itu . Anak ini, memang harus diberi peajaran.

Kedua anak-beranak itu hanya dalam diam sejak tadi. Mami duduk di kursi di pinggir ranjang Boim, pandangannya lurus melewati anaknya. Mami muak betul melihat muka Boim. Boim sesekali melirik maminya. Ahh, badannya masih ngilu bekas dipukuli mamiunya sendiri.

"Mam," kata Boim akhirnya, "Maaf" mami masih tak bergeming.

"Mamm...."

"Apa lagi sekarang? Masih belum puas setelah hampir mampus karena narkoba heh?" mami memalingkan muka dari Boim lagi. Boim menunduk. Mereka diam sampai mami mulai berkata lirih:

"Sudah lima tahun sejak reformasi, dan aku baru tahu putraku seperti ini, haha," mami seperti meledek dirinya sendiri. "Apa kau jadi begini karena kepergian Monalisa dan papi?" tanyanya lagi. Boim diam.

"Kau begitu sedih. Apa kau pikir aku tidak?" mami menarik ingusnya, "Apa kau pikir aku akan rela jika akhirnya aku kehilangan dua pria penting dalam hidupku?" mami berhenti sebentar mengatur emosi. Boim memandangnya tajam.

"Apa kau tak punya alasan lain untuk hidup 'nak? Bagaimana dengan aku? Jika aku memang tak sepenting itu, mungkin baik untukku bila Tuhan mengambilku sekarang," ia berhenti bicara. Bahunya naik turun karena menangis. Boim tak kuat lagi. Ia raih lengan mami, dan merangkulnya. Mereka berpelukan lama sekali. Dan Boim pikir ia telah sembuh dari narkoba. Ia pikir optimisme mami adalah penawarnya. Ia punya alasan untuk tetap hidup, setidaknya untuk mami. Ia sudah sembuh.

Dan seiring berjalannya waktu, reformasi terus bertambah tua, perubahan memang terjadi, tapi status negara ini tak lekas beranjak dari 'negara berkembang'. Nelayan masih miskin, petani juga. Namun hubungan Boim dan maminya membaik. Boim tak bisa menghilangkan begitu saja image berandalan dari dirinya di hadapan masyarakat sekitar, apalagi di keluarga besarnya. Keduanya hidup sederhana, dan pada saat itu, Boim yang menganggur terkadang membantu lelaki pemilik burjo tempat biasa ia nongkrong. Kadang mencuci piring, membuat kopi, sampai memasak mie.

Mami yang risih melihat anak perjakanya hidup tak jelas, mulai cerewet menyuruhnya mencari kerja atau setidaknya membuka usaha.
"Apa yang akan dikatakan Monalisa kelak jika ia kembali ke tanah air dan didapatinya engkau hanya sebagai pemuda pecinta burjo?" begitu selalu ocehnya. Dan selalu dijawab kesal Boim dengan:
"Kalau aku punya banyak uang, maka aku akan nongkrong di Starbuck!!!"

Boim terlalu lelah dengan kecerewatan mami sampai suatu hari ia menimpali ocehan mami itu dengan:
"Oke, kalau begitu beri aku modal, maka akan kubuka burjo!!!"tentu saja itu hanya celetukan Boim. Ia tak serius. Tapi mami yang menatapnya tajam berpikir lain. Saat melihat ekspresi Mami, Boim segera mengatupkan mulutnya. Ia yakin, Mami sedang berpikir masak-masak tentang ide itu. Boim menepok jidatnya.


***

"Nah, begitulah ceritanya. Teman Mami menawarkan lahan kosongnya untuk dibangun burjo di sini, membuatku harus tinggal jauh darinya. Tapi kuakui, bisnis burjo memang menguntungkan," ujar Boim bangga sambil mengelus jambangnya. Aku sesekali mengusap air mataku, ingin kusembunyikan isakan darinya. Abangku Boim menyimpan begitu banyak kenangan sendu ternyata.

"Lalu bagaimana dengan Monalisa? Bagaimana kabar terakhir tentangnya?" kupikir aku telah menanyakan hal yang salah begitu melihat air muka Boim yang berubah.

"Dia baik. Sebulan lalu aku bertemu dengannya saat ia mengunjungi Mami," Boim berhenti sebentar, "Haha, akhirnya aku bertemu dengannya lagi. Ia datang dengan kedua anak bulenya. Monalisa sudah menikah dengan pengusaha asing dari Belanda dan aku...," ia berhenti. Kuusap bahu Boim.

"Dan aku tetap menyisakan tempat untuknya di sini," ia menunjuk dada kirinya, "Kurasa ia melakukan hal yang sama untukku, haha. Hah, tapi mau bagaimana lagi, hidup memang harus berjalan 'kan?" Boim tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Aku lalu memeluknya. Oh Boimku! Pantas bocah ini begitu menyayangi bude dibalik kesan sangar dari penampakannya yang besar, bertato dan brewokan. Sekarang aku tahu kenapa nama burjo ini adalah Monalisa Esmeralda. Sebentar, tapi Esmeralda? Apakah itu nama panjang Monalisa?

"Oh, bukan, itu judul telenovela favorit Mami," ujarnya datar. Astaga, anak beranak ini... 








Keterangan (bagi yang belum tahu):

Burjo: Warung yang biasanya dikelola Aa' sunda. Jualannya bubur kacang ijo, nasi telur, berbagai olahan mie instan, dan sebagainya. Bertebaran di mana-mana, di segala penjuru kompleks yang banyak kosan mahsiswa. Ramai saat musim paceklik (saat kiriman orangtua belum sampai).
Intel: Salah satu menu yang ada di burjo. Kepanjangan dari indomie telur. Enak sekali. 
Esmeralda: Telenovela ini benar-benar ada. Diproduksi pada 1997. Sempat booming di Indonesia. 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar