Simple Life

Kamis, 06 Februari 2014

Halo Tari, Selamat Pagi

Srek..srekk..
                Bunyi wiper yang mengelap kaca depan city car Pak Hanang adalah suara lain yang Tari bisa dengar selain guyuran hujan yang menghantam tanpa ampun. Tari menyandarkan kepalanya ke jendela yang tertutup bulir-bulir air. Ia menghela napas. Tari mengelap kabut yang terbentuk di kaca mobil ketika mereka terhenti di lampu merah dekat Tugu Jogja.
Tepat di samping mereka, Tari mendapati pemandangan ganjil yang memaksanya untuk tersenyum. Dua orang berboncengan, duduk saling merapat di bawah jas hujan kelelawar. Dari kaki-kaki mereka yang kelihatan berbalut celana panjang abu-abu, tidak salah lagi mereka laki-laki. Aneh. Jogja memang kota yang aneh. Seaneh rasa gudeg yang terlalu manis.
Ia terus menatap pengendara motor yang terkena pantulan warna merah lampu jalanan. Tari berjengit ketika orang yang dibonceng dibelakang melongokkan kepala dari dalam jas hujan. Tepat sebelum akhirnya lampu hijau yang menyala, Tari tahu wajah siapa yang sedang memandang. Dari sorot matanya yang tajam, Reno balik melotot pada Tari. Anak laki-laki itu... Astaga...
“Ada apa?” tanya papanya.
“Gak ada apa-apa, Pa,” Tari kembali memandang lurus ke depan, ke jalan yang akan mengantarnya ke salah satu sekolah favorit di sini.
                Semuanya berawal dari tiga bulan yang lalu. Ya, tiga bulan yang lalu saat kegiatan orientasi sekolah. Seperti biasa, anak-anak baru diperlakukan layaknya badut dan orang tua khawatir dengan tindakan perpeloncoan. Tari ingat benar dengan kerepotan di pagi buta saat mamanya harus mengepang rambut Tari sebanyak tanggal ulang tahunnya. Dan parahnya ia lahir tanggal 31. Mama harus menegur Tari yang kepalanya teklak-tekluk karena masih ngantuk.
“Memanganya harus ngepang sebanyak ini ya?” tanya mama.
“Hmmm,” gumam Tari.
                Rambutnya yang sedari tadi terasa ditarik kini kembali bebas. Mamanya kelihatan sudah menyerah, lalu mengelus rambut Tari yang beraroma melon itu dengan lembut. Tari mengelus dada. Tidak seperti ibu lain yang sering mengutak-atik rambut putrinya, mama bisa dibilang sangat jarang. Dilema bagi mama, ia pasti ingin memainkan rambut Tari, membuat kepangan kecil seperti cacing-cacing, menirukan model rambut terbaru pada Tari, termasuk menata rambut putrinya untuk hari ini. Tapi yang bisa mama lakukan hanyalah mengikat rambut Tari serupa ekor kuda saja.
 “Mbak Jum, rambut Tari tolong dikepang ya!” mama berseru memanggil wanita berumur tiga puluhan yang berlari-lari pelan, takut kena damprat dari nyonyanya.
                Maka kini Tari, dengan 31 kepangan di kepalanya, harus berjalan kaki dari ujung jalan, titik yang dijadikan tempat akhir pengantar siswa baru. Name tag berbentuk jantung yang memiliki dua sisi, satu di depan dada dan yang lain di belakang punggung, menggantung ganjil di lehernya. Di lengannya tersampir karung goni yang didesain sedemikian rupa menyerupai tas selempang. Dengungan orang-orang dengan bahasa jawa membuat Tari pening. Ia seorang jawa oplosan, jawa yang telah kehilangan identitas, tergerus budaya ibu kota yang begitu heterogen. Sebutan Raden di depan namanya tidak berarti apa-apa lagi karena ia sama sekali tak mengerti bahasa jawa! Tari sudah sampai di lapangan utama sekolah, lalu mulai mencari empat belas anggota kelompoknya yang lain, salah satu tanggung jawabnya sebagai ketua kelompok.
                Maka dimulailah masa orientasi selama tiga hari berturut-turut. Masing-masing kelompok wajib memegang sebuah telur ayam yang sudah diberi cap panitia, dan harus mempertahankan telur itu sampai hari terakhir. Kalau sampai pecah akan ada sanksinya, sesuatu yang menurut Tari tak akan terjadi. Teman-temannya tak seceroboh itu dan hukuman sepertinya hanya mitos. Kegiatan orientasi sekolah sangat jauh dari kesan perpeloncoan, dan Tari senang. Mendengar pidato kepala sekolah, mengikuti matrikulasi yang sudah disiapkan, menulis surat dan meminta tanda tangan pada kakak kelas. Yang terakhir ini membuat Tari tersenyum sampai sekarang.
 Tari sempat kebingungan saat harus mencari dan meminta tanda tangan pada seniornya Dan saat ia hanya melongok ke sebuah kelas berisi lima siswa yang sedang dikerjai, suara lembut laki-laki terdengar di telinganya.
“Masuklah,”
                Tari menoleh ke belakang, menemukan kakak kelas yang tesenyum manis. Ia hanya bisa melongo memandangi laki-laki yang tingginya menjulang, mungkin 180 cm. Kak Bram, dua tahun lebih tua dari pada Tari, ketua Osis, anak astronomi dan jago menulis puisi. Hanya satu kata yang terpikirkan, marvelous! Tari hanya tersenyum sambil menunduk, lalu mengulurkan buku yang belum diisi sama sekali. Kak Bram membubuhkan tanda tangan yang pertama, dan sejak saat itu Tari merasa mata ketua panitia MOS itu mengawasinya selalu.
Hanya tentang kak Bram-lah akhirnya Tari dapat menciptakan topik yang bisa dibicarakan bersama teman-teman barunya. Mereka membuat obrolan kecil baru di tengah obrolan yang sudah berlangsung. Tari hanya meringis melihat yang lain saling bisik iri di tengah istirahat siang yang sisa 15 menit. Mereka berempat duduk di kursi panjang lorong sekolah, mengabaikan anak-anak lain yang lalu lalang sambil bersenda gurau, sesekali mengucapkan salam kepada guru dan kakak kelas yang lewat, sampai pada dua anak laki-laki yang berlarian sambil melempar penghapus papan tulis, hingga....
 BUK....
“Arrggghhh...” Dita menjerit sambil memegangi jidatnya yang jadi hitam kena penghapus whiteboard. Matanya memerah menahan tangis.
                Kedua anak laki-laki itu diam seketika. Tawa yang melengking-lengking hilang ditelan tatapan murka Tari and the gank yang menuntut jawab. Tari tahu salah satu dari mereka adalah anak berambut agak gondrong yang rambutnya dicukur paksa komdis pada hari pertama orientasi. Anak yang satu lagi memandangnya  sebelum akhirnya mendekat pada mereka dengan rasa sesal.
“Maaf, kami nggak sengaja,”
                Dita mengucek matanya, menyembunyikan air mata, yang Tari berani taruhan, sempat keluar sedikit. Tari sempat merasa khawatir sampai Dita akhirnya mengangguk. Anak laki-laki itu keihatan sedikit gembira, lalu meminta maaf lagi sebelum akhirnya berbalik dan pergi. Sebuah tindakan terpuji yang tak diikuti temannya yang satu lagi, yang tadi hanya memandang tanpa rasa bersalah, membuat darah muda Tari mendidih. Tari sekonyong-konyong langsung berdiri, mengagetkan teman-temannya yang lain.
“Hei kamu!” bentak Tari.
Mereka berdua yang baru berjalan beberapa langkah langsung berbalik. Mata Tari tertuju pada anak yang rambutnya habis dicukur paksa itu. Anak laki-laki itu memandang heran Tari lalu menunjuk dirinya sendiri untuk meyakinkan apakah yang dipanggil barusan adalah dia.
“Ya kamu! Kamu yang tadi melempar penghapus kan?”
“Ya saya. Lalu?”
“Minta maaf!”
“Hah?”
“Minta maaf!”
“Temanku tadi sudah minta maaf..” sergah anak laki-laki itu tak terima.
“Minta maaf!” Tari terus mengulang perintah dengan getaran yang terasa pada akhirannya.
Anak laki-laki yang dituduh hanya tersenyum kecut sambil memutar bola matanya, tidak percaya seseorang yang tak dikenal memaksanya seperti ini, “Maaf,” katanya ogah-ogahan.
                Angin kering lewat di tengah mereka, disusul dengan bunyi geluduk di siang bolong. Tanda-tanda hujan sudah nampak sejak pagi tadi, dan kini langit makin mendung. Tari kecewa kenapa petir tak kunjung datang untuk menyambar si botak yang menyebalkan ini. Hujan yang mengaburkan tema kemarau di awal juli. Menandai awal baru di antara Tari dan anak laki-laki berpotongan rambut setengah centi itu, yang belakangan dikenal Tari sebagai Reno. Tari tak suka dia. Tak akan pernah suka si troublemaker. Si idiot.
                Apalagi setelah insiden perebutan telur di hari terakhir. Tari benar-benar ingin mencekokinya dengan obat nyamuk! Saat itu dua kelompok digabung menjadi satu untuk sebuah permainan ice breaking. Dan tari menepok jidatnya, salah satu anggota kelompok itu adalah Reno. Mereka saling bercampur, termasuk Tari dan Reno. Tapi semua menjadi geger saat permainan telah selesai dan mereka harus kembali ke ruang kelas.
“Loh, kenapa telurnya cuma satu?”
“Itu telur kelompok kami!”
“Enak saja, itu telur kelompokku!”
“Aku menaruhnya di sini tadi. Jelas sekali!” Tari maju ke depan sebagai perwakilan kelompoknya yang terus protes.
“Kami juga menaruhnya di sini setelah diinspkesi pengawas,” kata Berry, ketua kelompok yang bersengketa dengan Tari, “Benar kan Ren?”
Seseorang yang tidak diharapkan Tari maju. Reno dengan kening yang berekerut bergerak ke tengah lingkaran panas yang dikelilingi anggota masing-masing kelompok. Mata Tari menyipit, semua akan menjadi tidak baik-baik saja kalau ada orang ini. tangan tari sudah membentuk tinju.
“Iya. Tadi aku naruhnya di sini kok...”
“Bohong!” sambar Tari. Semua orang menarik napas, tahu akan ketegangan yang telah terjadi.
“Apa? Kenapa kamu berani menuduh begitu?” Reno kelihatan tak terima. Tangannya sudah bersedekap.
“Kamu mau menyabotase kelompokku kan? Ayo ngaku! Kamu yang terakhir berada di TKP!”
Suara berdengung kembali terdengar, Reno kelihatan tak sabar untuk segera menelan Tari bulat-bulat, “Hei! Jangan sok kamu ya! Mentang-mentang nilai tesmu paling tinggi terus kamu bisa nuduh orang sembarangan gitu?”
Hening. Tari kena skak!
“Ada apa nih ribut-ribut?” Dita menyeruak di antara yang lain, berusaha mencapai Tari. “Tar, ini telurnya. Tadi diminta kak pengawas untuk diperiksa,” kata Dita sambil meletakkan telur ke atas tatakan.
                Tari merasa mulutnya disumpal cangkang telur! Ia tak bisa bicara kepada anak kelompok tetangga yang kedengaran kesal. Semua langsung bubar setelah kesalahpahaman yang tidak perlu ini. Tari mencuri pandang pada Reno yang sudah menghilang. Ia merasa bersalah.
Tari berhutang maaf padanya yang belum sempat disampaikan sampai tiga bulan sekolah sudah berjalan. Sampai tadi mereka berpapasan di lampu merah dekat Tugu Jogja. Tari menepuk-nepuk pipinya, sekarang saatnya untuk berkonsentrasi dengan yang satu ini. Ia harus berlari.
                Lintasan balap atletik masih basah setelah hujan tadi pagi. Tari diminta bergabung dengan tim estafet putri sekolahnya untuk persiapan olimpiade pelajar. Tari mau-mau saja selama itu tak mengganggu pelajaran. Nilainya masih selalu di atas 90 sejak pertama kali berlatih. Tari masih yang pertama. Toh sejak SD tari memang sudah menggeluti dunia atletik. Dan ada alasan lain, konon katanya Kak Bram selalu mengamati mereka secara sembunyi-sembunyi. Tari tak pernah melihat kehadirannya, tapi isu itu berhasil melejitkan semangatnya.
                Tari mengernyit ketika melihat pemandangan yang merusak mood-nya. Reno sedang memunguti sampai di tepi lintasan, dengan kepala sekolah yang memberi komando. Tari mencibir dalam hati, kenakalan apa lagi yang telah dibuat Reno? Jelas bukan karena terlambat, bukannya tadi mereka berdua bertemu di lampu merah?
                Tari sudah bersiap di tempatnya sekarang. Setelah pemanasan sebelumnya, Tari siap jadi pelari ketiga. Tari memasang kuda-kuda dan berusaha fokus meski sesekali Reno terlihat melintas di pandangannya. Tari menghembuskan napas saat aba-aba sudah diteriakkan. Tari menanti hinggai tongkat itu ada padanya, lalu segera berlari sekencang-kencang sampai tiba-tiba...
                Kak Bram! Kak Bram muncul!
 BRUKKK....
                Tari menabrak pelari di depannya. Matanya tadi terpaku pada Kak Bram yang tiba-tiba muncul dari belokan sekolah sampai Tari tak memperhatikan larinya. Tari merasa badannya berdebam, sikunya menyusur tanah dan dagunya menghantam lintasan. Tari mendengar teriakan panik dari rekannya yang lain, termasuk Kak Bram yang lari terburu-buru menghampirinya. Tari sempat tersenyum sebelum memutuskan untuk pura-pura pingsan, menanti tangan kuat Kak Bram mengangkatnya.
                Yah, ini dia saudara-saudara! Tari merasa sebongkah tangan kokoh menopang leher dan lututnya, lalu menggendongnya pergi. Astaga, dia kuat sekali! Perasaan beratku beberapa bulan ini naik deh, batin Tari sambil mesem-mesem. Tari tak bisa menyembunyikan degup jantungnya yang mulai menggila. Tari tak bisa menahan godaan untuk mengintip sang pangeran yang menggendong. Sedikit saja. Ya, tak bakal ketahuan kalau aku pura-pura...
                No way!
                Tari menahan napasnya. Pupilnya melebar saking kagetnya. Hatinya seakan jeblos menembus lapisan tanah. Darahnya berdesir makin cepat. Pandangannya makin kabur, kepalanya jadi pening. Selanjutnya ide Tari gagal. Ia tak jadi pura-pura, tapi ia benar-benar pingsan di atas gendongan laki-laki yang terlihat serius dan terburu-buru ini. Jelas Tari tak menginginkan dia. Tari tak mau Reno!
***
                Tari memijat keningnya yang berdenyut. Sesekali Tari meringis karena luka-luka lecet di tangan dan kaki. Saat ujung-ujung ekstremitasnya digerakkan itu sangat menyakitkan. Dita menempelkan kain kasa di atas kasa lain yang sudah diberi iodine, lalu merekatkannya di dagu Tari dengan plester.
“Udah sadar kamu Tar?” tanya Lili yang duduk di dekat ranjang. Tari mengangguk.
“Kamu sarapan gak ‘e tadi?” Dita mengusap luka-luka kecil. Tari menarik tangannya menjauh. Kesakitan rupanya.
“Hmm,” Tari hanya menggumam yang berarti ‘Ya, aku sarapan tadi’.
                Dita dan Lili tak bisa berhenti cekikikan dari tadi. Tari tak suka kedua teman MOS yang akhirnya sekelas dengannya itu menyimpan rahasia. Mata Tari menyelidik keduanya.
“Hahahaha, nggak penting Tar,” kata Dita sambil menyerahkan segelas air. Mata Tari hanya tinggal segaris, tanda tak suka mereka menyembunyikan sesuatu.
“Hahaha, jangan marah ya Tar. Kita cuma lagi ngebayangin aja kok,” Lili mendekatkan kursinya ke ranjang, lalu mengarahkan wajahnya pada telinga Tari, “Kayaknya Reno suka kamu,”
“Uhuk...uhuk...” Tari keselek air saking kagetnya, “Eh, jangan ngaco ya,”
“Hahaha, soalnya tadi dia langsung nolong kamu. Padahal Kak Bram udah lari ke arah kamu, eehh keduluan si Reno deh. Kak Bram akhirnya malah ngangkat Kak Fany yang kamu tabrak, hahaha,”
                Entah mengapa telinga Tari tiba-tiba jadi tuli. Teman-temannya terlihat tertawa tanpa suara. Darah muda Tari kembali berdesir. Mukanya berubah merah. Tangannya gemetaran. Sial si Reno! Apa-apaan sih dia? Tari turun dari kasur, mengagetkan kedua temannya yang  memintanya untuk kembali. Tari mengambil langkah-langkah pincang menelusuri lorong sekolah. Kedua temannya mengekor dari belakang, berusaha menghentikan Tari yang kelihatan geram. Tapi Tari tak ambil pusing. Sekarang jam istirahat siang, Tari berbelok menuju kantin, yakin 100% kalau dia ada di sana.
                Aha! Itu dia!Duduk di pojokan bersama teman-temannya. Tertawa terbahak-bahak sampai akhirnya berhenti sendiri karena kehadiran Tari yang penuh luka di dagu, siku, dan lututnya. Muka sekelompok laki-laki itu kelihatan heran. Tari tampak garang, terutama karena sobekan di beberapa bagian baju olah raganya yang berwarna putih, yang jadi cokelat kena tanah.
                Tari bergerak makin dekat ke arah meja dengan tidak melepaskan pandangan dari Reno. Reno balas menatapnya tanpa ampun. Sampai akhirnya Tari berada di sebelah Reno yang duduk paling ujung, lalu melakukan manuver yang tak pernah disangka. Ia menyerobot gelas berisi es teh yang sepertinya milik Reno. Ia meminumnya dalam sekali teguk, membiarkan air teh yang luber ke lehernya.
Buk...
                Tari menggedor meja dengan gelasnya. Dadanya kelihatan naik turun karena marah. Anak-anak laki-laki memandangnya takjub. Ketua kelas mereka yang cantik, pintar, bertutur dan berperilaku halus, simbol feminisme dalam kelasnya itu bisa berubah liar. Dita dan Lili saling pandang, kikuk karena satu kantin yang kini menaruh perhatian pada mereka. Tari menarik napas dalam-dalam, siap untuk menyemburkan api.
“DASAR IDIOT!!!” teriaknya, kemudian berbalik pergi begitu saja, meninggalkan orang-orang dengan beribu tanda tanya tentang apa yang telah terjadi.
Tari menonjok Reno tanpa sebuah tinju, pas kena ulu hatinya. Reno hanya bisa melongo. Bukankah tadi ia baru saja menolong Tari? Tapi itu tak seperti yang dipikirkan Tari. Menurutnya Reno telah mengacaukan rencananya. Kak Bram tak jadi menolong. Dan karena Reno pulalah kini satu kelas mulai mengganggu Tari dengannya. Tari hanya bisa menggerutu dalam hati jika mereka dicocok-cocokkan.
Reno bukan tipenya sama sekali. Walaupun Reno terlihat lebih tampan setelah rambutnya tumbuh, itu tak menaikkan secuil derajatnya. Nilainya jelek, pemalas, sering terlambat, dan kepala batu. Reno hanya terkenal karena keanggotaannya dalam perguruan elit silat merpati putih, yang menurut Tari hanya gemar berkelahi tanpa pernah memakai otak mereka. Hanya satu kesimpulan untuk Reno, ia tak lebih dari pecundang.
Kini Tari punya 1001 alasan untuk terus mengabaikan Reno. Bahkan setelah dua bulan pasca rencana Tari yang gagal, Tari tak pernah bicara padanya kecuali masalah penting yang menyangkut dirinya sebagai ketua kelas. Bahkan ketika akhirnya Reno berada dalam satu kelompok praktikum biologi yang sama dengannya, Tari tak pernah meminta Reno untuk melakukan sesuatu. Ia tak perlu ikut membantu mengamati perkecambahan kacang hijau dan akan dapat nilai yang bagus karena satu kelompok dengan si bintang kelas. Hanya sekedar datang ke rumah Tari, lalu makan cemilan dan pulang.
Dari sanalah awal mula Tari mengetahui kalau Reno sering beraktivitas menggunakan bis Trans berwarna hijau, yang salah satu haltenya berada tak jauh dari gang menuju rumah Tari. Tari tak pernah menanyakan alamat Reno secara langsung, tapi dari percakapan Reno dan temannya yang lain, rumah Reno tak jauh dari rumah Tari. Setiap pagi menuju sekolah, pasti Reno melewati halte yang berada di ujung gang sana.
***
Tari menikmti udara Jogja yang masih dingin. Jalanan di pagi hari makin sepi. Ayahnya cepat saja mengantarkan sampai sekolah, lalu lanjut ke kantor tempatnya bekerja di salah satu bank swasta. Tari menaiki tangga sambil berdendang. Ulangan biologi terakhir diadakan hari ini. Tari masuk ke dalam kelas, dan sesuai prediksinya, aura kecemasan terhadap ulangan biologi terasa dari kursi-kursi yang sudah diduduki.
Tari mengumbar senyum pada teman-temannya yang baru tiba, termasuk pada Dita yang masuk kelas dengan kerepotan. Ia langsung menggelar kertas-kertas, plakban, dan sebagainya. Tari mendekat karena ingin tahu dan olala... Tari menepok jidat. Laporan biologi tentang perkecambahan sebagai tiket untuk mengikuti ulangan biologi terakhir tertinggal di kamarnya!
Smartphone berlogo apel digigit itu tampak bergetar saat dipegang Tari. Tari mencari-cari nomor papanya, memintanya untuk mengantarkan tugas maha penting itu. Percuma, telepon genggam papanya mati. Tari berkeliling kelas mencari solusi. Mbak Jum bisa mengantarkan dengan ojek, tapi ojek sangat jarang di tempatnya! Tari memutar otak, diliriknya jam dinding. Masih ada waktu 20 menit lagi sebelum masuk.
Reno! Jam segini pasti dia baru keluar dari rumah! Tari mengambil smartphone-nya dan mencari nomor Reno. Ia sudah akan menekan tombol telepon sebelum mengurungkannya. Sial! Ia tak mungkin meminta tolong padanya setelah semua keburukan yang telah dilakukan Tari pada Reno. Tari memasukkan smartphone ke dalam saku, sebelum akhirya mengeluarkannya lagi. Ia sudah putuskan. Ia harus ikut ujian itu meski harus menjilat sepatu Reno!
Tut...Tut....Tut...
“Halo,” sapa suara dari seberang. Tari menelan ludah. Reno yang berbicara di sana.
“Halo Reno,”
“Ya, dengan siapa ya?”
“Reno, ini Tari,”
“Oh.... Halo Tari, selamat pagi,” jawab Reno kaku.
“Ren, kamu ada di mana sekarang?”
“Di bis,”
“Udah ngelewatin halte dekat rumahku?”
“Belum. Sedikit lagi,” Tari merasa lega setelah mendengar jawabannya. Walaupun Reno terdengar enggan menjawab, tapi Tari tak peduli. Ia ingin laporannya sekarang juga.
“Reno, bisa minta tolong? Laporanku ketinggalan. Tolong ambilin di rumahku ya, Ren. Reno please...” Tari tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Sambungan teleon terlanjur putus.
Ia lebih ingin menangis sekarang dari pada mengumpat tentang Reno keras-keras. Ia memasukkan lagi nomor Reno, siap mendampratnya habis-habisan karena memustuskan telepon begitu saja. Tari mengurungkan niatnya saat terdengar suara wanita yang menjawab.
“Maaf, pulsa yang anda miliki tidak cukup untuk membuat panggilan...”
Tari menjatuhkan tubuhnya pada kursi. Pandangannya nelangsa, nasibnya tamat saat ini juga. Laporannya hanya sekedar kertas yang ingin tari robek begitu sampai rumah. Tari meletakkan kepalanya di atas meja. Air matanya mulai mengalir, berharap Reno berbaik hati untuk menolongnya lagi setelah balasan tidak menyenangkan yang harus diterima anak laki-laki itu saat membawanya ke UKS tempo hari.
7.10
Positif. Tidak ada tanda-tanda kedatangan Reno. Tari mengutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya lupa membawa sebagian nyawanya itu. Guru biologinya baru saja masuk kelas dengan sumringah. Setelah berdoa dan memberi salam, Bu Nanik mulai menagih tugas. Untuk yang terakhir kali Tari memandang pintu, berharap Reno akan datang. Dan benar saja, beberapa detik kemudian pintu kelasnya diketuk. Tapi bukan Reno, melainkan anak laki-laki kelas sebelah yang menyembulkan kepala. Mencari Tari.
“Ada apa?” tanya Tari begitu menghampiri Junet.
“Ini,”Junet mengulurkan sesuatu yang membuat mata Tari berbinar. Laporannya...
“Wah makasih net. Kamu dikasih siapa?”
“Reno,”
“Reno? Terus mana dia?”
“Dia nggak bisa masuk. Pas dia datang, gerbang baru aja ditutup,”
                Hati Tari mencelos. Jangan-jangan gara-gara laporan sialan ini...
                Tari melangkah lebar-lebar, melewati langsung dua anak tangga. Ia telah minta izin pada Bu Ninik untuk ke kamar mandi, padahal ia sama sekali tak merasa ingin pipis maupun BAB. Dibenaknya hanya ada Reno yang masih bernegosiasi dengan penjaga gerbang sekolah. Tari mengerahkan semua kemampuannya untuk berlari. Tak sia-sia ia ikut lari estafet. Tari makin mendekati gerbang dan dia yakin yang baru saja membalikkan badan adalah Reno! Tari makin memelankan larinya sampai ia menempel ke gerbang bertinggi 3 meter ini.
Tari hanya memandangi punggung yang terus menjauh itu. Reno berjalan kuyu, sepertinya ia telah gagal meminta si penjaga gerbang untuk membuka pembatas yang dibuat dari sumbangan orang tua siswa baru. Tari ingin berteriak untuk menghentikannya. Tapi nama Reno hanya sampai di kerongkongannya saja. Ia tak mampu meneriakkan nama orang yang belakangan ini terus dipikirkannya sampai sakit kepala.
Hutangnya makin menumpuk. Tari berhutang maaf dan terima kasih pada Reno yang hari ini gagal ikut ulangan biologi gara-gara dia. Tari menyeret kakinya yang terasa berat. Tari sempat berpikir untuk bolos saja, namun merupakan hal yang sia-sia bila ia hanya menjauhi masalah, tidak menyelesaikannya. Maka Tari mengetuk ragu-ragu pintu kelas yang akhirnya dibuka Bu Nanik. Bu Nanik terlihat begitu kesal menantikan salah satu murid favoritnya. Tari masuk ke dalam kelas dengan mata berair.
“Mbak Tari, mana laporanmu?” kata Bu Nanik.
“Ketinggalan, Bu. Saya tidak membawanya,” Tari menjawab dengan suara tercekat.
            Sesuai skenario, Bu Nanik masih tetap tanpa belas kasih, malah terlihat makin murka. Ia rela menunggu Tari untuk ikut ulangan, tapi Tari malah mengecewakannya. Tari duduk sendiri di kursi lorong sekolah. Ia telah mengosongkan satu kotak penting di daftar nilai. Ulangan biologi tanpa dirinya, siapa gerangan yang bisa dapat 100?
Pandangannya kini tertuju pada laporan perkecambahannya di dalam tong sampah. Tari mengusap air matanya yang tumpah, lalu tersenyum. Ini lebih baik dari pada harus mengkhianati Reno. Suara Reno di telepon tadi masih terngiang di kepalanya. Baru kali itu ia menyapa Tari. Suaranya terdengar ramah.
            Tari sudah memutuskan untuk minta maaf besok. Ia memilah-milih kata-kata manis dalam otaknya. Hmm, apa ya? Bagaimana kalau ia memulainya dengan sapaan selamat pagi? Tari berdehem, lalu mengeluarkan suara kecil yang dimanis-maniskan.
            “Hai Reno, selamat pagi...”



5 komentar:

  1. Actually ta, aku suka ending ceritanya yang menggantung. Dengan begitu, aku bisa mengkhayal sendiri dan menerka-nerka ending sendiri.
    Tulisan-tulisanmu bagus, ta. Jempol :)

    BalasHapus
  2. hahahaa, boleh2, nanggung ta :3

    BalasHapus
  3. whaha, akhirnya komentarnya bisa muncul. amazinggg

    BalasHapus