Srek..srekk..
Bunyi
wiper yang mengelap kaca depan city car Pak Hanang adalah suara lain
yang Tari bisa dengar selain guyuran hujan yang menghantam tanpa ampun. Tari
menyandarkan kepalanya ke jendela yang tertutup bulir-bulir air. Ia menghela
napas. Tari mengelap kabut yang terbentuk di kaca mobil ketika mereka terhenti
di lampu merah dekat Tugu Jogja.
Tepat di
samping mereka, Tari mendapati pemandangan ganjil yang memaksanya untuk
tersenyum. Dua orang berboncengan, duduk saling merapat di bawah jas hujan
kelelawar. Dari kaki-kaki mereka yang kelihatan berbalut celana panjang
abu-abu, tidak salah lagi mereka laki-laki. Aneh. Jogja memang kota yang aneh.
Seaneh rasa gudeg yang terlalu manis.
Ia terus
menatap pengendara motor yang terkena pantulan warna merah lampu jalanan. Tari
berjengit ketika orang yang dibonceng dibelakang melongokkan kepala dari dalam
jas hujan. Tepat sebelum akhirnya lampu hijau yang menyala, Tari tahu wajah
siapa yang sedang memandang. Dari sorot matanya yang tajam, Reno balik melotot
pada Tari. Anak laki-laki itu... Astaga...
“Ada apa?” tanya papanya.
“Gak ada apa-apa, Pa,” Tari kembali
memandang lurus ke depan, ke jalan yang akan mengantarnya ke salah satu sekolah
favorit di sini.
Semuanya
berawal dari tiga bulan yang lalu. Ya, tiga bulan yang lalu saat kegiatan
orientasi sekolah. Seperti biasa, anak-anak baru diperlakukan layaknya badut dan
orang tua khawatir dengan tindakan perpeloncoan. Tari ingat benar dengan
kerepotan di pagi buta saat mamanya harus mengepang rambut Tari sebanyak
tanggal ulang tahunnya. Dan parahnya ia lahir tanggal 31. Mama harus menegur
Tari yang kepalanya teklak-tekluk karena
masih ngantuk.
“Memanganya harus ngepang
sebanyak ini ya?” tanya mama.
“Hmmm,” gumam Tari.
Rambutnya
yang sedari tadi terasa ditarik kini kembali bebas. Mamanya kelihatan sudah
menyerah, lalu mengelus rambut Tari yang beraroma melon itu dengan lembut. Tari
mengelus dada. Tidak seperti ibu lain yang sering mengutak-atik rambut
putrinya, mama bisa dibilang sangat jarang. Dilema bagi mama, ia pasti ingin
memainkan rambut Tari, membuat kepangan kecil seperti cacing-cacing, menirukan
model rambut terbaru pada Tari, termasuk menata rambut putrinya untuk hari ini.
Tapi yang bisa mama lakukan hanyalah mengikat rambut Tari serupa ekor kuda saja.
“Mbak Jum, rambut Tari tolong dikepang ya!”
mama berseru memanggil wanita berumur tiga puluhan yang berlari-lari pelan,
takut kena damprat dari nyonyanya.
Maka
kini Tari, dengan 31 kepangan di kepalanya, harus berjalan kaki dari ujung
jalan, titik yang dijadikan tempat akhir pengantar siswa baru. Name tag berbentuk jantung yang memiliki
dua sisi, satu di depan dada dan yang lain di belakang punggung, menggantung
ganjil di lehernya. Di lengannya tersampir karung goni yang didesain sedemikian
rupa menyerupai tas selempang. Dengungan orang-orang dengan bahasa jawa membuat
Tari pening. Ia seorang jawa oplosan, jawa yang telah kehilangan identitas,
tergerus budaya ibu kota yang begitu heterogen. Sebutan Raden di depan namanya
tidak berarti apa-apa lagi karena ia sama sekali tak mengerti bahasa jawa! Tari
sudah sampai di lapangan utama sekolah, lalu mulai mencari empat belas anggota
kelompoknya yang lain, salah satu tanggung jawabnya sebagai ketua kelompok.
Maka
dimulailah masa orientasi selama tiga hari berturut-turut. Masing-masing
kelompok wajib memegang sebuah telur ayam yang sudah diberi cap panitia, dan
harus mempertahankan telur itu sampai hari terakhir. Kalau sampai pecah akan
ada sanksinya, sesuatu yang menurut Tari tak akan terjadi. Teman-temannya tak
seceroboh itu dan hukuman sepertinya hanya mitos. Kegiatan orientasi sekolah
sangat jauh dari kesan perpeloncoan, dan Tari senang. Mendengar pidato kepala
sekolah, mengikuti matrikulasi yang sudah disiapkan, menulis surat dan meminta
tanda tangan pada kakak kelas. Yang terakhir ini membuat Tari tersenyum sampai
sekarang.
Tari sempat kebingungan saat harus mencari dan
meminta tanda tangan pada seniornya Dan saat ia hanya melongok ke sebuah kelas
berisi lima siswa yang sedang dikerjai, suara lembut laki-laki terdengar di
telinganya.
“Masuklah,”
Tari
menoleh ke belakang, menemukan kakak kelas yang tesenyum manis. Ia hanya bisa
melongo memandangi laki-laki yang tingginya menjulang, mungkin 180 cm. Kak
Bram, dua tahun lebih tua dari pada Tari, ketua Osis, anak astronomi dan jago
menulis puisi. Hanya satu kata yang terpikirkan, marvelous! Tari hanya tersenyum sambil menunduk, lalu mengulurkan
buku yang belum diisi sama sekali. Kak Bram membubuhkan tanda tangan yang
pertama, dan sejak saat itu Tari merasa mata ketua panitia MOS itu mengawasinya
selalu.
Hanya tentang
kak Bram-lah akhirnya Tari dapat menciptakan topik yang bisa dibicarakan
bersama teman-teman barunya. Mereka membuat obrolan kecil baru di tengah obrolan
yang sudah berlangsung. Tari hanya meringis melihat yang lain saling bisik iri
di tengah istirahat siang yang sisa 15 menit. Mereka berempat duduk di kursi
panjang lorong sekolah, mengabaikan anak-anak lain yang lalu lalang sambil
bersenda gurau, sesekali mengucapkan salam kepada guru dan kakak kelas yang
lewat, sampai pada dua anak laki-laki yang berlarian sambil melempar penghapus
papan tulis, hingga....
BUK....
“Arrggghhh...” Dita menjerit
sambil memegangi jidatnya yang jadi hitam kena penghapus whiteboard. Matanya memerah menahan tangis.
Kedua
anak laki-laki itu diam seketika. Tawa yang melengking-lengking hilang ditelan
tatapan murka Tari and the gank yang
menuntut jawab. Tari tahu salah satu dari mereka adalah anak berambut agak
gondrong yang rambutnya dicukur paksa komdis pada hari pertama orientasi. Anak
yang satu lagi memandangnya sebelum
akhirnya mendekat pada mereka dengan rasa sesal.
“Maaf, kami nggak sengaja,”
Dita mengucek
matanya, menyembunyikan air mata, yang Tari berani taruhan, sempat keluar
sedikit. Tari sempat merasa khawatir sampai Dita akhirnya mengangguk. Anak
laki-laki itu keihatan sedikit gembira, lalu meminta maaf lagi sebelum akhirnya
berbalik dan pergi. Sebuah tindakan terpuji yang tak diikuti temannya yang satu
lagi, yang tadi hanya memandang tanpa rasa bersalah, membuat darah muda Tari
mendidih. Tari sekonyong-konyong langsung berdiri, mengagetkan teman-temannya
yang lain.
“Hei kamu!” bentak Tari.
Mereka berdua
yang baru berjalan beberapa langkah langsung berbalik. Mata Tari tertuju pada
anak yang rambutnya habis dicukur paksa itu. Anak laki-laki itu memandang heran
Tari lalu menunjuk dirinya sendiri untuk meyakinkan apakah yang dipanggil
barusan adalah dia.
“Ya kamu! Kamu yang tadi melempar
penghapus kan?”
“Ya saya. Lalu?”
“Minta maaf!”
“Hah?”
“Minta maaf!”
“Temanku tadi sudah minta maaf..”
sergah anak laki-laki itu tak terima.
“Minta maaf!” Tari terus
mengulang perintah dengan getaran yang terasa pada akhirannya.
Anak laki-laki yang dituduh hanya
tersenyum kecut sambil memutar bola matanya, tidak percaya seseorang yang tak
dikenal memaksanya seperti ini, “Maaf,” katanya ogah-ogahan.
Angin
kering lewat di tengah mereka, disusul dengan bunyi geluduk di siang bolong.
Tanda-tanda hujan sudah nampak sejak pagi tadi, dan kini langit makin mendung. Tari
kecewa kenapa petir tak kunjung datang untuk menyambar si botak yang
menyebalkan ini. Hujan yang mengaburkan tema kemarau di awal juli. Menandai
awal baru di antara Tari dan anak laki-laki berpotongan rambut setengah centi itu, yang
belakangan dikenal Tari sebagai Reno. Tari tak suka dia. Tak akan pernah suka
si troublemaker. Si idiot.
Apalagi
setelah insiden perebutan telur di hari terakhir. Tari benar-benar ingin
mencekokinya dengan obat nyamuk! Saat itu dua kelompok digabung menjadi satu
untuk sebuah permainan ice breaking. Dan tari menepok jidatnya, salah satu
anggota kelompok itu adalah Reno. Mereka saling bercampur, termasuk Tari dan
Reno. Tapi semua menjadi geger saat permainan telah selesai dan mereka harus
kembali ke ruang kelas.
“Loh, kenapa telurnya cuma satu?”
“Itu telur kelompok kami!”
“Enak saja, itu telur
kelompokku!”
“Aku menaruhnya di sini tadi.
Jelas sekali!” Tari maju ke depan sebagai perwakilan kelompoknya yang terus
protes.
“Kami juga menaruhnya di sini
setelah diinspkesi pengawas,” kata Berry, ketua kelompok yang bersengketa
dengan Tari, “Benar kan Ren?”
Seseorang yang
tidak diharapkan Tari maju. Reno dengan kening yang berekerut bergerak ke
tengah lingkaran panas yang dikelilingi anggota masing-masing kelompok. Mata
Tari menyipit, semua akan menjadi tidak baik-baik saja kalau ada orang ini.
tangan tari sudah membentuk tinju.
“Iya. Tadi aku naruhnya di sini
kok...”
“Bohong!” sambar Tari. Semua
orang menarik napas, tahu akan ketegangan yang telah terjadi.
“Apa? Kenapa kamu berani menuduh
begitu?” Reno kelihatan tak terima. Tangannya sudah bersedekap.
“Kamu mau menyabotase kelompokku
kan? Ayo ngaku! Kamu yang terakhir berada di TKP!”
Suara berdengung kembali
terdengar, Reno kelihatan tak sabar untuk segera menelan Tari bulat-bulat,
“Hei! Jangan sok kamu ya! Mentang-mentang nilai tesmu paling tinggi terus kamu
bisa nuduh orang sembarangan gitu?”
Hening. Tari
kena skak!
“Ada apa nih ribut-ribut?” Dita
menyeruak di antara yang lain, berusaha mencapai Tari. “Tar, ini telurnya. Tadi
diminta kak pengawas untuk diperiksa,” kata Dita sambil meletakkan telur ke
atas tatakan.
Tari
merasa mulutnya disumpal cangkang telur! Ia tak bisa bicara kepada anak
kelompok tetangga yang kedengaran kesal. Semua langsung bubar setelah
kesalahpahaman yang tidak perlu ini. Tari mencuri pandang pada Reno yang sudah
menghilang. Ia merasa bersalah.
Tari berhutang
maaf padanya yang belum sempat disampaikan sampai tiga bulan sekolah sudah
berjalan. Sampai tadi mereka berpapasan di lampu merah dekat Tugu Jogja. Tari menepuk-nepuk
pipinya, sekarang saatnya untuk berkonsentrasi dengan yang satu ini. Ia harus
berlari.
Lintasan
balap atletik masih basah setelah hujan tadi pagi. Tari diminta bergabung
dengan tim estafet putri sekolahnya untuk persiapan olimpiade pelajar. Tari
mau-mau saja selama itu tak mengganggu pelajaran. Nilainya masih selalu di atas
90 sejak pertama kali berlatih. Tari masih yang pertama. Toh sejak SD tari
memang sudah menggeluti dunia atletik. Dan ada alasan lain, konon katanya Kak
Bram selalu mengamati mereka secara sembunyi-sembunyi. Tari tak pernah melihat
kehadirannya, tapi isu itu berhasil melejitkan semangatnya.
Tari
mengernyit ketika melihat pemandangan yang merusak mood-nya. Reno sedang
memunguti sampai di tepi lintasan, dengan kepala sekolah yang memberi komando.
Tari mencibir dalam hati, kenakalan apa lagi yang telah dibuat Reno? Jelas
bukan karena terlambat, bukannya tadi mereka berdua bertemu di lampu merah?
Tari
sudah bersiap di tempatnya sekarang. Setelah pemanasan sebelumnya, Tari siap
jadi pelari ketiga. Tari memasang kuda-kuda dan berusaha fokus meski sesekali
Reno terlihat melintas di pandangannya. Tari menghembuskan napas saat aba-aba
sudah diteriakkan. Tari menanti hinggai tongkat itu ada padanya, lalu segera
berlari sekencang-kencang sampai tiba-tiba...
Kak
Bram! Kak Bram muncul!
BRUKKK....
Tari
menabrak pelari di depannya. Matanya tadi terpaku pada Kak Bram yang tiba-tiba
muncul dari belokan sekolah sampai Tari tak memperhatikan larinya. Tari merasa
badannya berdebam, sikunya menyusur tanah dan dagunya menghantam lintasan. Tari
mendengar teriakan panik dari rekannya yang lain, termasuk Kak Bram yang lari
terburu-buru menghampirinya. Tari sempat tersenyum sebelum memutuskan untuk
pura-pura pingsan, menanti tangan kuat Kak Bram mengangkatnya.
Yah,
ini dia saudara-saudara! Tari merasa sebongkah tangan kokoh menopang leher dan lututnya,
lalu menggendongnya pergi. Astaga, dia kuat sekali! Perasaan beratku beberapa
bulan ini naik deh, batin Tari sambil mesem-mesem. Tari tak bisa menyembunyikan
degup jantungnya yang mulai menggila. Tari tak bisa menahan godaan untuk
mengintip sang pangeran yang menggendong. Sedikit saja. Ya, tak bakal ketahuan
kalau aku pura-pura...
No
way!
Tari
menahan napasnya. Pupilnya melebar saking kagetnya. Hatinya seakan jeblos
menembus lapisan tanah. Darahnya berdesir makin cepat. Pandangannya makin
kabur, kepalanya jadi pening. Selanjutnya ide Tari gagal. Ia tak jadi
pura-pura, tapi ia benar-benar pingsan di atas gendongan laki-laki yang
terlihat serius dan terburu-buru ini. Jelas Tari tak menginginkan dia. Tari tak
mau Reno!
***
Tari
memijat keningnya yang berdenyut. Sesekali Tari meringis karena luka-luka lecet
di tangan dan kaki. Saat ujung-ujung ekstremitasnya digerakkan itu sangat
menyakitkan. Dita menempelkan kain kasa di atas kasa lain yang sudah diberi
iodine, lalu merekatkannya di dagu Tari dengan plester.
“Udah sadar kamu Tar?” tanya Lili
yang duduk di dekat ranjang. Tari mengangguk.
“Kamu sarapan gak ‘e tadi?” Dita
mengusap luka-luka kecil. Tari menarik tangannya menjauh. Kesakitan rupanya.
“Hmm,” Tari hanya menggumam yang
berarti ‘Ya, aku sarapan tadi’.
Dita
dan Lili tak bisa berhenti cekikikan dari tadi. Tari tak suka kedua teman MOS
yang akhirnya sekelas dengannya itu menyimpan rahasia. Mata Tari menyelidik
keduanya.
“Hahahaha, nggak penting Tar,”
kata Dita sambil menyerahkan segelas air. Mata Tari hanya tinggal segaris,
tanda tak suka mereka menyembunyikan sesuatu.
“Hahaha, jangan marah ya Tar.
Kita cuma lagi ngebayangin aja kok,” Lili mendekatkan kursinya ke ranjang, lalu
mengarahkan wajahnya pada telinga Tari, “Kayaknya Reno suka kamu,”
“Uhuk...uhuk...” Tari keselek air
saking kagetnya, “Eh, jangan ngaco ya,”
“Hahaha, soalnya tadi dia
langsung nolong kamu. Padahal Kak Bram udah lari ke arah kamu, eehh keduluan si
Reno deh. Kak Bram akhirnya malah ngangkat Kak Fany yang kamu tabrak, hahaha,”
Entah
mengapa telinga Tari tiba-tiba jadi tuli. Teman-temannya terlihat tertawa tanpa
suara. Darah muda Tari kembali berdesir. Mukanya berubah merah. Tangannya
gemetaran. Sial si Reno! Apa-apaan sih dia? Tari turun dari kasur, mengagetkan
kedua temannya yang memintanya untuk
kembali. Tari mengambil langkah-langkah pincang menelusuri lorong sekolah.
Kedua temannya mengekor dari belakang, berusaha menghentikan Tari yang kelihatan
geram. Tapi Tari tak ambil pusing. Sekarang jam istirahat siang, Tari berbelok
menuju kantin, yakin 100% kalau dia ada di sana.
Aha!
Itu dia!Duduk di pojokan bersama teman-temannya. Tertawa terbahak-bahak sampai
akhirnya berhenti sendiri karena kehadiran Tari yang penuh luka di dagu, siku,
dan lututnya. Muka sekelompok laki-laki itu kelihatan heran. Tari tampak
garang, terutama karena sobekan di beberapa bagian baju olah raganya yang
berwarna putih, yang jadi cokelat kena tanah.
Tari
bergerak makin dekat ke arah meja dengan tidak melepaskan pandangan dari Reno.
Reno balas menatapnya tanpa ampun. Sampai akhirnya Tari berada di sebelah Reno
yang duduk paling ujung, lalu melakukan manuver yang tak pernah disangka. Ia
menyerobot gelas berisi es teh yang sepertinya milik Reno. Ia meminumnya dalam
sekali teguk, membiarkan air teh yang luber ke lehernya.
Buk...
Tari
menggedor meja dengan gelasnya. Dadanya kelihatan naik turun karena marah.
Anak-anak laki-laki memandangnya takjub. Ketua kelas mereka yang cantik,
pintar, bertutur dan berperilaku halus, simbol feminisme dalam kelasnya itu
bisa berubah liar. Dita dan Lili saling pandang, kikuk karena satu kantin yang
kini menaruh perhatian pada mereka. Tari menarik napas dalam-dalam, siap untuk
menyemburkan api.
“DASAR IDIOT!!!” teriaknya,
kemudian berbalik pergi begitu saja, meninggalkan orang-orang dengan beribu
tanda tanya tentang apa yang telah terjadi.
Tari menonjok
Reno tanpa sebuah tinju, pas kena ulu hatinya. Reno hanya bisa melongo.
Bukankah tadi ia baru saja menolong Tari? Tapi itu tak seperti yang dipikirkan
Tari. Menurutnya Reno telah mengacaukan rencananya. Kak Bram tak jadi menolong.
Dan karena Reno pulalah kini satu kelas mulai mengganggu Tari dengannya. Tari
hanya bisa menggerutu dalam hati jika mereka dicocok-cocokkan.
Reno bukan
tipenya sama sekali. Walaupun Reno terlihat lebih tampan setelah rambutnya
tumbuh, itu tak menaikkan secuil derajatnya. Nilainya jelek, pemalas, sering
terlambat, dan kepala batu. Reno hanya terkenal karena keanggotaannya dalam
perguruan elit silat merpati putih, yang menurut Tari hanya gemar berkelahi
tanpa pernah memakai otak mereka. Hanya satu kesimpulan untuk Reno, ia tak
lebih dari pecundang.
Kini Tari
punya 1001 alasan untuk terus mengabaikan Reno. Bahkan setelah dua bulan pasca
rencana Tari yang gagal, Tari tak pernah bicara padanya kecuali masalah penting
yang menyangkut dirinya sebagai ketua kelas. Bahkan ketika akhirnya Reno berada
dalam satu kelompok praktikum biologi yang sama dengannya, Tari tak pernah meminta
Reno untuk melakukan sesuatu. Ia tak perlu ikut membantu mengamati
perkecambahan kacang hijau dan akan dapat nilai yang bagus karena satu kelompok
dengan si bintang kelas. Hanya sekedar datang ke rumah Tari, lalu makan cemilan
dan pulang.
Dari sanalah
awal mula Tari mengetahui kalau Reno sering beraktivitas menggunakan bis Trans
berwarna hijau, yang salah satu haltenya berada tak jauh dari gang menuju rumah
Tari. Tari tak pernah menanyakan alamat Reno secara langsung, tapi dari
percakapan Reno dan temannya yang lain, rumah Reno tak jauh dari rumah Tari.
Setiap pagi menuju sekolah, pasti Reno melewati halte yang berada di ujung gang
sana.
***
Tari menikmti
udara Jogja yang masih dingin. Jalanan di pagi hari makin sepi. Ayahnya cepat
saja mengantarkan sampai sekolah, lalu lanjut ke kantor tempatnya bekerja di
salah satu bank swasta. Tari menaiki tangga sambil berdendang. Ulangan biologi
terakhir diadakan hari ini. Tari masuk ke dalam kelas, dan sesuai prediksinya,
aura kecemasan terhadap ulangan biologi terasa dari kursi-kursi yang sudah
diduduki.
Tari mengumbar
senyum pada teman-temannya yang baru tiba, termasuk pada Dita yang masuk kelas
dengan kerepotan. Ia langsung menggelar kertas-kertas, plakban, dan sebagainya.
Tari mendekat karena ingin tahu dan olala... Tari menepok jidat. Laporan
biologi tentang perkecambahan sebagai tiket untuk mengikuti ulangan biologi
terakhir tertinggal di kamarnya!
Smartphone
berlogo apel digigit itu tampak bergetar saat dipegang Tari. Tari mencari-cari
nomor papanya, memintanya untuk mengantarkan tugas maha penting itu. Percuma,
telepon genggam papanya mati. Tari berkeliling kelas mencari solusi. Mbak Jum
bisa mengantarkan dengan ojek, tapi ojek sangat jarang di tempatnya! Tari
memutar otak, diliriknya jam dinding. Masih ada waktu 20 menit lagi sebelum
masuk.
Reno! Jam
segini pasti dia baru keluar dari rumah! Tari mengambil smartphone-nya dan
mencari nomor Reno. Ia sudah akan menekan tombol telepon sebelum
mengurungkannya. Sial! Ia tak mungkin meminta tolong padanya setelah semua
keburukan yang telah dilakukan Tari pada Reno. Tari memasukkan smartphone ke
dalam saku, sebelum akhirya mengeluarkannya lagi. Ia sudah putuskan. Ia harus
ikut ujian itu meski harus menjilat sepatu Reno!
Tut...Tut....Tut...
“Halo,” sapa suara dari seberang.
Tari menelan ludah. Reno yang berbicara di sana.
“Halo Reno,”
“Ya, dengan siapa ya?”
“Reno, ini Tari,”
“Oh.... Halo Tari, selamat pagi,”
jawab Reno kaku.
“Ren, kamu ada di mana sekarang?”
“Di bis,”
“Udah ngelewatin halte dekat
rumahku?”
“Belum. Sedikit lagi,” Tari
merasa lega setelah mendengar jawabannya. Walaupun Reno terdengar enggan menjawab,
tapi Tari tak peduli. Ia ingin laporannya sekarang juga.
“Reno, bisa minta tolong?
Laporanku ketinggalan. Tolong ambilin di rumahku ya, Ren. Reno please...” Tari
tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Sambungan teleon terlanjur putus.
Ia lebih ingin
menangis sekarang dari pada mengumpat tentang Reno keras-keras. Ia memasukkan
lagi nomor Reno, siap mendampratnya habis-habisan karena memustuskan telepon
begitu saja. Tari mengurungkan niatnya saat terdengar suara wanita yang
menjawab.
“Maaf, pulsa yang anda miliki tidak cukup
untuk membuat panggilan...”
Tari
menjatuhkan tubuhnya pada kursi. Pandangannya nelangsa, nasibnya tamat saat ini
juga. Laporannya hanya sekedar kertas yang ingin tari robek begitu sampai
rumah. Tari meletakkan kepalanya di atas meja. Air matanya mulai mengalir,
berharap Reno berbaik hati untuk menolongnya lagi setelah balasan tidak
menyenangkan yang harus diterima anak laki-laki itu saat membawanya ke UKS
tempo hari.
7.10
Positif. Tidak
ada tanda-tanda kedatangan Reno. Tari mengutuki dirinya sendiri yang
bisa-bisanya lupa membawa sebagian nyawanya itu. Guru biologinya baru saja
masuk kelas dengan sumringah. Setelah berdoa dan memberi salam, Bu Nanik mulai
menagih tugas. Untuk yang terakhir kali Tari memandang pintu, berharap Reno
akan datang. Dan benar saja, beberapa detik kemudian pintu kelasnya diketuk.
Tapi bukan Reno, melainkan anak laki-laki kelas sebelah yang menyembulkan kepala.
Mencari Tari.
“Ada apa?” tanya Tari begitu
menghampiri Junet.
“Ini,”Junet mengulurkan sesuatu
yang membuat mata Tari berbinar. Laporannya...
“Wah makasih net. Kamu dikasih
siapa?”
“Reno,”
“Reno? Terus mana dia?”
“Dia nggak bisa masuk. Pas dia
datang, gerbang baru aja ditutup,”
Hati
Tari mencelos. Jangan-jangan gara-gara laporan sialan ini...
Tari
melangkah lebar-lebar, melewati langsung dua anak tangga. Ia telah minta izin pada Bu Ninik untuk ke kamar mandi, padahal ia sama sekali tak merasa ingin pipis
maupun BAB. Dibenaknya hanya ada Reno yang masih bernegosiasi dengan penjaga
gerbang sekolah. Tari mengerahkan semua kemampuannya untuk berlari. Tak sia-sia
ia ikut lari estafet. Tari makin mendekati gerbang dan dia yakin yang baru saja
membalikkan badan adalah Reno! Tari makin memelankan larinya sampai ia menempel
ke gerbang bertinggi 3 meter ini.
Tari
hanya memandangi punggung yang terus menjauh itu. Reno berjalan kuyu,
sepertinya ia telah gagal meminta si penjaga gerbang untuk membuka pembatas
yang dibuat dari sumbangan orang tua siswa baru. Tari ingin berteriak untuk
menghentikannya. Tapi nama Reno hanya sampai di kerongkongannya saja. Ia tak
mampu meneriakkan nama orang yang belakangan ini terus dipikirkannya sampai
sakit kepala.
Hutangnya
makin menumpuk. Tari berhutang maaf dan terima kasih pada Reno yang hari ini
gagal ikut ulangan biologi gara-gara dia. Tari menyeret kakinya yang terasa
berat. Tari sempat berpikir untuk bolos saja, namun merupakan hal yang sia-sia
bila ia hanya menjauhi masalah, tidak menyelesaikannya. Maka Tari mengetuk
ragu-ragu pintu kelas yang akhirnya dibuka Bu Nanik. Bu Nanik terlihat begitu
kesal menantikan salah satu murid favoritnya. Tari masuk ke dalam kelas dengan
mata berair.
“Mbak Tari, mana
laporanmu?” kata Bu Nanik.
“Ketinggalan, Bu. Saya
tidak membawanya,” Tari menjawab dengan suara tercekat.
Sesuai skenario, Bu Nanik masih tetap tanpa belas kasih,
malah terlihat makin murka. Ia rela menunggu Tari untuk ikut ulangan, tapi Tari
malah mengecewakannya. Tari duduk sendiri di kursi lorong sekolah. Ia telah
mengosongkan satu kotak penting di daftar nilai. Ulangan biologi tanpa dirinya,
siapa gerangan yang bisa dapat 100?
Pandangannya
kini tertuju pada laporan perkecambahannya di dalam tong sampah. Tari mengusap
air matanya yang tumpah, lalu tersenyum. Ini lebih baik dari pada harus mengkhianati
Reno. Suara Reno di telepon tadi masih terngiang di kepalanya. Baru kali itu ia
menyapa Tari. Suaranya terdengar ramah.
Tari sudah memutuskan untuk minta maaf besok. Ia memilah-milih
kata-kata manis dalam otaknya. Hmm, apa ya? Bagaimana kalau ia memulainya
dengan sapaan selamat pagi? Tari berdehem, lalu mengeluarkan suara kecil yang
dimanis-maniskan.
“Hai Reno, selamat pagi...”
komentar...
BalasHapusberi komentarnya..
BalasHapusActually ta, aku suka ending ceritanya yang menggantung. Dengan begitu, aku bisa mengkhayal sendiri dan menerka-nerka ending sendiri.
BalasHapusTulisan-tulisanmu bagus, ta. Jempol :)
hahahaa, boleh2, nanggung ta :3
BalasHapuswhaha, akhirnya komentarnya bisa muncul. amazinggg
BalasHapus