Simple Life

Minggu, 01 Juli 2012

SENYUM 100 WATT

Ia masuk kelas sambil tersenyum lebar sekali. Ia memamerkan deretan gigi dari gigi taring yang satu ke yang lain. jika bisa, ia ingin tersenyum juga sampai terlihat gigi gerahamnya.Tidak ada sapaan selamat pagi atau basa-basi semacamnya. Orang ini pemalu betul. Saya heran dengan orang ini, tapi saya suka padanya. Memang tak ada yang dengan baik ia lakukan selain tersenyum. Gigi putih itu tersusun rapi dalam mulutnya, dengan pigura bibir tebalnya. Saya yakin gigi itu disikat setiap lima kali sehari. Meski wajahnya sama sekali tak menarik, tetapi senyum itu membuatnya berlipat-lipat lebih tampan. Sungguh kombinasi yang ciamik ditambah dengan pandangan matanya yang terlalu polos, sangat berbeda dengan saya dan kawan-kawan lain yang giginya merah-merah karena noda pinang. sudah menjadi tradisi bagi kami untuk makan pinang, katanya sih biar gigi kami kuat, tapi gigi seri saya yang di depan akhirnya patah juga kok karena kecelakaan. Untuk hal mengunyah pinang, ia sangat anti. Katanya hanya mengotori gigi saja. Laki-laki ini, namanya Mathias, duduk di depan saya awal semester ini. rambutnya yang keriting baru saja dicukur rapi, jadi saya tak tersiksa duduk di belakangnya. Dan sekarang ia hanya duduk saja dalam diam. Saya ingat semester lalu saat Mathias bermain sepakbola. Ia dan kawan-kawannya tidak sengaja memecahkan kaca ruang guru. Setiap orang diinterogasi dan mendapat ciuman rotan di pantat mereka, tetapi tidak dengan Mathias. Dengan sedikit pembelaan dan memperbanyak senyuman, ia selamat. Mathias terlihat egois ya? tapi ternyata ia tidak seperti itu. saya dan teman-teman yang lain sering mendapat keuntungan karena kehadirannya di kelas. Apalagi saat hari hujan. Hari hujan bagi kami adalah saat-saat paling gelap dalam kehidupan. Hal-hal seperti ini yang akhirnya mempergelap wawasan, masa depan, dan daerah kami. Entahlah, mungkin kulit kami yang gelap ini juga karena kurangnya lampu di mana-mana, terutama di kelas kami. Jadi daripada mengharapkan agar orang-orang yang bertanggungjawab atas pendidikan kami memasang lampu, lebih baik kami mengharapkan kehadiran Mathias yang membawa sugesti hadirnya cahaya seterang dan sehangat matahari saat ia tersenyum yang akhirnya membuat kami bisa membaca setidaknya tulisan dari kapur di papan tulis. Suatu hari Mathias memanggil saya. Ingin mengajak ngobrol ia rupanya. Suatu hal yang jarang ia lakukan selama dua tahun saya menjadi teman sekelasnya di SMA. Sebagai permulaan obrolan ini, ia tersenyum. Kali ini lebih berkilau dan hangat. Reflek, saya membalas senyumnya. Senyam-senyum setelah beberapa saat, saya pikir saya yang harus angkat bicara, “Ada apa,” “Em, saya bisa minta tolong?” “Tolong apa” tanya saya. Ia celingak-celinguk sebentar, melihat saya, ia tersenyum lagi, kemudian ia memberi isyarat pada saya agar saya mendekat, dan ia mulai berbisik. “Bisa, kan?” tanyanya. Saya tertawa. “Untuk hal semacam ini kenapa kamu sampai berbisik-bisik,” “Saya malu. Saya tidak punya hape berkamera maupun email,” katanya sembari tersenyum. Orang ini, sungguh humoris. Saya sangat suka padanya. Sore itu sesuai janji, ia datang ke rumah saya. Saya mengajaknya duduk di ruang tengah yang ada tivi empatbelas inch-nya. Ia nampak canggung tetapi kemudian masuk. Karena biasanya ia hanya sampai di teras saja saat menemani bapanya menjual hasil kebun ke rumah kami. Saya bingung mau menyuguhinya apa. Tidak ada makan atau minuman seperti saat natal. Maklum, rumah ini jarang kedatangan tamu, bukan seperti rumah pejabat yang setiap hari dikunjungi orang. Tapi saya rasa singkong goreng dan segelas teh cukup untuk dia. Ia memakannya dan kembali tersenyum, tetapi kali ini saya agak tersinggung dengan senyumnya mengingat apa yang saya suguhkan. “Saya tahu singkong ini. kamu kemarin beli di bapa saya kan?” “Ya. kenapa?” tanya saya heran. “Kalau apa yang kita lakukan sukses, saya akan beri singkong se-kebun bapa saya padamu. Singkong-singkong itu ditanam bapa dengan keringat dan doa di tanah yang berkah ini. saya yakin rasanya berbeda. Kamu mau, kan?” katanya sambil tersenyum dengan rasa bangga yang meluap-luap. Saya mengangguk kuat-kuat dan senyum saya kembali mekar terangsang keoptimisan di wajah hitam itu. Jadi, kami memulai rencana kami dengan menonton tivi. Menanti setiap menit sampai iklan yang ditunggu muncul. Saya pandangi dia. Ia duduk manis menikmati tayangan meskipun itu hanya iklan. Saya bilang padanya agar sering-sering datang ke rumah saya, karena mama saya juga suka pada senyumnya. Kata mama, senyum Mathias bisa membuatnya ikut tersenyum meski ia habis dimarahi oleh bosnya di kantor. Iklan sebuah produk pasta gigi dengan seorang pria tampan yang jadi peran utama akhirnya muncul. Saya dan Mathias menyimak dengan seksama setiap perintah yang dikatakan pria itu. di akhir iklan, si pria tersenyum. Tapi ketika saya membandingkan dengan Mathias yang tersenyum pada saat yang sama, si pria sepertinya tidak terlalu bertalenta memainkan iklan itu. senyumnya tak semenarik Mathias. Jadi saya simpulkan, Mathias punya potensi. Saya tersenyum menguatkannya. Sebulan bukanlah waktu yang sebentar untuk sebuah penantian. Dalam sebulan itu saya berdoa agar Mathias lolos seleksi dan senyumnya bisa tampil di setiap koran, majalah, ataupun tivi. Berkali-kali saya buka email saya tapi belum satupun ada pemberitahuan dari kontes yang Mathias ikuti. Padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 20.00. harusnya hasilnya sudah keluar. Sudah dua jam saya berada di warnet. Sampai pegal pantat saya. Belum lagi tarif yang terus berjalan sekarang menembus angka Rp13.000,-. Tunggu sebentar, ini dia, ada email yang baru masuk. Oh ayolah, untuk saat ini saya mohon dengan sangat agar koneksi internetnya sedikit lebih cepat, ayolah. Ini dia, mata saya mengikuti setiap kalimat sampai kepada bagian paling penting: Mathias, selamat, anda terpilih menjadi bintang iklan. Saya mendengar langkah kaki tak sabaran di luar. Kemudian pintu menjeblak terbuka tanpa diketok sebelumnya. Mathias ngos-ngosan di depan pintu dengan keringat yang bercucuran. Bajunya basah. Matanya melotot. Senyumnya lebar sekali. Berlari-lari dari rumahnya sampai kesini pasti membuatnya lelah. Tapi rasa lelah itu dikalahkan adrenalin yang membuncah menanti kepastian nasibnya. Tepat sekali ia datang. “Bagaimana? Bagaimana? Mana? Mana?” tanyanya bersemangat. “Lihatlah di komputer ini,”. Ia langsung menyerobot membaca pengumuman itu. saya bisa mendengar setiap helaan napasnya. Saling kejar-mengejar, sambung-menyambung, jangan sampai putus kalau tidak si empunya napas tidak bisa bernapas lagi karena saking senangnya. “Besok saya pastikan singkong-singkong itu akan sampai di rumahmu untuk siap diolah. Terima kasih Hannah, saya tidak tahu mau membalas apalagi untuk semua bantuanmu. Terima kasih Hannah, kau sudah membantu saya untuk setidaknya membuat saya dan keluarga saya bisa makan nasi lebih sering. Terima kasih Hannah…” “Cukup terima kasihnya. Orang-orang memandang ke arah kita. Jangan sampai nanti kita diusir dari sini,” saya bercanda. Seperti prakiraan cuaca di RRI, hari ini cerah. Tapi saya sudah lebih dulu memprediksikannya. Hari ini di lebih cerah dari biasanya. Bagaimana tidak? Intensitas senyuman Mathias berpuluh kali lebih banyak dan lebih terang. Saya sampai mengira warna kulit saya dan teman-teman lain lebih putih dari kulit orang kaukasoid. Saya ingin hari ini hujan saja. Setiap orang ingin bicara dengannya, mewawancarainya, dan meminta oleh-oleh sepulangnya nanti ia dari Jakarta. Saya membuka file berisi foto senyumannya dari hape. Foto yang diambil dua bulan yang lalu saat ia datang ke rumah saya. Foto yang saya kirim untuk audisi iklan itu. Senyum ini, kenapa saya berpikir tak akan bisa lagi melihatnya lagi dalam waktu dekat. Astaga, saya tepis perasaan itu jauh-jauh. Senyum ini tidak boleh hilang begitu saja, kalau tidak, ruang kelas kami akan suram dan gelap saat hari hujan. Kata Mathias, hadiah yang ia dapat dari kontes itu banyak sekali, bahkan mungkin terlalu banyak untuk dirinya. Sehabis pengumuman pemenang, beberapa orang dari Jakarta langsung datang ke rumahnya. Orang-orang itu membawa lima puluh juta katanya. Bapanya langsung lemas ketika melihat uang sebanyak itu, dan mamanya yang cerewet tak bisa berkata apa-apa lagi. mereka menyodorkan kertas yang kata Mathias adalah kontrak. “Hah? Kau dikontrak setahun?” tanyaku kaget. Ia hanya tersenyum. “Selama itu kau di Jakarta?” ia mengangguk. “Mereka bilang saya aset. Mereka akan memindahkan saya dari sekolah. Mereka akan memasukkan saya ke sekolah yang lebih bagus di Jakarta,” ia tersenyum lebar. Tapi kali ini saya tak suka senyumnya. Jika ia pergi, bagaimana dengan kami? Kami tidak bisa belajar apa-apa di sekolah jika hari hujan. Saya meninggalkannya dengan senyumnya yang menjengkelkan. Ia begitu egois. Ini kelima kalinya saya membuat keripik singkong, tetapi tumpukan singkong ini tidak habis-habis juga. Saya sampai bosan sendiri melihatnya. Tapi rasa singkong ini memang lain dari singkong kebanyakan. Hari ini saya sengaja membuat keripik singkong untuk menyaksikkan iklan Mathias yang tayang perdana, sesuai pesannya sebelum pergi dua minggu yang lalu. Tidak lama ditunggu, iklan itu muncul. Jingle pasta gigi itu mengalun, kemudian si pria tampan yang sama mulai beraksi. Saya kira pria itu hanya menjadi peran pendukung, tetapi saya salah. Pria itu tetap menjadi peran utamanya. Saya bingung dan khawatir menunggu Mathias yang belum terlihat. Kemudian pada sebuah bagian ditampilkan seulas senyum tanpa diperlihatkan wajah pemiliknya. Walau hanya beberapa detik, terlihat dari bibirnya yang tebal dan deretan gigi yang rapi itu, tidak salah lagi, senyum milik Mathias. Tapi tunggu, kenapa ada yang aneh? Senyum Mathias di iklan itu berbeda sekali. Meski sepintas sama, tapi terlihat lain bagi saya. Senyum itu tidak bahagia dan tidak tulus. Senyum itu, senyum Mathias kali ini, terlalu dibuat-buat. Begitu terpaksa. Senyum yang tidak mencerminkan jiwa empunya. Tapi paling tidak, senyum itu lebih bagus dari senyum si pria. Tiba-tiba saja hape saya berbunyi. Ada pesan dari nomor tak dikenal. Kira-kira begini isinya: ‘Saya yakin saat ini kamu pasti sedang menonton iklan saya ‘kan? Saya mau cerita sesuatu padamu. Saya tidak suka sekali ada di sini. Mereka terlalu mengatur saya. Saya tidak boleh ini dan itu. Dan juga harus begini dan begitu. Kamu tahu, saya sangat heran dengan maksud mereka sebagai sekolah yang bagus. Mereka menyebutnya home schooling. Tetapi di sekolah itu saya hanya seorang diri tanpa teman. Gurunya pun hanya satu. Bagaimana saya bisa belajar? Saya sangat heran dengan mereka. Apakah mereka membohongi saya? Dan yang paling membuat saya tidak tahan adalah saat mereka bilang senyum saya sebelumnya tidak terlalu bagus, jadi mereka mengaturnya agar terlihat menarik. Itu membuat hati saya sakit. Sepertinya saya tidak akan bisa tersenyum untuk waktu yang lama. Saya sangat menyesal ikut kontes ini. Saya mau pulang. Mathias.’ Ternyata dari Mathias. Jadi sekarang dia punya hape. Pesan yang panjang itu masuk sepotong-sepotong sampai bisa menjadi utuh. Saya tak tahu bagaimana membalasnya. Saya rasa saya sudah kehilangan Mathias dan senyumnya. Mungkin saya sudah tidak menyukainya lagi. Dan kelas saya akan kehilangan terangnya di kala hujan. SEND A COMMENT PLEASE………

1 komentar: