Simple Life

Selasa, 31 Oktober 2017

PRASANGKA



               
Dada bapak naik turun kejar-kejaran. Bapak kehilangan cukup banyak darah katanya, bapak anemia katanya, bapak kini terbaring lemah dengan masker oksigen. Tidak ada yang tahu kondisi bapak. Bapak memang hanya tinggal sendiri, tidak mau merepotkan anak-anaknya untuk menemani setelah kematian ibu. Tidak heran juga kenapa ia tidak mau karena seketika muka-muka anaknya pada berkerut.
“Repot juga kalau mau urus Bapak. Anak-anak masih kecil,” ujar kakak iparku. Kakak laki-lakiku hanya diam membeo ucapan istrinya.
                Aku hanya mendesah, tidak mungkin kubawa bapak tinggal bersamaku di luar kota, aku hanya pegawai magang yang tinggal di kos-kosan kecil. Sehingga  bapak akhirnya tinggal seorang diri di rumah. Maka pagi itu bapak diketahui muntah dan berak darah. Bapak kemudian terkapar lemas di kursi ruang tamu, putus asa menanti anak-anaknya yang tak kunjung datang setelah ditelepon. Kakakku dan istrinya hanya saling pandang ketika ditanya dokter, tidak tahu bagaimana kondisi bapak dan juga sejak kapan perut bapak mulai membesar seperti sekarang. Aku langsung memacu motorku dari kota yang berjarak 2 jam, mengutuk diri sendiri karena tidak pernah menaruh pehatian pada bapak.
                Seorang perempuan tiba-tiba masuk kamar, membangunkanku dari lamunan. Mukanya terlihat kucel, berbeda dari seorang lagi yang datang sebelumnya. Ia langsung memasang manset tensimeter di lengan bapak, lalu sambil menguap menyebutkan hasil pemeriksaannya. Di sudut tempat tidur itu aku merengut. Seenaknya saja ia masuk kamar bapak dan memasang alat-alat itu. Tanpa ba bi bu meraih jari bapak dan menjepitnya dengan alat kecil.
“Eh, bapak saya mau kamu apakan?” gertakku. Wajah sembab itu menoleh padaku.
“Saya harus cek kondisi bapak, bapak sempat sesak kan tadi?” katanya datar.
“Kenapa tidak permisi dulu?” Ia tak menjawab pertanyaanku, “Bapak saya kenapa?”
“Kami observasi dulu ya Mas”
“Dari tadi jawabannya observasi terus...”
“Saya kerja dulu ya Mas!” potongnya kasar. Aku tertegun. Diam, melotot sebesar mungkin padanya.
                Perempuan itu mengulum bibirnya. Tidak bisa mengeluarkan kata-kata di ujung lidahnya, memilih untuk menelannya bulat-bulat. Suaranya berubah sengau ketika ia kemudian minta maaf dan minta izin untuk melanjutkan pekerjaannya. Dari nama di baju jaganya itu, ketahuan si Lulu adalah dokter muda. Setelah menyelesaikan tugasnya, Lulu menyeret kakinya menuju pintu. Tak menjelaskan apapun, meninggalkanku dengan beribu tanya tentang kondisi bapak dan perasaan dongkol pada sosok menyebalkan itu.
                Aku tak pernah suka suasana rumah sakit. Mulai dari baunya yang bau orang sakit, atmosfernya yang penuh duka, lorong-lorong panjang yang redup, dan obrolan-obrolan keluarga pasien lain tentang pengobatan alternatif. Pasien di sebelah tempat tidur bapak kini sedang ditanya-tanyai. Untung bapak itu memang gemar bercerita. Sudah lebih dari sekali pagi itu ia ditanyai oleh sekelompok orang berjas putih, dengan ukuran lengan jas yang berbeda dan degradasi warna putih yang beragam, dari yang seputih salju sampai yang seputih gading. Kamu jadi bisa tahu mana yang sudah dipakai lebih dari setahun, mana yang baru dipakai tidak sampai seminggu.
“Tidak bosan, Pak?” tanyaku pada bapak pengidap kanker usus itu. Dokter bilang kankernya tak bisa diangkat, sudah terlanjur menyebar ke jaringan lain, sehingga dikemoterapi saja.
“Hahaha,” ia menggeleng, tulang-tulang tampak menonjol di wajahnya, “Selama ini saya tidak pernah ditanyai kondisinya selengkap itu. Mumpung di rumah sakit. Kalau sudah pulang siapa yang mau tanya? Anak saya? Capek dia dengerin saya.”
                Pemilik ranjang yang lain berbeda lagi. Ada pria seusia bapak yang sudah tidak sabar ingin pulang. Setiap perawat memasuki ruangan berisi enam ranjang itu, todongan pertanyaan ‘kapan pulang’ selalu menggema dalam ruangan. Pria setengah baya di bagian kamar lain berbeda lagi isi pikirannya. Mukanya sejak bapak datang di sini selalu tidak santai. Tagihan rumah sakit pasti akan membengkak sepanjang ia terus tinggal di sini, mungkin seperti itu pikirannya. Pasien yang ranjangannya dekat pintu mengatakan ia belum sempat membuat asuransi yang digadang-gadang pemerintah, sialnya ia terlanjur masuk rumah sakit karena sesak nafas. Dokter bilang karena kebiasaannya merokok selama 20 tahun.
                Aku tidak pernah suka suasana rumah sakit. Apalagi makanannya. Sisa sarapan bapak masih tergeletak di atas meja. Aku mengambil mangkok berisi bubur itu dan memakannya pelan-pelan. Bapak masih tergolek lemah. Belum mau bicara banyak padaku, barangkali masih kesal karena anak-anaknya datang terlambat. Kali ini seorang laki-laki muda, barangkali teman perempuan semalam, datang untuk memeriksa. Ia tersenyum sopan meminta izin, kemudian mulai menempelkan stetoskop. Sesekali ia menyeka rambutnya yang terjuntai walapun telah diberi pomade. Dandanannya parlente. Harga jam tangan yang berkilau itu pasti di atas satu juta. Aromanya yang harum menerobos bau-bau orang sakit di sini.
“Kondisi Bapak sudah mulai baik ya, Mas. Tadi sudah masuk 4 kantong darah, hemoglobinnya sudah naik.” katanya sambil memperbaiki kacamata.
 “Jadi untuk mengetahui penyebab bapak muntah darah.....” aku tak bisa mengingat kata-katanya selanjutnya. Aku hanya mengangguk asal saja, ingin pamer pada keluarga pasien lain yang melihat ingin tahu ke arah kami. Sok tahu.
Pendidikanku tidak cukup tinggi untuk mengerti kata-kata seperti suspek hepatitis kronis, sirosis, keganasan dan sebagainya. Dokter muda itu tersenyum  lagi, lalu menjelaskan tentang prosedur USG yang harus dijalani bapak. Aku hanya mengangguk setuju, kemudian diminta ke sebuah ruangan bertemu dokter yang lebih tua. Aku teringat doker muda yang menjawab dongkol semalam. Barangkali akan sia-sia juga ia bercerita tentang kondisi bapak saat kumintai penjelasan.
Ruangan itu berada di bagian depan bangsal. Terdapat semacam tirai tidak terlihat antara bagian depan -yang merupakan tempat berkumpul perawat dan dokter- dan bagian belakang yang berisi para pesakitan. Batas antara dua bagian itu cukup ditandai dengan samar-samar suara tawa yang sesekali muncul dari sebuah ruangan. Bagian depan itu terdiri dari 3 ruangan, yaitu nurse station, sebuah ruangan tempat munculnya suara tawa bertuliskan ‘Ruang Diskusi’, dan ruangan lain bertuliskan ‘Ruang konsultasi’. Ruang terakhir adalah tempatku menunggu dokter tua yang dijanjikan. Dokter-dokter muda dengan jas yang lebih menjuntai ke bawah hilir mudik keluar masuk ruang Diskusi sambil meredam tawa.
Dari bilik ini aku bisa mendengar cerita dokter-dokter muda itu. Ceritanya cukup menarik untukku sampai aku harus menempelkan telinga cukup dekat ke dinding walau cuma terdengar samar-samar. Ada yang baru pulang liburan dari Lombok, ada yang dibelikan mobil baru, cerita tentang pasien yang membandel, tentang pengidap kanker usus di kamar bapak yang harapan hidupnya tidak lama lagi, gosip-gosip tentang teman mereka sendiri, sampai ke hal-hal lain yang sama terlarangnya untuk diketahui olehku.
“Kasihan sekali yang jaga semalam,”
“Kenapa?”
“Tidak bisa tidur. Empat pasien butuh pengawasan. Satu harus dipijat jantung,”
“Siapa saja yang jaga?”
“Rara dan mantannya Doni,”
“Hanya berdua? Kasihan sekali, pasti capek,”
“Kasihan mantannya Doni. Dia habis dibantai konsulen pas maju kasus, sampai nangis. Kamu tahu, dia belajar mati-matian semalaman sebelum berhadapan dengan konsulen. Lalu jaga malamnya perlu bolak-balik ke lab dan nganterin obat. Kamu harus liat mukanya tadi pagi. Muka orang tidak istirahat seharian! Untung aku sempat nyuruh dia tidur sebentar sebelum visite pasien,”
“Oh iya, dia bilang semalam juga habis diomelin keluarga pasien,”
“Kok bisa?”
“Dia lupa minta izin ke keluarganya buat periksa, hahaha,”
“Ih, jahat banget ngetawain. Kalau kondisiku juga sama lelahnya dengan dia, aku juga bakal nggak mikir mau izin ini itu, jelasin ini itu, yang penting cepat selesai. Kasihan memang si Lulu,”
                Aku tertegun mendengar nama itu. Dokter muda yang mukanya kucel semalam, yang sembab seperti habis menangis. Perutku tiba-tiba terasa tidak enak.
                “Bapak akan ‘diteropong’ dan juga di USG besok,” begitu kata dokter yang lebih tua, yang sudah kutunggu kedatangannya.
Setelah hampir 2 jam menunggu akhirnya aku bisa duduk berhadapan dengannya. Rasa bosan sempat muncul saat menunggu sosok pendek itu, apalagi saat ruangan sebelah mulai ditinggalkan para dokter muda. Tidak ada lagi cerita yang terdengar. Semua kembali pada kesibukannya. Berdasarkan cerita dari ruang ‘diskusi’ di sebelah, dokter yang kunanti ini baru saja kehilangan anaknya seminggu yang lalu. Tapi di depanku ia selalu tersenyum, berusaha membesarkan hatiku, dan mungkin hatinya, melalui cerita-ceritanya tentang Tuhan Yang Maha Mengatur, Tuhan Yang Maha Baik. Tidak ada yang tahu seberapa besarnya kesedihan lelaki itu. Jarinya yang gemuk menunjuk bagian mana yang harus kutandatangani sebagai tanda aku setuju untuk tindakan medis yang lain. Kemudian tangannya menepuk pundakku, memintaku berdoa dan bersabar.
                Aku tak pernah suka rumah sakit, kecuali bagian di mana sesama keluarga pasien saling menyemangati dan barangkali ketika beberapa dokter serta perawat yang manis-manis melewatimu. Kakakku dan istrinya belum juga datang untuk menggantikan aku menemani bapak. Aku tak perlu pendapat mereka tentang prosedur USG dan ‘teropong’ itu. Tak ada bedanya mereka tahu, begitu jawabku ketika dokter tua itu bertanya pendapat anak bapak yang lain.
 Tempat tidur bapak kini ditutupi tirai ketika aku bejalan masuk kamarnya. Bapak dengan kanker usus sedang menatap kosong ke depan. Kali ini loyo, tidak seperti tadi pagi saat ia begitu bersemangat menjawab pertanyaan yang diulang-ulang. Mungkin rindu keluarganya. Mungkin seperti bapak yang rindu aku.  Hatiku mencelos ketika mata kami bertemu. Tatapan dari mata cekung itu mungkin tak akan bertahan lebih lama. Bapak yang kukira mungkin kesusahan biaya rumah sakit kini tertawa terbahak bersama istrinya. Mungkin habis menang lotere. Pasien yang ranjangnya paling dekat pintu memanggilku.
“Bapakmu habis muntah darah tadi,” katanya. Aku mengangguk padanya sambil tersenyum.
                Dari balik tirai itu aku bisa mendengar bapak bercakap-cakap, sesekali disisipi gelak tawa seorang perempuan. Yang pasti itu bukan kakak iparku. Tak pernah ada yang tahan mendengar cerita bapak sebelumnya, termasuk aku. Kusibak sedikit tirai, kudapati wajah bapak yang bersemangat. Seseorang berdiri dengan baskom berisi muntahan berwarna merah, masih menyimak cerita bapak, lalu memberikan ucapan semangat untuknya. Aku mengenali orang itu sebagai dokter muda yang aku pelototi  semalam. Tiba-tiba ia menoleh padaku, aku membalas senyumnya sambil menggaruki kepala. Merasa tidak enakan setelah menghakimi orang seenaknya.