Simple Life

Jumat, 25 Oktober 2013

The Flat 1

Mobil ini terus saja melaju di jalanan  Seoul yang becek sejak tiga puluh menit yang lalu. Aku tak tahu mau dibawa ke mana. Hari ini mendung. Begitu pula hatiku, karirku, dan masa depanku. Kami baru saja pulang dari kantor penerbitan, aku dan wanita yang menyetir di sebelahku ini. Wanita 45 tahun yang selama dua belas tahun ini kuanggap sebagai ibuku, namun tidak lagi sejak vonis hukuman itu dijatuhkan tepat tiga puluh menit sebelum mobil kami melaju.
“Kau tidak bisa melakukan ini padaku,” kataku sambil menatapnya dingin. Ia diam saja.
“Kau dengar aku?” tuntutku. Ia masih diam. Aku tak tahan lagi. Kugenggam tanganku dan kugedor kaca jendela mobil sekeras-kerasnya. Air mataku jatuh dan emosiku meluap.
“KALAU BEGITU PUTUSKAN SAJA KONTRAKNYA!!!! APA KAU MAU MEMBUATKU GILA DENGAN MENGISOLASIKU DI PINGGIRAN KOTA!!!” 
Yes, kata-kataku manjur. Ia segera menepikan mobilnya dan memelototiku. Aku membalasnya dengan tatapan tak kalah murka. Dadanya naik turun cepat sekali. Kutahu ia marah. Tapi dengan cepat ia mengendalikan diri, memandang ke depan sebentar, menari napas, lalu menghadapiku lagi. Mukanya jauh lebih tenang.
“Dengarkan aku. Aku sedang berusaha menyelamatkanmu sekarang, menyelamatkan karirmu! Ha Na, kau sudah mengenalku selama dua belas tahun ini sejak aku menjadi mentormu. Kau tak perlu pusing-pusing memikirkan pemutusan kontrakmu karena mereka akan segera melakukannya setahun lagi jika kau tak berubah! Kau terlalu binal kata mereka dan tulisanmu terlalu biasa selama dua tahun ini. Nak, kau punya potensi, aku tahu. Namun sayang, sekarang kau minim inspirasi,” katanya sambil menatapku teduh. Tangannya mengelus pundakku. Aku tahu, masa pengasinganku tiba. Aku terisak.
***
                Kami tiba di depan rumah susun sewa itu. Lima lantai dengan dinding bata merah yang tak diplester. Kuamati jalan di hadapannya. Tak banyak lalu lalang seperti bagian lain di kota ini. Tak ada pencakar langit.
“Ayo masuk,” ajak mentorku. Aku mengikutinya.
                Kami memasuki ruangan kecil yang mentorku sebut sebagai lobi. Tak salah juga, karena memang ada meja resepsionis dengan wanita bermuka menyenangkan yang kutebak sebagai resepsionisnya. Ada sofa dengan mejanya. Tangga terletak di belakang meja resepsionis dan ada lift! Kuanggap semua ini terlalu berlebihan untuk ukuran rumah susun sewa dengan harga semurah ini.
“Selamat datang nona,” katanya sambil tersenyum ramah.
“kamarnya sudah disiapkan nyonya Lee? Ha Na yang akan menempatinya,” kata mentorku sambil tersenyum.
“Tentu saja sudah kusiapkan. Kamar itu memiliki pemandangan yang paing bagus di antara yang lain, hahaha. Nona, anak-anakku suka sekali membaca novelmu,” lanjutnya.
“Terima kasih,” jawabku seadanya.
                Kami memutuskan untuk lewat tangga saja sambil melakukan orientasi terhadap tempat tinggalku yang baru. Rumah ini terdiri dari dua sayap. Masing-masing sayap memiliki empat kamar alias flat di tiap lantai sehingga terdapat empat flat. Sepanjang perjanan kami sempat bertemu dengan beberapa penghuni. Ada beberapa yang mengenalku dan berjingrat-jingkrat, ada yang tersenyum saja, ada yang tak memberikan respon. Mungkin tak mengenalku. Aku sempat mengumpat dalam hati karena flat ku terletak di lantai paling atas. Lantai lima.
“Selamat datang di rumahmu yang baru! Kau mungkin mau berkeliling sebentar?” tanyanya.
                Aku berjalanan meyusuri ruang tamu. Ada ruang tivi lengkap dengan sofa dan mejanya. Dekat ruang tamun terdapat jendela transparan besar yang jika digeser, terdapat balkon yang mengarah ke belakang rumah. Di sisi lain ada dapur beserta perlengkapannya dan meja makan. Aku mengecek keran cuci piring, airnya mengalir. Aku menuju ke bagian paling vital rumah bagiku, kamar. Oke, cukup baik. Flat ini kecil, tapi cukup nyaman.
“Panas sekali. Apa mereka tak memasang ac di sini?” tanyaku.
“Kalau kau mau kau bisa memasangnya sendiri nak. Dan kau mesti menambah biaya listriknya,” dahiku berkerut, alisku menyatu. Mentorku tertawa melihatnya. Aku sudah cukup miskin dengan pembatasan uang yang dilakukan mentorku itu.
“Kau bisa menempati flat ini besok. Sebelum ke pesta ulang tahun pernikahan direktur pastikan barang-barangmu sudah siap semua di sini. Mulai dari awal hidupmu. Lebih sederhana, pahami hidup. Buatlah image baru tentangmu. Kau bisa nak, kau punya potensi. Hanya butuh sedikit inspirasi,” katanya sambil menyibakkan rambut di depan mataku. Aku memeluknya.
“Kau tak akan menahan mobiku kan?” tanyaku dengan tatapan memohon.
“Kurasa kita harus memakirkan si merah di garasiku dulu,” jawabnya sambil tersenyum.
“Tapi....”
“Jalur bis di sini lancar. Kau harus menghemat karena aku akan memotong uang bulananmu. Barangkali kau bisa meminta oppa mu menjemput? Bukankah ia akan senang?” godanya. Aku mendengus panjang.
***
                Nomor 35 dari kuningan menandai nomor flatku. Aku baru saja selesai membereskan barang-barangku sampai yang tersisa hanya foto-fotoku dengan Jung Yong Hwa. Aku sempat menggantungya di ruang tivi tadi. Tapi kulepas. Entahlah, aku hanya tak ingin menggantungnya. Aku menatap gambarnya. Jung Yong Hwa. Aku tak pernah berhubungan selama ini dengan laki-laki, kecuali dengannya. Lima tahun. Dan kali ini ia tak cukup bisa memberi Kim Ha Na –penulis yang karirnya mulai redup ini- inspirasi.
                Namaku Kim Ha Na. Dunia menulisku sudah dimulai sejak aku masih TK. Masih amatiran. aku tak bisa menghitung berapa banyak karyaku. Jika kau mengunjungi rumahku di Incheon, maka kau akan mendapati selemari penuh piala lomba menulis sejak TK-SMA. Namun bintangku mulai bersinar saat aku menelurkan novelku yang pertama. Dua belas tahun lalu. Novel tentang keluarga, cinta, dan persahabatan. Novel berjudul ‘Embrace’ yang berhasil terjual satu juta kopi di seluruh Korea. Novel yang berhasil mengantarkanku menerima penghargaan dari Cheong Da Wae alias Blue House. Novel yang mengantarkanku ke puncak popularitas. Novel yang mempertemukanku dengan Bae Yon Ju, mentorku itu.
                Lalu kenapa aku bisa sampai di Seoul? Sebenarnya kalau bukan demi karir, aku tak akan mau pergi dari Incheon. Penerbit memintaku untuk meanjutkan kuliah di Jurusan Sastra dan Literatur Korea. Mereka ingin membentukku menjadi penulis yang di masa depan dapat menjadi seorang maestro. Seorang professor. Yang nanti akan menjadi peraih nobel sastra. Mungkin. Dan Be Yon Ju adalah salah satu senjata mereka. Almamaternya sama denganku, Universitas Seoul. Dari jurusan yang sama pula. Dan ia diutus untuk memolesku menjadi penulis yang handal sejak aku menandatangani kontrak pertamaku dengan penerbit terbesar di Korea itu.
Dan sekarang apa yang telah diatur untukku akan hancur  kalau aku tak mengubah sifatku. Well, kurasa itu fase yang normal dalam kehidupan manusia. Fase remaja, fase pergolakan. Kuliahku belum selesai, aku sering jadi bahan gosip di media, tukang pesta, dan yang jadi masalah terbesarku adalah kualitas tulisanku yang semakin menurun!
Aku inga kata-kata bos penerbitku saat itu:
“Ha Na, aku merasa ada sesuatu yang salah denganmu. Selama 2 tahun terakhir penjualan bukumu turun dan kualitas tulisanmu sangat buruk. Kami ingin kau berhenti menulis cerita tentang cinta remaja tanggung dan mengubahnya ke topik yang lebih berbobot. Kau seorang wanita muda sekarang bukan seorang remaja yang sibuk dengan kisah asmara terus! Kami mengharapkan kau dapat menjadi sastrawan besar nanti, bukan seorang tukang pesta dengan tempramen mengerikan! Ada banyak bibit penulis hebat di luar sana, dan jika kau tidak bisa membuktikan bakatmu selama satu tahun ke depan, kami bisa menendangmu,”
Kalimat itu masih terus ternginang di telingaku. Aku merinding. Kubuka bungkusan baru rokok, menyalakan satu batang, dan menghisap dalam-dalam. Kupejamkan mata menikmati asap yang mengepul dalam mulut. Yang kupikirkan sekarang adalah lelaki itu. Ayah. Ayah yang sejak umur 8 tahun tak kulihat lagi. Aku menghembuskan asap pelan-pelan bersama kenangan tentangnya. Memori terakhir tentangnya yang dapat kuingat adalah ayah memukul ibu, lalu terdengar tangisan adikku yang masih berumur 2 tahun. Ibu menjerit dan ayah pergi begitu saja. Aku tak pernah kenal siapa lelaki itu,kecuali tempramennya, tak beda jauh dariku.
Aku kaget ketika hapeku berdering. Yoon Ah. Astaga, aku lupa telah janjian dengannya.
“Anyeonghaseyo. Ne. Aku akan segera ke sana. Tunggu oke?  Bye,”
                Sial, kenapa aku sampai lupa? Kuganti pakaianku. Dan kuambil langkah seribu. Aku keluar dari flatku dengan tergesa-gesa, menguncinya , mulai berlari ketika pintu di depanku terbuka dan aku menabrak pemilik flat di samping flatku.....
PRAAANGG!!!

                Mangkok yang dipegangnya jatuh ke lantai. Aku tak memiliki banyak waktu, jadi langsung kutinggal saja ia. Toh aku tak sengaja. Aku terus belari sampai di belokan menuju lift aku berbalik untuk melihat keadaannya. Pria itu mematung dengan mata melotot ke arahku. Aku tak peduli dengannya, lagi pula itu kecelakaan, siapa suruh tak melihat orang yang sedang terburu-buru?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar