Mobil ini
terus saja melaju di jalanan Seoul yang
becek sejak tiga puluh menit yang lalu. Aku tak tahu mau dibawa ke mana. Hari
ini mendung. Begitu pula hatiku, karirku, dan masa depanku. Kami baru saja
pulang dari kantor penerbitan, aku dan wanita yang menyetir di sebelahku ini.
Wanita 45 tahun yang selama dua belas tahun ini kuanggap sebagai ibuku, namun
tidak lagi sejak vonis hukuman itu dijatuhkan tepat tiga puluh menit sebelum
mobil kami melaju.
“Kau tidak bisa melakukan ini
padaku,” kataku sambil menatapnya dingin. Ia diam saja.
“Kau dengar aku?” tuntutku. Ia
masih diam. Aku tak tahan lagi. Kugenggam tanganku dan kugedor kaca jendela
mobil sekeras-kerasnya. Air mataku jatuh dan emosiku meluap.
“KALAU BEGITU PUTUSKAN SAJA
KONTRAKNYA!!!! APA KAU MAU MEMBUATKU GILA DENGAN MENGISOLASIKU DI PINGGIRAN
KOTA!!!”
Yes,
kata-kataku manjur. Ia segera menepikan mobilnya dan memelototiku. Aku
membalasnya dengan tatapan tak kalah murka. Dadanya naik turun cepat sekali.
Kutahu ia marah. Tapi dengan cepat ia mengendalikan diri, memandang ke depan
sebentar, menari napas, lalu menghadapiku lagi. Mukanya jauh lebih tenang.
“Dengarkan aku. Aku sedang
berusaha menyelamatkanmu sekarang, menyelamatkan karirmu! Ha Na, kau sudah
mengenalku selama dua belas tahun ini sejak aku menjadi mentormu. Kau tak perlu
pusing-pusing memikirkan pemutusan kontrakmu karena mereka akan segera
melakukannya setahun lagi jika kau tak berubah! Kau terlalu binal kata mereka
dan tulisanmu terlalu biasa selama dua tahun ini. Nak, kau punya potensi, aku
tahu. Namun sayang, sekarang kau minim inspirasi,” katanya sambil menatapku
teduh. Tangannya mengelus pundakku. Aku tahu, masa pengasinganku tiba. Aku
terisak.
***
Kami
tiba di depan rumah susun sewa itu. Lima lantai dengan dinding bata merah yang
tak diplester. Kuamati jalan di hadapannya. Tak banyak lalu lalang seperti
bagian lain di kota ini. Tak ada pencakar langit.
“Ayo masuk,” ajak mentorku. Aku
mengikutinya.
Kami
memasuki ruangan kecil yang mentorku sebut sebagai lobi. Tak salah juga, karena
memang ada meja resepsionis dengan wanita bermuka menyenangkan yang kutebak
sebagai resepsionisnya. Ada sofa dengan mejanya. Tangga terletak di belakang
meja resepsionis dan ada lift! Kuanggap semua ini terlalu berlebihan untuk
ukuran rumah susun sewa dengan harga semurah ini.
“Selamat datang nona,” katanya
sambil tersenyum ramah.
“kamarnya sudah disiapkan nyonya
Lee? Ha Na yang akan menempatinya,” kata mentorku sambil tersenyum.
“Tentu saja sudah kusiapkan.
Kamar itu memiliki pemandangan yang paing bagus di antara yang lain, hahaha.
Nona, anak-anakku suka sekali membaca novelmu,” lanjutnya.
“Terima kasih,” jawabku seadanya.
Kami
memutuskan untuk lewat tangga saja sambil melakukan orientasi terhadap tempat
tinggalku yang baru. Rumah ini terdiri dari dua sayap. Masing-masing sayap
memiliki empat kamar alias flat di tiap lantai sehingga terdapat empat flat.
Sepanjang perjanan kami sempat bertemu dengan beberapa penghuni. Ada beberapa
yang mengenalku dan berjingrat-jingkrat, ada yang tersenyum saja, ada yang tak
memberikan respon. Mungkin tak mengenalku. Aku sempat mengumpat dalam hati
karena flat ku terletak di lantai paling atas. Lantai lima.
“Selamat datang di rumahmu yang
baru! Kau mungkin mau berkeliling sebentar?” tanyanya.
Aku
berjalanan meyusuri ruang tamu. Ada ruang tivi lengkap dengan sofa dan mejanya.
Dekat ruang tamun terdapat jendela transparan besar yang jika digeser, terdapat
balkon yang mengarah ke belakang rumah. Di sisi lain ada dapur beserta
perlengkapannya dan meja makan. Aku mengecek keran cuci piring, airnya
mengalir. Aku menuju ke bagian paling vital rumah bagiku, kamar. Oke, cukup
baik. Flat ini kecil, tapi cukup nyaman.
“Panas sekali. Apa mereka tak
memasang ac di sini?” tanyaku.
“Kalau kau mau kau bisa
memasangnya sendiri nak. Dan kau mesti menambah biaya listriknya,” dahiku
berkerut, alisku menyatu. Mentorku tertawa melihatnya. Aku sudah cukup miskin
dengan pembatasan uang yang dilakukan mentorku itu.
“Kau bisa menempati flat ini
besok. Sebelum ke pesta ulang tahun pernikahan direktur pastikan
barang-barangmu sudah siap semua di sini. Mulai dari awal hidupmu. Lebih
sederhana, pahami hidup. Buatlah image baru tentangmu. Kau bisa nak, kau punya
potensi. Hanya butuh sedikit inspirasi,” katanya sambil menyibakkan rambut di
depan mataku. Aku memeluknya.
“Kau tak akan menahan mobiku
kan?” tanyaku dengan tatapan memohon.
“Kurasa kita harus memakirkan si
merah di garasiku dulu,” jawabnya sambil tersenyum.
“Tapi....”
“Jalur bis di sini lancar. Kau
harus menghemat karena aku akan memotong uang bulananmu. Barangkali kau bisa
meminta oppa mu menjemput? Bukankah
ia akan senang?” godanya. Aku mendengus panjang.
***
Nomor
35 dari kuningan menandai nomor flatku. Aku baru saja selesai membereskan
barang-barangku sampai yang tersisa hanya foto-fotoku dengan Jung Yong Hwa. Aku
sempat menggantungya di ruang tivi tadi. Tapi kulepas. Entahlah, aku hanya tak
ingin menggantungnya. Aku menatap gambarnya. Jung Yong Hwa. Aku tak pernah
berhubungan selama ini dengan laki-laki, kecuali dengannya. Lima tahun. Dan
kali ini ia tak cukup bisa memberi Kim Ha Na –penulis yang karirnya mulai redup
ini- inspirasi.
Namaku
Kim Ha Na. Dunia menulisku sudah dimulai sejak aku masih TK. Masih amatiran.
aku tak bisa menghitung berapa banyak karyaku. Jika kau mengunjungi rumahku di
Incheon, maka kau akan mendapati selemari penuh piala lomba menulis sejak
TK-SMA. Namun bintangku mulai bersinar saat aku menelurkan novelku yang
pertama. Dua belas tahun lalu. Novel tentang keluarga, cinta, dan persahabatan.
Novel berjudul ‘Embrace’ yang berhasil terjual satu juta kopi di seluruh Korea.
Novel yang berhasil mengantarkanku menerima penghargaan dari Cheong Da Wae
alias Blue House. Novel yang mengantarkanku ke puncak popularitas. Novel yang
mempertemukanku dengan Bae Yon Ju, mentorku itu.
Lalu
kenapa aku bisa sampai di Seoul? Sebenarnya kalau bukan demi karir, aku tak
akan mau pergi dari Incheon. Penerbit memintaku untuk meanjutkan kuliah di
Jurusan Sastra dan Literatur Korea. Mereka ingin membentukku menjadi penulis
yang di masa depan dapat menjadi seorang maestro. Seorang professor. Yang nanti
akan menjadi peraih nobel sastra. Mungkin. Dan Be Yon Ju adalah salah satu
senjata mereka. Almamaternya sama denganku, Universitas Seoul. Dari jurusan
yang sama pula. Dan ia diutus untuk memolesku menjadi penulis yang handal sejak
aku menandatangani kontrak pertamaku dengan penerbit terbesar di Korea itu.
Dan sekarang
apa yang telah diatur untukku akan hancur kalau aku tak mengubah sifatku. Well, kurasa
itu fase yang normal dalam kehidupan manusia. Fase remaja, fase pergolakan. Kuliahku
belum selesai, aku sering jadi bahan gosip di media, tukang pesta, dan yang
jadi masalah terbesarku adalah kualitas tulisanku yang semakin menurun!
Aku inga
kata-kata bos penerbitku saat itu:
“Ha Na, aku
merasa ada sesuatu yang salah denganmu. Selama 2 tahun terakhir penjualan
bukumu turun dan kualitas tulisanmu sangat buruk. Kami ingin kau berhenti
menulis cerita tentang cinta remaja tanggung dan mengubahnya ke topik yang
lebih berbobot. Kau seorang wanita muda sekarang bukan seorang remaja yang
sibuk dengan kisah asmara terus! Kami mengharapkan kau dapat menjadi sastrawan
besar nanti, bukan seorang tukang pesta dengan tempramen mengerikan! Ada banyak
bibit penulis hebat di luar sana, dan jika kau tidak bisa membuktikan bakatmu
selama satu tahun ke depan, kami bisa menendangmu,”
Kalimat itu
masih terus ternginang di telingaku. Aku merinding. Kubuka bungkusan baru
rokok, menyalakan satu batang, dan menghisap dalam-dalam. Kupejamkan mata
menikmati asap yang mengepul dalam mulut. Yang kupikirkan sekarang adalah
lelaki itu. Ayah. Ayah yang sejak umur 8 tahun tak kulihat lagi. Aku menghembuskan
asap pelan-pelan bersama kenangan tentangnya. Memori terakhir tentangnya yang
dapat kuingat adalah ayah memukul ibu, lalu terdengar tangisan adikku yang
masih berumur 2 tahun. Ibu menjerit dan ayah pergi begitu saja. Aku tak pernah
kenal siapa lelaki itu,kecuali tempramennya, tak beda jauh dariku.
Aku kaget
ketika hapeku berdering. Yoon Ah. Astaga, aku lupa telah janjian dengannya.
“Anyeonghaseyo. Ne. Aku akan
segera ke sana. Tunggu oke? Bye,”
Sial,
kenapa aku sampai lupa? Kuganti pakaianku. Dan kuambil langkah seribu. Aku
keluar dari flatku dengan tergesa-gesa, menguncinya , mulai berlari ketika
pintu di depanku terbuka dan aku menabrak pemilik flat di samping flatku.....
PRAAANGG!!!
Mangkok
yang dipegangnya jatuh ke lantai. Aku tak memiliki banyak waktu, jadi langsung
kutinggal saja ia. Toh aku tak sengaja. Aku terus belari sampai di belokan
menuju lift aku berbalik untuk melihat keadaannya. Pria itu mematung dengan
mata melotot ke arahku. Aku tak peduli dengannya, lagi pula itu kecelakaan,
siapa suruh tak melihat orang yang sedang terburu-buru?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar