Simple Life

Sabtu, 26 Oktober 2013

The Flat 2

II
                Aku tiba di cafe tempat janjianku dengan Yoon Ah. Butuh satu jam dari tempat tinggal baruku untuk sampai di pusat kota ini. Yon Ju, kau benar-benar ingin aku mati ya? Aku segera masuk ke dalam cafe dan mencari kawanku itu. Nah, itu dia. Calon arsitek dengan wajah mirip salah satu anggota girlband itu sedang menyeruput kopinya. Aku melambai ke arahnya.
“Ha Na!!” teriaknya. Aku mendekat dan kupeluk dia.
“Bagaimana dengan flat barumu? Kau suka?” tanyanya saat kami sudah duduk masing-masing.
“Menurutmu?” tanyaku.
“Oh Ha Na....” katanya sambil meremas tanganku. “Aku tahu ini pasti terbaik yang manajemen buat untukmu,” katanya menguatkan. Aku terseyum kecut.
“Setidaknya aku masih punya niat untuk jadi penulis terkenal, jadi aku mau menjalankan ide gilanya itu,” kataku lalu kami berdua tertawa.
“Kau memang penulis terkenal Ha Na,” ujarnya. Benarkah? Ya, dulu.
                Aku ingat saat pertama kali bertemu dengan Yoon Ah. Saat kami masih menjadi mahasiswa baru di Universitas Korea. Mahasiswa baru wajib tinggal di asrama selama tahun pertama mereka. Dia adik kelas Yong Hwa saat masih SMA di Busan. Kami sama-sama dari luar kota dan itu memperkuat persahabatan kami. Bahkan Yoon Ah yang memperkenalkanku dengan Yong Hwa.
Saat tahu aku menjadi teman sekamarnya, ia girang bukan main. Ia mengaku sebagai fans-ku. Dan pada malam pertama kami sekamar, yang kami bicarakan adalah bagian dari novel-novelku yang tidak ia sukai. Mulai dari endingnya, pasangan dari peran utamanya, dan sebagainya. Entahlah sekarang. Sejak masa-masa kejatuhanku, kami membicarakan hal di luar karya-karya gagalku. Kurasa Yoon Ah sudah bosan membaca karyaku yang hampir mirip konsep ceritanya. Konsep Cinderella.
Kami langsung pergi begitu kopi Yoon Ah habis. Aku tak ingin menghabiskan sesenpun hanya untuk minum kopi. Aku langsung mempraktekkan instruksi Yon Ju. Tapi aku ragu karena alasan itu atau karena perutku yang memang sedang bergejolak saat ini. Aku akan bertemu dengan Yong Hwa nanti. Dan aku belum siap.
                Aku berada di tempat seorang fashion stylist favoritku, Jung Ji Sung. Aku menengok arlojiku. Sudah tiga jam aku di sini. Masih dua jam lagi kira-kira waktu untuk membuat semuanya beres. Mempersiapkan tubuhku –spa, pijat refleksi, dan sebagainya-  rambutku, dan juga busanaku. Lima jam. Sebenarnya butuh waktu lebih lama untuk persiapan seperti ini di hari-hari sebelumnya, bisa tujuh sampai delapan jam.
“Sayang, apa yang kau pikirkan? Lihat wajahmu, begitu tegang. berhentilah cemberut. itu akan membuatmu cepat tua. Santailah sedikit,” ujar Ji Sung saat mulai menata rambutku.
“Oh ya? Meanhe oppa, kukira ekspresiku biasa-biasa saja,” kataku. Ia membelai rambutku dengan halus dan tersenyum kepadaku melalui kaca. Lalu melanjutkan lagi pekerjaannya.
 Oh, di mana laki-laki itu? aku sebenarnya tak ingin peduli dengannya, tapi aku tahu masih ada sedikit sayang di dalam hatiku. Yong Hwa. Aku masih menyukaimu.  Aku tersentak ketika hapeku bunyi. Pesan dari Yong Hwa akhirnya.
Jantungku berdegup cepat. Adrenalinku meningkat. Tepat sekali ia mengirimkan pesan di saat aku memikirkan dia. Lalu kubuka.
‘Ha Na, aku sudah sampai di bandara. Aku tak bisa langsung ke tempat hyung. Akan kujemput kau nanti untuk ke pesta. Aku harus ke suatu tempat. Urusan penting. Sampai jumpa jam tujuh. Ich liebe dich‘
                Aku gemetaran membaca pesan yang diakhiri emoticon hati itu. Kuletakkan dengan kasar hapeku di atas meja rias. Setengah kubanting. Oh, siapa yang peduli kau pergi? aku teringat pertengkaran terakhir sebelum ia ke Moskow. Aku tak ingin membuat pertengkaran lain. Aku bertekad akan akur dengannya hari ini, besok, dan seterusnya. Aku tak mau kehilangan dia walau aku tahu, hanya ada bulir-bulir kecil cintaku padanya. Dan aku benci karena masih ada yang tersisa untuknya.
“Sayang, kenapa kau?” tanya Ji Sung terdengar khawatir.
“Tidak apa-apa oppa. Yong Hwa tak jadi ke sini,” jawabku sambil membuka mata pelan-pelan. Kudapati diriku tersenyum di kaca. Senyum dipaksakan yang cukup mengerikan.
                Aku berdiri di depan kaca. Berputar-putar. Ji Sung dan Yoon Ah mengamatiku sambil berdecak kagum. Aku berusaha menghilangkan ekspresi aneh itu, tapi ia tetap saja ada di sana. Yang kubutuhkan saat ini adalah teriak! Yoon Ah tak jauh elegannya dariku. Ia menggunakan gaun dan aksesoris yang dipilihkan sendiri oleh Ji Sung
                Perhatian kami teralih dari kaca saat pintu berderit dan seseorang masuk. Kami menoleh ke arahnya dan mendapati Yong Hwa berdiri dengan setelan tuksedonya. Ia tersenyum sambil menunjukkan bunga. Yoon Ah dan Ji Sung yang melihatku terdiam, mendorongku pelan-pelan sampai aku berada satu meter di hadapan Yong Hwa. Aku langsung menghambur ke pelukannya
“Berani-beraninya kau.....” kataku.
“Maaf. Kau cantik sekali,” ia mempererat dekapannya. Aku balas memeluknya. Tak seerat pelukan dua tahun yang lalu.
                Kami berangkat bersama-sama ke pesta pesta bosku. Yong Hwa yang menyetir, serta Yoon Ah dan Ji Sung duduk di belakang. Mobil kami melaju mulus di jalanan ibu kota sambil bersenda gurau di dalamnya. Yong Hwa bercerita tentang pengalamannya selama di Moskow. Perjalanan itu merupakan perjalanan dinas pertamnya dan duta besar Korea langsung tertarik dengan pesona Yong Hwa untuk membantu menjalin kerja sama di antara kedua negara. Tak heran karir Yong Hwa meroket di usianya yang masih muda. Ia adalah anak diplomat senior yang sedang bertugas di Uzbekistan.
Lalu topik berpindah ke masalah Yoon Ah, kawanku yang juga model itu.
 “Entahlah, laki-lak banyak yang takut padaku,” katanya sambil tertawa.
Dan selanjutnya kami berada dalam diam. Aku menatap Yong Hwa yang sedang menyetir. Banyak yang berubah selama dua tahun ini.
“Ladies, kita sampai,” kata Yong Hwa ketika mobil kami berada di depan hotel bintang empat itu.
                Seperti pesta-pesta lainnya, pesta direktur Cho –nama bosku- adalah wahana berkumpulnya kaum atas industri hiburan Korea. Para aktris dan aktor yang tampan-tampan itu, para produser, model, pemilik manajemen artis, beberapa pejabat pemerintahan, anak-anak dari para pejabat pemerintahan, pasangan-pasangan mereka, dan tentu saja penulis-penulis papan atas negeri ini. Termasuk aku tentunya.
                Yong Hwa menyebut pesta seperti ini sebagai show room. Orang-orang datang untuk mempertunjukkan kekuasaannya, hartanya, ketampanan dan kecantikan mereka, bahkan tubuh mereka. Ya, sudah menjadi rahasia umum kalau persaingan industri hiburan Korea sangat kejam. Memperoleh kemasyuran tidaklah mudah, apalagi mempertahankannya. Mereka berbakat dan menarik. Tapi ada yang lebih berbakat dan lebih menarik. Bahkan ada yang sangat berbakat dan sangat menarik! Dan tidak heran beberapa pelakon industri ini melakukan hal-hal yang menurunkan derajat mereka sebagai seorang manusia.
Kau tak akan heran jika melihat para manajer artis berkeliling ruangan menawarkan artis mereka yang susah bersaing kepada bos-bos gendut itu. Dan memang benar, akhirnya mereka akan nampang di televisi, memainkan satu atau dua drama, atau iklan, atau menelurkan album musik, namun mereka akan membayar dengan sangat mahal. Setahuku perbudakan sudah sangat ditentang di seluruh dunia, tapi tidak dengan dunia gemerlap ini. Aku berani bertaruh, artis-artis itu, yang manajernya sedang sibuk berkeliling ruangan untuk menawarkan mereka, akan berakhir di ranjang malam nanti bersama bos-bos itu jika mereka telah mencapai kesepakatan.
Aku sudah hampir setengah jam menelusuri ruangan ini. Bertegur sapa dengan orang-orang, terlibat percakapan singkat dengan beberapa orang, lalu kembali berjalan menikmati keriuhan. Aku berpisah dengan mereka yang datang bersamaku. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Kulihat Yong Hwa sedang ayik ngobrol dengan seorang anggota parlemen. Oh, tidak di sini oppa kalau kau mau membahas masalah politik negeri ini. Lalu di tengah ruangan kulihat Yoon Ah sedang berdansa dengan Jun Gae Suk yang katanya sedang dekat dengannya. Yoon Ah tak pernah mau mengaku setiap aku bertanya. Kami hanya teman, itu jawabannya. Ji Sung? Aku tak tahu di mana orang nyentrik itu.
Aku sedang mencari direktur Cho, dan pasti direktur sedang mencariku juga. Aku ingin menunjukkan padanya bahwa aku masih menghormatinya sejak rapat pimpinan penerbitan yang banyak menghasilkan statement pedas tentang diriku. Dan aku menunjukkannya dengan kehadiranku ini.
“Ha Na!!!” suara direktur Cho memanggil. Aku berbalik.
“Kim Ha Na! Kukira kau tak akan hadir!” ia terlihat sumringah di tengah kerumunan orang-orang. Ia pantas bahagia. Kedatangan direktur Cho diikiuti dengan istrinya, lalu seseorang yang tak pernah kukenal.
“Direktur Cho! Aku mencarimu dari tadi. Wow, 30 tahun! Pasti tak mudah untuk mencapai usia pernikahan sepanjang itu!” kataku sambil tertawa. “Nyonya Cho,” sapaku sambil menjabat tangan perempuan cantik itu.
“Kurasa strategi Yon Ju berhasil. Baru hari pertama dan apa yang kulihat! Kau makin luar biasa sayang,” kata direktur Cho. Ia memandangku dengan mata kebapakannya. Aku tersenyum. Ia tahu aku. Ia pikir aku tak akan hadir karena rapat itu.
“Hahaha, kuharap seperti itu juga direktur,” aku sadar ada nada sarkastik dari kalimat itu. Namun aku segera mengendalikan suasana “Yon Ju tak bisa hadir, ia tak enak badan,” sambungku.
“Ya, di sudah mengabariku. Well, langsung saja, aku ingin memperkenalkanmu dengan tuan Lee Yong Ik. Dia adaah salah satu editor di penerbit Amerika terkenal, Arthur A. Levine Books. “
“Kim Ha Na,” kataku sambil menjabat tangannya.
“Lee Yong Ik,” katanya sambil tersenyum.
“Ha Na, semua orang tahu tentang dirimu, tak terkecuali tuan ini, hahaha. Jika kau mau, dia bisa membantumu menembus industri sastra dunia!”
“Aku tahu bakatmu nona Kim. Aku telah lama memantaumu. Aku sempat menyukai karya-karyamu dan aku menanti karya besar lagi darimu,” ujarnya. Aku menggaris bawahi kalimat sempat menyukai karya-karyamu. Aku menjawabnya dengan senyuman.
“Oke tuan Lee, kurasa Ha Na ingin melanjutkan lagi pestanya, ayo kita pindah. Aku ingin mengenalkanmu pada Yo Yeong Seong,” katanya. Sebelum beranjak, ia sempat berbisik padaku “Ingat anakku, kau punya kesempatan satu setengah tahun di mulai dari sekarang. Dunia sedang menunggu karyamu nak. Kau akan sejajar dengan J.K. Rowling jika kau mau,” ia menepuk pundakku, lalu pergi.
                Sejajar dengan J.K. Rowling? Apa kau gila? Sekarang saja buku-bukuku tak laku di pasar Korea. Kekagetanku belum reda benar ketika ada yang memanggilku lagi. Perempuan itu. Han Chae Young. Dia salah satu bentuk keberhasilan promosi manajer kepada bos-bos gendut itu. Dia adalah penulis milik penerbitan yang menjadi rival penerbitan milik direktur Cho. Tapi tidak dengan perempuan ini. Ia terlalu rendah untuk bisa kupanggil rival. Yang berhasil ia lakukan hanyalah menulis sampah dan memperbesar payudara. Entah kenapa ia selalu datang mengganggu.
“Menikmati pesta Ha Na?” tanyanya.
“Kurasa begitu,” jawabku asal.
“Hm, aku lupa menyampaikan beberapa hal kepada Yong Hwa oppa. Aku suka sekali tas dari rusia itu. Aku sampai tak enak hati, ia langsung mengantarkannya ke apartemenku begitu sampai di Korea. Kau tak keberatan kan meyampaikan itu padanya?” tanyanya dengan suara dimanis-maniskan.
“Dengan senang hati,” aku tak tahu ekspresi apa yang kutampakkan saat ini. Yang kutahu hanyalah aku ingin memberikan senyum paling busuk yang pernah dilihat orang.
“Terima kasih,” katanya sambil lalu.
                Aku berjalan sambil membentuk tinju di tanganku. Kukepalkan kuat-kuat. Aku mengatupkan rapat-rapat mulutku. Aku ingin teriak, tapi tak di sini. Kepalaku berdenyut sakit. Aku tahu kemarahan ini menyulut sarafku untuk membuat aliran darah semakin cepat dan jantung tak mau kalah bersaing dengan aliran darah itu. Kau harus bisa menahannya Ha Na, kata suara dalam kepalaku. Ingat image-mu. Aku mencari pintu keluar dari ruangan ini. Aku mau pulang.
                Namun siapa sangka orang yang menjadi subyek pembicaraanku dengan wanita jalang itu muncul dihadapanku. Yong Hwa dengan girangnya menirukan posisi orang berdansa. Ia ingin mengajakku menikmati alunan musik Waltz yang mengalun. Tapi aku tak bisa melawannya, tak bisa. Tinjuku sudah kuayunkan sekuat-kuatnya ke perut Yong Hwa. Air mataku tumpah.
                Ruangan riuh melihat insiden itu. Yong Hwa berlutut sambil memegangi perutnya yang kesakitan habis kena tonjokan. Aku berlari meninggalkan ruangan. Terus berlari sepanjang lorong hotel dan berhenti sebentar untuk menangis.
“Ha Na...” aku kaget saat mendengar suaranya. Aku berhenti tidak sebentar rupanya. Ternyata cukup lama sampai Yong Hwa pulih dari kesakitan dan mengejarku.
“Apa yang terjadi?” tanyanya menuntut penjelasan.
“Apa yang terjadi? Tanya dirimu apa yang terjadi. Kau mau semua ini berakhir? Tak masalah, akhirilah. Kalau kau lebih memilih mengantarkan oleh-olehmu untuk perempuan itu dari pada bertemu denganku, lakukanlah,” kataku sambil menunjuk dada dan mendorongnya. Ia tampak bingung.
“Aku tak mengerti,” ujarnya berusaha mengehentikanku. Aku berbalik dan menatapnya menantang.
“Oh satu hal lagi. Ia suka tasnya... oppa,” kataku dengan nada mengejek saat menyebut oppa. Yong Hwa terdiam.
***
22.30
                Aku tak tahu apa yang akan dikatakan Yon Ju saat mengetahui aku pulang sendiri selarut ini ke pinggiran Seoul yang tak seramai bagian lain kota. Aku sudah berhenti menangis saat menaiki taksi. Satu setengah jam yang lalu. Aku malu kepada supir taksi. Bayangan-bayangnya saat mengejarku, permintaanya agar aku tinggal dan mendengar penjelasannya, hal-hal itu yang terus bermain di otakku. Oh Yong Hwa, kau brengsek. Dan aku benci karena terus memikirkannya sampai taksiku tiba di depan rumah susun murah itu.
                Aku memasuki lobi setelah memperbaiki gaun malamku. Berusaha menghapus jejak-jejak tangisan di wajahku, walau mungkin untuk menghilangkan maskara agak sedikit susah. Ada lima orang yang sedang menunggu lift. Dua dari lima orang lelaki itu mabuk. Lalu dua temannya berusaha menyokong mereka. Lelaki yang satu lagi sepertinya bukan bagian dari kelompok itu karena ia tak ikut dalam kesibukan. Enam orang ditambah aku.
                Lift sangat penuh saat kami masuk. Kami membentuk tiga baris dalam lift. Aku berada di baris kedua, di samping pria yang sedang menahan temannya yang mabuk di depannya. Kukira hanya perasaanku saja sampai kudapati memang benar pria di sampingku melirik ke arah dadaku sejak kami masuk. Dia mengalihkan pandangannya saat tahu aku sadar.
“Nona, kau mau bertukar tempat denganku?” tanya pria yang bukan dari kelompok itu. Aku menurutinya dan pindah ke belakang, di samping seorang pria teler. Pria yang tadi di sampingku menatap pria yang berganti posisi denganku dengan kecewa.
                Lift telah sampai di lantai 3, kelompok itu segera keluar dengan susah payah. Bau minuman keras menghilang dari dalam lift juga, menyisakan aku dan pria yang bertukar posisi denganku.
“Aku tak akan berkeliaran selarut ini dengan gaun malam seseksi itu kalau aku jadi wanita,” ujarnya datar. Aku tersinggung. Aku tak suka caranya meremehkanku dan aku berusaha melawan.
“Hahahaha,”aku tertawa “kalau kau mau, kau bisa ikut melihatnya, tampan,” godaku dengan tatapan nakal. Pandangan pria itu tetap ke depan.
“Aku pantas mendapatkan lebih dari sekedar melihat itu. Aku hanya ingin permintaan maaf,” katanya. aku bingung maksud perkataannya.
“Memangnya apa yang telah kuperbuat padamu oppa? Apakah aku mengenalmu?”  tanyaku manja.
“Sekarang belum. Tapi kita akan saling mengenal nanti, tetangga,” ujarnya saat pintu lift terbuka dan ia langsung keluar meninggalkanku. Tetangga? Aku mengikutinya dari belakang dan melihat ia masuk ke flat nomor 36. Ia adalah pria yang kutabrak tadi pagi.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar