II
Aku
tiba di cafe tempat janjianku dengan Yoon Ah. Butuh satu jam dari tempat
tinggal baruku untuk sampai di pusat kota ini. Yon Ju, kau benar-benar ingin
aku mati ya? Aku segera masuk ke dalam cafe dan mencari kawanku itu. Nah, itu
dia. Calon arsitek dengan wajah mirip salah satu anggota girlband itu sedang
menyeruput kopinya. Aku melambai ke arahnya.
“Ha Na!!” teriaknya. Aku mendekat
dan kupeluk dia.
“Bagaimana dengan flat barumu?
Kau suka?” tanyanya saat kami sudah duduk masing-masing.
“Menurutmu?” tanyaku.
“Oh Ha Na....” katanya sambil
meremas tanganku. “Aku tahu ini pasti terbaik yang manajemen buat untukmu,”
katanya menguatkan. Aku terseyum kecut.
“Setidaknya aku masih punya niat
untuk jadi penulis terkenal, jadi aku mau menjalankan ide gilanya itu,” kataku
lalu kami berdua tertawa.
“Kau memang penulis terkenal Ha
Na,” ujarnya. Benarkah? Ya, dulu.
Aku
ingat saat pertama kali bertemu dengan Yoon Ah. Saat kami masih menjadi
mahasiswa baru di Universitas Korea. Mahasiswa baru wajib tinggal di asrama
selama tahun pertama mereka. Dia adik kelas Yong Hwa saat masih SMA di Busan.
Kami sama-sama dari luar kota dan itu memperkuat persahabatan kami. Bahkan Yoon
Ah yang memperkenalkanku dengan Yong Hwa.
Saat tahu aku
menjadi teman sekamarnya, ia girang bukan main. Ia mengaku sebagai fans-ku. Dan
pada malam pertama kami sekamar, yang kami bicarakan adalah bagian dari novel-novelku
yang tidak ia sukai. Mulai dari endingnya, pasangan dari peran utamanya, dan
sebagainya. Entahlah sekarang. Sejak masa-masa kejatuhanku, kami membicarakan
hal di luar karya-karya gagalku. Kurasa Yoon Ah sudah bosan membaca karyaku
yang hampir mirip konsep ceritanya. Konsep Cinderella.
Kami langsung
pergi begitu kopi Yoon Ah habis. Aku tak ingin menghabiskan sesenpun hanya
untuk minum kopi. Aku langsung mempraktekkan instruksi Yon Ju. Tapi aku ragu
karena alasan itu atau karena perutku yang memang sedang bergejolak saat ini. Aku
akan bertemu dengan Yong Hwa nanti. Dan aku belum siap.
Aku
berada di tempat seorang fashion stylist favoritku, Jung Ji Sung. Aku menengok
arlojiku. Sudah tiga jam aku di sini. Masih dua jam lagi kira-kira waktu untuk
membuat semuanya beres. Mempersiapkan tubuhku –spa, pijat refleksi, dan
sebagainya- rambutku, dan juga busanaku.
Lima jam. Sebenarnya butuh waktu lebih lama untuk persiapan seperti ini di
hari-hari sebelumnya, bisa tujuh sampai delapan jam.
“Sayang, apa yang kau pikirkan?
Lihat wajahmu, begitu tegang. berhentilah cemberut. itu akan membuatmu cepat
tua. Santailah sedikit,” ujar Ji Sung saat mulai menata rambutku.
“Oh ya? Meanhe oppa, kukira ekspresiku biasa-biasa saja,” kataku. Ia
membelai rambutku dengan halus dan tersenyum kepadaku melalui kaca. Lalu
melanjutkan lagi pekerjaannya.
Oh, di mana laki-laki itu? aku sebenarnya tak
ingin peduli dengannya, tapi aku tahu masih ada sedikit sayang di dalam hatiku.
Yong Hwa. Aku masih menyukaimu. Aku
tersentak ketika hapeku bunyi. Pesan dari Yong Hwa akhirnya.
Jantungku
berdegup cepat. Adrenalinku meningkat. Tepat sekali ia mengirimkan pesan di
saat aku memikirkan dia. Lalu kubuka.
‘Ha Na, aku sudah sampai di bandara. Aku tak bisa langsung ke tempat hyung.
Akan kujemput kau nanti untuk ke pesta. Aku harus ke suatu tempat. Urusan
penting. Sampai jumpa jam tujuh. Ich liebe dich‘
Aku
gemetaran membaca pesan yang diakhiri emoticon hati itu. Kuletakkan dengan
kasar hapeku di atas meja rias. Setengah kubanting. Oh, siapa yang peduli kau
pergi? aku teringat pertengkaran terakhir sebelum ia ke Moskow. Aku tak ingin
membuat pertengkaran lain. Aku bertekad akan akur dengannya hari ini, besok,
dan seterusnya. Aku tak mau kehilangan dia walau aku tahu, hanya ada bulir-bulir
kecil cintaku padanya. Dan aku benci karena masih ada yang tersisa untuknya.
“Sayang, kenapa kau?” tanya Ji
Sung terdengar khawatir.
“Tidak apa-apa oppa. Yong Hwa tak jadi ke sini,”
jawabku sambil membuka mata pelan-pelan. Kudapati diriku tersenyum di kaca.
Senyum dipaksakan yang cukup mengerikan.
Aku
berdiri di depan kaca. Berputar-putar. Ji Sung dan Yoon Ah mengamatiku sambil
berdecak kagum. Aku berusaha menghilangkan ekspresi aneh itu, tapi ia tetap
saja ada di sana. Yang kubutuhkan saat ini adalah teriak! Yoon Ah tak jauh
elegannya dariku. Ia menggunakan gaun dan aksesoris yang dipilihkan sendiri
oleh Ji Sung
Perhatian
kami teralih dari kaca saat pintu berderit dan seseorang masuk. Kami menoleh ke
arahnya dan mendapati Yong Hwa berdiri dengan setelan tuksedonya. Ia tersenyum
sambil menunjukkan bunga. Yoon Ah dan Ji Sung yang melihatku terdiam, mendorongku
pelan-pelan sampai aku berada satu meter di hadapan Yong Hwa. Aku langsung
menghambur ke pelukannya
“Berani-beraninya kau.....”
kataku.
“Maaf. Kau cantik sekali,” ia
mempererat dekapannya. Aku balas memeluknya. Tak seerat pelukan dua tahun yang
lalu.
Kami
berangkat bersama-sama ke pesta pesta bosku. Yong Hwa yang menyetir, serta Yoon
Ah dan Ji Sung duduk di belakang. Mobil kami melaju mulus di jalanan ibu kota
sambil bersenda gurau di dalamnya. Yong Hwa bercerita tentang pengalamannya
selama di Moskow. Perjalanan itu merupakan perjalanan dinas pertamnya dan duta
besar Korea langsung tertarik dengan pesona Yong Hwa untuk membantu menjalin
kerja sama di antara kedua negara. Tak heran karir Yong Hwa meroket di usianya
yang masih muda. Ia adalah anak diplomat senior yang sedang bertugas di
Uzbekistan.
Lalu topik
berpindah ke masalah Yoon Ah, kawanku yang juga model itu.
“Entahlah, laki-lak banyak yang takut padaku,”
katanya sambil tertawa.
Dan
selanjutnya kami berada dalam diam. Aku menatap Yong Hwa yang sedang menyetir.
Banyak yang berubah selama dua tahun ini.
“Ladies, kita sampai,” kata Yong
Hwa ketika mobil kami berada di depan hotel bintang empat itu.
Seperti
pesta-pesta lainnya, pesta direktur Cho –nama bosku- adalah wahana berkumpulnya
kaum atas industri hiburan Korea. Para aktris dan aktor yang tampan-tampan itu,
para produser, model, pemilik manajemen artis, beberapa pejabat pemerintahan,
anak-anak dari para pejabat pemerintahan, pasangan-pasangan mereka, dan tentu
saja penulis-penulis papan atas negeri ini. Termasuk aku tentunya.
Yong
Hwa menyebut pesta seperti ini sebagai show
room. Orang-orang datang untuk mempertunjukkan kekuasaannya, hartanya,
ketampanan dan kecantikan mereka, bahkan tubuh mereka. Ya, sudah menjadi
rahasia umum kalau persaingan industri hiburan Korea sangat kejam. Memperoleh
kemasyuran tidaklah mudah, apalagi mempertahankannya. Mereka berbakat dan
menarik. Tapi ada yang lebih berbakat dan lebih menarik. Bahkan ada yang sangat
berbakat dan sangat menarik! Dan tidak heran beberapa pelakon industri ini
melakukan hal-hal yang menurunkan derajat mereka sebagai seorang manusia.
Kau tak akan
heran jika melihat para manajer artis berkeliling ruangan menawarkan artis
mereka yang susah bersaing kepada bos-bos gendut itu. Dan memang benar,
akhirnya mereka akan nampang di televisi, memainkan satu atau dua drama, atau
iklan, atau menelurkan album musik, namun mereka akan membayar dengan sangat
mahal. Setahuku perbudakan sudah sangat ditentang di seluruh dunia, tapi tidak
dengan dunia gemerlap ini. Aku berani bertaruh, artis-artis itu, yang
manajernya sedang sibuk berkeliling ruangan untuk menawarkan mereka, akan
berakhir di ranjang malam nanti bersama bos-bos itu jika mereka telah mencapai
kesepakatan.
Aku sudah
hampir setengah jam menelusuri ruangan ini. Bertegur sapa dengan orang-orang,
terlibat percakapan singkat dengan beberapa orang, lalu kembali berjalan
menikmati keriuhan. Aku berpisah dengan mereka yang datang bersamaku. Mereka
sibuk dengan urusan masing-masing. Kulihat Yong Hwa sedang ayik ngobrol dengan
seorang anggota parlemen. Oh, tidak di sini oppa
kalau kau mau membahas masalah politik negeri ini. Lalu di tengah ruangan
kulihat Yoon Ah sedang berdansa dengan Jun Gae Suk yang katanya sedang dekat
dengannya. Yoon Ah tak pernah mau mengaku setiap aku bertanya. Kami hanya
teman, itu jawabannya. Ji Sung? Aku tak tahu di mana orang nyentrik itu.
Aku sedang
mencari direktur Cho, dan pasti direktur sedang mencariku juga. Aku ingin
menunjukkan padanya bahwa aku masih menghormatinya sejak rapat pimpinan
penerbitan yang banyak menghasilkan statement pedas tentang diriku. Dan aku
menunjukkannya dengan kehadiranku ini.
“Ha Na!!!” suara direktur Cho
memanggil. Aku berbalik.
“Kim Ha Na! Kukira kau tak akan
hadir!” ia terlihat sumringah di tengah kerumunan orang-orang. Ia pantas
bahagia. Kedatangan direktur Cho diikiuti dengan istrinya, lalu seseorang yang
tak pernah kukenal.
“Direktur Cho! Aku mencarimu dari
tadi. Wow, 30 tahun! Pasti tak mudah untuk mencapai usia pernikahan sepanjang
itu!” kataku sambil tertawa. “Nyonya Cho,” sapaku sambil menjabat tangan perempuan
cantik itu.
“Kurasa strategi Yon Ju berhasil.
Baru hari pertama dan apa yang kulihat! Kau makin luar biasa sayang,” kata
direktur Cho. Ia memandangku dengan mata kebapakannya. Aku tersenyum. Ia tahu
aku. Ia pikir aku tak akan hadir karena rapat itu.
“Hahaha, kuharap seperti itu juga
direktur,” aku sadar ada nada sarkastik dari kalimat itu. Namun aku segera
mengendalikan suasana “Yon Ju tak bisa hadir, ia tak enak badan,” sambungku.
“Ya, di sudah mengabariku. Well,
langsung saja, aku ingin memperkenalkanmu dengan tuan Lee Yong Ik. Dia adaah
salah satu editor di penerbit Amerika terkenal, Arthur A. Levine Books. “
“Kim Ha Na,” kataku sambil
menjabat tangannya.
“Lee Yong Ik,” katanya sambil
tersenyum.
“Ha Na, semua orang tahu tentang
dirimu, tak terkecuali tuan ini, hahaha. Jika kau mau, dia bisa membantumu
menembus industri sastra dunia!”
“Aku tahu bakatmu nona Kim. Aku
telah lama memantaumu. Aku sempat menyukai karya-karyamu dan aku menanti karya
besar lagi darimu,” ujarnya. Aku menggaris bawahi kalimat sempat menyukai karya-karyamu. Aku menjawabnya dengan senyuman.
“Oke tuan Lee, kurasa Ha Na ingin
melanjutkan lagi pestanya, ayo kita pindah. Aku ingin mengenalkanmu pada Yo
Yeong Seong,” katanya. Sebelum beranjak, ia sempat berbisik padaku “Ingat
anakku, kau punya kesempatan satu setengah tahun di mulai dari sekarang. Dunia
sedang menunggu karyamu nak. Kau akan sejajar dengan J.K. Rowling jika kau
mau,” ia menepuk pundakku, lalu pergi.
Sejajar
dengan J.K. Rowling? Apa kau gila? Sekarang saja buku-bukuku tak laku di pasar
Korea. Kekagetanku belum reda benar ketika ada yang memanggilku lagi. Perempuan
itu. Han Chae Young. Dia salah satu bentuk keberhasilan promosi manajer kepada
bos-bos gendut itu. Dia adalah penulis milik penerbitan yang menjadi rival
penerbitan milik direktur Cho. Tapi tidak dengan perempuan ini. Ia terlalu
rendah untuk bisa kupanggil rival. Yang berhasil ia lakukan hanyalah menulis
sampah dan memperbesar payudara. Entah kenapa ia selalu datang mengganggu.
“Menikmati pesta Ha Na?”
tanyanya.
“Kurasa begitu,” jawabku asal.
“Hm, aku lupa menyampaikan
beberapa hal kepada Yong Hwa oppa.
Aku suka sekali tas dari rusia itu. Aku sampai tak enak hati, ia langsung
mengantarkannya ke apartemenku begitu sampai di Korea. Kau tak keberatan kan
meyampaikan itu padanya?” tanyanya dengan suara dimanis-maniskan.
“Dengan senang hati,” aku tak
tahu ekspresi apa yang kutampakkan saat ini. Yang kutahu hanyalah aku ingin
memberikan senyum paling busuk yang pernah dilihat orang.
“Terima kasih,” katanya sambil
lalu.
Aku
berjalan sambil membentuk tinju di tanganku. Kukepalkan kuat-kuat. Aku
mengatupkan rapat-rapat mulutku. Aku ingin teriak, tapi tak di sini. Kepalaku
berdenyut sakit. Aku tahu kemarahan ini menyulut sarafku untuk membuat aliran
darah semakin cepat dan jantung tak mau kalah bersaing dengan aliran darah itu.
Kau harus bisa menahannya Ha Na, kata suara dalam kepalaku. Ingat image-mu. Aku
mencari pintu keluar dari ruangan ini. Aku mau pulang.
Namun
siapa sangka orang yang menjadi subyek pembicaraanku dengan wanita jalang itu
muncul dihadapanku. Yong Hwa dengan girangnya menirukan posisi orang berdansa.
Ia ingin mengajakku menikmati alunan musik Waltz yang mengalun. Tapi aku tak
bisa melawannya, tak bisa. Tinjuku sudah kuayunkan sekuat-kuatnya ke perut Yong
Hwa. Air mataku tumpah.
Ruangan
riuh melihat insiden itu. Yong Hwa berlutut sambil memegangi perutnya yang
kesakitan habis kena tonjokan. Aku berlari meninggalkan ruangan. Terus berlari
sepanjang lorong hotel dan berhenti sebentar untuk menangis.
“Ha Na...” aku kaget saat
mendengar suaranya. Aku berhenti tidak sebentar rupanya. Ternyata cukup lama
sampai Yong Hwa pulih dari kesakitan dan mengejarku.
“Apa yang terjadi?” tanyanya
menuntut penjelasan.
“Apa yang terjadi? Tanya dirimu
apa yang terjadi. Kau mau semua ini berakhir? Tak masalah, akhirilah. Kalau kau
lebih memilih mengantarkan oleh-olehmu untuk perempuan itu dari pada bertemu
denganku, lakukanlah,” kataku sambil menunjuk dada dan mendorongnya. Ia tampak
bingung.
“Aku tak mengerti,” ujarnya
berusaha mengehentikanku. Aku berbalik dan menatapnya menantang.
“Oh satu hal lagi. Ia suka
tasnya... oppa,” kataku dengan nada
mengejek saat menyebut oppa. Yong Hwa
terdiam.
***
22.30
Aku
tak tahu apa yang akan dikatakan Yon Ju saat mengetahui aku pulang sendiri
selarut ini ke pinggiran Seoul yang tak seramai bagian lain kota. Aku sudah
berhenti menangis saat menaiki taksi. Satu setengah jam yang lalu. Aku malu
kepada supir taksi. Bayangan-bayangnya saat mengejarku, permintaanya agar aku
tinggal dan mendengar penjelasannya, hal-hal itu yang terus bermain di otakku. Oh
Yong Hwa, kau brengsek. Dan aku benci karena terus memikirkannya sampai taksiku
tiba di depan rumah susun murah itu.
Aku
memasuki lobi setelah memperbaiki gaun malamku. Berusaha menghapus jejak-jejak
tangisan di wajahku, walau mungkin untuk menghilangkan maskara agak sedikit
susah. Ada lima orang yang sedang menunggu lift. Dua dari lima orang lelaki itu
mabuk. Lalu dua temannya berusaha menyokong mereka. Lelaki yang satu lagi
sepertinya bukan bagian dari kelompok itu karena ia tak ikut dalam kesibukan.
Enam orang ditambah aku.
Lift
sangat penuh saat kami masuk. Kami membentuk tiga baris dalam lift. Aku berada
di baris kedua, di samping pria yang sedang menahan temannya yang mabuk di
depannya. Kukira hanya perasaanku saja sampai kudapati memang benar pria di
sampingku melirik ke arah dadaku sejak kami masuk. Dia mengalihkan pandangannya
saat tahu aku sadar.
“Nona, kau mau bertukar tempat
denganku?” tanya pria yang bukan dari kelompok itu. Aku menurutinya dan pindah
ke belakang, di samping seorang pria teler. Pria yang tadi di sampingku menatap
pria yang berganti posisi denganku dengan kecewa.
Lift
telah sampai di lantai 3, kelompok itu segera keluar dengan susah payah. Bau
minuman keras menghilang dari dalam lift juga, menyisakan aku dan pria yang
bertukar posisi denganku.
“Aku tak akan berkeliaran selarut
ini dengan gaun malam seseksi itu kalau aku jadi wanita,” ujarnya datar. Aku
tersinggung. Aku tak suka caranya meremehkanku dan aku berusaha melawan.
“Hahahaha,”aku tertawa “kalau kau
mau, kau bisa ikut melihatnya, tampan,” godaku dengan tatapan nakal. Pandangan
pria itu tetap ke depan.
“Aku pantas mendapatkan lebih
dari sekedar melihat itu. Aku hanya ingin permintaan maaf,” katanya. aku bingung maksud perkataannya.
“Memangnya apa yang telah
kuperbuat padamu oppa? Apakah aku
mengenalmu?” tanyaku manja.
“Sekarang belum. Tapi kita akan
saling mengenal nanti, tetangga,” ujarnya saat pintu lift terbuka dan ia
langsung keluar meninggalkanku. Tetangga? Aku mengikutinya dari belakang dan
melihat ia masuk ke flat nomor 36. Ia adalah pria yang kutabrak tadi pagi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar