Simple Life

Senin, 13 Oktober 2014

TEMAN LAMA

Mataku memindai dari kiri ke kanan pemandangan di depan. Suasana kali ini begitu aneh. Dunia terasa tidak begitu cerah seperti hari biasa yang terang benderang, tidak begitu gelap seperti saat hujan turun, ingin turun, dan sudah turun. Aku menangkap kesan seakan ada pencahayaan khusus. Aku merasa seperti berada dalam tayangan film bioskop. Aku memandang wajah-wajah tegang di sekitarku, hingga aku tersadar sudah memakai baju renang. Desir angin mengenai bagian bolong baju renang di punggungku.
 Sambil ngos-ngosan, aku tersenyum. Aku memenangkan kejuaraan itu meski aku tak tahu sejak kapan aku bisa berenang. Dari lintasan renang, kini aku berada di tengah jalan tol, mengendarai mobil kijang Rover tua milik ayahku. kuinjak pedal gas sepenuhnya, melintasi laut Jawa yang memisahkan pulau Kalimanatan dan pulau Jawa. Sekelebat pikiran muncul dalam kepalaku, sejak kapan ada jalan tol yang menghubungkan kedua pulau?
            Lalu, sekarang aku berada di dalam rumah orang tuaku. Semua yang ada di sini berwarna putih, bahkan pakaian yang kami kenakan. Aku memperhatikan orang-orang yang sibuk lalu lalang di depan, sementara aku hanya duduk manis di sini. Sebagian dari mereka membawa kotak-kotak sambil tersenyum padaku, sebagian lagi cuek saja. Ibuku masih memendam wajahnya di pundak ayahku, menangis tersedu-sedu. Di dalam kebingungan aku melirik adik laki-lakiku yang berjalan mendekat. Dengan seringai di mukanya, laki-laki yang selalu bertengkar denganku itu berbisik.
            “Akad nikahnya sudah selesai,”
            “Hah? Siapa yang menikah?”
            “Kamu,”
            Aku mendelik kesal, mulutku baru mau kubuka untuk memarahinya, namun adegan telah berubah lagi. Seorang wanita yang tidak kukenal menarikku dengan paksa, melewati orang-orang yang duduk melantai. Dari sini, aku bisa melihat ibuku masih menangis sesenggukan. Kami berjalan mendekati bagian tengah ruangan yang ditempati ayahku dan beberapa orang lain. Semua mata tertuju padaku kecuali seseorang yang masih terus memunggungiku. Bahkan ketika aku sudah duduk di sampingnya pun ia masih saja menatap ke depan mengacuhkanku. Dari balik kain putih tranparan yang menutupi sebagian wajahku, aku melirik ingin tahu padanya. Mulai dari tangannya yang putih kekar, lalu naik ke atas, kini lehernya, dagunya yang bersih, hidungnya, dan aku langsung saja berjengit ketika mendapati mata siapa yang masih belum mau menatapku itu.
            “IQBAL????!!!!!!!!!!!!”
            Allahu akbar.. Allahu akbar...
            Gambaran tadi lenyap sudah. Alunan adzan mengembalikan lagi rasionalias yang sempat hilang. Degup jantungku seirama dengan nafasku yang ngos-ngosan. Akal sehatku mulai menjawab, bahwa aku tak mungkin memenangkan lomba renang karena aku tak bisa berenang, tol yang menghubungkan pulau Kalimantan dan Pulau Jawa tidak pernah dibangun di dunia ini, dan pernikahan tadi... Aku masih memejamkan mataku, menyusun adegan-adegan itu sebelum aku melupakannya, tentu saja tidak akan mungkin terjadi.
***
            Foto yang diunggah kawan kecil lamaku di instagram itu menjadi pangkal dari mimpiku. Foto yang diambil ayah Radit ketika Radit berulang tahun yang ke-10. Kami berempat memang berteman dekat sehingga hanya aku, Bobi, dan Iqbal saja yang diminta menemani Radit di depan ketika ia akan meniup lilin. Aku adalah yang paling muda, sekaligus satu-satunya venus yang dikerubungi mars. Namun bukan berarti aku yang paling lemah, karena aku tidak pernah menjadi yang terakhir yang harus berjaga di pos permainan petak umpet. Aku juga tak pernah kalah cepat berlari dibanding mereka ketika bermain bentengan. Tetapi tetap saja mereka menganggapku sebagai anak bawang, dan karenanya setiap bermain permainan beregu, aku selalu berada satu tim dengan Iqbal, anak paling tua di genk kami -yang kami anggap sebagai ketua genk. Mungkin bukan karena aku yang benar-benar kuat, tetapi karena bersamanya lah aku bisa menjadi lebih hebat. Aku bahkan sempat berpikir, hidupku tidak akan menjadi lebih buruk kecuali ia meninggalkanku.
            Ide-ide masa kecil kembali terbit lagi saat aku membuka foto untuk yang kesekian kali. Senyumku terus saja mengembang, melihat wujud-wujud kami yang masih imut. Iqbal tetap yang paling tinggi dan yang paling putih,  Bobi yang paling montok, Radit masih dengan giginya yang ompong, dan anak paling kecil berambut pendek mirip laki-laki itu aku. Jemariku memainkan scroll mouse, menurunkan halaman web untuk membaca komentar-komentar mereka.
Radit               : Nih, kita masih kelihatan unyu di sini, hahaha.
AmandaS        : Diiiittt, kangen!!!!!!!! :’)
Bobi Delayota : Dit, jangan senyum lebar-lebar, ketahuan lo gak punya gigi, wkwkwkwk
Radit               : Sial lo Bob -_- Inget gak Bobi itu yang paling sering jaga kalo main petak umpet. Larinya paling pelan, haaha.
AmandaS        : Jahat banget Dit -_- Kita kan dulu sering dijajanin Bobi, hihihi
dr. Iqbal          : Hahaha, kok baru di upload sih? Gak kerasa udh 12 tahun ya guys. Manda banyak berubah btw J.
.....
            Aku tidak melanjutkan membaca komentar berikutnya. Meski kami memiliki nomor hape satu sama lain, sudah saling mengikuti akun media sosial, baru kali ini kami berkomunikasi lagi. Iqbal, laki-laki pertama selain ayahku yang bisa memberikan rasa aman. Setelah 12 tahun kami berpisah karena ayahnya melanjutkan sekolah ke luar negeri, aku baru menyadari hanya dia yang membuatku merasa seperti itu. Aku menelan ludah, mungkin setelah kembali membaca komentarnya, aku bisa memimpikannya sekali lagi, tidak peduli kalau terakhir kali aku melihat status hubungannya di facebook, ia sudah menjalin kasih dengan perempuan lain. Tidak peduli juga... ya sudahlah.
***
            Libur semester genap ini ibu memintaku untuk pulang kampung lebih awal. Katanya biar bisa berpuasa lebih lama di kampung halaman.  Rencanaku untuk naik gunung bersama pemuda-pemuda gondrong anggota mahasiswa pecinta alam akhirnya dibatalkan. Dengan penerbangan paling pagi dari Yogyakarta, aku mendarat di bandara Sepinggan dua jam kemudian. Dafa, adik laki-laki semata wayangku, menjemput dengan mobil kijang Rover tua milik ayah. Bocah yang baru kelas 2 SMA itu dengan bangga mempersilahkan aku masuk. Tentu saja ia ingin menyombong karena aku tak bisa menyetir mobil. Awalnya semua terlihat meyakinkan, mulai dari ia menyalakan mobil sampai mobil berjalan hingga 100 meter. Namun dahiku mulai mengernyit ragu ketika bemper mobil menabrak pembatas jalan saat kami ingin berbelok keluar dari area bandara.
            “Kamu udah ada SIM belum sih?”
            “Belum lah. KTP aja belum ada,”
            “Terus kenapa ayah bolehin bawa mobil?” tanyaku tak terima.
            “Loh, kan aku cowok, hehe,” katanya sambil menyeringai. Ekspresi mukanya langsung berubah saat menangkap rasa kesalku atas obrolan gender yang diskriminatif ini, “Errr, ngomong-ngomong Kak, Om Rizal sekeluarga udah balik loh,”
            “Oh udah balik. Hah??? Om Rizal udah balik dari Australia???” tanyaku tak percaya, “Sekeluarga?” adikku mengangguk.
Matahari Balikpapan mulai sampai di puncak. Hawa panas di hari ketiga puasa diperparah dengan mobil kami yang tidak ber-AC. Tamparan angin kering yang menerobos lewat jendela menampar wajahku. Sebulan yang lalu laki-laki yang baru pulang bersama keluarganya itu menyelinap di dalam mimpi. Rasa rindu yang mulai merambah kalbuku ketika memandang foto kami berempat tidak kuasa kumanipulasi. Rinduku tidak bisa kubagi sama rata, melainkan hanya untuk dia seorang. Mobil kami akhirnya memasuki gerbang perumahan tempat kami tumbuh besar. Aku melirik rumah pertama berwarna putih di blok A. Tanda-tanda kehidupan sudah tampak di sana. Bahkan aku sempat membalas lambaian Ibu Iqbal yang tersenyum di saat mataku bergerak liar mencari putranya yang tak terlihat.
Aku tak berani keluar rumah. Tidak, sebenarnya lebih tidak ingin bertemu dengannya. Setelah tiga hari berada di rumah, aku hanya bisa mengintip lewat jendela ketika Iqbal sedang lari sore menjelang buka puasa. Aku bersembunyi di balik dinding, menghindari Iqbal yang menoleh ke arahku. Menahan perasaan yang menggebu-gebu, aku menolak ajakan Dafa untuk bertamu ke rumah Om Rizal. Kecuali Iqbal yang pertama kali menemuiku, aku tidak akan menemuinya! Maka sama seperti liburan-liburan sebelumnya, nasibku berakhir di depan televisi saja.
Program liburan yang telah kusiapkan sebelum pulang kampung hanya sebatas wacana. Aku yang berniat menguasai berbagai keterampilan wanita selama di rumah hanya bisa menjadi penonton ketika ibuku memasak. Bukan karena seseorang, tetapi entah mengapa panggilan untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga muncul begitu saja ketika usiamu semakin meninggi. Ibu selalu menggiringku keluar dapur ketika aku ingin membantu. Yah, mungkin ibu berusaha melindungi segalanya; melindungi masakan agar tak gosong, melindungi perabotan agar tak pecah, dan melindungiku agar tak terkena cipratan minyak panas.  Aku sih tahu diri saja, karena terakhir kali aku membantu, opor ayam tak lagi terasa seperti opor ayam.
            Kali ini dengan mengendarai sepeda fixie, aku hanya ditugaskan ibu untuk mengambil pesanan ayam di pasar. Pasar yang buka hingga maghrib itu cukup jauh dari kompleks perumahan kami, mungkin sekitar 7 km. Maka dengan kantong plastik berisi dua ekor ayam –sudah dibubuti- yang menggantung di stang sepeda, aku meliuk-liuk di jalan yang baru saja diaspal ini. Keringat di pelipis mulai menetes karena matahari sore masih bersinar terik. Di depan sana, sebuah mobil tua memantulkan cahaya menyilaukan. Tiba-tiba seorang wanita yang kukenal melompat keluar dari mobil tersebut untuk menghentikanku. Bunyi decit ban sepeda terdengar begitu aku meremas rem di kanan dan kiri.
            “Ada apa tante?” tanyaku khawatir. Aku tidak membayangkan jika terlambat mengerem sepeda, barangkali Ibu Iqbal sudah tertabrak olehku.
            “Eh, mobil tante mogok Manda. Nak Manda kuliah di teknik mesin, bukan?” Ibu Iqbal tersenyum malu. Aku nyengir saja mendengar basa-basi Ibu Iqbal, lalu tanpa menjawab pertanyaannya, aku memarkir sepeda kemudian berjalan ke kap mobil yang sudah terbuka.
            “Hahaha, terima kasih Nak Manda. Tante mungkin bakal panggil mobil derek kalau nggak ketemu Nak Manda. Si Tole nggak bisa diharapkan, masa dari tadi udah ngutak-ngatik tapi mobilnya masih belum benar juga? Hahaha,”
Tawa melengking Ibu Iqbal membuatku melirik sosok yang berdiri di sampingku. Keringat membasahi kemeja Iqbal yang sudah dibuka hingga kancing ketiga. Dada putihnya kelihatan mengkilap. Dengan kunci inggris di tangannya, Iqbal menyapu bulir-bulir peluh dari pelipisnya, membuat coreng-moreng baru di wajahnya. Untuk sementara aku merasa seperti berada dalam ruangan kedap udara. Bunyi degup jantungku lebih kuat dari seperangkat sound system yang dipasang setiap tujuh belas agustus. Mataku berkunanga-kunang, nadiku yang berdenyut cepat seakan mau pecah! Iqbal yang sedang menjalani semester akhirnya di Fakultas Kedokteran Adelaide pasti tahu kalau aku terkena serangan panik.
“Manda?” suara lembut yang terakhir kudengar 12 tahun lalu merambat lambat di telinga. Tetapi kali ini lebih berat dan berwibawa, kecuali bagian berikutnya ketika ia berterima kasih karena aku berhasil membenarkan mobilnya kurang dari lima belas menit. Aku tahu ia malu karena kalah dari seorang gadis manis sepertiku, hahaha.
“Santai, Bro! Kamu harus jadi mahasiswa semester lima dulu untuk bisa memperbaiki mobil seperti itu, hahaha,” aku sengaja tertawa semenyenangkan mungkin. Kedua tanganku yang masih gemetaran saling meremas di balik punggung.
Itulan pertemuan pertama dua kawan lama setelah sekian tahun. Hari-hari berikutnya tidak ada tanda-tanda kemunculan Iqbal. Ia tak lagi lari sore melewati rumahku ketika sedang menantikan waktu berbuka. Aku sempat menyesal kenapa harus bertemu dengannya dalam situasi seperti kemarin. Barangkali sosok yang menurutnya berubah begitu drastis tidak didapatkan dari diriku. Kalau tahu pertemuan itu akan terjadi, sebelumnya aku akan memilih memakai rok panjang ketimbang celana training, aku akan menata rambutku lebih cantik daripada hanya sekedar mengikatnya seperti ekor kuda, dan aku akan memilih memakai sepeda berkeranjang daripada sepeda fixie.
Namun kekecewaanku langsung terobati ketika beberapa hari berikutnya ayah dan ibuku tidak ada di rumah dari pagi hingga habis maghrib. Ayah akan berbuka puasa di kantor karena harus lembur malam ini, sedangkan ibu bersama kelompok majelis taklimnya akan mengadakan buka puasa bersama anak panti asuhan. Ibu tidak sempat menitipkan pesan apa-apa tentang menu berbuka puasa, sehingga tanpa diketahui oleh Dafa, aku akan menyiapkan menu berbuka spesial hari ini. Jika Brownies Amanda sudah biasa, maka kolak Amanda tentu luar biasa!
Maka sekitar jam dua siang, aku menggenjot sepedaku menyusuri jalan yang aspalnya masih mulus. Jarak ke pasar menjadi lebih dekat karena semangat kolak yang menggebu sepanjang perjalanan. Setelah melakukan penelusuran di semua sudut pasar, aku berhasil mendapatkan kolang-kaling, kelapa parut, singkong, pisang, gula merah, dan bahan-bahan lain dengan harga yang sukses kutawar. Sesampainya di rumah, aku menggelar seluruh bahan dan mulai melakukan eksperimen pertama. Santan yang telah kuperas selanjutnya kupanaskan hingga mendidih, kemudian kutambahkan potongan singkong, pisang, kolang-kaling, gula merah, garam, dan seikat daun pandan. Tidak sampai 30 menit, panci yang tutupnya kuangkat mengepulkan uap tebal.
Setelah memastikan masakan pertamaku sudah matang, aku melirik jam. Mulutku menguap besar-besar. Masih jam lima, aku akan tidur dulu sampai waktunya berbuka. Ya, awalnya hanya ingin tidur setengah jam saja, namun apa mau dikata, sensasi gelap langsung merayapi mataku ketika aku terbangun. Astaga, sudah jam setengah tujuh? Aku buru-buru bangkit dari tempat tidur, berlari ke dapur, meminum segelas air untuk membatalkan puasaku. Aku baru saja ingin menyendok kolak ke dalam mangkok ketika kulihat tv di ruang tengah menyala. Dafa pasti tidak mematikan televisi setelah bermain playstation, pikirku.
Namun langkahku tiba-tiba terhenti ketika melihat pintu depan tidak ditutup. Bocah itu! Awas saja! Aku berjalan dengan kaki yang sengaja kuhentakkan keras-keras di lantai. Dari sini aku bisa melihat siluet orang yang sedang duduk di kursi teras. Kalau pun maling atau penerobos rumah orang yang akan kuhadapi, aku tak takut! Modal sabuk biru taekwondo sudah cukup untuk meremukkan tulang mereka. Aku siap untuk menghardik orang itu namun niatku luntur seketika. Yang kudapati bukan penyamun atau semacamnya, melainkan Iqbal yang sedang duduk manis sambil menyendok kolak ke dalam mulut. Aku meleleh ketika melihatnya tersenyum.
“Dafa pergi sebentar menjemput Ibumu,” kata Iqbal.
“Kok bisa kamu di sini? Disuruh Dafa jagain rumah ya? Hahaha,” aku tertawa sambil meremas tangan yang lagi-lagi bergetar.
“Jagain kamu maksudnya? Hahahaha.” Semburat merah terbit di wajahku. Aku yakin tampakanku akan menjadi lebih mirip kepiting rebus kalau saja Iqbal tidak menambahkan pernyataan lain, “Bercanda Non, aku tadi ke sini untuk main playstation. Terus ibumu minta dijemput. Karena kamu lagi tidur aku akhirnya harus jaga rumahmu sebentar,” Iqbal mengakhirinya dengan senyum simpul. Aku tidak tahan untuk membalas senyumnya, lalu melirik sebentar ke arah mangkok yang isinya sudah ludes.
“Ngomong-ngomong enak nggak kolaknya?”
“Wah, ini kolak paling enak yang pernah aku makan!”
“Oh ya? Kalau gitu tambah lagi ya?” aku tak bisa menyembunyikan binar bahagia di mata. Iqbal menyerahkan mangkoknya yang sudah kosong. Semenit kemudian Iqbal kembali melahap kolak yang baru pertama kali kubuat itu.
“Masakan ibumu enak ya?”
“Masakan ibuku? Hahahaha, itu masakanku, Bal,” Iqbal berhenti mengunyah seketika.
“Seriusan?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Aku nggak pernah diizinkan masak sebelumnya. Ternyata cuma mitos keluargaku aja kalau makananku nggak enak. Kamu orang pertama yang menyukai masakanku loh, hahaha” kataku sambil memukul pundaknya. Aku mengehentikan tawaku karena Iqbal hanya diam. Angin malam melewati celah antara aku dan dia. Astaga! Aku seharusnya tidak memukulnya sekeras tadi!
“Apa aku juga yang pertama kali bilang aku menyukaimu?” ujar Iqbal setelah beberapa menit membisu.
“Hah?”
“Aku suka kamu,” suaranya makin tegas. Selintas pikiran mengerikan lewat.
“Kamu nggak keracunan kolak, kan?” tanyaku pelan. Iqbal hanya tersenyum tipis. Tatapannya tiba-tiba melayang padaku.
“Sejak kita masih kecil, kamu tahu kenapa aku selalu mau satu tim dengan kamu? Aku pengen melindungi kamu. Bahkan setelah Papa berangkat ke Australia, aku sempat menyesali kita masih terlalu kecil untuk cinta-cintaan. Aku belum bisa bilang aku suka kamu,” Iqbal berhenti untuk menelan ludah sebentar, “Amanda, sebelum aku kembali ke Australia aku mau kamu tahu sebelum terlambat.” Kami diam lagi. Iqbal masih belum menurunkan intensitas tatapannya. Wajahku makin panas, kini ditambah mataku.
“Bro, kamu memang sudah terlambat,” leherku tercekit ketika bicara. Aku berusaha untuk balas menatapnya, kini sambil tersenyum, “Dari foto-foto profil media sosial apa kamu nggak lihat aku selalu foto dengan seseorang? Dia mengatakannya lebih dulu dari kamu.”
“Ku.. kukira dia temanmu atau semacamnya,” aku bisa mendengar suaranya bergetar, “Manda kan memang suka main sama anak cowok. Apalagi sekarang kuliah di teknik mesin. Kukira kamu belum pernah suka sama seseorang...”
“Aku suka kamu, loh. Suka sekali. Semenjak kamu marah sama Radit karena dia jahil padaku,” aku mengusap butir-butir bening yang mulai menetes, “Tapi sekarang berbeda. Kamu milik orang lain sedangkan aku milik yang lain juga,”
“Aku sudah putus. Sudah lama...”
Kami diam lagi. Sekumpulan laron mengerubungi lampu teras, sebagian terbang di atas kami berdua. Kedua tanganku masih saling menggenggam. Iqbal tak berani menatapku lagi. Entah berapa menit yang kami habiskan dengan pikiran masing-masing. Ingatanku kembali ke setahun yang lalu. Setelah tahu Iqbal menjalin kasih dengan seseorang, aku tak menolak ajakan Bayu untuk jalan bersama. Walau tak ada yang bisa diharapkan dari Bayu, namun usahanya membuatku luluh. Bukan rasa suka melainkan iba yang kuharap akan menjadi lebih. Namun setelah setahun ini, Bayu hanya tetap Bayu.
Kukira gerombolan anak-anak yang lewat di depan rumah telah mengembalikan kesadaran Iqbal lagi, karena kini ia sudah berdiri dari posisinya. Tanpa menoleh, ia berjalan menuju pagar rumahku.
“Oh, sudah jam segini. Aku pulang dulu, mau tarawih,”
“Iqbal, temui ayahku dan aku akan memberimu jawaban berbeda,” aku sudah terlanjur menangis kali ini. Berhenti! Jangan Pergi! Aku hanya bisa menjerit dalam kepala.
“Manda, kamu ingat 12 tahun yang lalu? Hahaha, kita masih sebesar anak-anak yang lewat ini. Kita bisa saling bergandengan tangan tanpa rasa bersalah.” Katanya sebelum benar-benar menghilang.
Aku bisa merasakan kehampaan dalam tawa datarnya. Aku ingin menghentikannya namun tak bisa. Untuk pertama kali dalam hidupku, kalau tangisan karena murka ayah tak dihitung, hanya dia laki-laki yang berhasil membuatku bersedu sedan seperti ini. Sisa malam ini kuhabiskan meratap dalam kamar. Aku tak peduli dengan jeritan adikku ketika tahu aku yang memasak kolak (“Harusnya aku nggak ngebiarin Mas Iqbal makan kolak!!!”), tak peduli dengan ajakan tarawih ibu (“tentu saja tidak, ternyata aku menstruasi  Bu!”).
Hari-hari berikutnya aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Sama seperti Bayu, barangkali Iqbal terlalu takut untuk memintaku secara langsung pada ayah. Aku tak tertarik mendengar kabar apapun tentangnya. Bahkan kabar tentang Iqbal yang diare setelah menghabiskan kolak buatanku pun hanya lewat begitu saja. Lebaran yang ditunggu-tunggu hanya menjadi lebaran biasa. Aku masih belum bertemu Iqbal, hanya bertemu orang tua dan dua adiknya. Barangkali ia terlalu malu untuk bertemu denganku, mungkin juga karena trauma setelah tragedi kolak itu. Yang pasti, di saat aku sudah kembali ke kota pelajar sedangkan ia belum kembali ke Australia, aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Aku tahu mimpiku beberapa waktu lalu tak akan pernah terwujud.
Yah, namun hidup harus terus berjalan bukan? Beberapa saat lalu Bayu menemuiku. Dengan rambut acak-acakan ia bersimpuh di depanku sambil menangis. Aku hanya bisa melongo mendengar pengakuaannya bahwa ia lelaki pengecut, bahwa ia tidak bisa lebih baik dariku, bahwa ia merasa tertekan bila terus bersamaku. Sebenarnya aku lebih ingin tertawa daripada menangis ketika ia memintaku untuk putus dengannya. Dan ketika vonisku keluar, Bayu langsung tertawa kegirangan.
 Sendiri mungkin lebih nyaman untuk saat ini. Aku mulai berani untuk melihat foto yang diunggah Radit lagi. Bukan hanya foto ulang tahun, namun foto-foto lain juga. Banyak sekali, lebih dari seratus! Misalnya saat kami sedang berlibur di pantai, atau saat Bobi jadi pengantin sunat, dan sebagainya. Kali ini aku berusaha untuk menekan perasaan saat memandang anak paling tinggi dan paling putih. Termasuk mimpi beberapa waktu lalu, sebaiknya kulupakan saja. Ya, mereka semua sama, mereka kakak-kakakku. Ponselku tiba-tiba berbunyi di saat aku asyik menyusun memori lagi. Kenapa ayah menelepon malam-malam begini?
“Halo, Manda,”
“Halo, Yah?” aku mengernyitkan kening ketika mendengar keraguan dalam suara ayah.
“Dengar, aku tidak tahu harus mulai dari mana tapi... Ini sungguh mengejutkan,”
“Apa?”
“Begini, sebelum dia berangkat ke Australia, Iqbal datang menemuiku. Dia bilang...” ayahku berhenti.
“Hmmm?”
Ayah menarik napas panjang, lalu mengucapkan kalimat berikutnya dalam sekali napas, “Dia bilang dia ingin menikahimu dan kujawab ‘ya’”
Butuh beberapa detik sampai aku bisa mencerna maksudnya. Sebaiknya ini benar, sebaiknya ini benar! Lalu seperti yang sudah-sudah, kupikir aku kena serangan panik!

“AYAH TIDAK BERCANDA KAN????!!!!”

Kosan pak Taji, Senin 13 Oktober 2014 21.40

Minggu, 07 September 2014

BISIK-BISIK TETANGGA

            Sore itu sama seperti sore-sore lain. Anak-anak belarian ke sana ke mari, menerbangkan debu di jalan yang tak beraspal. Maklum, sekarang masih musim kemarau dan tukang es lilin laku benar jualannya. Di depan salah satu rumah, Pak Topo si tua-tua keladi, sedang sibuk mengipasi dirinya yang kepanasan. Kaos dalam putih yang berlubang tampak lengket menempel padanya. Apalagi barusan cucunya, yang baru saja ia belikan hape berkamera, menunjukkan video yang membuat Pak Topo tak berhenti berkeringat sampai saat ini.
Salah satu bagian terpenting dari sore di kampung antah berantah ini adalah sekelompok ibu-ibu yang asyik berdiskusi. Kali ini mereka berkumpul di depan warung, sambil sesekali berteriak memanggil pemiliknya untuk ikut bergabung. Seseorang dari kelompok itu adalah ibu muda yang kewalahan mengejar anak balitanya, lalu cepat-cepat kembali ke kelompok untuk menyimak. Meski anggota mereka kurang seorang, tapi itulah syarat agar topik kali ini bisa dibicarakan. Terdengar semua yang hadir berjengit ketika Jeng Rani selesai bercerita tentang tetangganya yang absen itu.
“Keterlaluan. Benar-benar keterlaluan ibu-ibu,” kata Jeng Rani sambil membenarkan kacamatanya.
“Benar Bu, Lala juga bilang begitu. Ini bukan sekali dua kali loh. Masa kata Lala waktu dia makan di kantin sekolah, ada ulat di sambal baksonya!” kerumunan ibu-ibu itu langsung berdengung.
“Coba lihat saja ke dapurnya! Iiiihh, jorok banget. Lantainya lengket dan tumpukan panci-panci berhari-hari belum dicuci!” suasana makin riuh ketika Ibu Marlina berkomentar, “Nah, sekarang saya nggak habis pikir, kenapa dia tega melakukan hal itu ke anak-anak kita?” ibu-ibu itu langsung mengangguk sambil bergumam mengamini pimpinan mereka.
“Tapi-tapi, anak saya si Toing kok nggak komentar ya setelah makan nasi kotak MOSnya?” celetuk ibu Rosyidah yang dari tadi diam sambil berpikir.
“Hahahaha, Jeng Idah, Jeng Idah kayak nggak tahu si Toing aja. Segala makanan kan diembat sama dia. Iya nggak ibu-ibu? Hahahahaha,” tawa keras Ibu Ratih membahana.
Ibu Rosyidah masih tetap diam. Kali ini bukan karena sedang mencari alasan untuk tidak menuduh tetangga sebelah rumahnya, melainkan karena kesal putra kebanggaan satu-satunya yang gembul dan menggemaskan itu diledek habis-habisan.
***
Awalnya semua berasal dari jeritan seorang siswi saat ia membuka nasi kotak makan siang di hari pertama acara orientasi siswa baru. Siswa yang lain jadi ikut panik ketika mendapati serbuk putih seperti parutan kelapa yang ternyata adalah ulat pada ikan mereka. Guru yang mengawas langsung mengecek ke ruangan yang lain dan ia mendapati hal yang sama. Kemudian guru itu bercerita kepada guru yang lain, sementara murid-murid juga aktif berceloteh kepada sesama mereka, lalu kepada orang tua mereka sesampainya di rumah. Guru-guru pun tak mau kalah karena kini pasangan mereka juga sudah tahu apa yang terjadi. Dari semua percakapan mengenai ulat di kotak nasi, hanya ada satu nama yang terus disebutkan, yaitu Ibu Nurlela.
            Malam hari di rumah Ibu Marlina pun saat ini masih dibahas janda beranak dua yang membuat heboh itu. Dugaannya pasti benar. Ia tak hanya dapat kabar dari Tito, anaknya yang mengikuti orientasi, tapi juga dari suaminya yang menjadi guru PPKN di sana. Sambil menyeterika pakaian untuk anaknya besok, Ibu Marlina masih terus membahas kejadian tadi pagi, meski harus adu volume suara dengan sinetron yang diputar keras-keras.
            “Desas-desus yang dulu itu ternyata terbukti kan Pak?” tanya Ibu Marlina. Suaminya hanya menggumam, sibuk menonton opera sabun yang sudah dua tahun tak kunjung tamat.
            “Ckckckck, tapi Ibu Nurlela itu kok nggak sadar ya? padahal udah banyak yang komplain ke dia, tapi tetap saja nggak mau ngaku. Waktu itu Ibu Menik pesan cake, eehh ternyata cake-nya bantet. Awalnya dikira kebetulan, tapi pas pesan lagi ternyata cake-nya bantet lagi, ckckckck, aku nggak habis pikir loh,”
            “Hmmmm...”
            “Pak, pihak sekolah udah komplain ke dia belum?”
            “Hmmm...”
            “Terus dia bilang apa?”
            “Katanya dia pakai ikan yang segar,”
            Ibu Marlina geleng-geleng kepala, “Kok begitu terus alasannya? Kalau yang masak Ibu sih pasti terjamin kualitas bahan bakunya. Oh iya Pak, kantin sekolah yang megang masih dia?” Suaminya hanya menggeleng, “Bagus itu, harusnya dari dulu diganti. Aduh, kalau Tito jajannya di dia, Tito bisa keracunan. Coba kalau Ibu yang ngurusin kantin, pasti terjamin kebersihannya. Eeeehh, tapi Bapak kan nggak mau KKN. Urusan yang banyak duitnya malah dikasih ke orang lain, istri sendiri cuma dikasih orderan bakwan untuk MOS . Itu pun cuma untuk besok aja....”
            “Sssssttt... Ibu ribut saja dari tadi! Bikin bakwan aja repotnya bukan main, apalagi kalau disuruh masak besar? Sudah-sudah, Bapak mau nonton lagi!”
            Ibu Marlina hanya merengut. Pantas saja mereka tidak kaya-kaya, padahal suaminya merangkap juga sebagai bendahara sekolah. Kalau saja pelajaran yang ia ajarkan bukan PPKN, telinga Ibu Marlina tidak perlu kepanasan mendengar pidato suaminya tentang korupsi dan nepotisme. Suaminya masih terus saja setia dengan idealismenya di saat yang mereka punyai di dapur hanya tempe dan tahu. Bahkan karena omong kosong suaminya pula Tito tak bisa bersekolah di sekolah swasta terkenal. Biayanya terlalu mahal, begitu kata suaminya. Ibu Marlina melirik cincin yang terakhir ia beli sepuluh tahun lalu. Harusnya bapak Tito mengajar ekonomi saja!
            Esok paginya keributan terjadi di rumah mungi itu. Ibu Marlina harus setengah mati membangunkan Tito yang tak mau bangkit. Bukan salah Tito juga kalau ia berperilaku seperti ini. Jika saja semalam Ibu Marlina tak memaksa Tito begadang hingga jam tiga pagi untuk membantunya membuat bakwan, Tito akan mudah saja dibangunkan. Namun Ibu Marlina punya pembelaan tersendiri. Ia akan melirik jengel pada suaminya yang sudah berpakaian dinas.
            “Nanti akan ada orang dari sekolah yang menjemput kuenya. Bapak akan repot kalau membawanya sendiri,” suaminya berusaha mengalihkan topik.
            “Baiklah, akan ibu tunggu. Ibu sudah siapkan teh di meja. Sarapannya sama bakwan aja ya, ibu nggak sempat bikin yang lain.... Hei Tito! Ayo bangun!!!!”
            Suami Ibu Marlina bergeming ketika istrinya menyebut bakwan sebagai menu sarapan. Matanya perlahan mencari kue bundar itu. Semalam Ibu Marlina menyuruhnya membeli telur yang harganya sedang naik untuk adonan bakwan. Ia terbelalak ketika Ibu Marlina memecah telur yang dibelinya. Kuning telurnya tak lagi bulat dan sudah mulai memerah. Kedua pasangan itu saling tukar pandang, lalu membaui telurnya. Suami Ibu Marlina baru saja mengatakan ‘ganti saja dengan yang baru’, namun ia terlambat karena telur yang tampak mulai rusak itu sudah bercampur dengan tepung terigu, air, dan sayur mayur.
            “Telurnya masih bagus kok, belum busuk,” katanya.
            Maka dengan hati yang tak tenang, suami Ibu Marlina menjalankan tugasnya sebagai pengawas orientasi. Hatinya berdenyut menyakitkan melihat bakwan yang sudah datang dibungkus dalam plastik bening bersama kue-kue lainnya. Obrolan rekan guru lain yang masih membahas tragedi kemarin membuat ngilu kupingnya. Apalagi waktu pembagian snack pagi dilakukan. Ia saja tak mau memakan bakwan itu, kenapa ia tega membiarkan orang lain memakannya? Suami ibu Marlina nelangsa. Hanya doa dalam kengerian yang bisa ia lakukan, semoga tragedi baru tidak terjadi.
            Satu jam, dua jam, suami Ibu Marlina terus mengawasi murid-murid yang baik-baik saja. rekan gurunya pun demikian. Suami Ibu Marlina menghembuskan napas panjang, mungkin memang bakwan istrinya aman. Ia berjanji dalam hati akan memakan bakwan istrinya sepulang sekolah nanti. Suami Ibu Marlina kini dengan hati riang memberikan tanda tangan untuk murid-murid baru, sampai kemudian terdengar teriakan.
“ADA YANG MUNTAH!!!!!!!”
            Suami Ibu Marlina dengan gelagapan segera menyusul orang-orang yang berlarian ke aula. Anak yang dikabarakan muntah itu dikelilingi yang lain. Suami Ibu Marlina kembali cemas. Ia menerobos agar sampai di samping anak itu. Celaka, sungguh celaka, batin suami Ibu Marlina. Ya, benar-benar celaka, karena yang menjadi korban pertama bakwan Ibu Marlina adalah anaknya sendiri!
            Tito terbaring lemah, mukanya pucat. Seorang guru memijat kepalanya, lalu Tito muntah lagi. Tak butuh waktu lama, sesuai prediksinya, anak-anak lain juga ikut keracunan, kemudian disusul rekan gurunya. Suami Ibu Marlina menepok jidat, barangkali masa orientasi sampai hari ini saja. Panitia dan peserta, hampir semuanya terbaring tak berdaya.
***
            Sore ini sama seperti sore-sore lainnya. Anak-anak masih berlarian ke sana ke mari dan Pak Topo yang memakai kaos singlet putih terus mengipasi dirinya yang kepanasan. Di bagian yang lain, elemen terpenting dari sore hari di kampung antah berantah ini masih berlangsung. Di depan sebuah warung, sekelompok ibu-ibu asyik berdiskusi. Ibu muda mengejar anak balitanya, lalu kembali lagi ke kelompok untuk menyimak. Meski anggota mereka kurang seorang, tapi itulah syarat agar topik kali ini bisa dibicarakan. Terdengar semua yang hadir berjengit ketika Jeng Rani selesai bercerita tentang tetangganya yang absen itu.
“Keterlaluan. Benar-benar keterlaluan ibu-ibu,” kata Jeng Rani sambil membenarkan kacamatanya.
“Benar Bu, anak saya juga bilang begitu. Kemarin dia yang jadi panitianya. Untung dia lagi puasa untuk bayar hutang Ramadhan, jadi nggak ikut nyicipi. Saya nggak nyangka Ibu Marlina tega masukin telur busuk ke adonan bakwannya. Tapi Ibu Marlina kalau masak memang kurag sip. Eh, sekarang berani ngirimi bakwan ke acara MOS,” kata Ibu Nurlela. Tragedi kemarin ternyata sudah terhapus dari memorinya. Ibu Nurlela tak sadar dijadikan tersangka pada diskusi sebelumnya.
“Tapi-tapi...”
“Tapi apa Bu Idah? Toing nggak keracunan lagi, ya? Hahahahaha,” tawa Ibu Ratih membahana.

            Ibu Rosyidah diam. Kali ini bukan karena sedang mencari alasan untuk tidak menuduh tetangga sebelah rumahnya, ataupun karena kesal putranya yang gembul dan menggemaskan itu diledek habis-habisan. Ibu Rosyidah diam karena ingin tahu apa yang akan dibicarakan tetangganya ketika ia punya masalah.

Yogyakarta, kosan Pak Taji, Minggu 7 Sepetmeber 2014 14.28

Jumat, 29 Agustus 2014

KISAH MADA


                        Kereta yang kami tumpangi mulai memelankan lajunya begitu bangunan stasiun terlihat. Aku menjulurkan kepala keluar dari jendela merasakan angin daerah asing yang belum kukenal ini menampar wajahku. Deretan pohon pisang, kemudian pepaya, lalu berganti lagi dengan pohon lain yang aku tak tahu pasti namanya berbaris sepanjang rel kereta, memagari rumah-rumah penduduk yang menunjukkan tampak belakang dan baju-baju yang dijemur terpanggang panas matahari jam sepuluh pagi ini. Aku memincingkan mataku lagi, menangkap bangunan bata merah dengan orang-orang yang berubah posisi dari  duduk ke berdiri ketika kereta kami memasuki stasiun.
“Shinta, kita sudah sampai!” kataku sambil mengguncang perempuan yang kepalanya menempel pada jendela, tertidur.
                        Aku lupa nama kota kampung halaman Shinta ini. Entah mengapa, mungkin karea namanya terlalu asing untuk telinga orang dari Indonesia timur sepertiku. Yang pasti diawali huruf P dan terletak di ujung selatan pulau Jawa. Aku menggendong ransel kecil miliku, lalu melakukan sedikit peregangan punggung, mengingat aku harus duduk selama enam jam di atas kereta ekonomi AC yang tempat duduknya keras dan tidak bisa kau atur posisinya, membuat tubuhmu sangat tak nyaman.
                        Shinta memimpin mencari jalan keluar dari stasiun yang katanya sudah beroperasi sejak zaman Belanda. Pedagang asongan meneriakkan dagangannya, salah satu mendekatiku, menawarkan sebungkus tahu sumedang yang plastiknya beruap. Aku hanya tersenyum dengan agak menyesal karena tidak membeli dagangan anak laki-laki yang hidungnya kotor itu. Aku berjalan mengikuti Shinta yang ranselnya kini di taruh di depan dada.
“Banyak copet, taruh tasmu di depan,” aku tiba-tiba teringat nasehatnya.
                        Aku akan menghabiskan liburan semester ini di tempat kawanku, Shinta. Walau agak sedih karena tidak bisa pulang ke kampung halaman sendiri, tetapi Ibu Shinta yang gempal dan ramah itu sangat menyenangkan saat pertama kali aku bertemu dengannya di hari-hari awal masuk perguruan tinggi. Ajakannya untuk ikut berlibur dengan putrinya di tempat antah-berantah ini langung ku-iya-kan saja.
                        Perjalanan kami belum selesai, kami harus melanjutkan dengan angkot untuk sampai ke desa Shinta. Mobil berwarna biru langit itu bergoyang-goyang begitu melewati jalan berkerikil. Halusnya aspal jalanan sudah tidak kami rasakan sejak kami memasuki jalanan kampung, sekitar 10 km dari kota yang sampai sekarang berusaha kuingat namanya. Belum tampak rumah-rumah, pemandangan yang ada masih pohon-pohon lebat, sungai, lalu pematang sawah. Beberapa orang bersepeda onthel dengan jerami di tempat duduk belakang. Aku memberi tatapan bosan pada Shinta yang duduk di hadapanku.
“Sebentar lagi,” katanya sambil tersenyum, “Kita akan melewati satu belokan lagi untuk sampai. Nah itu belokannya!”
                        Angkot di sini berhenti di posnya, membuat kami harus berjalan kaki sendiri menuju rumah Shinta yang berjarak 200m lagi. Orang-orang makin ramai berlalu lalang. Anak-anak berlarian, itik-itik berbaris, kambing-kambing mengembik. Sekumpulan remaja putra yang sedang bermain bola berteriak dari tengah lapangan begitu melihat kami. Aku memandang Shinta yang namanya diserukan penjaga gawang botak di bawah gawang bambu. Shinta tersenyum.
                        Kami sampai di depan sebuah rumah yang berbeda dari rumah di sekitarnya. Hanya rumah ini yang dikelilingi pagar besi tinggi, dengan dua patung makhluk bertaring memegang pentungan di kiri kanannya. Di bagian lain halaman terdapat pendopo yang kutebak sebagai tempat nongkrong-nongkrong saja. Aku mengerutkan kening melihat dua mobil yang terparkir di depan garasi. Kenapa ia tidak meminta orang rumah untuk menjemput? Shinta yang memiliki gelar roro di depan namanya masih memukulkan gembok besi pada pagar sambil berteriak.
                        Aku mengamati lagi lingkungan sekitarnya sampai mataku terpaku pada sebuah rumah diseberang rumah Shinta. Rumah itu rumah kedua dari batu bata selain rumah Shinta yang kulihat di sini. Pohon-pohon rindang besar menutupi halamannya. Dinding bercat putihnya sudah ditumbuhi lumut. Langit-langit di nagian depan rumah sudah rusak sebagian, tripleks berjamur menggantung dari sana. Rumahnya memiliki cerobong asap, seperti rumah di negara dingin saja. Rumah tua bergaya Belanda itu pasti mengerikan di malam hari, membayangkannya saja sudah membuatku merinding, apalagi saat aku melihat sesuatu mengintip dari jendelanya.....
“AAAARRRRGGGHHHH!!!!!!!!!!!!!!”
***
“Jadi kamu melhatnya?”
                        Aku mengangguk pelan. Tanganku masih gemetaran saat memegang gelas teh manis. Aku menjulurkan lidahku yang kelu karena kepanasan. Ayah Shinta menghembukan asap tebal dari cerutunya, lalu membiarkan cerutu itu terjepit di antara telunjuk dan jari tengahnya, mengabaikan putrinya yang pura-pura batuk. Ayah Shinta menengok sebentar rumah tua itu dari balik jendela ruang tamu, lalu ia memandangku sambil tersenyum tipis. Aku memukul jidatku sendiri karena jeritan histerisku tadi, jeritan yang berhasil memanggil pembantu Shinta untuk membuka gerbang rumah, dan memnbangunkan ayah Shinta dari tidur siangnya.
“Walau mengerikan tetap saja anak-anak itu setiap sore berdiri di depannya, menatap ingin tahu apa yang ada di dalam. Ingin lihat Mbak Mada.”
“Hah?” tubuhku seperti kena sengat listrik, “Memang di sana benar-benar ada sesuatu om? Saya bukan salah lihat?”
Ayah Shinta mengangguk ragu-ragu, “Mungkin. Saya juga belum pernah lihat. Ada cerita dari rumah itu,”
“Cerita? Jadi ada ceritanya?”
“Ayo makan dulu. Nak Tari belum pernah makan rica-rica enthok kan?” Ibu Shinta yang makin gempal itu menyela.
                        Pantas saja seluruh anggota keluarga Shinta berbadan tambun. Begitu mencium aroma masakan olahan unggas blasteran ayam dan itik itu,langsung saja air liurku menetes. Tidak salah lagi, Ibu Shinta memang pintar memasak. Aku hanya bisa memejamkan mata, menikmati rica-rica enthok yang baru pertama kali kumakan seumur hidupku. Aku menyendok lagi nasi putih hangat pulen sambil mendengarkan ayah Shinta yang mulai mendongeng setelah meniupkan asap cerutunya.
“Jad begini....”
***
                        Kaki ramping yang putihnya seperti porselen meniti dengan hati-hati tangga delman sampai akhirnya ia berhasil menjejak tanah dengan selamat. Matanya dengan liar mengikuti anak-anak yang berlarian dengan kaki telanjang, anak-anak pribumi. Kaki-kaki dengan jari-jari manis yang menyembul dari selopnya sudah tidak sabar menjejak kampung halamannya. Gadis manis ini menarik napas dalam-dalam. Setelah sekian lama bersekolah di dataran Eropa, lalu melalui perjalanan panjang di atas samudera, Mada kembali ke Hindia Belanda. Mada memang sudah rindu pada ayah dan ibunya, juga sudah tidak sabar untuk menemui seseorang.
                        Tahun itu ia berusia 16 tahun dan desas desus dari orang di sekitarnya mengabarkan organisasi bernama Boedi Oetomo telah berdiri. Mada sedang duduk di belakang meja kerjanya, menuliskan dengan hati-hati huruf-huruf tegak bersambung. Setelah membubuhkan tanda tangannya dan memasukkan kertas ke dalam amplop merah jambu, Mada menciumnya berkali-kali, menitipkan kasih dan rindunya pada sepucuk surat.
                        DI ruang depan Mada bisa mendengar ayahnya mengumpat dalam bahasa Perancis saat jongos di rumah lupa memoles senapan berburunya. Tidak perlu heran, karena ayah Mada memang orang Perancis. Mata biru dan rambut pirangnya diturunkan pada anaknya yang seorang itu. Ibu Mada sendiri adalah wanita Jawa berkasta, yang sempat mendapat picingan mata tidak mengenakkan dari kerabatnya karena menikahi lelaki pemburu berkulit putih itu. Tidak jauh berbeda dengan istrinya, Monsieur De Nicholaus harus rela dibuang jauh-jauh dari komunitas Eropanya karena dianggap merendahkan diri melalui pernikahan dengan pribumi.
                        Tapi tidak masalah bagi Tuan Perancis begitu dibuang oleh teman-teman sesama Kaukasian. Ia memang sudah jatuh cinta benar pada istrinya, pun dengan tempatnya mendapat buruan Harimau Jawa ini. Tuan Perancis lebih senang berblangkon dan bersarung ketimbang berjas dan berdasi. Bahkan dalam bercakap-cakap dengan keluarganya, Tuan Perancis akan bebahasa Jawa dengan fasih,kecuali saat ia mengumpat. Maka begitulah, dengan mengabaikan perbedaan darah yang mengalir dalam nadinya, Monsieur de Nicholaus telah menjadi seorang Jawa. Totalitas dalam berbudaya Jawa juga ditunjukkan oleh Mada, yang sehari-hari berkebaya dan berkonde.
                        Kini Mada hanya bisa berbaring sambil nyengir dalam kamarnya. Tadi ia menitipkan suratnya pada supir delman yang akan melalui rumah Kanda Pram-nya. Sudah banyak yang tahu tentang keduanya. Ayah ibu Mada pun sudah tahu, begitu juga Raden Kartosasmito, ayah kekasihnya. Mada hanya bisa tersenyum mendengar pernyataan iri teman-teman gadisnya yang lain. Saat kawannya harus meninggalkan cinta dan menerima lamaran laki-laki lain lewat perjodohan, Mada memang menjalin kasih dengan laki-laki yang tanpa ia ketahui sebelumnya, memang akan dijodohkan dengannya. Ia tidak peduli dengan latar belakang perjodohan mereka, yaitu agar Raden Kartosasmito dapat menjalin hubungan keluarga dengan Bupati daerah sini, yaitu paman Mada sendiri. Ya, perjalanan cintanya memang mulus kecuali mendapatkan restu dari Ibu Pram, wanita Jawa konservatif yang memandang Mada bukan dari turunan bangsawan murni, dan juga Mada yang bersekolah jauh dari pengawasan keluarganya menimbulkan kecurigaan dalam hatinya kalau Mada tak lagi perawan.
“Siapa yang tahu apa yang dia lakukan di Eropa sana?” tanya Nyonya Kartosasmito dengan suara tinggi.
                        Tetapi Pram akan menggenggam tangannya erat-erat dan menentramkan hatinya dengan menjelaskan bahwa semua akan baik-baik saja. begitu juga saat ini, saat ia sedang bermain tenis dengan kawan-kawan Belandanya, supir delman yang mampir sebentar memanggil dari pinggir lapangan. Mada merobek amplop yang sudah ditunggu selama 14 jam sejak kemarin malam. Matanya menyisir kertas dari kiri ke kanan, lalu senyumnya mengembang.
“Ia akan ke rumahku besok bersama orang tuanya,”
“Itu bagus,”kata nona berrok merah yang tidak peduli latar belakang kawannya itu.
“Tapi...” air muka Mada kini berubah.
“Tapi apa?”
“Ibunya ingin tahu apakah aku bisa memasak. Ia ingin aku memasakkan sesuatu untuknya. Kau tahu, ayah dan ibu sangat ingin pikiranku berkembang seperti wanita di Eropa, tetapi mereka lupa untuk mengajarkanku keterampilan di dapur,”
                         Keempat orang itu saling berpandangan, dan tak sampai lima menit kemudian Mada berlari kecil menuju rumah. Ia mencari-cari ibunya yang sedang menjahit, ditunjukannya surat itu, lalu ia meminta agar diajarkan memasak. Keduanya sangat bersemangat menyambut kedatangan tamu besar esok hari, kecuali Monsieur yang duduk merajuk karena takut sang putri kecipratan minyak panas atau pun jari putrinya teriris pisau. Terlalu berbahaya, begitulah komentar singkatnya.
                         Mereka mencoba berbagai resep yang dikuasai Ibu Mada, sampai mereka tiba pada kesimpulan apa yang akan dimasak untuk besok.
“Rica-rica enthok membuat ayahmu tidak bisa berhenti mengunyah. Tenang nduk, semua akan baik-baik saja besok,” katanya sambil mengelus rambut Mada.
                         Maka esoknya mereka bersiap-siap. Rumah bercerobong asap khas negara-negara dingin itu sudah sibuk pagi-pagi sekali. Rumah disapu, halaman dibersihkan. Di dapur Mada dan ibunya sudah menyiapkan bahan-bahan; bawang merah, bawang putih, cabai, asam jawa, daun bawang dan lain-lain. Enthoknya? Ibu Mada meminta agar dipotong nanti saja ketika calon menantunya datang. Enthok segar adalah salah satu rahasia kelezatan menu ini.
                         Mada sendiri masih saja mondar-mandir, mengecek apakah bahan-bahan sudah siap, lalu ia akan berkeliling lagi, mengucapkan tanpa suara tahapan memasak yang benar dan mengingat lagi bentuk bahan yang akan ia masukkan. Ditengoknya enthok gemuk yang juga sama gelisahnya karena mau dipotong.
“Sebaiknya kau benar-benar enak enthok!” ancam Mada.
                         Derap langkah kaki kuda membangunkan Mada dari lamunannya. Mada segera berlari ke depan dan mengintip dari tralis jendela, calon suami dan calon mertuanya sudah tiba. Sesuai rencana, setelah sedikit  basa-basi, Mada dan Nyonya Kartosasmito tidak butuh waktu lama untuk menuju dapur. Mada berusaha mengingat-ngingat kembali apa yang sudah dipelarinya kemarin, mulutnya komat-kamit menyebutkan tanpa suara bahan-bahan dari masakannya. Tangan Mada bergerak-gerak di atas alat yang akan diambilnya. Pisau! Kau butuh pisau untuk mengupas bawang!
                         Mada mulai mengupas bawang satu per satu, lalu mengirisnya dan..
“Aduh!” Mada meringis sebentar, kemudian cepat-cepat menghisap darahnya sendiri, sebuah tindakan yang tidak luput dari pengamatan calon mertuanya.
“Apa kau masih bisa melanjutkan?”
                         Mada mengangguk kuat-kuat, diambilnya bawang lagi. jantungnya berdegup makin kencang, tidak ada yang bisa ia dengar selain suara Nyonya Kartosasmito dalam khayalannya. Perempuan itu melotot padanya, kini ia membentak keras-keras agar Mada mengiris bawang-bawang itu makin cepat sementara tepat di sampingnya, Nyonya Kartosasmito di dunia nyata menatap gadis itu dengan heran. Beberapa kali Nyonya Kartosasmito memanggil, tetapi Mada hanya mengangguk atau menggeleng, dan wanita bersanggul tinggi itu berpikir calon mantu yang terpaksa dipilihnya itu tidak ingin diganggu.
                         Mada kemudian membentak seorang jongos untuk menyalakan tungku, lalu ia meletakkan belanga besar, menuang minyak, setelah itu mulai menumis bumbu sampai harum. Beberapa meter jauhnya di ruang tamu sana, Pramono beserta kedua orang tuanya dan juga empat adiknya, ditambah Monsieur de Nicholaus dan istrinya mengendus aroma harum tumisan bumbu. Ibu Mada melirik ke calon besannya yang memejamkan mata, kemudian bersin.
“Sepertinya sedap sekali,” ujar Tuan Kartosasmito sembari mengusap hidungnya yang berair. Jelas ia mulai tergoda.
“Kau terlalu banyak memasukkan garamnya!” bisik Mada pada dirinya, “Tidak, tidak, santannya jangan sampai pecah! Oh tidak! Enthok? Mana enthok???!!!”
                         Enthok yang benar-benar baru dipotong itu dicelupkan ke dalam air panas agar bulunya mudah dilepas. Mada yang pikirannya dipenuhi Tuan dan Nyonya Kartosasmito melirik arloji emasnya. Keringat mengujur di dahinya, menuruni pelipis, kemudian sampai di pipi. Tangan Mada saling meremas, jantungnya terasa tertarik. Udara yang dihirupnya terasa sangat kering, sampai ia merasa gelagapan karena tak bisa bernapas.
“Kau tidak bisa membubutinya lebih cepat?” bentak Mada.
“Sebentar non, bulunya masih susah dicabut,” kata jongos ketakutan.
“Tidak usah kau bubuti! Langsung kuliti saja!”
                         Kini Mada sedang berhadapan dengan enthok utuh tanpa kulit. Tangan kanannya menggenggam gemetar pisau daging besar. Mada mengangkat pisaunya dan mulai memotong tapi tidak juga berhasil. Sepertinya butuh tenaga lebih untuk memotong daging beserta tulang-tulangnya ini. Mada mengarahkan ujung tajam pisau yang mengkilap memantulkan sinar matahari ke matanya, memberinya tekad untuk mengayunkan pisaunya lebih kuat. Sekali lagi Mada mengangkatnya, dan ya berhasil! Bagian pahanya kini sudah terpisah. Mada yang ngos-ngosan menyeringai bahagia. Ia makin bersemangat untuk memotong enthok menjadi bagian-bagian kecil. Yah, enthok-enthok yang masih segar mengeluarkan darah begitu mata pisaunya dihantamkan ke badan enthok. Banyak sekali darahnya, berarti enthok-enthok ini segar benar, begitu pikirnya.
                         Maka ia mengangkat pisau, lalu memotong. Mengangkat, memotong. Terus saja sampai semuanya menjadi kecil, setelah itu dimasukkannya ke dalam belanga berisi santan mendidih berwarna merah. Mada mengambil spatula, tidak peduli dengan tangannya yang berlumur darah. ia mengaduk-ngaduk  masakannya sampai matang, mengamati warnanya yang menjadi sangat merah, lebih merah dari hasil percobaan mereka kemarin. Namun Mada tak peduli. Bahkan ia membiarkan saja tangannya yang masih berlumuran darah itu menata rica-rica enthok di piring saji.
“Mbok Ijah, letakkanlah makanan ini di meja makan. Ayah dan Ibu serta tamu sudah di sana. Aku mau cuci tangan dulu. Darah enthok terlalu banyak,” perintah Mada yang langsung dituruti oleh jongosnya.
                         Mada meringis merasakan keanehan pada tangan kirinya.
“Mungkin karena aku memegang enthok teralu kuat, tangan kiriku jadi kebas begini,” batinnya.
                         Baru saja Mada berjalan menuju kamar mandi, celotehan Tuan Kartosasmito menghentikan langkahnya.
“Ini enak sekali!” ujarnya.
                         Tidak perlu menunggu lama sampai Mada juga mendengar pujian dari calon suaminya kemudian diikuti ayah dan ibunya sendiri. Namun Mada masih termangu, menunggu pernyataan dari sosok yang masih memandangnya sebelah mata.
“Panggil Nduk Mada ke mari, dia harus memakannya juga. Dia harus sering membuatkanku ini,”
                         Sayup-sayup Mada mendengar wanita ningrat itu memuji masakannya. Mada tak tahu lagi apa yang bisa membuatnya lebih bahagia dari ini. Ia melompat-lompat kegirangan, kekhawatirannya berganti dengan rasa bahagia yang luar biasa. Mada cepat-cepat berlari ke kamar mandi, menyiram tangannya yang berwarna merah, menggosok tangannya dengan sabun, menggosok sela-sela jari, yang kanan dan kiri, yang kanan dan.....
                         Dunia Mada terhenti untuk sementara waktu. Matanya melebar setelah mendapati penyebab rasa kebas yang ia rasakan. Darah yang sudah disiram terus mengucur dari sumbernya. Jemari kanannya terus meraba mencari sesuatu yang hilang, sementara pandangannya tetap lurus ke depan, ke arah tembok kamar mandi, tidak berani menengok ke bawah. Ia tidak merasakannya lagi! tidak mungkin!
“TIIDDDAAAKKK!!!!!!!!!!!!” Mada menjerit sejadi-jadinya.

***
                         Ayah Shinta mengakhiri ceritanya dengan jeritan menyerupai wanita. Aku hanya termangu setelah mendengarnya. Walau kini suara Ayah Shinta sudah kembali ke semula, suaranya dalam kengerian saat bercerita tadi masih terngiang di telingaku. Kisahnya masih terputar di dalam otakku, tidak mau berganti dengan yang lain. Aku memandang tiga wajah di depanku yang tampak tenang-tenang saja, bahkan cenderung girang. Mulut mereka masih mengunyah nasi dan enthok rica-rica. Aku menelan ludahku, merasa jijik dengan apa yang kualami kurang dari tiga jam ini, mulai dari sebuah tatapan di rumah tua itu, cerita Ayah Shinta, dan kini ekspresi keluarga Shinta.
“Jadi, rumah tua khas Belanda itu milik Mada om?” tanyaku pelan. Yang ditanya hanya mengangguk.
“Terus apa yang terjadi padanya?”
“Orang-orang bilang mereka mencari jari ke-2, ke-3, dan ke-4nya di dalam piring saji. Tapi yang ditemukan hanya telunjuknya. Tidak ada yang tahu ke mana sisanya, masuk ke perut siapa dua jari itu.”
“Dia jadi nikah sama Pramono?” aku memaksakan diri untuk bertanya meski merasa mual.
“Ada yang bilang jadi, ada yang bilang tidak. Versi yang ‘jadi’ mengatakan Mada akhirnya tetap menikah dan hidup bahagia. Ia menemukan bakat terpendam dalam memasak dan berhasil meluluhkan hati mertuanya, apalagi saat itu dia cacat. Kemudian ia meninggal, lalu dikremasi dan abunya ditaruh di rumah itu. Versi yang lain mengatakan ia tak menikah karena malu atas kecacatannya meski Pramono terus menyatakan cinta dan niatnya untuk menikahi Mada. Mada hanya mengurung diri di kamar, depresi, hingga akhirnya meninggal. Ayahnya yang sangat sayang padanya langsung mengambil senapan angin dan menembak kepalanya sendiri. sedangkan ibunya tidak ada yang tahu.”
                         Ayah Shinta berhenti bercerita sebentar untuk menghisap cerutu yang baru ia nyalakan. Kepulan asap bulat keluar dari mulutnya. Aku memandang Shinta yang sedang menyeruput kuah rica-rica enthok berwarna merah itu.
“Memang akhir kisahnya masih simpang siur. Bahkan rumah yang katanya angker pun masih jadi pembicaraan juga. Namun yang pasti  Mada telah mewariskan sebuah cerita cinta luar biasa dan yang  terpenting adalah.... ia telah menurunkan sebuah resep lezat,”
                         Aku terpaku menatap asap bulat yang terus mengepul dari mulut Ayah Shinta. Butuh waktu beberapa saat sampai aku bisa mencerna kata-katanya. Perlahan aku memandang piringku, menatap potongan daging yang sudah sebagian kumakan. Dengan sendok dan garpu yang gemetaran, aku mencoba memutar posisi daging. Hatiku mencelos. Perutku terasa terkocok-kocok ingin memuntahkan seluruh isi perut yang baru kumasukkan. Kepalaku pening mencium aroma berempah kuah rica-rica yang memenuhi ruangan. Aku melirik Shinta yang sedang menyeringai kepadaku. Mulutnya yang penuh makanan menelurkan tanya.

“Enak bukan?”

Rabu, 12 Maret 2014

Good Bye PPA 2014: Chat with Harjono



15:26 Artaria Nuraini yo, ikut ppa bbm gak?
15:30 Hario Widhi Nugroho Nggak mak
15:30 Hario Widhi Nugroho Gue kmren telat taunya
15:30 Hario Widhi Nugroho Hiks
15:30 Artaria Nuraini ahahahah
15:30 Hario Widhi Nugroho Lo ikutan?
15:30 Hario Widhi Nugroho Ah gue kabil pengen ke perpus
15:31 Artaria Nuraini emang kalo bukan rejeki kagak bisa dpet ya :')
15:31 Hario Widhi Nugroho Tp gue pengen tidur siang jg
15:31 Hario Widhi Nugroho Gimana nih
15:31 Hario Widhi Nugroho Eh banyak kooo mak
15:31 Artaria Nuraini jgn tidur dulu yo, aku pengen cerita -_-
15:31 Hario Widhi Nugroho Sumprit
15:31 Hario Widhi Nugroho Oh boleh2 hahaha
15:31 Hario Widhi Nugroho Kenapose?
15:32 Artaria Nuraini jadi gini, hmmm.... aku pengen ikut. udh mnt segala macam dikirmin dari timur sana. aku mnt silip gaji sama surat KK
15:32 Artaria Nuraini nah...
15:32 Hario Widhi Nugroho Call ajaaaaa
15:32 Artaria Nuraini lewat sini aja ya, aku habis mewek tadi --"
15:32 Hario Widhi Nugroho Oh okeoke mak
15:34 Hario Widhi Nugroho Trus?
15:35 Artaria Nuraini oke. trus udh mnta transkrip hari jumat kemarin, biar ngumpulin berkasnya cepet. hari minggu slip gaji dan surat kk udh di kirim scan-annya via email, hari seninnya udh rencana mau ngumpul.
15:35 Artaria Nuraini tapi transkrip nilai belum jadi, dan pas hari selasa tak cek juga belum jadi
15:36 Hario Widhi Nugroho Hah kptu emang....
15:36 Hario Widhi Nugroho Trus trs?
15:38 Artaria Nuraini hari ini aku ke kptu lagi. transkrip udh bisa diambil dan semua berkas udh kukumpul. berkasnya dicek sama mbaknya, terus kata mbaknya "ini keterangan gajinya ada yg asli gak?" aku: gak ada mbak, itu scan-an. 
setelah itu si mbaknya gak komentar dan berkas sdh hampir diterima tapi dikembaliin lagi karena aku blm nulis judul beasiswanya. yo wis, tak tulis. trus kukumpulin lagi, tapi ke mbak yang lain. trus dicek lagi, dan dia berhenti dibagian slip gaji.
15:39 Artaria Nuraini "ini gak ada yg asli?"
"gak ada mbak. cm ada scannya"
"ini dikembaliin dulu ya, nanti kumpulkan yg ada tanda tangan dan cap bendahara kantor,"
0_0
15:40 Artaria Nuraini aku gak tau mau ngomong apa. waktu itu udh jam 3, dan gak mungkin aku mnt papaku ngirim lagi yg ada capnya. secara di papua udh jam 5 -_-
15:41 Artaria Nuraini trus aku nungguin loket yg dipegang mbak2 yg pertama. kali aja kalo ngasih ke dia bisa diterima. dan ternyata dia gak mau nerima lagi, sepertinya udh denger percakapanku sama temen di sebelahnya.
15:42 Artaria Nuraini shock banget yo. udh capek2 dan gak diterima
15:42 Artaria Nuraini ditolak bahkan sebelum diterima administrasinya :"
15:44 Artaria Nuraini trus orang rumah kutelepon sambil mewek. dan ditanyain si babe bilang "ya slip gaji kayak gitu, gak ada tanda tangan sama capnya,"
kata ane, "tapi mbaknya mau ada capnya. katanya biar memastikan bukan palsu,"
15:45 Artaria Nuraini lanjut babe, "Kalo ada cap sama tanda tangannya itu surat penghasilan. yg diminta iitu surat penghasilan atau slip gaji?"
ane gak mau kalah, "Slip gaji, tapi harus ada cap dan tanda tangan bendahara,"
15:46 Artaria Nuraini "kalo gitu itu namanya surat penghasilan,"
"tapi di pengumumannya sllip gaji!" kata ane. trus tak buka web dirmawa...
jeng...jeng...
surat penghasilan orang tua ternyata T_T
15:46 Artaria Nuraini tamat...
15:48 Artaria Nuraini sedih banget. seandainya transkrip nilai jadi sebelum hari ini, trus bisa kukumpul kemarin, dan kalo ada yg keliru bisa diperbaiki.
15:49 Artaria Nuraini dan seandainya udh kuiisi judul beasiswanya.... mbaknya gak bakal balikin. dan seandainya aku tahu bedanya slip gaji dan surat penghasilan ortu.... huaaaa
15:51 Hario Widhi Nugroho Emaaaak
15:51 Hario Widhi Nugroho Yah gimana lg mak
15:51 Hario Widhi Nugroho Mestinya dibaca dulu sih
15:51 Hario Widhi Nugroho Yg salah siapa dong
15:51 Artaria Nuraini salah mbak kptu, aahahahahah
15:51 Hario Widhi Nugroho Bukan salah lo baca?
15:52 Hario Widhi Nugroho Yaudah mak, beasiswa masih ada kesempatan lain. Yg penting lo buat ortu lo bangga dulu mak, cbt bagus semua nilai bagus belajar serius, gue rasa ortu lo ud seneng bgt
15:52 Artaria Nuraini kesalahan: salah baca 10%, transkrip nilai telat 30%, mbak2 kptu 60%
15:52 Hario Widhi Nugroho Lo bisa ngebantu ortu lewat cara itu mak
15:53 Hario Widhi Nugroho Beasiswa tahun depan masih ada lagi, yuk kita ikutan hahaha
15:53 Hario Widhi Nugroho Gue mau minta semua data yg ada dulu pokoknya
15:55 Artaria Nuraini iya sih yo, hiks...hiks... gak mungkin juga aku lolos tahun ini. ya kali mereka mau nerima orang yg ipknya turun drastis pas semester 3 -_- dan pendaftar lain banyak yg nilainya masih bombastis :"
15:55 Hario Widhi Nugroho Kenapa gitu
15:55 Hario Widhi Nugroho 2500 bukan sih untuk semua kluster kesehatan?
15:55 Hario Widhi Nugroho Itu banyak bgt mak pasti lo dapet
15:55 Artaria Nuraini ahh? 2500 itu bukannya utk satu ugm ya?
15:55 Hario Widhi Nugroho Kok setau gue kluster kesehatan ya
15:55 Hario Widhi Nugroho Farmasi fk fkg
15:56 Hario Widhi Nugroho Gatau ding
15:56 Hario Widhi Nugroho Lo baca nya gimana?
15:56 Artaria Nuraini di web dirmawa. disediakan 3500 beasiswa, tapi 800nya buat yg gak mampu. jadi buat yg mampu 2700
15:57 Artaria Nuraini enak banget kalo 2500 buat kluster kesehatan tok yo
15:57 Hario Widhi Nugroho Iy sih
15:58 Hario Widhi Nugroho Ooooo gitu
15:58 Hario Widhi Nugroho Wah enak ya
15:58 Hario Widhi Nugroho Data gue belom siap sih, harus dr jauh2 hari kalo mau minta data2 gitu biar ga terlalu repot
15:59 Artaria Nuraini iya sih yo. ahahahah. bukan rejeki emang. bener kata ente, belajar dulu yg bener -_-
15:59 Artaria Nuraini kalo kata hafiq tahun lalu yg dpet beasiswa itu yg ipnya 3,9 ato 3,8 -_-
16:01 Artaria Nuraini kata hafiq juga mas satrio kemarin dapet, dan nilainya masih moncer bingit. trus tahun ini dia daftar lagi coba, tdi ketemu dia di kptu -_- nah, berarti kita mesti perbaiki smester ini sama semester depan, krn yg dilihat utk tahun depan kan itu. hiks..hikss. semangka yo!