Sore itu sama seperti sore-sore lain. Anak-anak belarian
ke sana ke mari, menerbangkan debu di jalan yang tak beraspal. Maklum, sekarang
masih musim kemarau dan tukang es lilin laku benar jualannya. Di depan salah
satu rumah, Pak Topo si tua-tua keladi, sedang sibuk mengipasi dirinya yang
kepanasan. Kaos dalam putih yang berlubang tampak lengket menempel padanya. Apalagi
barusan cucunya, yang baru saja ia belikan hape berkamera, menunjukkan video
yang membuat Pak Topo tak berhenti berkeringat sampai saat ini.
Salah
satu bagian terpenting dari sore di kampung antah berantah ini adalah
sekelompok ibu-ibu yang asyik berdiskusi. Kali ini mereka berkumpul di depan
warung, sambil sesekali berteriak memanggil pemiliknya untuk ikut bergabung.
Seseorang dari kelompok itu adalah ibu muda yang kewalahan mengejar anak
balitanya, lalu cepat-cepat kembali ke kelompok untuk menyimak. Meski anggota
mereka kurang seorang, tapi itulah syarat agar topik kali ini bisa dibicarakan.
Terdengar semua yang hadir berjengit ketika Jeng Rani selesai bercerita tentang
tetangganya yang absen itu.
“Keterlaluan.
Benar-benar keterlaluan ibu-ibu,” kata Jeng Rani sambil membenarkan
kacamatanya.
“Benar
Bu, Lala juga bilang begitu. Ini bukan sekali dua kali loh. Masa kata Lala
waktu dia makan di kantin sekolah, ada ulat di sambal baksonya!” kerumunan
ibu-ibu itu langsung berdengung.
“Coba
lihat saja ke dapurnya! Iiiihh, jorok banget. Lantainya lengket dan tumpukan
panci-panci berhari-hari belum dicuci!” suasana makin riuh ketika Ibu Marlina
berkomentar, “Nah, sekarang saya nggak habis pikir, kenapa dia tega melakukan
hal itu ke anak-anak kita?” ibu-ibu itu langsung mengangguk sambil bergumam
mengamini pimpinan mereka.
“Tapi-tapi,
anak saya si Toing kok nggak komentar ya setelah makan nasi kotak MOSnya?”
celetuk ibu Rosyidah yang dari tadi diam sambil berpikir.
“Hahahaha,
Jeng Idah, Jeng Idah kayak nggak tahu si Toing aja. Segala makanan kan diembat
sama dia. Iya nggak ibu-ibu? Hahahahaha,” tawa keras Ibu Ratih membahana.
Ibu
Rosyidah masih tetap diam. Kali ini bukan karena sedang mencari alasan untuk tidak
menuduh tetangga sebelah rumahnya, melainkan karena kesal putra kebanggaan
satu-satunya yang gembul dan menggemaskan itu diledek habis-habisan.
***
Awalnya semua berasal dari
jeritan seorang siswi saat ia membuka nasi kotak makan siang di hari pertama acara
orientasi siswa baru. Siswa yang lain jadi ikut panik ketika mendapati serbuk
putih seperti parutan kelapa yang ternyata adalah ulat pada ikan mereka. Guru
yang mengawas langsung mengecek ke ruangan yang lain dan ia mendapati hal yang
sama. Kemudian guru itu bercerita kepada guru yang lain, sementara murid-murid
juga aktif berceloteh kepada sesama mereka, lalu kepada orang tua mereka
sesampainya di rumah. Guru-guru pun tak mau kalah karena kini pasangan mereka
juga sudah tahu apa yang terjadi. Dari semua percakapan mengenai ulat di kotak
nasi, hanya ada satu nama yang terus disebutkan, yaitu Ibu Nurlela.
Malam
hari di rumah Ibu Marlina pun saat ini masih dibahas janda beranak dua yang membuat
heboh itu. Dugaannya pasti benar. Ia tak hanya dapat kabar dari Tito, anaknya
yang mengikuti orientasi, tapi juga dari suaminya yang menjadi guru PPKN di
sana. Sambil menyeterika pakaian untuk anaknya besok, Ibu Marlina masih terus
membahas kejadian tadi pagi, meski harus adu volume suara dengan sinetron yang
diputar keras-keras.
“Desas-desus
yang dulu itu ternyata terbukti kan Pak?” tanya Ibu Marlina. Suaminya hanya
menggumam, sibuk menonton opera sabun yang sudah dua tahun tak kunjung tamat.
“Ckckckck,
tapi Ibu Nurlela itu kok nggak sadar ya? padahal udah banyak yang komplain ke
dia, tapi tetap saja nggak mau ngaku. Waktu itu Ibu Menik pesan cake, eehh
ternyata cake-nya bantet. Awalnya dikira kebetulan, tapi pas pesan lagi
ternyata cake-nya bantet lagi, ckckckck, aku nggak habis pikir loh,”
“Hmmmm...”
“Pak,
pihak sekolah udah komplain ke dia belum?”
“Hmmm...”
“Terus
dia bilang apa?”
“Katanya
dia pakai ikan yang segar,”
Ibu
Marlina geleng-geleng kepala, “Kok begitu terus alasannya? Kalau yang masak Ibu
sih pasti terjamin kualitas bahan bakunya. Oh iya Pak, kantin sekolah yang
megang masih dia?” Suaminya hanya menggeleng, “Bagus itu, harusnya dari dulu
diganti. Aduh, kalau Tito jajannya di dia, Tito bisa keracunan. Coba kalau Ibu
yang ngurusin kantin, pasti terjamin kebersihannya. Eeeehh, tapi Bapak kan
nggak mau KKN. Urusan yang banyak duitnya malah dikasih ke orang lain, istri
sendiri cuma dikasih orderan bakwan untuk MOS . Itu pun cuma untuk besok aja....”
“Sssssttt... Ibu ribut saja dari tadi! Bikin bakwan aja
repotnya bukan main, apalagi kalau disuruh masak besar? Sudah-sudah, Bapak mau
nonton lagi!”
Ibu Marlina hanya merengut. Pantas saja mereka tidak
kaya-kaya, padahal suaminya merangkap juga sebagai bendahara sekolah. Kalau saja
pelajaran yang ia ajarkan bukan PPKN, telinga Ibu Marlina tidak perlu kepanasan
mendengar pidato suaminya tentang korupsi dan nepotisme. Suaminya masih terus
saja setia dengan idealismenya di saat yang mereka punyai di dapur hanya tempe
dan tahu. Bahkan karena omong kosong suaminya pula Tito tak bisa bersekolah di
sekolah swasta terkenal. Biayanya terlalu mahal, begitu kata suaminya. Ibu
Marlina melirik cincin yang terakhir ia beli sepuluh tahun lalu. Harusnya bapak
Tito mengajar ekonomi saja!
Esok paginya keributan terjadi di rumah mungi itu. Ibu
Marlina harus setengah mati membangunkan Tito yang tak mau bangkit. Bukan salah
Tito juga kalau ia berperilaku seperti ini. Jika saja semalam Ibu Marlina tak
memaksa Tito begadang hingga jam tiga pagi untuk membantunya membuat bakwan,
Tito akan mudah saja dibangunkan. Namun Ibu Marlina punya pembelaan tersendiri.
Ia akan melirik jengel pada suaminya yang sudah berpakaian dinas.
“Nanti akan ada orang dari sekolah yang menjemput kuenya.
Bapak akan repot kalau membawanya sendiri,” suaminya berusaha mengalihkan topik.
“Baiklah, akan ibu tunggu. Ibu sudah siapkan teh di meja.
Sarapannya sama bakwan aja ya, ibu nggak sempat bikin yang lain.... Hei Tito!
Ayo bangun!!!!”
Suami Ibu Marlina bergeming ketika istrinya menyebut
bakwan sebagai menu sarapan. Matanya perlahan mencari kue bundar itu. Semalam
Ibu Marlina menyuruhnya membeli telur yang harganya sedang naik untuk adonan bakwan.
Ia terbelalak ketika Ibu Marlina memecah telur yang dibelinya. Kuning telurnya
tak lagi bulat dan sudah mulai memerah. Kedua pasangan itu saling tukar
pandang, lalu membaui telurnya. Suami Ibu Marlina baru saja mengatakan ‘ganti
saja dengan yang baru’, namun ia terlambat karena telur yang tampak mulai rusak
itu sudah bercampur dengan tepung terigu, air, dan sayur mayur.
“Telurnya masih bagus kok, belum busuk,” katanya.
Maka dengan hati yang tak tenang, suami Ibu Marlina
menjalankan tugasnya sebagai pengawas orientasi. Hatinya berdenyut menyakitkan
melihat bakwan yang sudah datang dibungkus dalam plastik bening bersama kue-kue
lainnya. Obrolan rekan guru lain yang masih membahas tragedi kemarin membuat
ngilu kupingnya. Apalagi waktu pembagian snack
pagi dilakukan. Ia saja tak mau memakan bakwan itu, kenapa ia tega membiarkan
orang lain memakannya? Suami ibu Marlina nelangsa. Hanya doa dalam kengerian
yang bisa ia lakukan, semoga tragedi baru tidak terjadi.
Satu jam, dua jam, suami Ibu Marlina terus mengawasi
murid-murid yang baik-baik saja. rekan gurunya pun demikian. Suami Ibu Marlina menghembuskan
napas panjang, mungkin memang bakwan istrinya aman. Ia berjanji dalam hati akan
memakan bakwan istrinya sepulang sekolah nanti. Suami Ibu Marlina kini dengan
hati riang memberikan tanda tangan untuk murid-murid baru, sampai kemudian
terdengar teriakan.
“ADA YANG MUNTAH!!!!!!!”
Suami Ibu Marlina dengan gelagapan segera menyusul
orang-orang yang berlarian ke aula. Anak yang dikabarakan muntah itu
dikelilingi yang lain. Suami Ibu Marlina kembali cemas. Ia menerobos agar
sampai di samping anak itu. Celaka, sungguh celaka, batin suami Ibu Marlina.
Ya, benar-benar celaka, karena yang menjadi korban pertama bakwan Ibu Marlina
adalah anaknya sendiri!
Tito terbaring lemah, mukanya pucat. Seorang guru memijat
kepalanya, lalu Tito muntah lagi. Tak butuh waktu lama, sesuai prediksinya,
anak-anak lain juga ikut keracunan, kemudian disusul rekan gurunya. Suami Ibu
Marlina menepok jidat, barangkali masa orientasi sampai hari ini saja. Panitia
dan peserta, hampir semuanya terbaring tak berdaya.
***
Sore ini sama seperti sore-sore lainnya. Anak-anak masih
berlarian ke sana ke mari dan Pak Topo yang memakai kaos singlet putih terus
mengipasi dirinya yang kepanasan. Di bagian yang lain, elemen terpenting dari
sore hari di kampung antah berantah ini masih berlangsung. Di depan sebuah
warung, sekelompok ibu-ibu asyik berdiskusi. Ibu muda mengejar anak balitanya,
lalu kembali lagi ke kelompok untuk menyimak. Meski anggota mereka kurang
seorang, tapi itulah syarat agar topik kali ini bisa dibicarakan. Terdengar semua
yang hadir berjengit ketika Jeng Rani selesai bercerita tentang tetangganya yang
absen itu.
“Keterlaluan.
Benar-benar keterlaluan ibu-ibu,” kata Jeng Rani sambil membenarkan
kacamatanya.
“Benar
Bu, anak saya juga bilang begitu. Kemarin dia yang jadi panitianya. Untung dia
lagi puasa untuk bayar hutang Ramadhan, jadi nggak ikut nyicipi. Saya nggak
nyangka Ibu Marlina tega masukin telur busuk ke adonan bakwannya. Tapi Ibu
Marlina kalau masak memang kurag sip. Eh, sekarang berani ngirimi bakwan ke
acara MOS,” kata Ibu Nurlela. Tragedi kemarin ternyata sudah terhapus dari
memorinya. Ibu Nurlela tak sadar dijadikan tersangka pada diskusi sebelumnya.
“Tapi-tapi...”
“Tapi
apa Bu Idah? Toing nggak keracunan lagi, ya? Hahahahaha,” tawa Ibu Ratih
membahana.
Ibu Rosyidah diam. Kali ini bukan karena sedang mencari
alasan untuk tidak menuduh tetangga sebelah rumahnya, ataupun karena kesal
putranya yang gembul dan menggemaskan itu diledek habis-habisan. Ibu Rosyidah diam
karena ingin tahu apa yang akan dibicarakan tetangganya ketika ia punya masalah.
Yogyakarta,
kosan Pak Taji, Minggu 7 Sepetmeber 2014 14.28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar