Masih jam
setengah tiga pagi dan aku terbangun bukan karena alarm yang kupasang, tetapi
karena suara membahana suamiku. Jerit mengerikannya kukhawatirkan akan
membangunkan tetangga. Kususul suamiku dengan susah payah bangkit dari tempat
tidur. Kuseret kaki yang berat sampai kutemukan dia di halaman belakang.
Wajahnya kelihatan shock dan pucat. Ia hanya berdiri terpaku dengan pakaian
jogging yang lengkap. Aku juga kaget melihat pemandangan di hadapanku. Kuusap
punggung suamiku sebelum derajat kemarahannya naik sampai ubun-ubun. Tapi aku
terlambat.
“Siapa yang berani melakukan ini
pada Maxi?????!!!!!” raungnya marah. Matanya melotot melihatku. Kemudian
beralih pada anjing gembala jermannya yang kejang-kejang sambil mengeluarkan
busa dari mulutnya. Anjing kesayangannya keracunan.
“Bangunkan anak itu”perintahnya
sambil menahan amarah.
“Ini masih jam setengah tiga.....”
“Bangunkan,”
Aku tak berani
membantahnya. Jika aku berani membuat sang komandan mengulang perintahnya
sampai tiga kali, aku yakin dia sendiri yang akan membangunkan putri kami
dengan cara yang membuat gadis itu tambah berulah. Dan rumah tanggaku akan
lebih ribut dengan argumen dua manusia keras kepala yang tak pernah akur.
Aku sendiri
tak memikirkan pelaku lain selain anakku, karena aku tahu mereka adalah musuh
bebuyutan. Musuh dalam taruhan pemenang piala eropa kemarin, musuh dalam
menentukan pesanan pizza, sampai musuh dalam menentukan warna cat dinding. Namun
aku tahu, suamiku itu sayang benar padanya. Aku hanya bisa mengomel dalam hati.
Aku
mengahampiri anakku yang tertidur dalam posisi yang menurutku bukan
kebisaannya. Aku duduk ditepi tempat tidurnya dan membelai rambutnya yang hitam
panjang. Rambut dan wajahku, tapi wataknya milik suamiku.
“Ibu tahu kamu
tak tidur,”bisikku.
“Lihatlah apa
yang sudah kamu lakukan pada Maxi, ayahmu marah besar,”lanjutku. Ia tak bisa
menyembunyikan senyumnya.
“Aku lagi
tidur bu. Hari ini ada ulangan, daripada mengomeliku, bawa saja Maxi ke dokter
Jaelani sebelum Maxi mencret-mencret. Baru setelah itu, ayah bisa
memarahiku,” jawabnya santai. Ia tahu
benar apa yang telah dilakukannya.
“AKU MAU KE
DOKTER JAELANI!!!! MAXI MULAI MENCRET-MENCRET!!! ANAK ITU, AWAS SAJA DIA!!!!”
teriak suara suamiku dari lantai bawah. Aku melirik putriku yang tertawa puas.
Ayah mengacaukan
segalanya, begitu jawabnya saat kutanya mengapa ia senekat itu meracuni maxi.
Baru kusadari gadisku telah beranjak dewasa. Kemarin ada teman prianya yang main ke rumah kami. Katanya ia hanya datang
untuk belajar bersama, tapi putriku tahu ia ingin menyatakan perasaannya.
Mereka belajar seperti biasa di teras rumah walau putriku menahan perasaan
gembira, sampai katanya dadanya sakit. Waktu yang di nanti putriku tiba saat
pembicaraan mereka beralih dari persamaan trigonometri ke permasalahan cinta.
Tapi semuanya berantakan ketika suamiku pulang dari kantornya dengan pakaian
dinas lengkap. Ia ikut nimbrung di antara mereka berdua. Lalu ia ngobrol dengan
teman pria putriku. Obrolan yang menurut putriku lebih mirip investigasi.
“Dan sesekali
ayah mengusap pistol dan kumisnya,” tambahnya.
Suamiku
bertanya terus sampai pada bagian yang membuat semuanya gagal total. Ayahnya menanyakan kembali soal trigonometri yang baru dijelaskan putri kami pada teman
prianya itu. Tapi ia tak bisa menjawab sama sekali. Keluarlah kata-kata keras
dari mulut sang komandan.
“Ngapain kamu
di sini kalau gitu? Otakmu masih sama kosongnya seperti saat kau datang. Pulang
sana bantu orang tuamu. Regina, MASUK!!!!” kata putriku menirukan ayahnya. Kami
diam beberapa saat. Sekarang hampir setengah enam. Ia lupa akan keinginnnya
untuk tidur, malah bercerita panjang lebar.
“Padahal dia
belum bilang sesuatu, Bu,” katanya sambil menahan isak.
“Lalu kulihat
Maxi yang menggonggong padaku seperti mengejek, langsung saja kuberi obat
pencahar pada makanannya yang sudah disiapkan Bi Sing,” akunya dengan nada
bersalah.
Aku hanya bisa
membelainya. Di saat seperti ini jika aku jadi dirinya, aku akan menangis
tersedu-sedu. Tapi putriku terlalu gengsi untuk menangis. Putriku ini kaku
seperti ayahnya. Tak mudah mengungkapan perasaan.
Sang komandan
pulang ketika putriku sudah berangkat sekolah. Ia menggendong Maxi yang lemas
ke kandangnya.
“Anak itu,
akan kuberi dia pelajaran nanti,” katanya sebelum berangkat kerja. Tapi
menurutku ancaman itu hanya sekadar ancaman. Sang komandan tak sampai hati
menghukum putrinya. Ia menggunakan baret kebanggaan lalu berkaca. Hari ini ia
akan berpidato di hadapan para prajurit batalyonnya.
Aku kasihan pada Maxi yang menjadi pelampiasan
putriku. Aku masih ingat konflik lain antara putriku dan ayahnya yang
mengorbankan Maxi. Saat putriku kalah main PS dari ayahnya, dan mereka adu
mulut kenapa ia sampai kalah. Aku masih bisa mendengar suara kecil putriku saat
berumur sembilan tahun bahwa Maxi yang sedari tadi menggonggong benar-benar
mengganggunya. Selanjutnya ia mengambil air seember dan menyiram Maxi.
Maxi
mendengking kecil. Sepertinya lapar. Kutengok jam. Seharusnya putriku sudah
pulang saat ini. Biasanya ia tak mau melewatkan waktu memberi makan Maxi. Kubelai
Maxi, ia menatapku manja. Tapi tiba-tiba pintu menjeblak terbuka dan suamiku
muncul dengan mukanya yang tak berekspresi. Ia menyeret tangan putriku yang
meronta sambil menangis sesenggukan.
“Ada apa ini?”
tanyaku khawatir.
“LEPASKAN
AKU!!!! AYAH, LEPASKAN!!!!” jeritnya.
“Sudah berapa
kali kubilang, aku tak suka kau bergaul dengan anak itu,” suamiku menggumam.
“AYAH,
LEPASKAN!!!!!”putriku meronta lebih keras sampai pegangan suamiku terlepas.
Pergelangan tangannya merah.
“APA YANG AYAH
INGINKAN LAGI DARIKU????!!!!! AYAH MENGHANCURKAN SEGALANYA!!!!” tuntutnya.
“AKU TAK SUKA
MENEMUKANMU BERBONCENGAN DENGAN BERANDALAN ITU!!!!!” suamiku tak mau kalah.
“KALAU BEGITU
AKU HARUS BERBONCENGAN DENGAN SIAPA KALAU SEMUA TEMAN PRIAKU AYAH SEBUT
BERANDALAN???!!! BAHKAN TAK ADA TEMAN PRIAKU YANG BERANI MENDEKATIKU BEGITU
MENGETAHUI AYAHKU ADALAH AYAH!!!! AKU SUDAH TUJUH BELAS TAHUN, BIARKAN AKU
MEMILIH!!!!!” wajah putriku bercucuran air mata. Mukanya merah. Wajah suamku
tak kalah merahnya. Aku juga gemetar. Kucoba mendekati suamiku dan mengusap
pundaknya, tapi ia mengelak.
“APA JUGA
MAUMU JALAN DENGAN LAKI-LAKI YANG PURA-PURA DATANG KE RUMAH UNTUK BELAJAR
PADAHAL ISI KEPALANYA TETAP KOSONG????!!! CARI YANG LAIN SANA!!!!” sang
komandan ngotot.
“APAKAH AYAH
BERANI MENJAMIN, BEGITU ADA LAKI-LAKI LEBH BAIK YANG INGIN MENDEKATIKU, AYAH
AKAN MEMBIARKANNYA?????” suamiku tak menjawab.“DARI ANAK OLIMPIADE FISIKA
SAMPAI OLIMPIADE KIMIA, DARI YANG TAMPAN SAMPAI YANG SANGAT TAMPAN, AYAH SELALU BILANG ADA KURANGNYA!!! MEMANG APA
MAU AYAH???? INGIN AKU JADI PERAWAN TUA?????!!!........”
“DIAAAAMMMM!!!!!”
bentak sang komandan sambil menodongkan pistol ke arah kepala putrinya. Tangannya
bergetar. Aku kaget setengah mati dan langsung menyusur ke kakinya untuk
menghentikan tindakan konyol itu.
“Jangan....
jangan segila ini Ben....” aku mengiba sambil menangis. Kulihat di sudut
ruangan Bi Sing tampak menangis ketakutan.
“AYO YAH!!!
KENAPA GAK DITARIK PELATUKNYA?????? AKU JUGA UDAH CAPE HIDUP DENGAN ORANG CEREWET
MACAM AYAH YANG LEBIH SAYANG ANJINGNYA DIBANDING ANAKNYA SENDIRI!!!!”
tantangnya. Aku memandang putriku,
memohon padanya untuk diam. Kemudian semuanya terjadi begitu saja. Suamiku
meninggalkan putriku yang menangis sesenggukan dan aku yang tergeletak di
lantai berurai air mata. Ia masuk ke ruang kerjanya.
Aku tak
percaya apa yang terjadi tadi. Suamiku ingin menghabisi nyawa putrinya hanya
gara-gara ia dekat dengan laki-laki tolol? Bi Sing berusaha menenangkanku. Tapi
aku masih tak bisa berdiri, kakiku masih gemetar. Kusuruh saja ia menyiapkan
makan malam, walau kutahu tak akan ada yang mau menyentuhnya. Sejak kejadin
tadi, malam ini rumah kami sunyi senyap. Tak ada tawa putriku, dan tak ada
ocehan suamiku. Setelah kudapati separuh nyawaku, kucoba menghampiri putriku di
kamarnya. Kutemukan ia masih menangis, tapi begitu melihatku, ia mengusap air
matanya.
“Ayahmu
bermaksud baik, Nak,” ujarku berusaha menghilangkan nada ketakutan dalam suaraku sambil menunggu respon. Tapi ia tak
menjawab. Aku memainkan rambutnya. Mencari topik yang bisa mendinginkan hati
putriku.
“Kamu tahu,
ketika ibu masih muda, jika kakek tak menghentikan ibu berpacaran dengan
seorang pria, ibu tak akan jadi dengan ayahmu. Dan kamu tahu, ternyata pria itu
sekarang udah lima kali kawin cerai, hahahaha....” kembali aku menunggu respon
darinya, tapi tak dibalas. Kami diam sebentar.
“Hah, tapi
ayahmu menyenangkan kan?” ia masih tak merespon, tapi aku yakin ia sedang berusaha
menahan senyumnya.
“Ibu ingin kau
minta maaf pada ayahmu nanti” tambahku sambil mencium keningnya sebelum keluar
dari kamar.
Begitu
kukeluar, kutemukan suamiku berjalan ke arah kamar putriku, tapi karena
melihatku, ia berbalik. Aku jengkel benar dengan orang ini. Saat aku berjalan
melewatinya, ia berdehem untuk menghentikanku.
“Kamu tidak
benar-benar ingin menembaknya kan?”tanyaku.
“Tentu aku
ingin,” pipinya berkedut.
“Kamu bohong,
itu hanya amarahmu. Kamu tak akan sesinting itu,” aku berhenti sebentar ingin
melihat reksinya, “ Apa yang membuatmu menjadi sekolot ini sampai ia bergaul
dengan laki-laki saja kau khawatir? Regina tahu yang mana yang benar dan yang
buruk,”kataku. Ia mendesah.
“Bukan itu maksudku.
Aku hanya... Aku hanya belum siap jika....” ia berhenti lagi, “....jika cintanya
untukku dibagi kepada laki-laki lain,” katanya berterus terang. Aku terpana
mendengarnya. Kulihat air mata mengalir di sudut matanya. Setelah pernyataan
cintanya padaku, ini adalah ungkapan perasaan pertama yang keluar dari mulut
salah satu lulusan terbaik Akabri ini.
“Tapi Regina sudah besar, Ben. Ia sama
ngototnya sepertiku waktu dulu. Jika aku
tak ngotot pada Romo untuk jalan
denganmu, mana mungkin kita bisa berdiri di sini sekarang?” ia tak menjawab.
“Aku mau kamu
minta maaf padanya nanti,” kataku sambil berlalu meninggalkannya. Tapi
tangannya menahanku.
“Hei, pistolku
tadi, em, tak ada pelurunya,” ujarnya kaku. Aku tersenyum lagi mendengar
pengakuan pria yang tak mudah mengungkapkan perasaan ini.
Esoknya, kedua
musuh itu bertemu di ruang makan. Berpapasan, saling mengucapkan maaf, kemudian
sarapan dalam diam. Keributan antara ayah-anak tak terdengar hari ini, besok,
dan besoknya lagi. Ini adalah keganjilan dalam rumah tanggaku. Tapi yang
kusyukuri adalah saat Bi Sing cerita padaku tentang kejadian tadi sore. Putriku
pulang lagi-lagi dengan ekspresi menahan tangis. Karena aku tak ada dan yang
ditemukannya hanyalah ayahnya, maka ia menghambur ke arahnya. Memeluknya, kemudian
menangis tersedu-sedu. Bi Sing mendengar sebagian curhatan putriku yang dibalas
dengan belaian lembut ayahnya. Putriku dikhianati oleh teman prianya yang
datang untuk belajar tempo hari. Ia hanya menggunakan putri sang komandan
sebagai ajang taruhan.
Setelah
kejadian itu, rumahku normal kembali. Mereka saling ledek dan kata-kata ketus
nan cuek suamiku pada putriku terdengar lagi. Ramai seperti semula. Sampai tiba
saat kami harus melepas putri kami yang melanjutkan studi di salah satu
universitas terkenal di Jerman melalui jalur beasiswa.
“Aku mau jadi
dokter biar bisa ngobatin darah tinggi ayah,” canda putriku. Kami tersenyum.
Lalu saat putriku menaiki pesawat, air mataku
tak henti-hentinya mengalir sambil melambaikan tangan yang dibalas oleh putriku
dengan lambaian juga. Kutengok suamiku. Ia hanya tersenyum bangga, tapi dari
pipinya yang berkedut itu, aku yakin ia menahan tangis. Dan keganjilan di
rumahku terjadi lagi.
Dua bulan
berikutnya putriku menelepon. Kuliah perdananya berjalan lancar. Dan ia bilang
padaku agar tak usah membongkar rahasia bahwa ia berhasil menggaet kakak
tingkatnya. Tapi kuyakinkan ia untuk jujur pada ayahnya. Saat kuberikan telepon
pada suamiku, ia menolak. Katanya nanti saja ia akan menelepon setelah mengajak
Maxi berjalan-jalan. Begitu juga telepon beriutnya,ia selalu menolak. Sampai
suatu malam kupegoki sang komandan yang menelepon diam-diam.
“Benarkah? Apa
ayah lebih tampan dibanding dia? Hahahaha... Oh, menurutku....” ia berhenti
sebentar, “ekhm, menurut perasaan ayah, ia cocok untukmu,” kemudian ia diam
beberapa lama.
Aku kaget
ketika mendengarnya terisak. Dan lebih kaget lagi saat mendengarnya mengatakan ini:
‘Nak, Ayah kangen berantem sama kamu’
SEND A COMMENT
PLEASE....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar