Simple Life

Senin, 09 Juli 2012

KOMANDAN DANPUTRNYA


Masih jam setengah tiga pagi dan aku terbangun bukan karena alarm yang kupasang, tetapi karena suara membahana suamiku. Jerit mengerikannya kukhawatirkan akan membangunkan tetangga. Kususul suamiku dengan susah payah bangkit dari tempat tidur. Kuseret kaki yang berat sampai kutemukan dia di halaman belakang. Wajahnya kelihatan shock dan pucat. Ia hanya berdiri terpaku dengan pakaian jogging yang lengkap. Aku juga kaget melihat pemandangan di hadapanku. Kuusap punggung suamiku sebelum derajat kemarahannya naik sampai ubun-ubun. Tapi aku terlambat.
“Siapa yang berani melakukan ini pada Maxi?????!!!!!” raungnya marah. Matanya melotot melihatku. Kemudian beralih pada anjing gembala jermannya yang kejang-kejang sambil mengeluarkan busa dari mulutnya. Anjing kesayangannya keracunan.
“Bangunkan anak itu”perintahnya sambil menahan amarah.
“Ini masih jam setengah tiga.....”
“Bangunkan,”
Aku tak berani membantahnya. Jika aku berani membuat sang komandan mengulang perintahnya sampai tiga kali, aku yakin dia sendiri yang akan membangunkan putri kami dengan cara yang membuat gadis itu tambah berulah. Dan rumah tanggaku akan lebih ribut dengan argumen dua manusia keras kepala yang tak pernah akur.
Aku sendiri tak memikirkan pelaku lain selain anakku, karena aku tahu mereka adalah musuh bebuyutan. Musuh dalam taruhan pemenang piala eropa kemarin, musuh dalam menentukan pesanan pizza, sampai musuh dalam menentukan warna cat dinding. Namun aku tahu, suamiku itu sayang benar padanya. Aku hanya bisa mengomel dalam hati.
Aku mengahampiri anakku yang tertidur dalam posisi yang menurutku bukan kebisaannya. Aku duduk ditepi tempat tidurnya dan membelai rambutnya yang hitam panjang. Rambut dan wajahku, tapi wataknya milik suamiku.
“Ibu tahu kamu tak tidur,”bisikku.
“Lihatlah apa yang sudah kamu lakukan pada Maxi, ayahmu marah besar,”lanjutku. Ia tak bisa menyembunyikan senyumnya.
“Aku lagi tidur bu. Hari ini ada ulangan, daripada mengomeliku, bawa saja Maxi ke dokter Jaelani sebelum Maxi mencret-mencret. Baru setelah itu, ayah bisa memarahiku,”  jawabnya santai. Ia tahu benar apa yang telah dilakukannya.
“AKU MAU KE DOKTER JAELANI!!!! MAXI MULAI MENCRET-MENCRET!!! ANAK ITU, AWAS SAJA DIA!!!!” teriak suara suamiku dari lantai bawah. Aku melirik putriku yang tertawa puas.
Ayah mengacaukan segalanya, begitu jawabnya saat kutanya mengapa ia senekat itu meracuni maxi. Baru kusadari gadisku telah beranjak dewasa. Kemarin ada teman prianya yang  main ke rumah kami. Katanya ia hanya datang untuk belajar bersama, tapi putriku tahu ia ingin menyatakan perasaannya. Mereka belajar seperti biasa di teras rumah walau putriku menahan perasaan gembira, sampai katanya dadanya sakit. Waktu yang di nanti putriku tiba saat pembicaraan mereka beralih dari persamaan trigonometri ke permasalahan cinta. Tapi semuanya berantakan ketika suamiku pulang dari kantornya dengan pakaian dinas lengkap. Ia ikut nimbrung di antara mereka berdua. Lalu ia ngobrol dengan teman pria putriku. Obrolan yang menurut putriku lebih mirip investigasi.
“Dan sesekali ayah mengusap pistol dan kumisnya,” tambahnya.
Suamiku bertanya terus sampai pada bagian yang membuat semuanya gagal total. Ayahnya menanyakan kembali soal trigonometri yang baru dijelaskan putri kami pada teman prianya itu. Tapi ia tak bisa menjawab sama sekali. Keluarlah kata-kata keras dari mulut sang komandan.
“Ngapain kamu di sini kalau gitu? Otakmu masih sama kosongnya seperti saat kau datang. Pulang sana bantu orang tuamu. Regina, MASUK!!!!” kata putriku menirukan ayahnya. Kami diam beberapa saat. Sekarang hampir setengah enam. Ia lupa akan keinginnnya untuk tidur, malah bercerita panjang lebar.
“Padahal dia belum bilang sesuatu, Bu,” katanya sambil menahan isak.
“Lalu kulihat Maxi yang menggonggong padaku seperti mengejek, langsung saja kuberi obat pencahar pada makanannya yang sudah disiapkan Bi Sing,” akunya dengan nada bersalah.
Aku hanya bisa membelainya. Di saat seperti ini jika aku jadi dirinya, aku akan menangis tersedu-sedu. Tapi putriku terlalu gengsi untuk menangis. Putriku ini kaku seperti ayahnya. Tak mudah mengungkapan perasaan.
Sang komandan pulang ketika putriku sudah berangkat sekolah. Ia menggendong Maxi yang lemas ke kandangnya.
“Anak itu, akan kuberi dia pelajaran nanti,” katanya sebelum berangkat kerja. Tapi menurutku ancaman itu hanya sekadar ancaman. Sang komandan tak sampai hati menghukum putrinya. Ia menggunakan baret kebanggaan lalu berkaca. Hari ini ia akan berpidato di hadapan para prajurit batalyonnya.
 Aku kasihan pada Maxi yang menjadi pelampiasan putriku. Aku masih ingat konflik lain antara putriku dan ayahnya yang mengorbankan Maxi. Saat putriku kalah main PS dari ayahnya, dan mereka adu mulut kenapa ia sampai kalah. Aku masih bisa mendengar suara kecil putriku saat berumur sembilan tahun bahwa Maxi yang sedari tadi menggonggong benar-benar mengganggunya. Selanjutnya ia mengambil air seember dan menyiram Maxi.
Maxi mendengking kecil. Sepertinya lapar. Kutengok jam. Seharusnya putriku sudah pulang saat ini. Biasanya ia tak mau melewatkan waktu memberi makan Maxi. Kubelai Maxi, ia menatapku manja. Tapi tiba-tiba pintu menjeblak terbuka dan suamiku muncul dengan mukanya yang tak berekspresi. Ia menyeret tangan putriku yang meronta sambil menangis sesenggukan.
“Ada apa ini?” tanyaku khawatir.
“LEPASKAN AKU!!!! AYAH, LEPASKAN!!!!” jeritnya.
“Sudah berapa kali kubilang, aku tak suka kau bergaul dengan anak itu,” suamiku menggumam.
“AYAH, LEPASKAN!!!!!”putriku meronta lebih keras sampai pegangan suamiku terlepas. Pergelangan tangannya merah.
“APA YANG AYAH INGINKAN LAGI DARIKU????!!!!! AYAH MENGHANCURKAN SEGALANYA!!!!” tuntutnya.
“AKU TAK SUKA MENEMUKANMU BERBONCENGAN DENGAN BERANDALAN ITU!!!!!” suamiku tak mau kalah.
“KALAU BEGITU AKU HARUS BERBONCENGAN DENGAN SIAPA KALAU SEMUA TEMAN PRIAKU AYAH SEBUT BERANDALAN???!!! BAHKAN TAK ADA TEMAN PRIAKU YANG BERANI MENDEKATIKU BEGITU MENGETAHUI AYAHKU ADALAH AYAH!!!! AKU SUDAH TUJUH BELAS TAHUN, BIARKAN AKU MEMILIH!!!!!” wajah putriku bercucuran air mata. Mukanya merah. Wajah suamku tak kalah merahnya. Aku juga gemetar. Kucoba mendekati suamiku dan mengusap pundaknya, tapi ia mengelak.
“APA JUGA MAUMU JALAN DENGAN LAKI-LAKI YANG PURA-PURA DATANG KE RUMAH UNTUK BELAJAR PADAHAL ISI KEPALANYA TETAP KOSONG????!!! CARI YANG LAIN SANA!!!!” sang komandan ngotot.
“APAKAH AYAH BERANI MENJAMIN, BEGITU ADA LAKI-LAKI LEBH BAIK YANG INGIN MENDEKATIKU, AYAH AKAN MEMBIARKANNYA?????” suamiku tak menjawab.“DARI ANAK OLIMPIADE FISIKA SAMPAI OLIMPIADE KIMIA, DARI YANG TAMPAN SAMPAI YANG SANGAT TAMPAN,  AYAH SELALU BILANG ADA KURANGNYA!!! MEMANG APA MAU AYAH???? INGIN AKU JADI PERAWAN TUA?????!!!........”
“DIAAAAMMMM!!!!!” bentak sang komandan sambil menodongkan pistol ke arah kepala putrinya. Tangannya bergetar. Aku kaget setengah mati dan langsung menyusur ke kakinya untuk menghentikan tindakan konyol itu.
“Jangan.... jangan segila ini Ben....” aku mengiba sambil menangis. Kulihat di sudut ruangan Bi Sing tampak menangis ketakutan.
“AYO YAH!!! KENAPA GAK DITARIK PELATUKNYA?????? AKU JUGA UDAH CAPE HIDUP DENGAN ORANG CEREWET MACAM AYAH YANG LEBIH SAYANG ANJINGNYA DIBANDING ANAKNYA SENDIRI!!!!” tantangnya. Aku memandang  putriku, memohon padanya untuk diam. Kemudian semuanya terjadi begitu saja. Suamiku meninggalkan putriku yang menangis sesenggukan dan aku yang tergeletak di lantai berurai air mata. Ia masuk ke ruang kerjanya.
Aku tak percaya apa yang terjadi tadi. Suamiku ingin menghabisi nyawa putrinya hanya gara-gara ia dekat dengan laki-laki tolol? Bi Sing berusaha menenangkanku. Tapi aku masih tak bisa berdiri, kakiku masih gemetar. Kusuruh saja ia menyiapkan makan malam, walau kutahu tak akan ada yang mau menyentuhnya. Sejak kejadin tadi, malam ini rumah kami sunyi senyap. Tak ada tawa putriku, dan tak ada ocehan suamiku. Setelah kudapati separuh nyawaku, kucoba menghampiri putriku di kamarnya. Kutemukan ia masih menangis, tapi begitu melihatku, ia mengusap air matanya.
“Ayahmu bermaksud baik, Nak,” ujarku berusaha menghilangkan nada ketakutan dalam  suaraku sambil menunggu respon. Tapi ia tak menjawab. Aku memainkan rambutnya. Mencari topik yang bisa mendinginkan hati putriku.
“Kamu tahu, ketika ibu masih muda, jika kakek tak menghentikan ibu berpacaran dengan seorang pria, ibu tak akan jadi dengan ayahmu. Dan kamu tahu, ternyata pria itu sekarang udah lima kali kawin cerai, hahahaha....” kembali aku menunggu respon darinya, tapi tak dibalas. Kami diam sebentar.
“Hah, tapi ayahmu menyenangkan kan?” ia masih tak merespon, tapi aku yakin ia sedang berusaha menahan senyumnya.
“Ibu ingin kau minta maaf pada ayahmu nanti” tambahku sambil mencium keningnya sebelum keluar dari kamar.
Begitu kukeluar, kutemukan suamiku berjalan ke arah kamar putriku, tapi karena melihatku, ia berbalik. Aku jengkel benar dengan orang ini. Saat aku berjalan melewatinya, ia berdehem untuk menghentikanku.
“Kamu tidak benar-benar ingin menembaknya kan?”tanyaku.
“Tentu aku ingin,” pipinya berkedut.
“Kamu bohong, itu hanya amarahmu. Kamu tak akan sesinting itu,” aku berhenti sebentar ingin melihat reksinya, “ Apa yang membuatmu menjadi sekolot ini sampai ia bergaul dengan laki-laki saja kau khawatir? Regina tahu yang mana yang benar dan yang buruk,”kataku. Ia mendesah.
“Bukan itu maksudku. Aku hanya... Aku hanya belum siap jika....” ia berhenti lagi, “....jika cintanya untukku dibagi kepada laki-laki lain,” katanya berterus terang. Aku terpana mendengarnya. Kulihat air mata mengalir di sudut matanya. Setelah pernyataan cintanya padaku, ini adalah ungkapan perasaan pertama yang keluar dari mulut salah satu lulusan terbaik Akabri ini.
 “Tapi Regina sudah besar, Ben. Ia sama ngototnya sepertiku waktu dulu. Jika  aku tak ngotot pada Romo untuk  jalan denganmu, mana mungkin kita bisa berdiri di sini sekarang?” ia tak menjawab.
“Aku mau kamu minta maaf padanya nanti,” kataku sambil berlalu meninggalkannya. Tapi tangannya menahanku.
“Hei, pistolku tadi, em, tak ada pelurunya,” ujarnya kaku. Aku tersenyum lagi mendengar pengakuan pria yang tak mudah mengungkapkan perasaan ini.
Esoknya, kedua musuh itu bertemu di ruang makan. Berpapasan, saling mengucapkan maaf, kemudian sarapan dalam diam. Keributan antara ayah-anak tak terdengar hari ini, besok, dan besoknya lagi. Ini adalah keganjilan dalam rumah tanggaku. Tapi yang kusyukuri adalah saat Bi Sing cerita padaku tentang kejadian tadi sore. Putriku pulang lagi-lagi dengan ekspresi menahan tangis. Karena aku tak ada dan yang ditemukannya hanyalah ayahnya, maka ia menghambur ke arahnya. Memeluknya, kemudian menangis tersedu-sedu. Bi Sing mendengar sebagian curhatan putriku yang dibalas dengan belaian lembut ayahnya. Putriku dikhianati oleh teman prianya yang datang untuk belajar tempo hari. Ia hanya menggunakan putri sang komandan sebagai ajang taruhan.
Setelah kejadian itu, rumahku normal kembali. Mereka saling ledek dan kata-kata ketus nan cuek suamiku pada putriku terdengar lagi. Ramai seperti semula. Sampai tiba saat kami harus melepas putri kami yang melanjutkan studi di salah satu universitas terkenal di Jerman melalui  jalur beasiswa.
“Aku mau jadi dokter biar bisa ngobatin darah tinggi ayah,” canda putriku. Kami tersenyum.
 Lalu saat putriku menaiki pesawat, air mataku tak henti-hentinya mengalir sambil melambaikan tangan yang dibalas oleh putriku dengan lambaian juga. Kutengok suamiku. Ia hanya tersenyum bangga, tapi dari pipinya yang berkedut itu, aku yakin ia menahan tangis. Dan keganjilan di rumahku terjadi lagi.
Dua bulan berikutnya putriku menelepon. Kuliah perdananya berjalan lancar. Dan ia bilang padaku agar tak usah membongkar rahasia bahwa ia berhasil menggaet kakak tingkatnya. Tapi kuyakinkan ia untuk jujur pada ayahnya. Saat kuberikan telepon pada suamiku, ia menolak. Katanya nanti saja ia akan menelepon setelah mengajak Maxi berjalan-jalan. Begitu juga telepon beriutnya,ia selalu menolak. Sampai suatu malam kupegoki sang komandan yang menelepon diam-diam.
“Benarkah? Apa ayah lebih tampan dibanding dia? Hahahaha... Oh, menurutku....” ia berhenti sebentar, “ekhm, menurut perasaan ayah, ia cocok untukmu,” kemudian ia diam beberapa lama.
Aku kaget ketika mendengarnya terisak. Dan lebih kaget lagi saat  mendengarnya mengatakan ini:
‘Nak, Ayah kangen berantem sama kamu’




SEND A COMMENT PLEASE....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar