Simple Life

Sabtu, 26 Oktober 2013

The Flat 3

III
Kepalaku masih berat saat mengangkat telepon dari Yon Ju. Aku menjauhkan hape dari telingaku karena suaranya yang sangat keras. Ia marah besar. Ia berteriak-teriak dari seberang sana dengan kata-kata yang belum dapat kucerna. Aku kasihan padanya saat membayangkan ia menelepon dengan urat yang menyembul dari lehernya sementara aku, di sisi gelap kota ini, meletakkan hape di sampingku dan memejamkan mata berusaha tidur kembali. Lima menit kemudian kutempelkan lagi hape di telingaku, dan ia masih nyerocos sampai ke bagian yang paling kutunggu.
“Kau mengerti?”
“Ne,” jawabku. Telepon ditutup. Aku tak tahu apa yang ia bicarakan dan apa yang harus kumengerti. Tapi bisa disimpulkan bahwa Yon Ju mengira aku menyimak kata-katanya, dan itu bagus buatku, ia tak akan tambah murka. Aku tak bisa membayangkan ia tak berhenti bicara selama sepuluh menit tanpa memberiku kesempatan, padahal ini masih pagi. Masih pagi? Kulihat jam dinding di atas tivi, jam sebelas.
                Aku memperbaiki posisi tidurku di sofa, memandangi tiga botol soju dan satu bungkus rokok. Aku berdecap, merasakan mulutku yang pahit karena minuman keras. Sebentar, aku minum sebanyak ini tapi tak muntah? Aku bangun tidur dan duduk di sofa. Ahh, kepalaku berat sekali. Kusandarkan kepalaku di pinggiran sofa, sampai secara refleks aku mencari kamar mandi karena isi perutku yang akan keluar.
Huuuueekkk...
                Rasa pahit dan panas menjalari tenggorokanku saat cairan dari mulutku masuk ke kloset kamar mandi. Aku terus muntah-muntah selama semenit menyisakan badan yang lemah. Aku belum makan sejak tadi malam. Dengan sempoyongan kuambil air mineral dari kulkas dan kuteguk untuk mengembalikan cairan yang banyak terbuang. Aku melihat lagi ke dalam kulkas untuk mencari makanan, namun yang kudapatkan hanyalah roti tawar.
                Dalam satu jam ke depan yang kulakukan adalah membereskan puntung dan abu rokok, menyngkirkan botol-botol soju, menyiapkan checklist belanja, dan merapikan rumah. Semua kulakukan sambil berdendang untuk menunjukkan keringanan hatiku sampai bel flat ku berbunyi.
“Yon Ju?” aku kaget saat mendapatinya di depan flat ku. Mukanya merah.
“Kenapa? Bukankah sudah kukatakan lewat telepon kalau aku akan ke sini?” tanyanya menyelidik.
“Oh  tentu saja,” kataku sambil membiarkannya masuk.
                Kulihat ia mengelilingi flatku, mencari kecacatan apa saja untuk meluapkan amarahnya lagi. Kemudian ia duduk di sofa. Terlihat puas dengan inspeksi singkatnya.
“Jelaskan padaku apa yang tejadi tadi malam?” ia menatapku tajam.
                Aku mencoba mengingat kejadian semalam. Aku, Yong Hwa, Yoon Ah dan Ji Sung pergi ke pesta direktur Cho bersama. Sebelumnya Ji Sung mendandaniku di tempatnya dan aku marah karena Yong Hwa tak langsung menemuiku setelah ia sampai di Korea. Aku bertemu direktur Cho dan istrinya, hmmm, oh ya, bertemu laki-laki Korea-Amerika bernama Lee Yong Ik juga. Dikrektur Cho mengenalkan kami. Setelah itu muncul si perempuan jalang. Ia bilang Yong Hwa telah membelikannya tas dari Moskow dan langsung menemuinya sesampainya di tanah air. Aku marah besar dan langsung menonjok Yong Hwa saat kami bertemu. Ruang pesta riuh dan aku pergi begitu saja. Kemudian ada kejadian di lift. Aku benci sekali dengan lelaki yang kutabrak kemarin. Sesampainya di kamar aku langsung mengambil 3 botol soju dan mengahabiskan malamku dengan mabuk dan rokok.
Aku mengernyit setelah berhasil menyatukan puzzle kejadian semalam, “Aku menonjoknya,” jawabku. Yon Ju melihat ke arah lain setelah mendengar jawabanku. Ia kecewa. Sebenarnya aku menyesal dengan apa yang kulakukan.
“Maafkan aku. Aku tak akan berulah lagi. Sungguh. Jangan beri tahu Yong Hwa apapun tentangku. Aku butuh sendiri untuk beberapa waktu. Akan kuikuti instruksimu,” kataku sambil memeluknya. Ia mengusap kepalaku. Aku rindu ibuku.
***
                Aku menjalankan semua instruksinya. Berhasil untuk sebulan ini, aku belum mati. Menjalani rutinitas kuliah, dan ruang kelasku bergeming saat melihatku hadir lagi untuk yang pertama kali. Aku hanya nyengir.                Aku juga mulai berhemat. Jarang ke klub malam, tak pernah lagi ke restoran mahal, dan aku mulai terbiasa dengan bis. Aku sering menelepon sahabatku Yoon Ah, kurasa hanya dia tempatku ngobrol. Aku belum mengalami  kemajuan yang berarti dengan lingkungan tempat tinggalku. Perempuan resepsionis itu masih bermuka menyenangkan walau aku tak pernah merespon sama sekali sapaannya.
 Sekarang aku tahu, lantai 3 adalah bagian dari rumah susun ini yang harus kuhindari. Lantai 3 adalah milik pekerja kasar proyek pembangunan gedung di daerah ini. Mereka semua kasar, bau, dan kotor, begitu pikirku. Dan bukankah kebanyakan memang begitu kan? Mereka menggodaku setiap aku melewati wilayahnya, tapi siapa yang peduli? Aku selalu mempercepat langkahku. Hanya satu orang yang kulihat berbeda dari lantai 3. Anak muda berusia 18 tahun yang kupikir pasti salah satu anak pekerja bangunan. Ia bersih dan cukup tampan. Ia sering menyapa bila kami bertemu, tidak hanya padaku, tapi pada semua orang di rumah ini. Cukup menyenangkan. Tapi tetap saja, ia adalah bagian dari lantai 3, dan ia sama dengan mereka semua.
Bisa dibilang aku sama sekali belum mengenal semua penghuni rumah ini. Bahkan penghuni kamar 36. Aku tak kenal siapa dia, dan sepertinya ia tak mau repot-repot mengenalku. Aku sering berpapasan dengannya saat pergi kuliah. Tak pernah bicara dan tak saling sapa. Aku baru sadar, hanya tiga penghuni yang menempati lantai paling atas ini. Aku, orang yang kutabrak, dan seorang kakek tua di sayap lain. Ia tinggal sendiri.
Aku tak kenal pria di samping flatku, tapi aku sudah mengenal beberapa kebiasaanya. Ia suka berolah raga di pagi hari, dilanjutkan dengan berjemur di balkonnya. Di kursi santai. Seperti bayi saja. Aku tak pernah ke balkon bila ada dia. Dan dia sepertinya sama, tak akan keluar ke balkon saat tahu ada aku di balkon milikku. Ia sering membawa mangkok, entah berisi apa, ke flat orang tua itu. Sejak saat itu, aku menamai ia si pria mangkok. Ia selalu berpakaian rapi. Setelan kemeja dan juga jas. Tanpa dasi. Mungkin dia karyawan biasa atau mungkin sales, karena ia cukup tampan. Jelas bukan seorang eksekutif muda apalagi pengusaha muda, melihat ia tinggal di flat sejelek dan semurah ini.
                Aku mendapatkan kabar dari ibuku dua minggu lalu. Adikku akan sekolah di Seoul Girl High School. Letaknya di pusat kota. Ia akan tinggal bersamaku untuk sementara waktu sampai ia masuk asrama sekolahnya. Ibu menginginkan pendidikan terbaik bagi kedua putrinya. Tetapi mengingat aku adalah salah satu bentuk kegagalan dalam dunia pendidikan, ibu menginginkan yang lebih untuknya. Tak mengapa buatku. Aku tahu Kim Hyo Jung sangat cerdas. Jadi aku yakin ia dapat melalui dengan baik pendidikan di sini. Aku melirik jamku. Jam empat sore. Ia pasti sudah sampai di tempatku. Bis masih setengah perjalanan, aku tak sabar bertemu dengannya.
                Aku mendengar suara yang tak asing saat memasuki lobi rumah. Memang adikku, ia sedang ngobrol dengan seseorang di kursi lobi, tapi siapa?
“Hyo Jung?” kataku.
“Eonni!!!” ia langsung menghambur ke arahku. Memelukku.“kau lama sekali!!!” teriaknya.
“Maaf,” kataku. Akhirnya aku tahu siapa teman bicara Hyo Jung. Pemuda dari lantai 3. Ia tersenyum.
“Kak, katanya kau belum pernah sama sekali berkenalan dengannya? Kenalkan namanya Jeong Min. Lee Jeong Min,” kata adikku mantap. Jeong Min mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya. Kami bersalaman.
“Aku kakaknya Hyo Jung,” kataku cuek.
“Aku suka membaca tulisan anda,” ujarnya.
“Kami harus pergi,” kataku sambil menarik tangan adikku. Aku merasa Hyo Jung masih sempat berbalik dan mengucapkan selamat tinggal.
                Kami memilih melewati tangga. Sepanjang perjalanan hanya pemuda itu yang diceritakan Hyo Jung.
“Dia sangat pintar kak...” aku mendengus mendengarnya.
Percakapan kami terhenti saat tiba di lantai 3. Saat itu sekumpulan penghuni lantai itu sedang bermain kartu dan seperti biasanya, mereka menggodaku.
“Nona yang dingin datang. Barangkali ia mau bergabung bersama kita, hahaha,” kata seseorang di antara mereka.
“Nona congkak, kau kedatangan tamu ya? Wah nona cantik, semoga saja kau tidak sedingin dia, ahahahaha,”
                Adikku berhenti saat mendengar kata-kata mereka. Ia bingung, malu, dan kesal.
“Hyo Jung, kau naik duluan,” bisikku. Ia menuruti perintahku. Aku memberinya kunci flat.
Aku yang masih berada di lantai 3 berbalik kepada mereka, menunjukkan jari tengahku sebagai bentuk penghinaan. Mereka terdiam seketika. Aku melanjutkan langkahku. Memasuki flat dan mendapati adikku berkacak pinggang. Ia siap menuntut jawaban atas lingkungan ini. Aku menuju kulkas dan mengambil air. Meneguknya.
“Berapa banyak penghuni rumah ini yang kau kenal?”
“Aku tak kenal siapa-siapa,” jawabku.
“Eonni pikir bisa hidup sendiri di dunia ini? Kau menyedihkan,” katanya.
“Apa katamu? Sejak awal aku tak pernah ingin tinggal di sini kalau tidak demi karirku!!! Kau lihat orang-orang di sini? Orang pinggiran! Dan aku tidak mau jadi salah satu dari mereka!!! Dan jauhi anak laki-laki itu!” bentakku.
“Apa hubungannya dengan Jeong Min? Kapan kau berhenti merendahkan orang lain? Kaupikir apa tujuan Bibi Yon Ju menyuruhmu tinggal di sini? Bukankah untuk mengubah watakmu? Membuatmu melihat dunia lain, orang-orang lain? Tapi tetap sama saja kan, kau masih tak mau berhubungan dengan mereka yang lebih rendah darimu! Kalau memang kau tak mau merubahnya, lebih baik berhenti saja! kau akan terus tak punya inspirasi!!!!” katanya panjang lebar.
“Berani sekali kau ngomong seperti itu! Yaaa!! Mau ke mana kau,” aku mengejar Hyong Ju yang lebih dulu sampai di kamarku. Ia membanting pintu.
 “Buka pintunya!!!”
***
                Keadaan tak semakin membaik saat adikku berada di sini. Aku membuka lembar perang baru dengannya. Kami lebih banyak diam bila bersama. Dia telah memulai kegiatan sekolah dari pagi sampai malam, lalu masih sempat ingin bertemu dengan pemuda lantai 3.  Tetapi selalu kutolak dan menyuruh Jeong Min ke flat ku. Menemaninya belajar. Aku selalu mengawasinya dengan pandangan dari sudut mataku. Melihat gerak-gerik mereka, saat mereka tertawa bersama, dan saling bercanda. Aku iri? Hah! Tidak! Hyo Jung gadis yang riang, mudah baginya untuk dekat dengan siapapun. Termasuk dengan Jeong Min. Dan Hhyong Ju tahu aku membenci pemuda dari lantai 3 itu.
                Tapi untunglah ada Yoon Ah. Ia beberapa kali datang ke flatku. Kadang-kadang ia menginap. Aku sering melihat Yoon Ah dan adikku duduk berdua. Entah apa yang mereka bicarakan. Paling-paling si bocah dari lantai 3! Yoon Ah pernah bercerita tentang si pria mangkok, orang yang kutabrak itu. ia pernah minta tolong untuk diantarkan ke kamarku. Berarti si pria mangkok mengenalku? Tentu saja, aku kan Kim Ha Na yang terkenal! Tapi ia segera berhenti ketika aku memperlihatkan pandangan tak suka. Kami tak pernah membahas pria itu lagi.
                Di sisi lain aku masih berusaha untuk memulai menulis lagi. Kunyalakan laptop dan mencoba mengetik. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, sampai kemudian kuhapus lagi. Sudah tiga jam aku mencoba menulis. Otakku buntu. Hanya ada cerita Cinderella di sana. Adikku sudah tidur dan temannya sudah pulang. Ya Tuhan, mungkin benar kata Hyong Ju. Aku menatap diriku di kamar mandi. Mencuci mukaku. Mukaku tegang dan keningku berkerut. Berpikir. Aku berusaha membentuk lengkung dari bibir itu, tapi aku selalu gagal. Muka Kim Ha Na selalu terlihat cemberut.
                Semua baik-baik saja sampai suatu hari ketenangan flat ku terusik. Hyo Jung sudah dua malam tak pulang. Ia tak bisa dihubungi. Aku panik. Kucari nomor telepon teman-temannya, menelepon mereka, namun jawabannya sama: mereka tak melihat Hyo Jung. Aku sudah ke kantor polisi kemarin, namun kata mereka belum genap 24 jam adikku menghilang, jadi mereka belum bisa mencarinya. Tenang Ha Na, tenang, kata suara dalam kepalaku. Aku berusaha duduk. Air mataku tumpah.
Apa aku perlu menelepon polisi lagi? tapi bagaimana jika dugaanku benar? Aku tak sampai hati memenjarakan pemuda yang kata adikku pintar itu. Aku sudah meng-sms Yoon Ah, namun ia sibuk dengan tugas kuliahnya. Yon Ju? Aku tak ingin merepotkannya lagi. uhuk..uhuk.. aku terbatuk. Semakin parah batukku sejak dua hari yang lalu. Aku membuka bungkus rokok keduaku.
Bagaimana bila ibu tahu tentang ini? Ayo pikirlah, barangkali Hyo Jung pernah berpamitan ke suatu tempat? Tidak sepertinya. Ayo pikir lagi!!! Anak itu! Aku tidak melihatnya belakangan ini. Jeong Min! Aku tidak pernah percaya padanya sejak awal! Ia bagian dari masyarakat lantai 3! Lalu bagaimana caraku agar dapat berhadapan dengan mereka?
                Pikirkan caranya. Aku ke balkon untuk mencari udara segar. Menghembuskan asap rokok. Menjernihkan pikiranku sampai tiba-tiba aku memandang balkon sebelah. Ruangan dalam flat itu menyala. Flat nomor 36! Mungkin tidak tahu diri bila meminta orang yang sama sekali tak kukenal itu untuk berhadapan dengan orang-orang dilantai 3. Tapi siapa lagi yang bisa kumintai tolong?
Tok..Tok..Tok...
                Pintu kamar 36 tebuka dan muncul si pria mangkok. Ia menatapku heran. Memandangi rambutku yang kusut dan mataku yang bengkak. Aku belum makan sejak pagi. Sudah tiga bulan aku selantai dengannya dan baru kali ini aku bertamu secara resmi.
“Ada apa?”
“Tolong aku, adikku menghilang. Sudah dua malam...” aku terisak.
***
                Kami mengambil langkah seribu. Aku harus berlari kecil untuk mengimbangi langkah panjang yang dibuat pria ini. Kami menuruni tangga sampai ke lantai 3.
“Kau yakin dia yang melakukannya?” tanyanya.
“Ya. Apa kau pernah melihatnya dua hari ini?” yang ditanya diam.
“Tidak,” katanya kemudian.
Kami tiba di depan kamar bernomor 27. Aku melihat pria itu,  bertanya apakah pintunya harus kuketok atau tidak. Ia mengangguk.
Tok..tok...
Tok...tok...
Tok..tok...
                Aku memandangnya, menggeleng. Panik. Si  pria mangkok bergerak ke kiri dan mengetuk pintu flat di sebelahnya.  Tok....Tok.. tok...
Terbuka.
“Ya?” tanya penghuni itu.
“Aku dari lantai 5...” kata-kata pria yang pernah kutabrak berhenti saat memperhatikan pandangan penghuni lantai 3 itu beralih ke arahku.
“Wah nona congkak, ada perlu apa?” ia menyeringai padaku. Aku berlindung di balik Si  pria mangkok. Ia menyampingkan tangannya ke arahku. Berusaha melindungiku. Aku menggenggam tangannya.
“Ahjussi, kau tahu ke mana perginya penghuni kamar nomor 27,” mata itu kembali lagi pada Si  pria mangkok.
“Aku tak tahu,” ia mencoba menutup pintu tetapi Si  pria mangkok menahannya.
“Anak laki-laki itu menghilang pada saat yang sama adik nona ini menghilang. Apa kau tahu di mana dia?”
“Aku tak tahu. Maaf, saya ada kegiatan lain,”
“Saya serius. Anda tak mau berurusan dengan polisi kan?”
“Aku benar-benar tak tahu!!!” teriak orang itu. Mereka berdua saling tatap. Aku semakin memerkuat genggamanku. Namun kutahu pertarungan tatap-menatap itu dimenangkan Si  pria mangkok.
“Tunggu sebentar,” katanya. ia menutup pintu dan mengambil sesuatu dari dalam flat. Pria mangkok menatap tangan kami yang saling terpaut, lalu menatapku. Aku yang sadar, langsung melepaskan tangan.
“Maaf,” kataku. Aku berani bertaruh, tangan lelaki itu pasti kebas.
                Setelah dua menit kami menunggu, pria dari lantai 3 itu membuka pintu dan memberikan kami secarik kertas.
“Coba pergi ke alamat ini,”
                Pria mangkok menyetir mobilnya  70 km/jam! Aku bahkan belum pernah melakukannya. Aku melihat muka itu tegang. Tangannya meremas setir mobil saat mobil kami berhenti di lampu merah. Jam 8.30 pm. Kami harus pergi ke sisi barat Seoul sementara flat kami ada di bagian timur Seoul. Kami melewati sungai Han. Aku hanya bisa menangis sepanjang perjalanan. Dua hari yang lalu aku pulang jam 10.00 pm. Aku tak bertemu dengannya kukira ia sudah tidur sampai besok pagi aku mencarinya, ia tak ada. Lalu kutunggu ia sampai sekarang, aku belum tidur sama sekali.
“Kita sudah sampai,” kata pria mangkok.
“benar kan ini alamatnya?”tanyanya. Aku mengangguk.
                Kami menelusuri daerah dermaga lama ini. Sudah sejak tahun 90an tak dipakai. Dahulu adalah tempat pelelangan ikan sampai limbah industri mencemarinya. Nelayan adalah profesi turun temurun di tempat ini dulu. Dulu.
“Kita harus bergegas. Sudah jam 9 malam...” ia berhenti saat melihatku diam menatap laut. Aku tak pernah melihat laut semenjak tinggal di Seoul. Dermaga ini mengingatkan tempat lahirku di Incheon. Keluargaku sendiri adalah keluarga pengusaha produk laut. Termasuk ayahku.
“Ha Na..” aku kaget saat ia memanggilku. Ia mengulurkan tangannya dan aku meraihnya.
                Kami sampai di rumah kecil dalam perkampungan nelayan itu. Aku mengetok pintunya dan keluar seorang ahjumma. Ia menyambut kami ramah.
“Ya, ada yang bisa saya bantu?”
“Apa ini kediaman Lee Jeong Min?”
“Ne, ada apa?” kami tak melanjutkan pertanyaan ketika mendengar suara bersenda gurau yang tak asing lagi.
                Kami berbalik ke arah sumber  suara dan mendapati mereka berdua bergandengan tangan. Melihat aku dan si pria mangkok, mereka berhenti. Kini jarak kami tinggal 10 meter. Aku bisa melihat dengan jelas wajahnya.
“Hyo Jung!!!” jeritku.
Adikku lari seketika meninggalkan kami bahkan Jeong Min. Secara refleks aku melepas gandengan pria mangkok dan mengejarnya. Jeong Min yang melihatku mengejar, ikut melarikan diri. Pria mangkok tak tinggal diam. Ia ikut berlari.  Mereka berdua dan kami berdua saling adu cepat. Aku berteriak memanggil nama Hyo Jung. Aku tahu ia tak dapat berlari cepat. Aku terus berlari begitu juga si pria mangkok. Kini pria mangkok sudah lima meter di depanku.
“TANGKAP MEREKA!!!!” teriakku pada pria mangkok. “AAAHHH!!!!” aku tersandung. Pria mangkok berhenti begitu mendengarku terjatuh. Ia ingin menolongku tapi kukatakan “KEJAR SAJA MEREKA!!!” dan ia kembali ke arah sebelumnya.
                Aarrgghh! Aku berusaha bangun. Tapi pergelangan kaki kiriku terlalu sakit. Aku berjalan terpincang-pincang. Telapak tangan dan sikuku berdarah terkena karang kecil. Kira-kira sudah 20 menit insiden kejar-kejaran ini berlangsung dan si kepala mangkok belum mendapatkan mereka. Aku berusaha terus berjalan sampai kulihat si pria mangkok berjalan ke arahku. Tapi tak ada mereka bersamanya.
“Bagaimana?” tanyaku. Air mataku mulai menetes.
“Ayo kita pulang,” katanya. ia terus saja berjalan menjauh.
“MANA MEREKA???!!” jeritku. Aku menangis kembali. Ia berbalik dan melihatku berjalan pincang menuju arahnya datang tadi.
                Tapi tiba-tiba tangan Si  pria mangkok menjambret tanganku, dan dengan paksa menggendongku di punggungnya. Lalu berjalan pulang.
“TURUNKAN AKU!!!” aku berontak dalam gendongannya.
                Aku terus memberontak dan menangis sampai kami tiba di mobil Si  pria mangkok di dekat dermaga. Ia menurunkanku dan mengurungku dalam mobilnya. Aku menggedor-gedor kaca jendea, memintanya untuk membuka pintu. Tapi ia tak peduli dan kembali berjalan ke arah perkampungan nelayan. Aku menjerit dalam mobil sampai kelelahan dan akhirnya kecapaian sendiri.
                Sudah 10 menit sejak ia mengurungku dan sekarang aku melihatnya kembali. Sekarang ia tidak sendiri, melainkan bersama dua orang lagi. Jeong Min dan adikku. Aku segera menempelkan mukaku di kaca mobil dan kembali memukul kaca itu menyalurkan emosi. Aku benci adikku yang lari dari rumah begitu saja dan memilih untuk percaya pada kekasihnya, pada Jeong Min sendiri yang pasti menyuruhnya untuk lari, dan Si  pria mangkok yang meninggalkanku sendirian. Berbagai makian sudah tercatat dalam otakku. Siap untuk dikeluarkan pada mereka. Siap berteriak-teriak lagi.
                Namun itu hanya rencana. Aku terlalu lelah. Jam 11 malam. Kami kembali ke rumah dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku melihat lewat kaca depan mobil dan mendapati adikku sedang bersandar di bahu Jeong Min dan saling menggenggam tangan. Aku menggigit bibirku namun segera menghentikannya. Sakit. Bibirku ternyata luka.
                Jam 12 malam kami sampai di flatku. Kami ada di ruang makan dan aku siap menghakimi mereka. Hyo Jung duduk di hadapanku sedangkan Jeong Min berdiri di belakangnya. Aku melirik ke arah Si  pria mangkok yang berada dekat tempat cuci piring. Asyik berdiri sambil menonton konfrontasi kami. Aku diam beberapa menit sampai kemudian aku berjalan ke arah Jeong Min. Berhadapan dengannya. Dan.....
PLAAKKK...
                Aku menamparnya.
“EONNIII!!!!!” jerit adikku. Ia berdiri serta merta dan memposisikan dirinya berhadapan denganku. Menantang. Bibir Jeong Min berdarah. Si  pria mangkok sudah berada di sampingku.
“Aku akan lapor eomma,” kataku datar.
“LAPOORR SAJA. KAU JADI BEGINI KARENA JAE SUNG OPPA MENIGGALKANMU KAN??? LALU KAU TAK SUKA KARENA ADIKMU BAHAGIA DENGAN ORANG YANG IA SUKAI, BUKAN BEGITU????”  aku sudah bersiap dengan tamparanku ketika si kepala mangkok menahanku. Si  pria mangkok menggeleng ke arah adikku dan adikku meninggalkan kami, masuk ke dalam kamarku.
                Aku menatap murka Jeong  Min. Jeong Min melihat ke arah Si  pria mangkok yang memberinya isyarat untuk pergi. Aku begitu lemah dan segera rubuh ke Si  pria mangkok. Menangis. Ia memelukku dan membelai rambutku. Aku merasa sekelilingku gelap dan aku hanya bisa bersandar padanya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar