Simple Life

Sabtu, 02 November 2013

The Flat 4

IV
Aku terbangun saat mendengar suara orang terburu-buru di luar kamarku. Aku berada di dalam kamarku dengn pintu yang tak ditutup, kemudian sadar apa yang terjadi semalam. Aku buru-buru keluar kamar untuk memastikan  Hyong Ju tak kabur lagi. Tapi aku tak bisa teriak dan memilih berjalan terpincang-pincang. Sesampainya aku di ujung kamarku, ku dengar pintu flat ditutup. Aku terlambat. Kemudian aku berjalan ke arah sofa dan mendapati kertas bertuliskan:
‘Aku berangkat sekolah dulu. Pulang jam 7 malam. Semalam Yoon Ah eonni menjagamu,tapi ia sudah pulang. Jangan khawatirkan aku. Istirahat dan makanlah’
                Aku duduk di sofa dan melihat luka-lukaku. Sudah diobati ternyata. Pergelangan kakiku sudah difiksasi. Aku teringat si pria mangkok. Aku telah berhutang banyak padanya. Aku harus bersikap baik, setidaknya aku harus mengunjunginya.
Tok..tok..tok...
                Pintu bernomor 36 itu terbuka.
“Ada apa?” tanyanya. Ia sempat kaget saat melihatku. Ia menggunakan kaos oblong putih.
Gomawo,” kataku sambil menundukkan kepala. “Terima kasih,” aku masih menunduk ke arahnya. Ia terlihat bingung lalu cepat-cepat memintaku berdiri lurus. Kami diam beberap saat.
“Emmm, kau mau sarapan bersama?”aku mengangguk.
                Itulah pertama kalinya aku berada di tempat lain dalam rumah ini selain ruanganku. Tak banyak bedanya denga flatku ternyata. Hanya saja bagian flat ku yang berada di bagian kiri, di flatnya akan berada di bagian kanan. Sehingga kamar tidur kami hanya dipisahkan tembok. Ruangannya bernuansa merah. Dan ada lemari buku berisi banyak buku di bagian ruang tivinya.
                Kami makan dalam diam. Makanan ini adalah makanan yang pertama kali masuk sejak insiden adikku itu. Aku tak pernah selapar ini sebelumnya, tapi aku harus menjaga sikap. Maka kusendok nasi sediki-dikit laku kumasukkan ke mulutuku. Aaahhh, enak sekali.
“Ehem,” dia berdehem untuk meredam kesunyian di antara kami. Aku menatapnya.
“Well, kita belum pernah berkenalan sama sekali, aku Lee Dong Hae,” katanya sambil mengulurkan tangan. Aku menyambut tangan itu.
“Kim Ha Na,” kataku. Kami berjabat tangan lumayan lama sampai aku melepaskan tanganku.
“Oh, tentu saja. Aku menyukai bukumu. Embrace,” katanya agak kikuk. Ia berusaha tak memandang mataku.
 “Emm, kau tak keberatan jika sarapan sendiri?  Aku mau mandi,”
“Tentu,” jawabku.
Aku menyelesaikan sarapanku lima menit kemudian. Aku mengelilingi flatnya dan tertarik untuk melihat pemandangan melalui balkon Dong Hae. Kutarik napas panjang dan kuhembuskan pelan-pelan. Oh hidup, pikirku. Kemudian aku berjalan ke ruang tivi yang dikelilingi lemari buku. Aku terkesima melihat koleksi bukunya. Aku membaca beberapa judul tua di sana. Beberapa judul fiksi yang kuambil adalah The Little Price dan Dream of Red Chamber. Kemudian aku beralih ke bagian lain lemari saat menemukan buku berbahasa perancis ‘Vingt Ans Après’.  
“Koleksiku tak cukup banyak,” kata Dong Hae tiba-tiba. Ia sudah selesai mandi dan telah mengenakan setelan rapinya yang biasa. Berjas tapi tak berdasi.
“Tak cukup banyak? Ini sangat banyak,” kataku tak menyembunyikan rasa kagum.
“Tak cukup banyak bila di bandingkan perpustakaan di fakultasmu?”
“Oh ya? Dari mana kau tahu? Aku bahkan belum pernah benar-benar menelusuri isi perpustakaan itu!” kataku.
“Yang benar saja?” kata Dong Hae sambil tertawa kecil. Aku menangkap kesan mengejek dibalik perkataan singkatnya itu. kemudian kuingat buku berbahasa perancis miliknya. Keningku berkerut.
“vous voudriez vraiment lire. Je n'ai jamais rencontré ce titre auparavant. menceritakanya pour me voulez-vous?” kataku sambil menunjuk buku berbahasa perancis itu. Dong Hae menatapku dengan mulut sedikit terbuka.
“Maaf?” katanya.
“Meanhe, kukira kau bisa berbahasa perancis,” kataku sambil mengayunkan buku itu. skor kita 1:1 oppa, kata suara dalam kepalaku.
“Well, aku hanya suka mengoleksinya,”  katanya datar. Aku merasa bersalah. Aku baru saja berkenalan dengan orang yang sudah menyelamatkan hidupku dan aku sudah berani mengejeknya secara tidak langsung. Ia bisa saja benci padaku.
Kami berbincang sebentar sebelum aku kembali ke kamarku.
“Terima kasih atas sarapannya,” kataku di depan pintu flat nya. Aku berdiri sambil meremas tanganku. Sebenarnya aku masih gugup jika berhadapan dengan pria mngkok ini.
“Sama-sama,” katanya. Kami diam sebentar.
“Maaf atas mangkok itu,” aku mengingat kejadian tiga bulan lalu.
“Aku sudah melupakannya,”  ia tersenyum, melambaikan tangan, berbalik dan pergi.
***
                Aku duduk menghadap jendela di dalam kamarku. Laptop sudah kunyalakan dengan segelas susu panas di sampingnya. Aku melihat ke arah jam yang masih menunjukkan pukul 3. Aku masih kenyang dengan sarapan bersama tetanggaku itu tadi pagi. Aku lupa menanyai pekerjaannya. Aku jadi ragu apakah ia hanya karyawan biasa atau sales. Si pria mangkok itu terlihat terlalu intelek untuk kedua profesi tersebut. Aku menatap ke arah layar laptop yang sudah kutatap setengah jam. masih kosong. Aku belum menulis apapun.
                Apa yang akan kutulis? Roman picisan biasa? Cerita cinta penuh tragedi? Revolusi kehidupan? Drama keluarga? Komedi? Bagaimana dengan roman picisan biasa yang penuh tragedi di tengah revolusi hidup dan penuh dengan intrik keluarga yang senang komedi?   Aku melihat pantulan wajahku di layar komputer. Aku memainkan ekspresi di wajahku yang kaku. Hmm, tak sekaku biasanya. Aku mencoba tersenyum, memamerkan gigik-gigiku, tapi apa kulihat...
“AAARRRGGGHHH....!!!!” aku menjerit sejadi-jadinya. Kututup layar laptopku yang masih menyala.
                Napasku saling berkejaran. Saling sambung. Aku memegang dadaku. Kurasakan denyut jantungku cepat sekali. Ya Tuhan, apa itu aku? Aku menatap ngeri pada laptopku. Kuraba wajahku, mencari apa yang salah di sana. Aku berjalan menyeret kakiku yang masih sakit karena kejadian semalam. Kupandangi diriku lekat-lekat. Kutarik napas panjang, dan kucoba tersenyum lagi. beberapa detik kemudian kudekap mulutku agar tak berteriak. Senyum itu seperti senyum pada labu halloween.
Tok..Tok.. tok..
                Aku agak tersentak saat mendengar pintuku diketuk. Kubuka pintu dan Yoon Ah menyodorkan sekotak delimanjoo ke mukaku. Kotak itu langsung kuambil dan kuayunkan pintuku agar tertutup.
“Terima kasih ya,” kataku sambil tertawa kecil.
“Hei, jadi kau lebih mementingkan delimanjoo ketimbang sahabatmu,” katanya sambil berusaha menahan pintu.
“Hahaha, aku bercanda sayang,” kataku sambil melebarkan pintu lagi. mukanya cemberut.
“Ayo masuk. Aku ingin bercerita sesuatu padamu,” kutarik tangannya tapi ia tak bergerak. Aku ingin menceritakan senyumku yang mengerikan.
“Aku harus segera pergi Ha Na. Aku datang hanya untuk menjengukmu sebentar. Kau tak apa-apa kan?” tanyanya sambil melihat luka di tanganku. Mulutku manyun.
“Ada apa sih memangnya?”
                Aku mendengar hapenya berbunyi. Ia cepat-cepat mengangkatnya.
“Anyeonghaseyo. Ne. Aku akan segera ke sana. Baiklah Lee Seung Gi, hahaha. Aku tahu,” ia menutup teleponnya. Aku memberikan tatapan penuh tanda tanya.
“Apa?” tanyanya padaku.
“Tak apa-apa nyonya Lee,” aku menggodanya.
“Aiiisshh, kami tak punya hubungan....”
“Sssttt, cepat pergi. Ia sudah menunggumu,” aku mendorongnya menjauh. “Bye...” aku menutup pintu menghiraukannya yang berusaha memberikan penjelasan.
                Aku meletakkan kotak delimanjoo di meja makan dan berjalan menuju balkon. Aku tak pernah benar-benar menikmati balkon karena kehadiran Dong Hae pada saat-saat aku ingin berada di sana. Tapi kukira sekarang kami telah berteman dan ia tak terlalu mengerikan rupanya. Aku meregangkan badanku dan menarik napas panjang menikmati suasana di atas sini. Tak terlalu buruk rupanya.
                Dari sini aku bisa melihat halaman belakang rumah. Ada ayunan dan macam-macam permainan lain di sana. Alat panggang barberque, meja dan kursi panjang di bawah pohon-pohon rindang. Barangkali dulu para penghuni suka berkumpul bersama. Aku tak pernah lebih dari lima menit menikmati suasana di sini. Aku takut bertemu Dong Hae. Kudengar suara pintu digeser dari balkon sebelah. Benar saja, Dong Hae yang keluar. Mulutnya yang penuh sedang asyik mengunyah sesuatu. Di tangannya ada sepotong delimanjoo. Kebetulan sekali, pikirku.
“Hai,” sapanya. Ia memasukkan seluruh delimanjoo ke mulut dan duduk di kursi kebesarannya. Mengelus-ngelus perutnya.
“Kau sudah pulang?” tanyaku kaku. Yah, kami baru saja berkenalan hari ini secara resmi dan kuakui kami masih canggung untuk saling berinteraksi.
“Aku hanya kuliah sebentar saja hari ini,”
“Kuliah?” tanyaku lagi. Agak heran. Ia mengangguk.
“Matematika. Tak terlalu berguna, hahaha,”  ia mengakhiri dengan tawa renyah. “kenapa memangnya?” sekarang ia yang balik bertanya.
“Oh, kukira kau sales atau semacamnya,” ia menatapku tak percaya. Lalu tertawa terbahak-bahak. Aku tak mengerti apa yang lucu.
“Cinca? Aku mesti merubah penampilanku,”
“Hahaha, ya benar sekali...” aku mengatakannya sambil tertawa. Lalu kuhentikan tiba-tiba. Teringat wajahku di cermin. Ia melihatku. Sepertinya dia tahu ada yang tak beres.
 “Em, aku mau bertanya sesuatu,” aku tak seharusnya bertanya padanya. Kami baru saja berkenalan. Tapi dia benar-benar menyenangkan. Ia bangun dari kursinya, menuju ke arah balkonku, mendekatkan badannya.
“Apa itu?” tanyanya dengan suara rendah. Aku mendekatkan wajahku padanya. Ragu-ragu.
“Jawab dengan jujur. Apa senyumku mengerikan?” aku bertanya dengan suara yang lebih rendah darinya. Ia mengerutkan kening beberapa saat. Lalu mengangguk dengan mantap.
                Aku membayangkan jantungku terbuat dari kaca, lalu pecah karena jawaban sederhananya itu. Aku mundur dan bersandar pada pintu dan meremas pagar balkon.
“Mau kujari cara tersenyum?Aku punya buku tentang itu,” katanya.
“Kapan-kapan aku mampir ke tempatmu untuk membacanya,” aku masuk ke flatku. Meninggalkannya sendiri.
“Kutunggu..” aku mendengar sayup-sayup jawabannya.
                Jung Yong Hwa, seandainya kau tak pernah mengkhianatiku pasti tak akan seperti ini akhirnya. Aku memberi terlalu banyak kepercayaan padamu, dan sepertinya aku salah. Yong Hwa, aku sebenarnya sangat bahagia denganmu. Terlalu bahagia. Dalam setiap ceritaku sejak kau datang dalam hidupku lima tahun yang lalu, kau selalu jadi pangerannya dan aku si Cinderella itu. aku butuh cinta seorang ayah dan kau memberinya. Kau tampan, kaya, pintar, sangat luar biasa. Aku? Cinderella yang keluar dari peraduan karena karya fiksi inspiratif yang dicinta orang. Benar, kau menghujaniku dengan cinta. Sampai-sampai tumpukan kertas bernama novel itu hanya berisi cerita cinta juga. Lalu semua mulai berubah sejak dua tahun yang lalu. Aku harap tidak terjadi, tapi kau memang berubah. Aku tak tahu masih mencintaimu atau tidak. Dan akhirnya aku tak tahu apa yang harus kutulis. Aku kehilangan inspirasi.
                Aku  berdamai dengan Hyo Jung malam ini. Kami berpapasan di dapur saat ia pulang. Aku tahu ia ingin menghindariku. Sebenarnya aku terlalu gengsi untuk minta mengatakannya, tapi hanya kata itu yang keluar saat aku bertemu dengannya.
“Maaf..” kataku dengan suara berat. Kerongkonganku sakit saat mengatakannya. Ia menatapku tak percaya. Lalu ia berhenti sebentar dari kegiatannya memasak ramen dan memelukku.
                Kami akhirnya makan ramen bersama. Ia membagi hasil masakannya denganku dan menceritakan kronologis saat ia menghilang. Ia tak tahan aku melarangnnya bertemu Jeong Min. Tak tahan saat aku mengoceh tentangnya. Adikku itu yang mengajaknya kabur walau Jeong Min tak setuju. Tapi adikku keras kepala. Jeong Min akhirnya mau asal mereka tinggal di rumah ibu Jeong Min yang telah bercerai dari ayahnya. Ia mengatakan fakta sebenarnya bahwa bukanDdong Hae yang berhasil meyakinkannya. Tapi Jeong Min sendiri. Dong Hae bahkan tak sanggup mengejar adikku, namun Jeong Min yang mampu mengejar Hyo Jung dan membujuknya untuk pulang.
                Maka hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang normal. Minggu ini adalah minggu terakhir adikku tinggal bersamaku. Asrama sekolahnya telah selesai direnovasi dan Dong Hae berjanji akan membantu saat hari pemindahan. Aku akhirnya mengenal baik Dong Hae. Hyo Jung sering bertamu ke tempatnya untuk menanyakan matematika. Kami sudah tak sekaku hari pertama saat berkenalan secara resmi. Dua minggu yang lalu. Ia cukup sibuk untuk ukuran anak kuliah dan ia penuh humor. Sayangnya ia suka meremehkanku. Aku sering tak sependapat dengannya dan sekarang kuanggap dia sebagai si pria mangkok penuh ke-sok tahu-an. Bahkan saat ini aku sedang bertengkar dengannya. Sejak aku berkunjung ke flatnya dan ia mengajariku cara tersenyum yang benar. Waktu yang cukup singkat bagi dua orang yang baru kenal untuk saling membenci. Benci?  Tidak, hanya saling mempertahankan ego masing-masing. Aku jadi sangsi apakah ia jadi mengantar Hyo Jung ke asramanya.
                Sepertinya aku masih menjadi yang paling bodoh di kelas. Aku mengerjakan semua tugas tapi tetap saja nilaiku C. Teman-temanku heran, kenapa direktur Cho masih mau mempertahankan orang yang mendapat nilai jelek di mata kuliah sastra korea. Aku hanya tersenyum kecut. Akan kuperjuangkan nilai A+ untuk setiap mata kuliah bila itu bisa membuat novelku meraih national best selling. Dan stigma bodoh yang diberikan untuk Kim Ha Na, akhirnya mengantarkanku ke perpustakaan untuk kelima kalinya seumur hidup.
                Aku berjalan di antara rak penuh buku-buku. Aku iseng ke salah satu bagian dan mendapatkan novelku di sana. Embrace. Sisa satu yang tersisa. Aku bersyukur karena masih ada yang mau membaca novel setebal 300-an halaman tersebut. Aku terus menyusuri jalan kecil ini sampai bertemu dengan orang yang rasanya kukenal di bagian sastra klasik. Ya, dia memang kukenal!
“PRIA MANGKOK!!!” aku berteriak dan langsung mendekap mulutku. Semua mata memandang ke arahku. Kurasa aku telah melupakan adab berada di perpustakaan. Orang yang kupanggil terkejut dan berbalik. Bingung. Ia menunjuk dirinya. Aku mengangguk dan melambai.
“Apa maksudmu dengan pria mangkok?” tanyanya saat kami duduk di salah satu kursi.
“Hahaha, hanya nama itu yang ada dalam otakku,” kataku. Ia mengusap dagunya dan menatapku curiga.
“Apa???” tanyaku. Ia menggeleng. Aku menarik salah satu buku yang ia pegang. Kartu mahasiswanya terjatuh dari satu halaman buku itu.
“Kau mahasiswa S2 ya? kenapa tak bilang padaku?” tanyaku dengan suara yang agak keras. Aku terkejut. Dong Hae memandang pengunjung di sekelilingnya yang mendesis menyuruh diam.
“Itu tak penting kan?” katanya sok, “Oh ya, aku ini asisten dosen juga loh,”sambungnya sambil menunjuk dada. Aku mendengus.
“Pride and Prejudice karya Jane Austen. Hmm, aku ingat salah satu kutipannya ‘jika dia memutuskan untuk mengabaikanku walaupun dia memiliki kesempatan memilikiku, maka aku tidak akan lama-lama menyesalinya’ indah bukan?” tanyaku. Ia bengong.
“Aku tak akan seperti itu, itu menyedihkan,” katanya. Aku tertawa. Tak pernah sebahagia ini.
“Sebentar, kau mengikuti nasehatku ya? Senyummu... manis sekali,” katanya.
“Kau menggodaku ya? Hahaha,” aku tertawa.
“Tidak. Ini serius,” kami diam.
                Ia yang mentraktirku tiket bis saat kami pulang bersama. Kami bergelantungan karena kehabisan kursi. Sebenarnya bukan suatu kebetulan aku bertemu dengannya. Ia sering meminjam buku dari perpustakaan fakultasku. Novel, kumpulan puisi, roman klasik, dan sebagainya. Hanya saja kami baru bertemu saat ini.
“Kau tahu, mereka bilang kita bisa menguasai dunia dengan matematika dan bahasa,” katanya dalam bis.
“Memangnya kau mau menguasai dunia?” tanyaku.
“Mungkin kalau sendiri akan sulit. Tapi kalau kita berdua bersatu, itu cukup mudah,”  ia tersenyum nakal.
“Oh, berhentilah menggombal,” aku memukul lengannya.
“Kita sudah berdamai kan?” tanyanya ragu. Aku teringat pertengkaran itu. Aku mengangguk.
                Kami bersenda gurau sepanjang perjalanan. Yang kulakukan hanyalah tersenyum sepanjang perjalanan itu. Kepada pak polisi yang sedang bertugas, kepada resepsionis berwajah menyenangkan, kepada mereka yang berpapasan denganku, bahkan kepada penghuni lantai 3. Aku baru sadar betapa bahagianya bisa terseyum tulus. Ya, tulus. Aku telah lama tak melakukannya. Kami mampir sebentar ke flat lelaki tua di sayap seberang. Aku mengerti kenapa Dong Hae sering mengantarkan mangkok berisi makanan padanya. Lelaki tua itu berjalan dengan tongkatnya. Sekitar 69 tahun. Mantan guru. Ia tak mau dipindahkan pemerintah ke panti jompo karena flat ini adalah satu-satunya kenangan bersama sang istri. Kami mengobrol sebentar. Banyak nasehat yang diberikan lelaki tua itu pada kami. Dan aku sangat menghargainya. Pertemuan dengannya membuka sebuah ruangan dalam hatiku yang telah lama tertutup. Aku merasa iba.
“Dia seperti kakekku,” kata Dong Hae sebelum kami berpisah.
Kami saling mengucapkan salam sebelum masuk ke flat masing-masing. Kuketuk pintu dan adikku membukanya. Wajahnya gusar.
“Halo,” kataku sambil tersenyum.
“Eonni, kita kedatangan tamu,”
                Aku bisa melihat dari sini, Jung Yong Hwa berdiri di belakangnya. Tatapannya  kosong.
***
                Aku merasa ruangan ini menyempit dan udara terhisap habis ke dalam mata yang menatap lurus ke arahku. Napasku sesak, aku tak tahu apa yang terjadi dengannya. Tubuhku tak leluasa bergerak, serasa ada yang menggenjetku. Aku berjalan mendekatinya dan berhenti semeter darinya. Aku tak bisa mendekat lagi, ada penghalang tak terlihat di antara kami.
                Laki-laki itu hanya berdiri. Tak bergerak. Rambutnya berantakan, jambang memenuhi mukanya, kantung matanya membesar, dan wajahnya makin tirus. Ia memakai setelan yang sepertinya sudah dipakai selama lima hari tanpa ganti. Ia tak memasukan baju ke dalam celana. Celana itu terlihat melorot, Yong Hwa bertambah kurus. Aku bisa mendengar suara napasnya yang berat dari sini, bahkan mencium bau mulutnya. Bau minuman keras.
“A....” aku mendengar suara keluar dari mulutnya. “Aku mencarimu kemana-mana,” ia melanjutkan sambil mengelilingiku.
“Aku bertanya pada semua orang, namun tak ada yang mau memberi tahu. Tapi aku terus mencari. Cuti dari pekerjaanku selama beberapa bulan. Enam bulan ini aku hanya mencarimu. Kau tahu Ha Na..” ia sekarang berdiri di depanku.
“KAU AKAN MEMBUATKU GILA!!!” ia berteriak keras sambil mengguncang-guncang tubuhku. Air liurnya sampai ke wajahku. Ia tersenyum tiba-tiba.
“Aku baru bilang ‘akan’ loh,” ia menyeringai. Ia mendekatkan mulut ke telingaku dan berbisik, “Aku mencintaimu.”
“Kau yang memulainya,” kataku.“Kau berubah selama 2 tahun ini. Aku selalu berusaha untuk ada di sampingmu tapi kau tidak. Aku memasukkan dirimu di setiap ceritaku tapi kau tak pernah melakukannya dalam hidupmu. Kau berubah oppa. Aku tahu ada yang lain dalam hatimu. Kau menggantiku karena aku tak pernah MAU TIDUR DENGANMU,” tambahku sambil memandang mata yang merah dan berair itu.
“Aku minta maaf,”
“Aku tak bisa menghitung sudah berapa kali kau minta maaf,” aku berjalan meninggalkannya.
“Maafkan aku,” ia mengikutiku dari belakang. Aku tak menggubris.
“Maafkan aku,”
“Maafkan aku,” kali ini ia meraih tanganku dan menancapkan kukunya yang tajam. Aku meringis.
“Lepaskan atau aku akan berteriak,” kataku datar.
“Maafkan aku,” ia masih belum melepaskannya.
“AAAAAHHHHHHHH!!!!!!!!!!” aku berteriak sejadi-jadinya. Ia melepas tangannya.
Aku mendengar pintu menjeblak terbuka. Dong Hae masuk bersama wanita repsionis bermuka menyenangkan.
“Tuan, tolong pergi sekarang. Kau mengganggu ketenangan penghuni lain,” kata si resepsionis tegas. Yong Hwa menurut tanpa banyak komentar. Ia berjalan gontai. Saat berhadapan dengan ketiga orang itu, aku melihat Yong Hwa mendelik kepada si resepisionis, lalu berjalan keluar.
“Kau tak apa-apa nona?” tanya si repsionis. Aku menggeleng.
“Pulanglah,” kataku. Aku melirik pada Dong Hae. Ia menatapku. Ada rasa kasihan di sana. Aku menunggu mereka keluar dan menutup pintu.
“Apa perlu kuberitahu eomma?” tanya Hyo Jung.
“Tak perlu,” jawabku singkat, langsung masuk kamar dan tidur.
***
                Yoon Ah langsung datang menemuiku ketika kuberi tahu Yong Hwa datang semalam. Ia duduk di sampingku dan mengelus pundakku. Tapi aku sama sekali tak sedih. Mungkin karena sudah tak ada lagi yang tersisa untuk Yong Hwa.
“Aku tahu sulit bagimu untuk memaafkannya. Tapi ia sangat mencintaimu,” katanya. Aku menggeleng.
“Aku sangat mencintainya saat kuminta ia berhenti bertemu si Jalang itu. Tapi ia terus melakukannya,” kataku.
“Tak usah memikirkanku. Aku tahu kau sibuk,” aku menambahkan saat melihatnya membawa ransel besar. Ia sedang mengurus sebuah proyek sebelum wisuda.
Ommo. Aku hampir lupa. Aku membelikan ini untukmu,” ia menyerahkan sekotak delimanjoo. “Aku pergi dulu ya,” katanya sambil memelukku sebelum pergi.
                Aku memasukkan sepotong delimajoo bulat-bulat ke dalam mulutku. Aku masuk ke kamar dan menyalakan laptop. Aku mulai menulis.
‘Chapter 1. Aku adalah daun yang kau bawa terbang bersamamu. Aku tak pernah melihatmu tapi selalu kurasakan kehadiranmu. Kukira kau tak nyata. Mungkin hanya seperti hantu. Aku menyukai saat kau mengayunkanku di dahan pohon. Kau sering berdesir di atas permukaanku dan sesekali berbisik. Aku mulai percaya kau nyata. Aku makin meyukaimu, suka sekali. Kupikir aku telah jatuh cinta. Lalu ketika matahari telah berada pada garis lintang yang berbeda, lalu musim berubah, kau jadi marah. Kau menghempaskanku dari ranting-ranting pohon. Kau membiarkanku mati. Lalu membusuk.....’
                Aku membiarkan kata-kata itu terus mengalir dari otakku dan hatiku. Menumpahkan seluruh isi jiwaku ke dalamnya. Aku tahu tulisan ini akan sama jeleknya seperti tulisan-tulisan sebelunya. Tapi aku hanya ingin terus mengetik. Kurasakan air mataku menetes. Makin deras. Lalu aku menangis sejadi-jadinya.
                Esok paginya aku terbangun di meja kerjaku. Laptopku dalam keadaan sleep. Selimut melingkupi tubuhku. Hari ini adalah hari pindahan Hyo Jung. Aku sama sekali tak membantunya beres-beres semalam. Ia tak berani menggangguku saat melihat aku mengetik sambil berurai air mata. Ia hanya membuatkanku cokelat panas yang sama sekali tak kusentuh. Aku menyalakan lagi laptopku. Chapter 1 telah selesai dan aku sudah menulis seperempat chapter 2. Tujuh puluh halaman dalam sepuluh jam. Ini bukan kemampuan terbaikku.
“Eonni, kau sudah bangun? Bergegaslah jika mau mengantarku. Oppa sudah menunggu dari tadi,” kata Hyo Jung. Aku berbaik dan mendapati adikku bersama Dong Hae. Oppa?
                Pindahan Hyo Jung cepat saja. ia hanya membawa dua koper dan satu ransel. Asramanya tak begitu buruk. Aku berpelukan dengannya sebelum meninggalkannya. Hyo Jung dan ibu adalah makhluk paling berarti dalam hidupku. Ia bilang Jeong Min akan mampir hari ini. Suka atau tidak, aku mulai menerima pemuda itu menjadi bagian dari keluargaku.
“Datanglah setiap akhir pekan,” kataku.
“Pasti,”
                Kami meninggalkan Hyo Jung yang berada di gerbang asrama. Aku melambaikan tangan padanya, ia membalas.
“Kau mau ke mana habis ini?” tanya Dong Hae. Aku tersadar akan kehadirannya.
“Mau minum kopi?”
                Kami pergi ke tempat biasanya aku dan Yoon Ah pergi. Di jantung kota Seoul. Letaknya tak jauh dari jalan utama utara Seoul  yakni di Seoul Jongno-gu Hwa-dong. Aku memesan secangkir coffe latte sedangkan ia memesan cappucino dingin dengan ice ream di atasnya.
“Aku punya ini untumu,” aku menyerahkan hasil print-an chapter 1.
                Ia membacanya sambil sesekali menyedot minumannya. Mata bergerak dari kiri ke kanan. Makin lama mukanya terlihat makin serius. Kemudian ia menurunkan script itu dan menatapku. Ia menunjukkan dua jempolnya padaku.
“Selesaikan ini dan namamu sebagai penulis terbaik Korea akan segera pulih,” katanya singkat.
                Maka, Dong Hae adalah orang pertama yang menyukai karyaku sejak namaku tenggelam dalam tulisan-tulisan orang lain. Ia ikut mengoreksi jika ada kesalahan bahasa, membuat ceritaku kembali ke dalam jalurnya, mengembalikan idealismeku dalam menulis, menyemangatiku, mengatur pola makanku, dan juga mencaci maki bila ada sesuatu yang tidak rasional dalam karangan ini. Dong Hae adalah teman, fans, editor, manajer, merangkap kritikus.
                Dong Hae sering mengajakku ke tempat-tempat menarik. Kemarin ia mengajakku ke kuil di balik gunung. Sejak ayahku pergi begitu saja, ini adalah pertama kalinya aku ke kuil lagi. Setelah perginya ayah, ibu meminta aku dan adikku untuk dibaptis. Namun kami tak pernah sekali pun ke gereja.
                Aku selalu berkunjung ke tempatnya setiap selesai menulis. Meminta persetujuannya. Yoon Ah baru mampir ke sini tadi. Tapi ia segera pamit, ada sesuatu yang harus ia kerjakan. Seperti beberapa kunjungannya yang lalu, ia membawakan sekotak Delimanjoo. Aku sedang menyiapkan script ku dan bergegas pergi mengunjungi Dong Hae. Namun hari ini aku agak berbaik hati. Aku tak hanya akan meyodorkan scrip saja, tapi juga melengkapinya dengan setengah kotak delimajoo pemberian Yoon Ah.
                Aku sudah sampai di depan pintunya namun ragu ingin mengetuk. Jika aku langsung membukanya dan memang tak terkunci, maka itu adalah rezekiku. Aku memegang gagang pintu dan mendorongnya ke dalam. Tak terkunci. Sayup-sayup aku mendengar suara yang tak asing. Dong Hae dan seseorang sedang duduk di sofa depan tivi. Aku masuk lebih dalam dan melihat punggung wanita di samping Dong Hae.
“Jika aku menggunakan sudut sebesar 45 derajat, maka ia akan tetap kuat berdiri dan juga memberikan niai artistrik lebih pada bangunannya,”
“Tapi lihat pada sisi yang lain, kau harus membuatnya lebih datar,”
“Yoon Ah?” aku memanggil perempuan itu. Ia berbalik. aku agak kaget melihatnya duduk di sana.
“Ha Na!” serunya.
 “Aku tak tahu kalian saling mengenal,” kataku sambil mendekati mereka. Aku melihat coret-coretan gambar segitiga-segitiga kecil yang saling menumpuk membentuk bentuk abstrak aneh. Di sampingnya ada sekotak delimanjoo seperti yang kubawa. Hanya saja punyaku tinggal setengah.
“Ada apa?” tanya Dong Hae.
“Oh, nanti saja. selesaikan dulu urusan kalian. Aku pulang ya,” ada nada kecewa dalam suaraku.
“Aku akan ke tempatmu habis ini,” kata Yoon Ah. aku tersenyum. Agak memaksa tersenyum tepatnya. Aku keluar dari flat Dong Hae bersama delimanjoo-ku.
***
“Kenapa tak beritahu aku kalau kau kenal dengannya?”
“Aku takut kau marah padaku. Kau kan dulu tak suka dia,” jawab Yoon Ah. Aku teringat beberapa bulan silam. Aku mendengus.
“Aku beberapa kali berpapasan dengannya saat mau ke flatmu. Kami ngobrol dan akhirnya aku tahu dia pintar dalam matematika dan fisika. Sebenarnya aku selalu mengunjunginya setelah aku mengunjungimu untuk berkonsultasi tentang simetrisitas bangunan,” katanya. sekarang kutahu kenapa hari itu Dong Hae memegang delimanjoo di hari yang sama Yoon Ah memberiku cemilan itu.
“Ha Na, aku tahu ini lebih dari itu....” ia terhenti.  Yoon Ah tersenyum sendiri memandang delimanjoo yang tak jadi kuberikan pada Dong Hae. Mukanya merah seperti kepiting rebus.
“Aku menyukainya,” ia menutup mukanya dengan tangan. Kata-kata itu merambat lambat sampai aku bisa mencernanya. Menyengat suatu bagian di otakku. Mulutku menganga.
“Jangan beri tahu dia ya”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar