IV
Aku terbangun
saat mendengar suara orang terburu-buru di luar kamarku. Aku berada di dalam
kamarku dengn pintu yang tak ditutup, kemudian sadar apa yang terjadi semalam.
Aku buru-buru keluar kamar untuk memastikan
Hyong Ju tak kabur lagi. Tapi aku tak bisa teriak dan memilih berjalan
terpincang-pincang. Sesampainya aku di ujung kamarku, ku dengar pintu flat
ditutup. Aku terlambat. Kemudian aku berjalan ke arah sofa dan mendapati kertas
bertuliskan:
‘Aku berangkat sekolah dulu. Pulang jam 7 malam. Semalam Yoon Ah eonni
menjagamu,tapi ia sudah pulang. Jangan khawatirkan aku. Istirahat dan makanlah’
Aku
duduk di sofa dan melihat luka-lukaku. Sudah diobati ternyata. Pergelangan
kakiku sudah difiksasi. Aku teringat si pria mangkok. Aku telah berhutang
banyak padanya. Aku harus bersikap baik, setidaknya aku harus mengunjunginya.
Tok..tok..tok...
Pintu
bernomor 36 itu terbuka.
“Ada apa?” tanyanya. Ia sempat
kaget saat melihatku. Ia menggunakan kaos oblong putih.
“Gomawo,” kataku sambil menundukkan kepala. “Terima kasih,” aku
masih menunduk ke arahnya. Ia terlihat bingung lalu cepat-cepat memintaku
berdiri lurus. Kami diam beberap saat.
“Emmm, kau mau sarapan
bersama?”aku mengangguk.
Itulah
pertama kalinya aku berada di tempat lain dalam rumah ini selain ruanganku. Tak
banyak bedanya denga flatku ternyata. Hanya saja bagian flat ku yang berada di
bagian kiri, di flatnya akan berada di bagian kanan. Sehingga kamar tidur kami
hanya dipisahkan tembok. Ruangannya bernuansa merah. Dan ada lemari buku berisi
banyak buku di bagian ruang tivinya.
Kami
makan dalam diam. Makanan ini adalah makanan yang pertama kali masuk sejak
insiden adikku itu. Aku tak pernah selapar ini sebelumnya, tapi aku harus
menjaga sikap. Maka kusendok nasi sediki-dikit laku kumasukkan ke mulutuku.
Aaahhh, enak sekali.
“Ehem,” dia berdehem untuk
meredam kesunyian di antara kami. Aku menatapnya.
“Well, kita belum pernah
berkenalan sama sekali, aku Lee Dong Hae,” katanya sambil mengulurkan tangan.
Aku menyambut tangan itu.
“Kim Ha Na,” kataku. Kami
berjabat tangan lumayan lama sampai aku melepaskan tanganku.
“Oh, tentu saja. Aku menyukai
bukumu. Embrace,” katanya agak kikuk. Ia berusaha tak memandang mataku.
“Emm, kau tak keberatan jika sarapan
sendiri? Aku mau mandi,”
“Tentu,” jawabku.
Aku
menyelesaikan sarapanku lima menit kemudian. Aku mengelilingi flatnya dan
tertarik untuk melihat pemandangan melalui balkon Dong Hae. Kutarik napas
panjang dan kuhembuskan pelan-pelan. Oh hidup, pikirku. Kemudian aku berjalan
ke ruang tivi yang dikelilingi lemari buku. Aku terkesima melihat koleksi
bukunya. Aku membaca beberapa judul tua di sana. Beberapa judul fiksi yang
kuambil adalah The Little Price dan Dream of Red Chamber. Kemudian aku
beralih ke bagian lain lemari saat menemukan buku berbahasa perancis ‘Vingt Ans Après’.
“Koleksiku tak cukup banyak,”
kata Dong Hae tiba-tiba. Ia sudah selesai mandi dan telah mengenakan setelan
rapinya yang biasa. Berjas tapi tak berdasi.
“Tak cukup banyak? Ini sangat
banyak,” kataku tak menyembunyikan rasa kagum.
“Tak cukup banyak bila di
bandingkan perpustakaan di fakultasmu?”
“Oh ya? Dari mana kau tahu? Aku
bahkan belum pernah benar-benar menelusuri isi perpustakaan itu!” kataku.
“Yang benar saja?” kata Dong Hae
sambil tertawa kecil. Aku menangkap kesan mengejek dibalik perkataan singkatnya
itu. kemudian kuingat buku berbahasa perancis miliknya. Keningku berkerut.
“vous voudriez vraiment lire. Je
n'ai jamais rencontré ce titre auparavant. menceritakanya pour me voulez-vous?”
kataku sambil menunjuk buku berbahasa perancis itu. Dong Hae menatapku dengan
mulut sedikit terbuka.
“Maaf?” katanya.
“Meanhe, kukira kau bisa
berbahasa perancis,” kataku sambil mengayunkan buku itu. skor kita 1:1 oppa,
kata suara dalam kepalaku.
“Well, aku hanya suka
mengoleksinya,” katanya datar. Aku
merasa bersalah. Aku baru saja berkenalan dengan orang yang sudah menyelamatkan
hidupku dan aku sudah berani mengejeknya secara tidak langsung. Ia bisa saja
benci padaku.
Kami
berbincang sebentar sebelum aku kembali ke kamarku.
“Terima kasih atas sarapannya,”
kataku di depan pintu flat nya. Aku berdiri sambil meremas tanganku. Sebenarnya
aku masih gugup jika berhadapan dengan pria mngkok ini.
“Sama-sama,” katanya. Kami diam
sebentar.
“Maaf atas mangkok itu,” aku
mengingat kejadian tiga bulan lalu.
“Aku sudah melupakannya,” ia tersenyum, melambaikan tangan, berbalik
dan pergi.
***
Aku
duduk menghadap jendela di dalam kamarku. Laptop sudah kunyalakan dengan
segelas susu panas di sampingnya. Aku melihat ke arah jam yang masih
menunjukkan pukul 3. Aku masih kenyang dengan sarapan bersama tetanggaku itu
tadi pagi. Aku lupa menanyai pekerjaannya. Aku jadi ragu apakah ia hanya
karyawan biasa atau sales. Si pria mangkok itu terlihat terlalu intelek untuk
kedua profesi tersebut. Aku menatap ke arah layar laptop yang sudah kutatap
setengah jam. masih kosong. Aku belum menulis apapun.
Apa
yang akan kutulis? Roman picisan biasa? Cerita cinta penuh tragedi? Revolusi
kehidupan? Drama keluarga? Komedi? Bagaimana dengan roman picisan biasa yang
penuh tragedi di tengah revolusi hidup dan penuh dengan intrik keluarga yang
senang komedi? Aku melihat pantulan
wajahku di layar komputer. Aku memainkan ekspresi di wajahku yang kaku. Hmm,
tak sekaku biasanya. Aku mencoba tersenyum, memamerkan gigik-gigiku, tapi apa
kulihat...
“AAARRRGGGHHH....!!!!” aku
menjerit sejadi-jadinya. Kututup layar laptopku yang masih menyala.
Napasku
saling berkejaran. Saling sambung. Aku memegang dadaku. Kurasakan denyut
jantungku cepat sekali. Ya Tuhan, apa itu aku? Aku menatap ngeri pada laptopku.
Kuraba wajahku, mencari apa yang salah di sana. Aku berjalan menyeret kakiku
yang masih sakit karena kejadian semalam. Kupandangi diriku lekat-lekat.
Kutarik napas panjang, dan kucoba tersenyum lagi. beberapa detik kemudian
kudekap mulutku agar tak berteriak. Senyum itu seperti senyum pada labu
halloween.
Tok..Tok.. tok..
Aku
agak tersentak saat mendengar pintuku diketuk. Kubuka pintu dan Yoon Ah
menyodorkan sekotak delimanjoo ke mukaku. Kotak itu langsung kuambil dan
kuayunkan pintuku agar tertutup.
“Terima kasih ya,” kataku sambil
tertawa kecil.
“Hei, jadi kau lebih mementingkan
delimanjoo ketimbang sahabatmu,” katanya sambil berusaha menahan pintu.
“Hahaha, aku bercanda sayang,”
kataku sambil melebarkan pintu lagi. mukanya cemberut.
“Ayo masuk. Aku ingin bercerita
sesuatu padamu,” kutarik tangannya tapi ia tak bergerak. Aku ingin menceritakan
senyumku yang mengerikan.
“Aku harus segera pergi Ha Na.
Aku datang hanya untuk menjengukmu sebentar. Kau tak apa-apa kan?” tanyanya
sambil melihat luka di tanganku. Mulutku manyun.
“Ada apa sih memangnya?”
Aku
mendengar hapenya berbunyi. Ia cepat-cepat mengangkatnya.
“Anyeonghaseyo. Ne. Aku akan
segera ke sana. Baiklah Lee Seung Gi, hahaha. Aku tahu,” ia menutup teleponnya.
Aku memberikan tatapan penuh tanda tanya.
“Apa?” tanyanya padaku.
“Tak apa-apa nyonya Lee,” aku
menggodanya.
“Aiiisshh, kami tak punya
hubungan....”
“Sssttt, cepat pergi. Ia sudah
menunggumu,” aku mendorongnya menjauh. “Bye...” aku menutup pintu
menghiraukannya yang berusaha memberikan penjelasan.
Aku
meletakkan kotak delimanjoo di meja makan dan berjalan menuju balkon. Aku tak
pernah benar-benar menikmati balkon karena kehadiran Dong Hae pada saat-saat
aku ingin berada di sana. Tapi kukira sekarang kami telah berteman dan ia tak
terlalu mengerikan rupanya. Aku meregangkan badanku dan menarik napas panjang
menikmati suasana di atas sini. Tak terlalu buruk rupanya.
Dari
sini aku bisa melihat halaman belakang rumah. Ada ayunan dan macam-macam
permainan lain di sana. Alat panggang barberque, meja dan kursi panjang di bawah
pohon-pohon rindang. Barangkali dulu para penghuni suka berkumpul bersama. Aku
tak pernah lebih dari lima menit menikmati suasana di sini. Aku takut bertemu
Dong Hae. Kudengar suara pintu digeser dari balkon sebelah. Benar saja, Dong
Hae yang keluar. Mulutnya yang penuh sedang asyik mengunyah sesuatu. Di
tangannya ada sepotong delimanjoo. Kebetulan sekali, pikirku.
“Hai,” sapanya. Ia memasukkan
seluruh delimanjoo ke mulut dan duduk di kursi kebesarannya. Mengelus-ngelus
perutnya.
“Kau sudah pulang?” tanyaku kaku.
Yah, kami baru saja berkenalan hari ini secara resmi dan kuakui kami masih canggung
untuk saling berinteraksi.
“Aku hanya kuliah sebentar saja
hari ini,”
“Kuliah?” tanyaku lagi. Agak
heran. Ia mengangguk.
“Matematika. Tak terlalu berguna,
hahaha,” ia mengakhiri dengan tawa
renyah. “kenapa memangnya?” sekarang ia yang balik bertanya.
“Oh, kukira kau sales atau
semacamnya,” ia menatapku tak percaya. Lalu tertawa terbahak-bahak. Aku tak
mengerti apa yang lucu.
“Cinca? Aku mesti merubah penampilanku,”
“Hahaha, ya benar sekali...” aku
mengatakannya sambil tertawa. Lalu kuhentikan tiba-tiba. Teringat wajahku di
cermin. Ia melihatku. Sepertinya dia tahu ada yang tak beres.
“Em, aku mau bertanya sesuatu,” aku tak
seharusnya bertanya padanya. Kami baru saja berkenalan. Tapi dia benar-benar
menyenangkan. Ia bangun dari kursinya, menuju ke arah balkonku, mendekatkan
badannya.
“Apa itu?” tanyanya dengan suara
rendah. Aku mendekatkan wajahku padanya. Ragu-ragu.
“Jawab dengan jujur. Apa senyumku
mengerikan?” aku bertanya dengan suara yang lebih rendah darinya. Ia
mengerutkan kening beberapa saat. Lalu mengangguk dengan mantap.
Aku
membayangkan jantungku terbuat dari kaca, lalu pecah karena jawaban
sederhananya itu. Aku mundur dan bersandar pada pintu dan meremas pagar balkon.
“Mau kujari cara tersenyum?Aku
punya buku tentang itu,” katanya.
“Kapan-kapan aku mampir ke
tempatmu untuk membacanya,” aku masuk ke flatku. Meninggalkannya sendiri.
“Kutunggu..”
aku mendengar sayup-sayup jawabannya.
Jung
Yong Hwa, seandainya kau tak pernah mengkhianatiku pasti tak akan seperti ini
akhirnya. Aku memberi terlalu banyak kepercayaan padamu, dan sepertinya aku
salah. Yong Hwa, aku sebenarnya sangat bahagia denganmu. Terlalu bahagia. Dalam
setiap ceritaku sejak kau datang dalam hidupku lima tahun yang lalu, kau selalu
jadi pangerannya dan aku si Cinderella itu. aku butuh cinta seorang ayah dan
kau memberinya. Kau tampan, kaya, pintar, sangat luar biasa. Aku? Cinderella
yang keluar dari peraduan karena karya fiksi inspiratif yang dicinta orang.
Benar, kau menghujaniku dengan cinta. Sampai-sampai tumpukan kertas bernama
novel itu hanya berisi cerita cinta juga. Lalu semua mulai berubah sejak dua
tahun yang lalu. Aku harap tidak terjadi, tapi kau memang berubah. Aku tak tahu
masih mencintaimu atau tidak. Dan akhirnya aku tak tahu apa yang harus kutulis.
Aku kehilangan inspirasi.
Aku berdamai dengan Hyo Jung malam ini. Kami
berpapasan di dapur saat ia pulang. Aku tahu ia ingin menghindariku. Sebenarnya
aku terlalu gengsi untuk minta mengatakannya, tapi hanya kata itu yang keluar
saat aku bertemu dengannya.
“Maaf..” kataku dengan suara
berat. Kerongkonganku sakit saat mengatakannya. Ia menatapku tak percaya. Lalu
ia berhenti sebentar dari kegiatannya memasak ramen dan memelukku.
Kami
akhirnya makan ramen bersama. Ia membagi hasil masakannya denganku dan menceritakan
kronologis saat ia menghilang. Ia tak tahan aku melarangnnya bertemu Jeong Min.
Tak tahan saat aku mengoceh tentangnya. Adikku itu yang mengajaknya kabur walau
Jeong Min tak setuju. Tapi adikku keras kepala. Jeong Min akhirnya mau asal
mereka tinggal di rumah ibu Jeong Min yang telah bercerai dari ayahnya. Ia
mengatakan fakta sebenarnya bahwa bukanDdong Hae yang berhasil meyakinkannya.
Tapi Jeong Min sendiri. Dong Hae bahkan tak sanggup mengejar adikku, namun
Jeong Min yang mampu mengejar Hyo Jung dan membujuknya untuk pulang.
Maka
hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang normal. Minggu ini adalah minggu
terakhir adikku tinggal bersamaku. Asrama sekolahnya telah selesai direnovasi
dan Dong Hae berjanji akan membantu saat hari pemindahan. Aku akhirnya mengenal
baik Dong Hae. Hyo Jung sering bertamu ke tempatnya untuk menanyakan
matematika. Kami sudah tak sekaku hari pertama saat berkenalan secara resmi.
Dua minggu yang lalu. Ia cukup sibuk untuk ukuran anak kuliah dan ia penuh
humor. Sayangnya ia suka meremehkanku. Aku sering tak sependapat dengannya dan
sekarang kuanggap dia sebagai si pria mangkok penuh ke-sok tahu-an. Bahkan saat
ini aku sedang bertengkar dengannya. Sejak aku berkunjung ke flatnya dan ia
mengajariku cara tersenyum yang benar. Waktu yang cukup singkat bagi dua orang
yang baru kenal untuk saling membenci. Benci?
Tidak, hanya saling mempertahankan ego masing-masing. Aku jadi sangsi
apakah ia jadi mengantar Hyo Jung ke asramanya.
Sepertinya
aku masih menjadi yang paling bodoh di kelas. Aku mengerjakan semua tugas tapi
tetap saja nilaiku C. Teman-temanku heran, kenapa direktur Cho masih mau
mempertahankan orang yang mendapat nilai jelek di mata kuliah sastra korea. Aku
hanya tersenyum kecut. Akan kuperjuangkan nilai A+ untuk setiap mata kuliah
bila itu bisa membuat novelku meraih national best selling. Dan stigma bodoh yang diberikan untuk Kim Ha Na, akhirnya
mengantarkanku ke perpustakaan untuk kelima kalinya seumur hidup.
Aku
berjalan di antara rak penuh buku-buku. Aku iseng ke salah satu bagian dan
mendapatkan novelku di sana. Embrace. Sisa satu yang tersisa. Aku bersyukur
karena masih ada yang mau membaca novel setebal 300-an halaman tersebut. Aku terus
menyusuri jalan kecil ini sampai bertemu dengan orang yang rasanya kukenal di
bagian sastra klasik. Ya, dia memang kukenal!
“PRIA MANGKOK!!!” aku berteriak
dan langsung mendekap mulutku. Semua mata memandang ke arahku. Kurasa aku telah
melupakan adab berada di perpustakaan. Orang yang kupanggil terkejut dan
berbalik. Bingung. Ia menunjuk dirinya. Aku mengangguk dan melambai.
“Apa maksudmu dengan pria
mangkok?” tanyanya saat kami duduk di salah satu kursi.
“Hahaha, hanya nama itu yang ada
dalam otakku,” kataku. Ia mengusap dagunya dan menatapku curiga.
“Apa???” tanyaku. Ia menggeleng.
Aku menarik salah satu buku yang ia pegang. Kartu mahasiswanya terjatuh dari
satu halaman buku itu.
“Kau mahasiswa S2 ya? kenapa tak
bilang padaku?” tanyaku dengan suara yang agak keras. Aku terkejut. Dong Hae
memandang pengunjung di sekelilingnya yang mendesis menyuruh diam.
“Itu tak penting kan?” katanya
sok, “Oh ya, aku ini asisten dosen juga loh,”sambungnya sambil menunjuk dada. Aku
mendengus.
“Pride and Prejudice karya Jane
Austen. Hmm, aku ingat salah satu kutipannya ‘jika dia memutuskan untuk mengabaikanku walaupun dia memiliki
kesempatan memilikiku, maka aku tidak akan lama-lama menyesalinya’ indah
bukan?” tanyaku. Ia bengong.
“Aku tak akan seperti itu, itu
menyedihkan,” katanya. Aku tertawa. Tak pernah sebahagia ini.
“Sebentar, kau mengikuti
nasehatku ya? Senyummu... manis sekali,” katanya.
“Kau menggodaku ya? Hahaha,” aku
tertawa.
“Tidak. Ini serius,” kami diam.
Ia
yang mentraktirku tiket bis saat kami pulang bersama. Kami bergelantungan
karena kehabisan kursi. Sebenarnya bukan suatu kebetulan aku bertemu dengannya.
Ia sering meminjam buku dari perpustakaan fakultasku. Novel, kumpulan puisi,
roman klasik, dan sebagainya. Hanya saja kami baru bertemu saat ini.
“Kau tahu, mereka bilang kita
bisa menguasai dunia dengan matematika dan bahasa,” katanya dalam bis.
“Memangnya kau mau menguasai
dunia?” tanyaku.
“Mungkin kalau sendiri akan
sulit. Tapi kalau kita berdua bersatu, itu cukup mudah,” ia tersenyum nakal.
“Oh, berhentilah menggombal,” aku
memukul lengannya.
“Kita sudah berdamai kan?”
tanyanya ragu. Aku teringat pertengkaran itu. Aku mengangguk.
Kami
bersenda gurau sepanjang perjalanan. Yang kulakukan hanyalah tersenyum
sepanjang perjalanan itu. Kepada pak polisi yang sedang bertugas, kepada
resepsionis berwajah menyenangkan, kepada mereka yang berpapasan denganku, bahkan
kepada penghuni lantai 3. Aku baru sadar betapa bahagianya bisa terseyum tulus.
Ya, tulus. Aku telah lama tak melakukannya. Kami mampir sebentar ke flat lelaki
tua di sayap seberang. Aku mengerti kenapa Dong Hae sering mengantarkan mangkok
berisi makanan padanya. Lelaki tua itu berjalan dengan tongkatnya. Sekitar 69
tahun. Mantan guru. Ia tak mau dipindahkan pemerintah ke panti jompo karena
flat ini adalah satu-satunya kenangan bersama sang istri. Kami mengobrol
sebentar. Banyak nasehat yang diberikan lelaki tua itu pada kami. Dan aku
sangat menghargainya. Pertemuan dengannya membuka sebuah ruangan dalam hatiku
yang telah lama tertutup. Aku merasa iba.
“Dia seperti kakekku,” kata Dong
Hae sebelum kami berpisah.
Kami saling
mengucapkan salam sebelum masuk ke flat masing-masing. Kuketuk pintu dan adikku
membukanya. Wajahnya gusar.
“Halo,” kataku sambil tersenyum.
“Eonni, kita kedatangan tamu,”
Aku
bisa melihat dari sini, Jung Yong Hwa berdiri di belakangnya. Tatapannya kosong.
***
Aku
merasa ruangan ini menyempit dan udara terhisap habis ke dalam mata yang
menatap lurus ke arahku. Napasku sesak, aku tak tahu apa yang terjadi
dengannya. Tubuhku tak leluasa bergerak, serasa ada yang menggenjetku. Aku
berjalan mendekatinya dan berhenti semeter darinya. Aku tak bisa mendekat lagi,
ada penghalang tak terlihat di antara kami.
Laki-laki
itu hanya berdiri. Tak bergerak. Rambutnya berantakan, jambang memenuhi
mukanya, kantung matanya membesar, dan wajahnya makin tirus. Ia memakai setelan
yang sepertinya sudah dipakai selama lima hari tanpa ganti. Ia tak memasukan
baju ke dalam celana. Celana itu terlihat melorot, Yong Hwa bertambah kurus.
Aku bisa mendengar suara napasnya yang berat dari sini, bahkan mencium bau
mulutnya. Bau minuman keras.
“A....” aku mendengar suara
keluar dari mulutnya. “Aku mencarimu kemana-mana,” ia melanjutkan sambil
mengelilingiku.
“Aku bertanya pada semua orang,
namun tak ada yang mau memberi tahu. Tapi aku terus mencari. Cuti dari
pekerjaanku selama beberapa bulan. Enam bulan ini aku hanya mencarimu. Kau tahu
Ha Na..” ia sekarang berdiri di depanku.
“KAU AKAN MEMBUATKU GILA!!!” ia berteriak
keras sambil mengguncang-guncang tubuhku. Air liurnya sampai ke wajahku. Ia
tersenyum tiba-tiba.
“Aku baru bilang ‘akan’ loh,” ia
menyeringai. Ia mendekatkan mulut ke telingaku dan berbisik, “Aku mencintaimu.”
“Kau yang memulainya,”
kataku.“Kau berubah selama 2 tahun ini. Aku selalu berusaha untuk ada di
sampingmu tapi kau tidak. Aku memasukkan dirimu di setiap ceritaku tapi kau tak
pernah melakukannya dalam hidupmu. Kau berubah oppa. Aku tahu ada yang lain
dalam hatimu. Kau menggantiku karena aku tak pernah MAU TIDUR DENGANMU,”
tambahku sambil memandang mata yang merah dan berair itu.
“Aku minta maaf,”
“Aku tak bisa menghitung sudah
berapa kali kau minta maaf,” aku berjalan meninggalkannya.
“Maafkan aku,” ia mengikutiku
dari belakang. Aku tak menggubris.
“Maafkan aku,”
“Maafkan aku,” kali ini ia meraih
tanganku dan menancapkan kukunya yang tajam. Aku meringis.
“Lepaskan atau aku akan
berteriak,” kataku datar.
“Maafkan aku,” ia masih belum
melepaskannya.
“AAAAAHHHHHHHH!!!!!!!!!!” aku
berteriak sejadi-jadinya. Ia melepas tangannya.
Aku mendengar
pintu menjeblak terbuka. Dong Hae masuk bersama wanita repsionis bermuka
menyenangkan.
“Tuan, tolong pergi sekarang. Kau
mengganggu ketenangan penghuni lain,” kata si resepsionis tegas. Yong Hwa
menurut tanpa banyak komentar. Ia berjalan gontai. Saat berhadapan dengan
ketiga orang itu, aku melihat Yong Hwa mendelik kepada si resepisionis, lalu
berjalan keluar.
“Kau tak apa-apa nona?” tanya si
repsionis. Aku menggeleng.
“Pulanglah,” kataku. Aku melirik
pada Dong Hae. Ia menatapku. Ada rasa kasihan di sana. Aku menunggu mereka
keluar dan menutup pintu.
“Apa perlu kuberitahu eomma?”
tanya Hyo Jung.
“Tak perlu,” jawabku singkat,
langsung masuk kamar dan tidur.
***
Yoon
Ah langsung datang menemuiku ketika kuberi tahu Yong Hwa datang semalam. Ia
duduk di sampingku dan mengelus pundakku. Tapi aku sama sekali tak sedih.
Mungkin karena sudah tak ada lagi yang tersisa untuk Yong Hwa.
“Aku tahu sulit bagimu untuk
memaafkannya. Tapi ia sangat mencintaimu,” katanya. Aku menggeleng.
“Aku sangat mencintainya saat
kuminta ia berhenti bertemu si Jalang itu. Tapi ia terus melakukannya,” kataku.
“Tak usah memikirkanku. Aku tahu
kau sibuk,” aku menambahkan saat melihatnya membawa ransel besar. Ia sedang
mengurus sebuah proyek sebelum wisuda.
“Ommo. Aku hampir lupa. Aku membelikan ini untukmu,” ia menyerahkan
sekotak delimanjoo. “Aku pergi dulu ya,” katanya sambil memelukku sebelum
pergi.
Aku
memasukkan sepotong delimajoo bulat-bulat ke dalam mulutku. Aku masuk ke kamar
dan menyalakan laptop. Aku mulai menulis.
‘Chapter 1. Aku adalah daun yang kau bawa terbang bersamamu. Aku tak
pernah melihatmu tapi selalu kurasakan kehadiranmu. Kukira kau tak nyata.
Mungkin hanya seperti hantu. Aku menyukai saat kau mengayunkanku di dahan
pohon. Kau sering berdesir di atas permukaanku dan sesekali berbisik. Aku mulai
percaya kau nyata. Aku makin meyukaimu, suka sekali. Kupikir aku telah jatuh
cinta. Lalu ketika matahari telah berada pada garis lintang yang berbeda, lalu
musim berubah, kau jadi marah. Kau menghempaskanku dari ranting-ranting pohon.
Kau membiarkanku mati. Lalu membusuk.....’
Aku membiarkan
kata-kata itu terus mengalir dari otakku dan hatiku. Menumpahkan seluruh isi
jiwaku ke dalamnya. Aku tahu tulisan ini akan sama jeleknya seperti
tulisan-tulisan sebelunya. Tapi aku hanya ingin terus mengetik. Kurasakan air
mataku menetes. Makin deras. Lalu aku menangis sejadi-jadinya.
Esok
paginya aku terbangun di meja kerjaku. Laptopku dalam keadaan sleep. Selimut melingkupi tubuhku. Hari
ini adalah hari pindahan Hyo Jung. Aku sama sekali tak membantunya beres-beres
semalam. Ia tak berani menggangguku saat melihat aku mengetik sambil berurai
air mata. Ia hanya membuatkanku cokelat panas yang sama sekali tak kusentuh.
Aku menyalakan lagi laptopku. Chapter 1 telah selesai dan aku sudah menulis
seperempat chapter 2. Tujuh puluh halaman dalam sepuluh jam. Ini bukan
kemampuan terbaikku.
“Eonni, kau sudah bangun?
Bergegaslah jika mau mengantarku. Oppa sudah menunggu dari tadi,” kata Hyo Jung.
Aku berbaik dan mendapati adikku bersama Dong Hae. Oppa?
Pindahan
Hyo Jung cepat saja. ia hanya membawa dua koper dan satu ransel. Asramanya tak
begitu buruk. Aku berpelukan dengannya sebelum meninggalkannya. Hyo Jung dan
ibu adalah makhluk paling berarti dalam hidupku. Ia bilang Jeong Min akan
mampir hari ini. Suka atau tidak, aku mulai menerima pemuda itu menjadi bagian
dari keluargaku.
“Datanglah setiap akhir pekan,”
kataku.
“Pasti,”
Kami
meninggalkan Hyo Jung yang berada di gerbang asrama. Aku melambaikan tangan
padanya, ia membalas.
“Kau mau ke mana habis ini?”
tanya Dong Hae. Aku tersadar akan kehadirannya.
“Mau minum kopi?”
Kami
pergi ke tempat biasanya aku dan Yoon Ah pergi. Di jantung kota Seoul. Letaknya
tak jauh dari jalan utama utara Seoul
yakni di Seoul Jongno-gu Hwa-dong. Aku memesan secangkir coffe latte
sedangkan ia memesan cappucino dingin dengan ice ream di atasnya.
“Aku punya ini untumu,” aku
menyerahkan hasil print-an chapter 1.
Ia
membacanya sambil sesekali menyedot minumannya. Mata bergerak dari kiri ke
kanan. Makin lama mukanya terlihat makin serius. Kemudian ia menurunkan script
itu dan menatapku. Ia menunjukkan dua jempolnya padaku.
“Selesaikan ini dan namamu
sebagai penulis terbaik Korea akan segera pulih,” katanya singkat.
Maka,
Dong Hae adalah orang pertama yang menyukai karyaku sejak namaku tenggelam
dalam tulisan-tulisan orang lain. Ia ikut mengoreksi jika ada kesalahan bahasa,
membuat ceritaku kembali ke dalam jalurnya, mengembalikan idealismeku dalam
menulis, menyemangatiku, mengatur pola makanku, dan juga mencaci maki bila ada
sesuatu yang tidak rasional dalam karangan ini. Dong Hae adalah teman, fans,
editor, manajer, merangkap kritikus.
Dong
Hae sering mengajakku ke tempat-tempat menarik. Kemarin ia mengajakku ke kuil
di balik gunung. Sejak ayahku pergi begitu saja, ini adalah pertama kalinya aku
ke kuil lagi. Setelah perginya ayah, ibu meminta aku dan adikku untuk dibaptis.
Namun kami tak pernah sekali pun ke gereja.
Aku
selalu berkunjung ke tempatnya setiap selesai menulis. Meminta persetujuannya.
Yoon Ah baru mampir ke sini tadi. Tapi ia segera pamit, ada sesuatu yang harus
ia kerjakan. Seperti beberapa kunjungannya yang lalu, ia membawakan sekotak
Delimanjoo. Aku sedang menyiapkan script ku dan bergegas pergi mengunjungi Dong
Hae. Namun hari ini aku agak berbaik hati. Aku tak hanya akan meyodorkan scrip
saja, tapi juga melengkapinya dengan setengah kotak delimajoo pemberian Yoon
Ah.
Aku
sudah sampai di depan pintunya namun ragu ingin mengetuk. Jika aku langsung
membukanya dan memang tak terkunci, maka itu adalah rezekiku. Aku memegang
gagang pintu dan mendorongnya ke dalam. Tak terkunci. Sayup-sayup aku mendengar
suara yang tak asing. Dong Hae dan seseorang sedang duduk di sofa depan tivi. Aku
masuk lebih dalam dan melihat punggung wanita di samping Dong Hae.
“Jika aku menggunakan sudut
sebesar 45 derajat, maka ia akan tetap kuat berdiri dan juga memberikan niai
artistrik lebih pada bangunannya,”
“Tapi lihat pada sisi yang lain,
kau harus membuatnya lebih datar,”
“Yoon Ah?” aku memanggil
perempuan itu. Ia berbalik. aku agak kaget melihatnya duduk di sana.
“Ha Na!” serunya.
“Aku tak tahu kalian saling mengenal,” kataku
sambil mendekati mereka. Aku melihat coret-coretan gambar segitiga-segitiga
kecil yang saling menumpuk membentuk bentuk abstrak aneh. Di sampingnya ada
sekotak delimanjoo seperti yang kubawa. Hanya saja punyaku tinggal setengah.
“Ada apa?” tanya Dong Hae.
“Oh, nanti saja. selesaikan dulu
urusan kalian. Aku pulang ya,” ada nada kecewa dalam suaraku.
“Aku akan ke tempatmu habis ini,”
kata Yoon Ah. aku tersenyum. Agak memaksa tersenyum tepatnya. Aku keluar dari
flat Dong Hae bersama delimanjoo-ku.
***
“Kenapa tak beritahu aku kalau kau
kenal dengannya?”
“Aku takut kau marah padaku. Kau kan
dulu tak suka dia,” jawab Yoon Ah. Aku teringat beberapa bulan silam. Aku
mendengus.
“Aku beberapa kali berpapasan
dengannya saat mau ke flatmu. Kami ngobrol dan akhirnya aku tahu dia pintar
dalam matematika dan fisika. Sebenarnya aku selalu mengunjunginya setelah aku
mengunjungimu untuk berkonsultasi tentang simetrisitas bangunan,” katanya.
sekarang kutahu kenapa hari itu Dong Hae memegang delimanjoo di hari yang sama
Yoon Ah memberiku cemilan itu.
“Ha Na, aku tahu ini lebih dari
itu....” ia terhenti. Yoon Ah tersenyum
sendiri memandang delimanjoo yang tak jadi kuberikan pada Dong Hae. Mukanya
merah seperti kepiting rebus.
“Aku menyukainya,” ia menutup
mukanya dengan tangan. Kata-kata itu merambat lambat sampai aku bisa
mencernanya. Menyengat suatu bagian di otakku. Mulutku menganga.
“Jangan beri tahu dia ya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar