VI
Air
pancuran hangat membasahi kepalaku. Aku hanya berdiri dan tersenyum mengingat
kejadian tadi. Dong Hae tak melepaskan tanganku sama sekali saat kami berjalan
pulang. Rasanya natal yang masih seminggu lagi datang terlalu cepat. Aku sudah
mendapat kado natalku, aku telah memiliki Dong Hae.
Aku
berdendang kecil saat mengusap tubuhku dengan sabun. Aku tak ingin memikirkan
Yoon Ah dulu. Aku akan bersujud minta maaf padanya suatu hari nanti. Saat ini
hatiku hanya penuh dengan bunga-bunga. Aku menyusuri dadaku dan kini menyentuh
bagian payudara bagian bawah. Aku merasakan ada massa di bawah kulit. Hatiku
mencelos. Benjolan ini lebih besar dari pada setahun yang lalu.
***
Amplop berwarna cokelat muda
selalu mampir di flatku setiap pagi. Dong Hae memasukkannya lewat celah-celah
pintu setiap ia yang bangun lebih pagi. Aku memungutnya dan mencium aroma
parfum pria yang biasa Dong Hae pakai. Aku menggaruk kepala. Sebenarnya aku agak
sering memerotes jika ia mengirimkan surat seperti ini. Terlalu romantis dan
aku alergi karenanya. Surat itu biasanya berisi kutipan buku atau orang
terkenal atau pusi bikinannya sendiri yang amatiran atau hanya instruksi sok
nge-bos-nya.
‘Hei tukang tidur, sudah bangun?Ke flatku
ya. Ada yang ingin kubicarakan J’
Dong Hae sudah menungguku di
sofa ketika aku masuk Aku langsung duduk di sampingnya dan mengambil surat
berlogo Ohio State Unviersity tergeletak di atas meja.
“Apa yang mau
kaubicaran? Mau melamarku?” kataku sambil membaca surat berbahasa inggris itu.
Ia tak menjawab
dan hanya melingkarkan tangan di leherku. Aku melipat surat dan menatap Dong
Hae sambil menganga setelah mencerna-baik isinya.
“Kau..... KAU KEREN SEKALI!!!” aku
langsung memeluknya.
“Aku begini karena kau,” katanya
sambil mencium rambutku. aku terus memeluknya erat.
Ia mengambil beasiswa S3
matematika di Ohio. Aku tahu betapa idealisnya dia dan betapa ia begitu
ambisius dengan karirnya. Aku tahu aku adalah faktor X di balik keberhasilannya.
Tidak mudah untuk mengembalikan semangat Dong Hae saat ia terpuruk, tapi aku
berhasil. Aku selalu ada di flatnya jika ia butuh teman untuk berbagi cerita.
Tentang dosennya, teman-temannya, rencana masa depan karirnya, walau belum
ingin membicarakan masa depan kami. Aku membuatkannya cokelat panas sambil
memegang tangannya.
Untuk merayakannya, Dong Hae
ingin membuat pesta BBQ. Ia ingin berbagi kebahagiaan bersama penghuni flat
lain dan juga temannya. Maka esoknya kami berbelanja. Dong Hae sangat ceria
ketika mendorong kereta barang di supermarket. Aku tak bisa menahan tawa saat
meihatnya menawar sayur di pasar dan membawa belanjaan yang sangat banyak.
Beberapa penjual mengira kami suami-istri. Aku memang berharap kami pasangan
suami istri sekarang.
“Dong Hae-ssi,”
kataku saat kami dalam perjalanan pulang. Ia mengelurkan kata ‘hmm’ yang
berarti ia mendengar.
“Eomma akan
datang besok,” aku memandang Dong Hae yang sedang menyetir.
“Oh ya? tepat
sekali. Jam berapa ia datang? Aku akan menjemputnya,”
Aku mengabaikan
kata-katanya, “Tolong bicarakan pernikahan kita dengannya”
Ia memukul
kemudi mobil, “sudah kubilng aku tak mau membahasnya dulu,” katanya dingin.
***
Aku baru saja bersiap-siap mandi
untuk menemui direktur Cho ketika aku kedatangan tamu yang tak diduga. Ibuku
datang dengan sebuah koper dan satu tas tangan. Perempuan itu mengernyit saat
melihatku masih berantakan. Ia adalah simbol kebersihan dan keteraturan.
Menjadi istri yang baik pasti benar-benar cita-citanya dulu, sayang ia mendapatkan
ayahku.
“Eomma bilang
akan datang dengan pesawat siang, Dong Hae kan bisa menjemput,” kataku sambil
membawakan barang-barangnya. Ia mengelilingi flatku mencari sebuah kecacatan.
“Kenapa kau
baru bilang padaku ada benjolan di payudaramu?” ia langsung menodong dengan
pertanyaan itu. ia bahkan belum memelukku atau melakukan sesuatu yang biasa
dipertontonkan ibu dan anak yang baru bertemu.
“Kau tahu
betapa khawatirnya aku?” aku bisa melihat air mata di sudut matanya. Aku
menunduk. Merasa bersalah. Aku baru memberitahunya ketika sering timbul rasa
sakit yang menjalar dari ketiak ke lengan kiriku.
“Aku akan ke
dokter besok. Eomma, aku... aku takut,” air mataku jatuh. Ibuku mendekatiku dan
memelukku. Aku hanya bisa sesenggukan di bahunya.
Terakhir kali aku memeriksakan
kondisiku dua bulan yang lalu. Dua bulan yang lalu saat hatiku baru saja
ditumbuhi bunga dandelion milik Dong Hae. Aku pergi ke klinik dokter onkologi
terkenal yang dulu tinggal di Incheon. Dokter yang juga pernah menangani ibuku
dengan kasus yang hampir sama. Dokter Chung mengusap-ngusap dahinya saat
melihat hasil pemeriksaan mammograph. Ia menemukan sebuah benjolan sebesar
kelereng.
“Nona Kim, kita
masih belum tahu apakah ini hanya tumor atau kanker. Apakah jinak atau ganas,”
katanya sambil membenarkan letak kaca mata.
“Kita harus
melakukan uji byopsi sesegera mungkin,” tambahnya.
“Apakah harus
sekarang dokter? Aku sedang sibuk belakangan ini,” kataku. Revisi terhadap
novelku memang sedang dilakukan sebelum pencetakan. Aku juga lagi sibuk-sibuknya
berdiskusi dengan Lee Yong Ik –editor penerbitan besar di Amerika- tentang
karirku. Dan yang paling penting dari
segalanya adala aku tak mau perasaan bahagia bersama Dong Hae lenyap begitu
saja hanya karena pertumbuhan jaringan yang abnormal ini.
“Kita tentu
sama-sama tak mau hal yang lebih parah terjadi padamu kan nona? Aku sarankan
untuk segera melakukan byopsi agar kita bisa mengambil tindakan yang tepat. Kau
tak perlu stress, ini tak seburuk kata orang jika kau mau mendengar nasehatku,”
katanya sambil tersenyum ramah.
“Baik dok,”
kataku hanya sekedar basa-basi.
Setelah itu aku belum
mengunjunginya lagi sampai hari ini. Aku hanya mengikuti sarannya untuk
mengurangi rokok dan lebih banyak mengonsumsi makanan organik. Aku jadi lebih sering
berolahraga, jogging di pagi hari bersama Dong Hae yang tak tahu sama sekali
tentang keadaanku. Ia hanya menyadari berkurangnya jumlah puntung rokok yang
kuhabiskan. Bahkan aku tak merokok selama tiga minggu ini. Sampai saat di mana
aku menikmati daging panggang di pesta BBQ-nya, Dong Hae masih belum tahu.
Anak-anak penghuni flat
berkejaran di halaman belakang rumah. Aku tertawa melihat bocah tujuh tahun itu
terjatuh. Ini adalah pertama kalinya kami berkumpul bersama menikmati hangatnya
matahari musim. Dong Hae sedang sibuk memanggang daging bersama Jeong Min.
Sesekali Hyo Jung menghampirinya dan mendaratkan ciuman ke pipi pemuda itu.
Dong Hae yang berada di samping mereka langsung melirik ke arahku, mengedipkan
mata untuk menggodaku. Aku tersipu malu. Penghuni lantai 3 sibuk bermain kartu
sambil tertawa terbahak-bahak. Aku sempat bergabung bersama mereka namun kalah
di set pertama. Aku mengamati ibu yang sedang ngobrol serius dengan Bae Yon Ju.
Aku tahu apa yang mereka bahas begitu menangkap Yon Ju memandangku.
Pesta ini juga mempertemukanku
lagi untuk yang pertama kalinya dengan sahabatku Yoon Ah. kukira ia benar-benar
telah mencoret namaku selamanya dari lembar hidupnya, tapi ia mendatangiku
dengan canggung. kami ngobrol singkat menanyai kabar masing-masing hingga akhirnya
ia yang minta maaf padaku. Kami berpelukan.
“Dong Hae dulu
sering bilang padaku betapa kau benar-benar menyebalkan. Tapi ia juga pernah
bilang betapa ia telah sangat-sangat-sangat menyukaimu bahkan sebelum kalian
bertemu,” pernyataan sahabatku itu mengungkap fakta bahwa Dong Hae memang fans
ku yang sangat-sangat-sangat berat sekali.
Aku menatap halaman yang kembali
sepi dari balkonku. Pesta Dong Hae baru saja berakhir satu jam yang lalu. Aku
memutar kepala untuk melihat balkon Dong Hae yang sepi. Ia belum kembali ke
flatnya. Aku meneguk botol air mineral di tanganku lalu mengambil sebungkus
permen untuk menghilangkan rasa kering dalam mulutku yang sudah lama tak
terpapar rokok. Namun permen yang berhasil kubuka itu jatuh ke lantai karena
aku terdorong ke depan saat Dong Hae memeluk pinggangku.
“Merindukanku?”
bisiknya.
“Oh, jangan
sekarang. Aku malu,” kataku sambil berusaha melepas pelukannya. Dong Hae malah
mempererat dekapannya.
“Ibumu sedang
ngobrol asyik dengan Yon Ju di lobi. Sepertinya mereka membicarakan karirmu,”
aku terhenyak ketika ia mengatakannya. Kemudian aku menyandingkan Dong Hae dan
sebuah daging tumbuh di payudaraku.
“Dong Hae-ssi,
berjanjilah padaku kau tak akan meninggalkanku apapun yang terjadi,” kataku
pelan.
“Aku berjanji,”
ia menggambar tanda X dengan jarinya di dadaku.
“Berjanji juga,
kau akan segera kembali padaku begitu kau lulus dengan gelar doktoralmu,” ia
tak segera merespon perkataanku. Kami terdiam sejenak.
“Aku tak tahu.
Bila ada tawaran karir di sana, aku tak akan menyia-nyiakannya,” aku kecewa
ketika mendengarnya. Dong Hae-ssi, jika suatu hari kau mengetahui keadaanku,
kau akan tahu kenapa aku tak mau membuang waktu percuma, kenapa aku ingin
segera menikah denganmu, kataku dalam hati.
***
Dokter Chung menatapku murka begitu
berhadapan denganku di meja dokter. Aku telah berjanji segera datang kembali
untuk konsultasi tentang tes biopsi tapi aku mengingkarinya. Ibuku hanya
mendengus panjang di sampingku.
“Tapi saya
melakukan semua yang anda minta,” aku melakukan pembelaan, tak ahan dengan
tuduhan yang terus menerus dilontarkan dia dan ibuku.
“Baiklah nona
Kim, aku pasti akan kalah bila terus bedebat denganmu. Kita bisa lakukan
operasi biopsi tiga hari lagi,” katanya. tiga hari lagi?
Aku mengambil buku agendaku
untuk melihat jadwalku di hari itu. wawancara dengan KBS dan diskusi bersama
Lee Yong Ik lagi. satu hari sebelumnya ada diskusi membedah buku dan satu hari
setelahnya ada pertemuan dengan direksi penerbitan.
“Bisa kita
undur operasinya dok? Saya ada kegiatan di hari itu,” kataku. Dokter Chung
mengelap mukanya dengan telapak tangan dan melihatku lekat-lekat.
“Pasien-pasienku
termasuk ibumu tak pernah berani tawar-menawar denganku kecuali kau!” ia
menunjuk mukaku, “Baiklah, tolong diagendakan tanggal 15 maret kau ada operasi,”
aku tersenyum melihat dokter yang lucu ini. Tidak masalah jika operasinya
seminggu lagi.
***
Aku melewati hari-hari dengan
perawaan was-was. Hari H operasiku makin dekat. Aku berusaha memanfaatkan waktu
selama seminggu ini seefektif mungkin. Aku berusaha menyeimbangkan waktu antara
kesibukan sebagai penulis dan menghabiskan waktu bersama orang yang kusayang.
Aku meminta Hyo Jung mengambil izin dari asrama agar ia bisa bergabung bersama
aku, ibu, Jeong Min-nya dan Dong Hae. Kedua lelaki itu sudah serasa bagian dari
keluargaku sendiri. Bahkan Dong Hae sudah terbiasa memanggil ibuku eomma. Mereka
selalu makan malam bersama kami. Ibu sangat menyukai Dong Hae yang sudah
dianggap seperti anaknya sendiri dan berharap suatu hari Dong Hae benar-benar
jadi putranya.
Aku sedang mengamati foto kami berlima di
pesta BBQ ketika seseorang mengetuk pintu dengan tidak sabar. Aku tahu dari
caranya mengetuk yang sama persis saat malam percobaan pembunuhan dulu, itu
adalah Dong Hae. Benar saja, ia tersenyum sumringah saat melihatku.
“Aku akan
berangkat 17 maret nanti,” katanya.
“Selamat ya,”
kataku sambil memeluknya. Ia akan berangkat sehari setelah operasi kecil yang hanya memakan waktu satu hari itu. Aku
sedih, tapi mau bagaimana lagi?
“Kau harus
datang di pengukuhan gelar doktorku nanti, lalu kita akan membahas penikahan
itu di Ohio,” sambung Dong Hae. Aku berusaha tersenyum untuk mendukungnya. Ia tak
boleh tahu tentang ini karena konsentrasinya akan buyar. Walaupun aku takut
setengah mati dengan diagnosis tentang penyakitku, aku harus menanggungnya
sendiri. Kanker, kuharap tidak.
***
Operasi itu berlangsung sangat
cepat. Tak sampai satu jam. Mereka hanya mengambil sedikit jaringan pada
benjolan itu. Aku bahkan bisa melihat alat yang digunakan untuk mengambil
jaringannya, meski aku tak merasa sakit karena sudah dibius lokal. Aku
berbaring di kasur rumah sakit dengan ibu di sampingku. Aku masih beum
memberitahu Dong Hae, bahkan adikku tidak tahu. Kami berdua sedang asyik
berbincang sampai dokter Chung masuk. Ia mengamatiku dengan seksama.
“Ada yang ingin
kusampaikan,” katanya dengan nada serius.
“Kabar ini
mungkin terdengar kurang menyenangkan, tapi kuingin kalian tetap tenang. Nona
Kim, maafkan aku, tapi kau terkena kanker stadium awal,” kata-katanya terdengar
tak masuk akal bagiku.
“Kami sudah
memikirkan masak-masak, dan menympulkan pembedahan merupakan pengobatan yang
tepat,” ujarnya.
Ibu sedang berkonsultasi tentang
operasiku. Mungkin besok, mungkin juga lusa. Aku berbaring di kasur rumah sakit
dengan lampu yang kubiarkan mati. Aku tak ingin menyalakannya. Aku memejamkan
mataku tapi tidak berusaha tidur. Aku membayangkan lagi pisau-pisau itu menempel
di kulitku dan membuat bukaan besar di sana. Lalu terjadi perdarahan hebat yang
membuatku tak bisa bangun lagi. Aku tak bisa mengantarkan Dong Hae ke bandara.
Aku tak bisa menemuinya lagi. Bukan karena dia yang meninggalkanku, tapi aku
yang melakukannya. Karena aku pergi untuk selama-lamanya.
Imajinasiku buyar ketika
terdengar bunyi klik, dan aku
merasakan cahaya merembes masuk ke mataku. Seseorang telah menyalakannya.
Mungkin ibu. Ketika aku membuka mata, yang kudapati bukan ibuku, tapi Hyo Jung yang
berurai air mata bersama Dong Hae yang mukanya kaku.
“Aku pulang dan
tidak mendapati siapa-siapa di rumah. Aku menelepon ibu dan mendapat jawaban
kau di rumah sakit,” katanya sambil menangis.
“Kenapa kau
tidak katakan pada kami eonni? Kenapa kau merahasiakan benjolan itu dari kami?”
“Karena kukira
ini benjolan biasa, bukan kanker!” bentakku.
“Kau bohong!
Kau tahu eomma pernah sakit seperti ini juga. Harusnya kau sadar itu kanker!”
ia berteriak padaku lalu pergi. Dong Hae masih yang masih terpaku, kemudian
datang mendekatiku.
“Dong
Hae-ssi....” aku memanggilnya. Ia berada di sampingku.
“Aku hanya tak
ingin kau khawatir. Aku takut itu mengganggumu, maafkan aku,” kataku.
Ia menatapku lekat-lekat.
Matanya berusaha tegar, tapi kutahu ia menahan air mata. Ia mendekatkan
bibirnya padaku dan menciumku lembut.
Dong Hae
menarik kepalanya dan berbisik di telingaku, “Aku mencintaimu,” lalu ia
berbalik tapi kutahan tangannya.
“Dong Hae-ssi,
tetap fokus dan cepatlah kembali,” kataku.
“Cepatlah
sembuh,” ujarnya dengan suara tercekat di kerongkongan lalu pergi.
Esoknya mereka telah
mempersiapkan segala sesuatu untuk operasi. Mereka akan melakukannya sore hari.
Ibu menimang tanganku, meyakinkan bahwa tak ada sesuatu yang buruk terjadi.
Lalu operasi berjalan begitu saja. aku bisa merasakan warna hijau ruang
operasi. Suara dokter di sekitarku, dan peralatan mereka tapi aku terlalu lemah
untuk bisa menyimaknya hingga akhirnya jatuh tertidur.
Aku mimpi aneh. Aku merasakan
seseorang berjalan di dekatku. aku mencium aroma parfum pria yang kukenal.
Kemudian terasa kecupan di kecupan di keningku. Setelah itu aku tak merasakan
apa-apa lagi sebelum beberapa saat kemudian terbangun. Jam sepuluh pagi.
Astaga, sudah berapa lama aku tertidur?
Jam sepuluh pagi. Dong Hae pasti
sudah pergi. Pesawatnya berangkat jam tujuh tadi. Aku merasa kesal padanya. Aku
merasa marah karena aku terlalu menyukainya dan ia pergi dariku hanya untuk
gelar doktoral. Ia begitu egois. Aku merasakan air mataku jatuh.
“Ha Na, kau
sudah sadar?” tanya ibuku yang baru muncul dari kamar mandi. Aku mengangguk dan tersenyum
untuk menahan tangisanku.
“Oh ya, sekitar
jam sepuluh malam Dong Hae ke sini. Ia menjagamu sebelum berangkat ke Amerika
dan langsung pergi ke bandara dari rumah sakit. Dan ia meninggalkan ini,” ibuku
menyerahkan sekotak cokelat kesukaanku dan kotak lain berwarna merah.
Aku membuka kotak berwarna merah itu dan
mendapat buku berbahasa Perancis miliknya, sebuah kotak kecil berisi seuntai
kalung bermata berlian, dan sepucuk surat beramplop cokelat. Aku mengambil surat
itu dan mencium aroma parfum Dong Hae menempel di amplopnya. Aku membukanya dan
membaca suratnya.
‘Ha Na, kuatlah! Aku mencintaimu dari apapun
di dunia ini. Aku tak akan meningglkanmu, aku janji. Dan aku akan kembali,
pasti. Dari pria mangkokmu, Lee Dong Hae’
Terdapat titik-titik air di
beberapa bagian. Tulisannya tidak rapi seperti biasa, tangannya seperti gemetar
saat menulis. Aku mencium surat itu sepuas-puasnya, meski tak tahu kapan
penulisnya akan kembai lagi padaku.
***
SEPULUH TAHUN KEMUDIAN
Aku
mempercepat langkahku menyusuri lorong hotel. Sial, mereka begitu saja
memindahkan tempat konferensi persnya. Aku memasuki convention center hotel
yang sudah dipenuhi wartawan. Aku tak suka kilasan blitz, penyakit lama yang
tak pernah hilang. Aku melewati jalan kecil di antara microphone yang diarahkan
padaku. Penuh perjuangan untuk bisa mencapai bagian depan panggung dan duduk di
antara para aktor dan aktris, serta sutradara bersama produser film ini. mereka
adalah sebuah tim yang baru saja menyelesaikan film adaptasi dari novelku.
“Kim Ha Na, kau
terkenal dengan novel-novelmu yang meledak di seluruh dunia. Hampir semuanya terjual
di atas sepuluh juta kopi. Kenapa baru sekarang kau mau novelmu mau diadaptasi?”
tanya salah satu wartawan panjang lebar.
“Karena aku
suka naskah yang mereka buat. Dan kukira aktor-aktor ini bisa mempresentasikan
tokoh yang ada dalam novel” jawabku.
“Kabarnya
novelmu berjudul ‘BBQ Party’ akan segera difilmkan oleh warner bross,
benarkah?”
“Em, itu sedang
dalam tahap pembicaraan,” kataku sambil tersenyum.
Aku hanya menjawab saja berbagai
pertanyan di konferensi perss itu. aku bersyukur ketika acara utama itu telah
selesai dan para undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia. Aku
dari tadi berkeliling mencari minuman tapi selalu kehabisan. Kerongkonganku
kering. Aku kaget saat seseorang menepuk pundakku.
“Mau
champagne?” tanyanya.
“Lee Dong
Hae??!!!” kataku tak percaya. Aku langsung memeluknya di tengah kerumunan yang
tak memperhatikan kami.
“Kapan kau
datang?” tanyaku.
“Dua hari yang
lalu,” katanya sambil tertawa.
Kami mengeluarkan diri dari
kerumunan dan memilih untuk ngobrol di balkon hotel. Balkon, tempat yang jadi
favoritku setelah bertemu Dong Hae.
“Bagaimana
kabarmu professor Lee?” tanyaku. Ia mengangkat pundaknya.
“Yah, seperti
inilah, masih sendiri,” ia mengakhiri kata-kata itu dengan tawa hampa. Kami diam
sejenak. Suasana menjadi kaku seperti saat kami pertama kali bertemu sebelas
tahun silam.
“Maafkan aku
tak bisa menjaga janjiku. Aku meninggalkanmu dan tak segera kembali padamu,”
katanya. ia mengerutkan dahi, seperti berpikir.
“Kau salah. Kau
melunasi janjimu. Kau tak benar-benar pergi karena dirimu selalu ada di setiap
ceritaku. Kau, kau masih jadi inspirasi buatku. Kau akhirnya memang kembali
kan?” aku berhenti sejenak. Mataku perih menahan tangis.
“Maafkan aku
karena tak bisa menunggumu lebih lama. Kau tahu, penyakit ini setiap detiknya
bisa saja memburuk, dan aku hanya tak ingin membuang begitu saja waktuku. Aku....
aku ingin seperti orang lain, menikmati hidupku, menikah, punya anak, itulah
sebabnya aku sering mengajakmu untuk menikah, hahaha” aku tertawa sambil mengusap
air mataku.
“Aku tak tahu
apakah masih bisa melakukannya jika aku menunggumu,” aku tersenyum tegar
padanya. Mata Dong Hae merah. Kami diam lagi.
“Jika dia
memutuskan untuk mengabaikanku walaupun dia memiliki kesempatan memilikiku,
maka aku tidak akan lama-lama menyesalinya. Ha Na.... aku melakukannya. Aku melewatkanmu,
aku si menyedihkan itu,” katanya sambil menyeka butir-butir perak di sudut
matanya. Aku menyentuh pipinya.
“Menikahlah,”
kataku. Ia menggeleng dan menarik ingusnya.
“Aku akan menghabiskan
waktuku mengajar di universitas. Kurasa tak ada wanita yang bisa menolerir itu,”
katanya.
“Yoon Ah masih
sendiri,” kataku sambil tersenyum.
“Ia tak bisa
menggantikanmu,” ia membalas senyumku.
“Eomma!!!” aku
mendengar suara anak kecil yang memanggilku. Bocah lima tahun itu berlari ke
arahku.
“Ada apa nak?”
tanyaku.
“Appa
mencarimu,” jawabnya.
“Sebentar Jae
Sung. Kau harus berkenalan dengan ahjussi ini. dia professor matematika,”
kataku. Dong Hae berlutut pada kakinya dan menjulurkan tangan yang disambut
anakku.
“Namaku Jung
Jae Sung, paman,” katanya.
“Namaku Lee Dong
Hae. Kau pasti pintar, kapan-kapan kita bisa belajar matematika bersama ya,”
kata Dong Hae sambil mengelus kepala putraku.
“Pergilah pada
appamu, bilang eomma akan menyusul,” kataku pada Jae Sung. Anak itu seorang
penurut seperti ayahnya. Ia mengangguk dan langsung pergi. Aku berbalik lagi
pada Dong Hae.
“Aku harus pergi,
Jung Yong Hwa menungguku. Kami harus mengunjungi acara yayasan kanker,” kataku.
Kami saling berjabat tangan.
“Jaga dirimu
baik-baik,” bisikku, kemudian aku mendaratkan ciuman di pipinya.
Aku meninggalkan pria mangkok
itu sendirian di balkon. Aku sudah berada pada masa depanku dan berusaha tak
membalikkan badan untuk melihatnya lagi meski hatiku sakit. Perasaanku pada Dong Hae? Aku tetap merasakan
cintaku padanya mengalir setiap aku menulis novel. Ia selalu menjadi
inspirasiku. Tak ada yang bisa menggantinya walau sekarang aku mencoba dengan keras
untuk menyayanginya sebatas kakak.
Yong Hwa sedang berbincang
dengan direktur Cho. Ia menggendong Jae Sung kecil yang memukul-mukul ayahnya
saat melihatku datang. Aku tersenyum saat menghadapi anak dan suamiku yang
melambai padaku dengan ceria. Seluruh jiwa, raga dan hatiku adalah milik mereka
sekarang.
-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar