Simple Life

Sabtu, 02 November 2013

The Flat 6

VI
                Air pancuran hangat membasahi kepalaku. Aku hanya berdiri dan tersenyum mengingat kejadian tadi. Dong Hae tak melepaskan tanganku sama sekali saat kami berjalan pulang. Rasanya natal yang masih seminggu lagi datang terlalu cepat. Aku sudah mendapat kado natalku, aku telah memiliki Dong Hae.
                Aku berdendang kecil saat mengusap tubuhku dengan sabun. Aku tak ingin memikirkan Yoon Ah dulu. Aku akan bersujud minta maaf padanya suatu hari nanti. Saat ini hatiku hanya penuh dengan bunga-bunga. Aku menyusuri dadaku dan kini menyentuh bagian payudara bagian bawah. Aku merasakan ada massa di bawah kulit. Hatiku mencelos. Benjolan ini lebih besar dari pada setahun yang lalu.
                                                                                                ***            
                Amplop berwarna cokelat muda selalu mampir di flatku setiap pagi. Dong Hae memasukkannya lewat celah-celah pintu setiap ia yang bangun lebih pagi. Aku memungutnya dan mencium aroma parfum pria yang biasa Dong Hae pakai. Aku menggaruk kepala. Sebenarnya aku agak sering memerotes jika ia mengirimkan surat seperti ini. Terlalu romantis dan aku alergi karenanya. Surat itu biasanya berisi kutipan buku atau orang terkenal atau pusi bikinannya sendiri yang amatiran atau hanya instruksi sok nge-bos-nya.
‘Hei tukang tidur, sudah bangun?Ke flatku ya. Ada yang ingin kubicarakan J
                Dong Hae sudah menungguku di sofa ketika aku masuk Aku langsung duduk di sampingnya dan mengambil surat berlogo Ohio State Unviersity tergeletak di atas meja.  
“Apa yang mau kaubicaran? Mau melamarku?” kataku sambil membaca surat berbahasa inggris itu.
Ia tak menjawab dan hanya melingkarkan tangan di leherku. Aku melipat surat dan menatap Dong Hae sambil menganga setelah mencerna-baik isinya.
“Kau..... KAU KEREN SEKALI!!!” aku langsung memeluknya.
“Aku begini karena kau,” katanya sambil mencium rambutku. aku terus memeluknya erat.
                Ia mengambil beasiswa S3 matematika di Ohio. Aku tahu betapa idealisnya dia dan betapa ia begitu ambisius dengan karirnya. Aku tahu aku adalah faktor X di balik keberhasilannya. Tidak mudah untuk mengembalikan semangat Dong Hae saat ia terpuruk, tapi aku berhasil. Aku selalu ada di flatnya jika ia butuh teman untuk berbagi cerita. Tentang dosennya, teman-temannya, rencana masa depan karirnya, walau belum ingin membicarakan masa depan kami. Aku membuatkannya cokelat panas sambil memegang tangannya.
                Untuk merayakannya, Dong Hae ingin membuat pesta BBQ. Ia ingin berbagi kebahagiaan bersama penghuni flat lain dan juga temannya. Maka esoknya kami berbelanja. Dong Hae sangat ceria ketika mendorong kereta barang di supermarket. Aku tak bisa menahan tawa saat meihatnya menawar sayur di pasar dan membawa belanjaan yang sangat banyak. Beberapa penjual mengira kami suami-istri. Aku memang berharap kami pasangan suami istri sekarang.
“Dong Hae-ssi,” kataku saat kami dalam perjalanan pulang. Ia mengelurkan kata ‘hmm’ yang berarti ia mendengar.
“Eomma akan datang besok,” aku memandang Dong Hae yang sedang menyetir.
“Oh ya? tepat sekali. Jam berapa ia datang? Aku akan menjemputnya,”
Aku mengabaikan kata-katanya, “Tolong bicarakan pernikahan kita dengannya”
Ia memukul kemudi mobil, “sudah kubilng aku tak mau membahasnya dulu,” katanya dingin.
***
                Aku baru saja bersiap-siap mandi untuk menemui direktur Cho ketika aku kedatangan tamu yang tak diduga. Ibuku datang dengan sebuah koper dan satu tas tangan. Perempuan itu mengernyit saat melihatku masih berantakan. Ia adalah simbol kebersihan dan keteraturan. Menjadi istri yang baik pasti benar-benar cita-citanya dulu, sayang ia mendapatkan ayahku.
“Eomma bilang akan datang dengan pesawat siang, Dong Hae kan bisa menjemput,” kataku sambil membawakan barang-barangnya. Ia mengelilingi flatku mencari sebuah kecacatan.
“Kenapa kau baru bilang padaku ada benjolan di payudaramu?” ia langsung menodong dengan pertanyaan itu. ia bahkan belum memelukku atau melakukan sesuatu yang biasa dipertontonkan ibu dan anak yang baru bertemu.
“Kau tahu betapa khawatirnya aku?” aku bisa melihat air mata di sudut matanya. Aku menunduk. Merasa bersalah. Aku baru memberitahunya ketika sering timbul rasa sakit yang menjalar dari ketiak ke lengan kiriku.
“Aku akan ke dokter besok. Eomma, aku... aku takut,” air mataku jatuh. Ibuku mendekatiku dan memelukku. Aku hanya bisa sesenggukan di bahunya.
                Terakhir kali aku memeriksakan kondisiku dua bulan yang lalu. Dua bulan yang lalu saat hatiku baru saja ditumbuhi bunga dandelion milik Dong Hae. Aku pergi ke klinik dokter onkologi terkenal yang dulu tinggal di Incheon. Dokter yang juga pernah menangani ibuku dengan kasus yang hampir sama. Dokter Chung mengusap-ngusap dahinya saat melihat hasil pemeriksaan mammograph. Ia menemukan sebuah benjolan sebesar kelereng.
“Nona Kim, kita masih belum tahu apakah ini hanya tumor atau kanker. Apakah jinak atau ganas,” katanya sambil membenarkan letak kaca mata.
“Kita harus melakukan uji byopsi sesegera mungkin,” tambahnya.
“Apakah harus sekarang dokter? Aku sedang sibuk belakangan ini,” kataku. Revisi terhadap novelku memang sedang dilakukan sebelum pencetakan. Aku juga lagi sibuk-sibuknya berdiskusi dengan Lee Yong Ik –editor penerbitan besar di Amerika- tentang karirku.  Dan yang paling penting dari segalanya adala aku tak mau perasaan bahagia bersama Dong Hae lenyap begitu saja hanya karena pertumbuhan jaringan yang abnormal ini.
“Kita tentu sama-sama tak mau hal yang lebih parah terjadi padamu kan nona? Aku sarankan untuk segera melakukan byopsi agar kita bisa mengambil tindakan yang tepat. Kau tak perlu stress, ini tak seburuk kata orang jika kau mau mendengar nasehatku,” katanya sambil tersenyum ramah.
“Baik dok,” kataku hanya sekedar basa-basi.
                Setelah itu aku belum mengunjunginya lagi sampai hari ini. Aku hanya mengikuti sarannya untuk mengurangi rokok dan lebih banyak mengonsumsi makanan organik. Aku jadi lebih sering berolahraga, jogging di pagi hari bersama Dong Hae yang tak tahu sama sekali tentang keadaanku. Ia hanya menyadari berkurangnya jumlah puntung rokok yang kuhabiskan. Bahkan aku tak merokok selama tiga minggu ini. Sampai saat di mana aku menikmati daging panggang di pesta BBQ-nya, Dong Hae masih belum tahu.
                Anak-anak penghuni flat berkejaran di halaman belakang rumah. Aku tertawa melihat bocah tujuh tahun itu terjatuh. Ini adalah pertama kalinya kami berkumpul bersama menikmati hangatnya matahari musim. Dong Hae sedang sibuk memanggang daging bersama Jeong Min. Sesekali Hyo Jung menghampirinya dan mendaratkan ciuman ke pipi pemuda itu. Dong Hae yang berada di samping mereka langsung melirik ke arahku, mengedipkan mata untuk menggodaku. Aku tersipu malu. Penghuni lantai 3 sibuk bermain kartu sambil tertawa terbahak-bahak. Aku sempat bergabung bersama mereka namun kalah di set pertama. Aku mengamati ibu yang sedang ngobrol serius dengan Bae Yon Ju. Aku tahu apa yang mereka bahas begitu menangkap Yon Ju memandangku.
                Pesta ini juga mempertemukanku lagi untuk yang pertama kalinya dengan sahabatku Yoon Ah. kukira ia benar-benar telah mencoret namaku selamanya dari lembar hidupnya, tapi ia mendatangiku dengan canggung. kami ngobrol singkat menanyai kabar masing-masing hingga akhirnya ia yang minta maaf padaku. Kami berpelukan.
“Dong Hae dulu sering bilang padaku betapa kau benar-benar menyebalkan. Tapi ia juga pernah bilang betapa ia telah sangat-sangat-sangat menyukaimu bahkan sebelum kalian bertemu,” pernyataan sahabatku itu mengungkap fakta bahwa Dong Hae memang fans ku yang sangat-sangat-sangat berat sekali.
                Aku menatap halaman yang kembali sepi dari balkonku. Pesta Dong Hae baru saja berakhir satu jam yang lalu. Aku memutar kepala untuk melihat balkon Dong Hae yang sepi. Ia belum kembali ke flatnya. Aku meneguk botol air mineral di tanganku lalu mengambil sebungkus permen untuk menghilangkan rasa kering dalam mulutku yang sudah lama tak terpapar rokok. Namun permen yang berhasil kubuka itu jatuh ke lantai karena aku terdorong ke depan saat Dong Hae memeluk pinggangku.
“Merindukanku?” bisiknya.
“Oh, jangan sekarang. Aku malu,” kataku sambil berusaha melepas pelukannya. Dong Hae malah mempererat dekapannya.
“Ibumu sedang ngobrol asyik dengan Yon Ju di lobi. Sepertinya mereka membicarakan karirmu,” aku terhenyak ketika ia mengatakannya. Kemudian aku menyandingkan Dong Hae dan sebuah daging tumbuh di payudaraku.
“Dong Hae-ssi, berjanjilah padaku kau tak akan meninggalkanku apapun yang terjadi,” kataku pelan.
“Aku berjanji,” ia menggambar tanda X dengan jarinya di dadaku.
“Berjanji juga, kau akan segera kembali padaku begitu kau lulus dengan gelar doktoralmu,” ia tak segera merespon perkataanku. Kami terdiam sejenak.
“Aku tak tahu. Bila ada tawaran karir di sana, aku tak akan menyia-nyiakannya,” aku kecewa ketika mendengarnya. Dong Hae-ssi, jika suatu hari kau mengetahui keadaanku, kau akan tahu kenapa aku tak mau membuang waktu percuma, kenapa aku ingin segera menikah denganmu, kataku dalam hati.
***
                Dokter Chung menatapku murka begitu berhadapan denganku di meja dokter. Aku telah berjanji segera datang kembali untuk konsultasi tentang tes biopsi tapi aku mengingkarinya. Ibuku hanya mendengus panjang di sampingku.
“Tapi saya melakukan semua yang anda minta,” aku melakukan pembelaan, tak ahan dengan tuduhan yang terus menerus dilontarkan dia dan ibuku.
“Baiklah nona Kim, aku pasti akan kalah bila terus bedebat denganmu. Kita bisa lakukan operasi biopsi tiga hari lagi,” katanya. tiga hari lagi?
                Aku mengambil buku agendaku untuk melihat jadwalku di hari itu. wawancara dengan KBS dan diskusi bersama Lee Yong Ik lagi. satu hari sebelumnya ada diskusi membedah buku dan satu hari setelahnya ada pertemuan dengan direksi penerbitan.
“Bisa kita undur operasinya dok? Saya ada kegiatan di hari itu,” kataku. Dokter Chung mengelap mukanya dengan telapak tangan dan melihatku lekat-lekat.
“Pasien-pasienku termasuk ibumu tak pernah berani tawar-menawar denganku kecuali kau!” ia menunjuk mukaku, “Baiklah, tolong diagendakan tanggal 15 maret kau ada operasi,” aku tersenyum melihat dokter yang lucu ini. Tidak masalah jika operasinya seminggu lagi.
***
                Aku melewati hari-hari dengan perawaan was-was. Hari H operasiku makin dekat. Aku berusaha memanfaatkan waktu selama seminggu ini seefektif mungkin. Aku berusaha menyeimbangkan waktu antara kesibukan sebagai penulis dan menghabiskan waktu bersama orang yang kusayang. Aku meminta Hyo Jung mengambil izin dari asrama agar ia bisa bergabung bersama aku, ibu, Jeong Min-nya dan Dong Hae. Kedua lelaki itu sudah serasa bagian dari keluargaku sendiri. Bahkan Dong Hae sudah terbiasa memanggil ibuku eomma. Mereka selalu makan malam bersama kami. Ibu sangat menyukai Dong Hae yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri dan berharap suatu hari Dong Hae benar-benar jadi putranya.
                 Aku sedang mengamati foto kami berlima di pesta BBQ ketika seseorang mengetuk pintu dengan tidak sabar. Aku tahu dari caranya mengetuk yang sama persis saat malam percobaan pembunuhan dulu, itu adalah Dong Hae. Benar saja, ia tersenyum sumringah saat melihatku.
“Aku akan berangkat 17 maret nanti,” katanya.
“Selamat ya,” kataku sambil memeluknya. Ia akan berangkat sehari setelah operasi kecil  yang hanya memakan waktu satu hari itu. Aku sedih, tapi mau bagaimana lagi?
“Kau harus datang di pengukuhan gelar doktorku nanti, lalu kita akan membahas penikahan itu di Ohio,” sambung Dong Hae. Aku berusaha tersenyum untuk mendukungnya. Ia tak boleh tahu tentang ini karena konsentrasinya akan buyar. Walaupun aku takut setengah mati dengan diagnosis tentang penyakitku, aku harus menanggungnya sendiri. Kanker, kuharap tidak.
***
                Operasi itu berlangsung sangat cepat. Tak sampai satu jam. Mereka hanya mengambil sedikit jaringan pada benjolan itu. Aku bahkan bisa melihat alat yang digunakan untuk mengambil jaringannya, meski aku tak merasa sakit karena sudah dibius lokal. Aku berbaring di kasur rumah sakit dengan ibu di sampingku. Aku masih beum memberitahu Dong Hae, bahkan adikku tidak tahu. Kami berdua sedang asyik berbincang sampai dokter Chung masuk. Ia mengamatiku dengan seksama.
“Ada yang ingin kusampaikan,” katanya dengan nada serius.
“Kabar ini mungkin terdengar kurang menyenangkan, tapi kuingin kalian tetap tenang. Nona Kim, maafkan aku, tapi kau terkena kanker stadium awal,” kata-katanya terdengar tak masuk akal bagiku.
“Kami sudah memikirkan masak-masak, dan menympulkan pembedahan merupakan pengobatan yang tepat,” ujarnya.
                Ibu sedang berkonsultasi tentang operasiku. Mungkin besok, mungkin juga lusa. Aku berbaring di kasur rumah sakit dengan lampu yang kubiarkan mati. Aku tak ingin menyalakannya. Aku memejamkan mataku tapi tidak berusaha tidur. Aku membayangkan lagi pisau-pisau itu menempel di kulitku dan membuat bukaan besar di sana. Lalu terjadi perdarahan hebat yang membuatku tak bisa bangun lagi. Aku tak bisa mengantarkan Dong Hae ke bandara. Aku tak bisa menemuinya lagi. Bukan karena dia yang meninggalkanku, tapi aku yang melakukannya. Karena aku pergi untuk selama-lamanya.  
                Imajinasiku buyar ketika terdengar bunyi klik, dan aku merasakan cahaya merembes masuk ke mataku. Seseorang telah menyalakannya. Mungkin ibu. Ketika aku membuka mata, yang kudapati bukan ibuku, tapi Hyo Jung yang berurai air mata bersama Dong Hae yang mukanya kaku.
“Aku pulang dan tidak mendapati siapa-siapa di rumah. Aku menelepon ibu dan mendapat jawaban kau di rumah sakit,” katanya sambil menangis.
“Kenapa kau tidak katakan pada kami eonni? Kenapa kau merahasiakan benjolan itu dari kami?”
“Karena kukira ini benjolan biasa, bukan kanker!” bentakku.
“Kau bohong! Kau tahu eomma pernah sakit seperti ini juga. Harusnya kau sadar itu kanker!” ia berteriak padaku lalu pergi. Dong Hae masih yang masih terpaku, kemudian datang mendekatiku.
“Dong Hae-ssi....” aku memanggilnya. Ia berada di sampingku.
“Aku hanya tak ingin kau khawatir. Aku takut itu mengganggumu, maafkan aku,” kataku.
                Ia menatapku lekat-lekat. Matanya berusaha tegar, tapi kutahu ia menahan air mata. Ia mendekatkan bibirnya padaku dan menciumku lembut.
Dong Hae menarik kepalanya dan berbisik di telingaku, “Aku mencintaimu,” lalu ia berbalik tapi kutahan tangannya.
“Dong Hae-ssi, tetap fokus dan cepatlah kembali,” kataku.
“Cepatlah sembuh,” ujarnya dengan suara tercekat di kerongkongan lalu pergi.
                Esoknya mereka telah mempersiapkan segala sesuatu untuk operasi. Mereka akan melakukannya sore hari. Ibu menimang tanganku, meyakinkan bahwa tak ada sesuatu yang buruk terjadi. Lalu operasi berjalan begitu saja. aku bisa merasakan warna hijau ruang operasi. Suara dokter di sekitarku, dan peralatan mereka tapi aku terlalu lemah untuk bisa menyimaknya hingga akhirnya jatuh tertidur.
                Aku mimpi aneh. Aku merasakan seseorang berjalan di dekatku. aku mencium aroma parfum pria yang kukenal. Kemudian terasa kecupan di kecupan di keningku. Setelah itu aku tak merasakan apa-apa lagi sebelum beberapa saat kemudian terbangun. Jam sepuluh pagi. Astaga, sudah berapa lama aku tertidur?
                Jam sepuluh pagi. Dong Hae pasti sudah pergi. Pesawatnya berangkat jam tujuh tadi. Aku merasa kesal padanya. Aku merasa marah karena aku terlalu menyukainya dan ia pergi dariku hanya untuk gelar doktoral. Ia begitu egois. Aku merasakan air mataku jatuh.
“Ha Na, kau sudah sadar?” tanya ibuku yang baru muncul dari  kamar mandi. Aku mengangguk dan tersenyum untuk menahan tangisanku.
“Oh ya, sekitar jam sepuluh malam Dong Hae ke sini. Ia menjagamu sebelum berangkat ke Amerika dan langsung pergi ke bandara dari rumah sakit. Dan ia meninggalkan ini,” ibuku menyerahkan sekotak cokelat kesukaanku dan kotak lain berwarna merah.
                 Aku membuka kotak berwarna merah itu dan mendapat buku berbahasa Perancis miliknya, sebuah kotak kecil berisi seuntai kalung bermata berlian, dan sepucuk surat beramplop cokelat. Aku mengambil surat itu dan mencium aroma parfum Dong Hae menempel di amplopnya. Aku membukanya dan membaca suratnya.
‘Ha Na, kuatlah! Aku mencintaimu dari apapun di dunia ini. Aku tak akan meningglkanmu, aku janji. Dan aku akan kembali, pasti. Dari pria mangkokmu, Lee Dong Hae’
                Terdapat titik-titik air di beberapa bagian. Tulisannya tidak rapi seperti biasa, tangannya seperti gemetar saat menulis. Aku mencium surat itu sepuas-puasnya, meski tak tahu kapan penulisnya akan kembai lagi padaku.
***
                SEPULUH TAHUN KEMUDIAN
                Aku mempercepat langkahku menyusuri lorong hotel. Sial, mereka begitu saja memindahkan tempat konferensi persnya. Aku memasuki convention center hotel yang sudah dipenuhi wartawan. Aku tak suka kilasan blitz, penyakit lama yang tak pernah hilang. Aku melewati jalan kecil di antara microphone yang diarahkan padaku. Penuh perjuangan untuk bisa mencapai bagian depan panggung dan duduk di antara para aktor dan aktris, serta sutradara bersama produser film ini. mereka adalah sebuah tim yang baru saja menyelesaikan film adaptasi dari novelku.
“Kim Ha Na, kau terkenal dengan novel-novelmu yang meledak di seluruh dunia. Hampir semuanya terjual di atas sepuluh juta kopi. Kenapa baru sekarang kau mau novelmu mau diadaptasi?” tanya salah satu wartawan panjang lebar.
“Karena aku suka naskah yang mereka buat. Dan kukira aktor-aktor ini bisa mempresentasikan tokoh yang ada dalam novel” jawabku.
“Kabarnya novelmu berjudul ‘BBQ Party’ akan segera difilmkan oleh warner bross, benarkah?”
“Em, itu sedang dalam tahap pembicaraan,” kataku sambil tersenyum.
                Aku hanya menjawab saja berbagai pertanyan di konferensi perss itu. aku bersyukur ketika acara utama itu telah selesai dan para undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia. Aku dari tadi berkeliling mencari minuman tapi selalu kehabisan. Kerongkonganku kering. Aku kaget saat seseorang menepuk pundakku.
“Mau champagne?”  tanyanya.
“Lee Dong Hae??!!!” kataku tak percaya. Aku langsung memeluknya di tengah kerumunan yang tak memperhatikan kami.
“Kapan kau datang?” tanyaku.
“Dua hari yang lalu,” katanya sambil tertawa.
                Kami mengeluarkan diri dari kerumunan dan memilih untuk ngobrol di balkon hotel. Balkon, tempat yang jadi favoritku setelah bertemu Dong Hae.
“Bagaimana kabarmu professor Lee?” tanyaku. Ia mengangkat pundaknya.
“Yah, seperti inilah, masih sendiri,” ia mengakhiri kata-kata itu dengan tawa hampa. Kami diam sejenak. Suasana menjadi kaku seperti saat kami pertama kali bertemu sebelas tahun silam.
“Maafkan aku tak bisa menjaga janjiku. Aku meninggalkanmu dan tak segera kembali padamu,” katanya. ia mengerutkan dahi, seperti berpikir.
“Kau salah. Kau melunasi janjimu. Kau tak benar-benar pergi karena dirimu selalu ada di setiap ceritaku. Kau, kau masih jadi inspirasi buatku. Kau akhirnya memang kembali kan?” aku berhenti sejenak. Mataku perih menahan tangis.
“Maafkan aku karena tak bisa menunggumu lebih lama. Kau tahu, penyakit ini setiap detiknya bisa saja memburuk, dan aku hanya tak ingin membuang begitu saja waktuku. Aku.... aku ingin seperti orang lain, menikmati hidupku, menikah, punya anak, itulah sebabnya aku sering mengajakmu untuk menikah, hahaha” aku tertawa sambil mengusap air mataku.
“Aku tak tahu apakah masih bisa melakukannya jika aku menunggumu,” aku tersenyum tegar padanya. Mata Dong Hae merah. Kami diam lagi.
“Jika dia memutuskan untuk mengabaikanku walaupun dia memiliki kesempatan memilikiku, maka aku tidak akan lama-lama menyesalinya. Ha Na.... aku melakukannya. Aku melewatkanmu, aku si menyedihkan itu,” katanya sambil menyeka butir-butir perak di sudut matanya. Aku menyentuh pipinya.
“Menikahlah,” kataku. Ia menggeleng dan menarik ingusnya.
“Aku akan menghabiskan waktuku mengajar di universitas. Kurasa tak ada wanita yang bisa menolerir itu,” katanya.
“Yoon Ah masih sendiri,” kataku sambil tersenyum.
“Ia tak bisa menggantikanmu,” ia membalas senyumku.
“Eomma!!!” aku mendengar suara anak kecil yang memanggilku. Bocah lima tahun itu berlari ke arahku.
“Ada apa nak?” tanyaku.
“Appa mencarimu,” jawabnya.
“Sebentar Jae Sung. Kau harus berkenalan dengan ahjussi ini. dia professor matematika,” kataku. Dong Hae berlutut pada kakinya dan menjulurkan tangan yang disambut anakku.
“Namaku Jung Jae Sung, paman,” katanya.
“Namaku Lee Dong Hae. Kau pasti pintar, kapan-kapan kita bisa belajar matematika bersama ya,” kata Dong Hae sambil mengelus kepala putraku.
“Pergilah pada appamu, bilang eomma akan menyusul,” kataku pada Jae Sung. Anak itu seorang penurut seperti ayahnya. Ia mengangguk dan langsung pergi. Aku berbalik lagi pada Dong Hae.
“Aku harus pergi, Jung Yong Hwa menungguku. Kami harus mengunjungi acara yayasan kanker,” kataku. Kami saling berjabat tangan.
“Jaga dirimu baik-baik,” bisikku, kemudian aku mendaratkan ciuman di pipinya.
                Aku meninggalkan pria mangkok itu sendirian di balkon. Aku sudah berada pada masa depanku dan berusaha tak membalikkan badan untuk melihatnya lagi meski hatiku sakit.  Perasaanku pada Dong Hae? Aku tetap merasakan cintaku padanya mengalir setiap aku menulis novel. Ia selalu menjadi inspirasiku. Tak ada yang bisa menggantinya walau sekarang aku mencoba dengan keras untuk menyayanginya sebatas kakak.
                Yong Hwa sedang berbincang dengan direktur Cho. Ia menggendong Jae Sung kecil yang memukul-mukul ayahnya saat melihatku datang. Aku tersenyum saat menghadapi anak dan suamiku yang melambai padaku dengan ceria. Seluruh jiwa, raga dan hatiku adalah milik mereka sekarang.


-----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar