V
Korea mulai
memasuki musim dingin. Penerbit telah memintaku untuk membuat presentasi
tentang novel terbaruku. Aku agak jengkel karena Dong Hae lebih banyak
menghabiskan waktu dengan Yoon Ah dari pada denganku. sebenarnya Yoon Ah yang
harus kusalahkan. Ia merusak begitu saja harmoni kehidupanku dengan merebut
Dong Hae di saat aku membutuhkannya untuk membaca kembali novel ini. Tapi ia
sahabatku. Mau bagaimana lagi?
Aku duduk di
balkon sambil menikmati susu panas. Aku memeluk kuat-kuat tubuhku sendiri yang
terbalut jaket tebal. Dong Hae di balkon sebelah dan melakukan hal yang sama.
Kami melihat satu sama lain yang mengigil, lalu tertawa.
“Hei lihat!” ia menghembuskan
napas dan membentuk kabut tebal.
“Bisa membuat yang lebih tebal?”
tanyanya. Aku melakukannya tapi punyaku tak lebih hebat darinya.
“Aku bisa lebih baik melakukannya
dengan asap rokok, hahaha,” kataku. Lalu kami diam. Aku memandang langit malam
yang tak ditaburi bintang. Kukira Dong Hae melakukan hal yang sama, tapi
ternyata ia memandangku.
“Ha Na,” panggilnya.
“Ne?” jawabku.
“Apa yang akan kau lakukan jika
besok mereka menyetujui script mu?”
“Hal yang pertama kulakukan
adalah berterima kasih pada editorku,” aku melirik ke arahnya. Mengedipkan
sebelah mata.
“Bagaimana caramu berterima
kasih?”
“Hmmm, pernah pacaran?” tanyaku.
Ia menggeleng. Sudah kuduga.
“Kalau kencan?”
Ia berpikir sebentar, mulutnya
manyun “Jalan-jalan kita selama ini tak tergolong kencan?”
“Bukan babbo, hahahah,” kataku.
Ia menyipitkan mata tanda tak suka.
“Oke, kalau mereka setuju
mencetak naskahku, akan kuberi kau pelajaran privat. Aku akan mengajarimu
caranya menghadapi perempuan. Kita akan kencan oppa,” tantangku dengan suara
manis.
Ia tak mau kalah, “Baik, kau akan
jadi pacarku selama sehari”
Tok...Tok...Tok...Tok...Tok...
Perhatianku
teralih ketika mendengar suara ketukan di pintu.
“Baiklah. Kau
yang bayar film dan makannya ya,” kataku meninggalkan Dong Hae yang melongo
Kubuka pintu
dan kudapati wanita resepsionis berwajah menyenangkan. Nama wanita ini adalah
Nyonya Park. Ia mondar-mandir saat pintu flatku terbuka.
“Nona, pria yang waktu itu datang
ke sini ada di depan rumah. Sudah sejak tadi pagi. Ia terlihat kedinginan tapi
enggan masuk. Apa kau mau menemuinya?”
Aku
segera turun ke teras untuk menemui Yong Hwa. Ia berdiri di seberang jalan
tanpa menggunakan jaket, hanya setelan biasa yang bersih. Berbeda dengan
penampilan saat ia datang dulu. Seseorang sepertinya telah mengurusnya. Jambang
di wajahnya telah dicukur habis. Aku melihat wajah tampan itu lagi, namun
terlihat mengerikan karena sangat pucat. Aku menghampirinya.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku
khwatir.
“Hanya mencoba melihatmu. Tak
lebih,” jawabnya. Matanya masih menyiratkan penyesalan saat memandangku.
“Masuklah,” kataku.
“Aku sudah cukup puas,” katanya
sambil tersenyum. Ia berbalik arah menuju mobil. Sayang, tubuh itu terlalu
lemah untuk menopangnya. Ia ambruk.
Aku
yang panik segera menolong. Kubantu ia berdiri. Kulitnya sedingin es.
Kuselimuti ia dengan jaketku, kukaitkan lenganku ke lehernya, lalu kubopong ia
menuju flatku. Aku menidurkannya di kasurku. Kututup tubuhnya dengan tiga
lembar selimut tebal dan kupasang termometer di ketiaknya. Ia memejamkan
matanya dan bibir itu terlihat biru. Aku segera membuatkan sup panas.
“Makan ini,” kataku saat
menyuapkan sup. Ia menurut. Aku memegang dahinya. Demam. Kuambil termometer
dari ketiaknya. Tiga puluh delapan derajat.
Aku
terus menyuapinya sampai sup di mangkok habis. Lalu kupasang kompres di dahinya
dan memberi Yong Hwa obat penurun panas. Ia tertidur pulas sambil sesekali
mengigau. Ia menyebut terus namaku. Aku menatap sedih wajah Yong Hwa. Aku
kasihan padanya. Aku tahu seharusnya kubalas perasaannya. Sudah kucoba sejak
kulihat tatapan penyesalan di mata itu. Aku mencoba menyukainya lagi tapi tak
bisa. Aku menitikkan air mataku.
“Maaf,” kataku sebelum tertidur
di sisinya.
Aku
kaget ketika melihat tak ada Yong Hwa di kasur. Aku segera berlari keluar kamar
tetapi langsung berhenti ketika mendengar seseorang tengah memasak.
“Selamat pagi,” sapa Yong Hwa
dengan wajah pucatnya.
“Pagi,” balasku.
Aku
membantunya membuat pancake untuk sarapan. Aku membuat pancake berlebih karena
ingin kuberikan pada Dong Hae dan si lelaki tua. Bahkan aku kepikiran
membuatkan untuk Jeong Min dan ayahnya. Setelah itu kusiapkan susu untuk Yong
Hwa dan kopi untukku. Ia sempat oleng saat berjalan dan segera kutahan. suhu
tubuhnya masih tinggi, tapi ia bersikeras kalau ia baik-baik saja. kami makan
dalam diam.
“Jadi, kita memang sudah tidak
bisa memulainya dari awal?” tanya tiba-tiba. Aku mengangguk pelan.
“Kupikir aku bisa melupakanmu,
tapi aku salah. Aku sudah memulai hidup normal lagi, tapi saat melewati flat
mu, aku berhenti dan hanya bisa memandanginya,” katanya. Aku tersenyum. Yong Hwa
menatapku lekat-lekat.
“Hei, ada apa dengan senyummu?”
ujar Yong Hwa.
“Seseorang telah merubahnya,”
kataku ceria. Aku teringat Dong Hae.
***
Aku
berada di ruang bundar ini setelah hampir tiga tahun tak pernah memasukinya
lagi. Aku berdiri di ujung meja di depan
sebuah layar yang menampilkan presentasiku. Para pimpinan penerbitan berada di
bagian meja yang lain, muka mereka serius saat memandangku. Termasuk Yong Ju.
Ia mengisyaratkan kata ‘awas saja kau’ saat memandangku dengan mata elangnya. Direktur
Cho ada di ujung sana. bibirnya terlihat sangat tipis saat mempersilahkan aku
memukau mereka.
Mereka
menginterupsi saat ada hal-hal yang tak masuk akal terlintas di kepala
orang-orang tua ini. Bae Yong Ju menggeleng padaku saat aku akan mulai
membantah. Aku mengangguk paham. Dengan hati selapang lapangan bola, kuterima
masukan mereka untuk mengubah beberapa bagian novel. Ini adalah lompatan besar
dalam perkembanganku karena biasanya aku tak mau sama sekali menerima saran
dari siapapun. Para penguji menatapku dengan puas. Direktur Cho
mengetuk-ngetukkan bulpen di tepi mejanya.
“Nak, Stephenie Meyer tak lebih
hebat darimu,” katanya.
Aku
berlari menaiki tangga. Lantai satu, lantai dua, lantai tiga, aku tak berhenti
menyunggingkan senyum saat bertemu gerombolan pekerja kasar di lantai tiga yang
menggodaku, lantai empat, aku terus menaiki tangga, melangkahi langsung dua
anak tangga, sampai akhirnya tiba di lantai lima. Kuketuk pintu bernomor 36
itu. Dong Hae mengulurkan kepalanya dari pintu.
“OPPPA!!!” aku berteriak sambil
menghambur ke arahnya. Kupeluk ia erat-erat. Semula ia ragu, tapi ia balas
memelukku. Bagian baik dariku tak pernah memanggilnya oppa,baru kali ini. Aku
pernah sekali memanggilnya oppa, tapi saat itu bagian jahat dari diriku yang
melakukannya, saat di lift beberapa bulan lalu.
“Oppa?” ia menggerutu.
“MEREKA AKAN MENCETAK NOVELKU,
HAHAHA!”
Terkadang
menjadi bahagia akan menjerumuskanmu ke dalam ketidakpekaan. Perhatianku hanya
tertuju pada Dong Hae, tanpa memperhatikan Yoon Ah yang melihat dalam kebisuan.
Aku segara melepaskan pelukanku saat Yoon Ah makin dekat ke arah kami sambil
menggotong ranselnya.
“Dong Hae-ssi, terima kasih atas
pelajarannya. Aku harus pergi, ada janji,” kata Yoon Ah. kemudian ia melihat
padaku, “Kerja yang baik kawan” ia tersenyum sambil menepuk pundakku. Lalu ia
pergi begitu saja.
Kejadian
tadi terus terputar di otakku begitu saja. Aku tak bisa menghilangkan senyum
ganjilnya dan kalimat ‘kerja yang baik kawan’. Jelas ia meledekku. Aku
menghubunginya tapi tak diangkat. Aku menggaruk kepalaku bukan karena gatal,
tapi bingung. Aku tak bermaksud apa-apa saat memeluk si pria mangkok. Hanya
menyalurkan kegembiraan saja. dan aku makin gembira saat dalam pelukannya. Oh
yang benar saja, ia sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Masa bodoh dengan
Yoon Ah jika ia menganggapku sebagai pengkhianat. Kalau kau memang suka dia,
kenapa tak langsung kau katakan?
Aku
hanya bisa menutup mata tanpa bisa tidur. Jam 1 dini hari. Aku mengubah posisi
tidurku untuk kesekian kali. Pria yang akan kencan denganku besok tepat tidur
di atas kepalaku, kami hanya dipisahkan tembok. Astaga, belum pernah kencan
sama sekali. Aku terlau bosan hingga akhirnya memukulkan tanganku ke tembok.
Dug....
Barangkali
jika ia mendengar suara pukulanku di tembok, mimpi indahnya bisa menjadi agak
mengerikan. Aku terkikik. Aku melakukannya lagi.
Dug... Dug...
Aku
memandang langit-langit kamarku selama beberapa detik sampai tiba-tiba...
Dug...Dug...
Aku
tersentak. Jantungku mencelos. Aku memfokuskan pendengaranku lagi agar lebih
sensitif. Ada yang membalas dari sebelah. Mungkin suara itu hanya khayalanku
saja. Dong Hae pastinya sudah tidur. Aku menunggu suara di tembok lagi tapi tak
ada. Aku mengecek lagi dengan memukul tembok.
Dug... Dug... Dug....
Orang
di sebelah membalas..
DUGGGG...DUUUGGGGG....
Ommo,
jelas orang itu marah. Jangan-jangan penjahat. Apa yang mereka lakukan pada
Dong Hae? Ya Tuhan, sebenci-bencinya aku padanya, tolong lindungi dia. aku
bergidik ngeri dan menaikkan selimut melewati kepalaku. Ada apa denganku? aku
baru saja berdoa pada Tuhan! Sesuatu yang tak pernah kulakukan sebelumnya.
Kengerianku karena orang yang memukul tembok di sebelah dan kekagetanku karena
diriku sendiri bertambah besar saat ada yang mengetuk pintu flatku. Jantungku
berdegup kencang. Aku takut. Tapi ketukan itu tak berhenti, malah semakin keras
dan sering. Pasti orang dari sebelah. Aku menelan ludah. Jika, ia bisa melumpuhkan
Dong Hae yang berbadan atletis itu, tentu tak mudah baginya untuk menghabisiku.
Cepat atau lambat ia akan masuk kemari, begitu pikirku.
Maka
kuputuskan untuk mengecek orang yang mengetuk itu. aku siap dengan pisau dapur.
Jika dia melawan, aku yang akan menghabisinya duluan. Toh jika akhirnya aku
yang jadi korban, aku akan mati terhormat karena pernah melawan sebelumnya.
Sekali lagi aku berdoa, Ya Tuhan, jika ini memang akhir hidupku, tolong jaga
adik dan ibuku. Aku menelan ludah saat berhadapan dengan pintu yang terus digedor
itu. aku sudah memegang pegangan pintu, memutar kunci, dan jika orang itu
menyerang, aku akan menusuknya.
JEBRET!!
Kubuka
pintu dan secara refleks mengarahkan mata pisau pada orang yang berada di
depanku. Aku terbelalak saat mengetahui siapa sebenarnya orang itu. Aku
berusaha menghentikan tanganku, tapi tak bisa. Dia secara sigap menahan pisauku
dengan tangan kanannya. Aku melihat darah menetes dari tangan Dong Hae. Pisauku
hampir saja menembus perutnya.
“Kau tak papa? Ada siapa di
dalam?” tanyanya khawatir. ia tak memikirkan tangannya yang luka. Aku berharap
ada alat penyedot yang bisa menghisapku hidup-hidup saat ini.
“Tak ada siapa-siapa. Aku yang
memukul tembok tadi,” aku nyengir. Ekspresinya mengisyaratkan ia akan menelanku
bulat-bulat malam ini juga.
Aku
membersihkan luka Dong Hae di meja makan. Menyiramnya dengan larutan NaCL.
Tangannya masih berdarah walau tak sebanyak 10 menit yang lalu. Aku menutup
alur luka dengan kassa setelah memberinya obat dan membebat tangannya dengan bandage. Darah masih merembes melewati
kain itu. mata Dong Hae mengawasiku saat aku mengerjakan pertolongan pertama
pada kecelakaan ini. Untung aku sempat ikut PMR saat SMP dulu.
“Kau hampir membunuhku,” katanya
galak.
“Aku tahu,” aku hanya menunduk,
tak berani memandang calon korban pembunuhanku. Aku tak bisa membayangkan jika
akhirnya aku benar-benar membunuhnya. Editor, teman, manajer, merangkap
kritikusku yang berharga bisa saja menghilang tiba-tiba dariku. Ia sangat
berharga, apapun itu julukannya....
“Jangan menangis,” katanya
tiba-tiba.
“Aku tak menangis,” aku membela
diri. Tapi ia benar, air mata mengalir di pipiku dan tahu-tahu aku sudah
tersedu sedan.
“Huuuahhhhh, aku tak bisa
membayangkan bila kau mati di tanganku!!! Aku bisa masuk penjara, karirku
hancur! Bagaimana dengan ibu dan adikku!! Dan yang paling parah adalah aku akan
kehilangan kau....!!! huhuhuhu...” tangisku. Aku tak tahu kenapa aku
menempatkan Dong Hae pada posisi di mana ia yang paling penting di antara
segalanya.
“Oh, berhentilah,” ia segera menggeser
kursinya ke arahku dan merangkulku.
Yang
terjadi pada malam itu hanyalah usahanya untuk membuatku diam. Aku akhirnya
berhenti menangis bukan karena tepukannya di punggungku, tapi karena aku
kelelahan. Ia sepertinya lelah juga hingga akhirnya kami tertidur di atas meja
makan.
Aku
terbangun keesokan paginya dengan pemandangan yang kulihat pertama kali adalah
wajah Dong Hae. Ah leherku sakit. Aku meregangkan tubuhku sebentar. Aku segera
beranjak dari kursi dan membuka gorden. Mata hari sudah tinggi. Tumpukan salju
di jalanan sudah dibersihkan.
“Dong Hae, bangun. Sudah siang,”
kataku sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
“Hmmm....” ia hanya menggumam tak
jelas lalu kembali tidur. Dong Hae terlihat nyaman-nayaman saja tidur dalam
posisi seperti ini. Barangkai ia sudah terbiasa tidur di meja belajarnya.
“Bagaimana dengan kencan kita?”
tanyaku. Pertanyaan itu cukup berefek padanya. Ia mengangkat kepala, lalu
perlahan-lahan bangkit dari kursi. Matanya masih menutup dan berjalan pelan
menuju pintu. Aku melihat tangannya yang luka menggantung lemah di sebelah
kanan. Kain itu benar-benar basah karena darah.
“Hei, kita ke rumah sakit dulu
ya,”
“Tak perlu,” jawabnya.
“Lukanya bisa infeksi,” kataku.
“Apa pedulimu?” sahutnya. Aku
mengerutkan kening.
“Apa peduliku? Ya sudah batalkan
saja kencannya,” kataku sambil bersedekap. Dasar keras kepala.
Ia berhenti lalu berjalan kembali
ke arahku, “Kau benar-benar menyebalkan ya?” katanya.
“Kau sudah tahu itu kan?” jawabku
cuek.
Kami
akan ke rumah sakit dulu sebelum ke tempat kencan yang belum kami rencanakan
sama sekali. Dong Hae memakai pakaian yang casual hari ini. Ia terlihat sesuai
untuk umurnya, tidak seperti hari-hari biasanya yang terlihat tua untuk pria
berumur 24 tahun. Aku baru sadar betapa tampannya ia. Kami berlari kecil menuju
mobil Dong Hae. Jejak langkah kami tercetak di salju yang cukup tebal. Aku
meniup tanganku yang kedinginan. Aku mencapai mobil lebih dulu darinya dan
menunggu di pintu bagian penumpang yang masih tertutup.
“Cepat!” kataku sambil terus
meniup tangan. Ia berhenti saat melihatku.
“Lihat, aku tak bisa menyetir”
ujarnya sambil menunjukkan tangan yang perbannya sudah kuganti. Ia lalu
melemparkan kunci mobil kepadaku. Aku hanya bisa terperangah.
“Hei, kau membiarkan wanita yang
menyetir untuk kencan? Hah,” aku mengejeknya.
“Lalu mau bagaimana?” tanyanya.
Kami
berjalan menuju halte bus yang berjarak satu blok dari rumah. Ia melirik
jengkel ke arahku. Aku tersenyum. Aku menjelaskan padanya bahwa memakai
kendaraan umum merupakan cara yang romantis untuk sampai ke tempat kencan. Ia
melangkah dengan langkah yang sengaja dipanjang-panjangkan sehingga membuatku
harus berlari kecil untuk menyamainya. Aku merapatkan tubuhku padanya dan melingkari lenganku pada lengannya dengan
susah payah.
“Dengar ya, ini yang biasanya dua
orang kekasih lakukan saat mereka berjalan bersama,” kataku. Ia mendengus.
Kami
sampai di rumah sakit dan perawat yang berada di loket pendaftaran menyuruh
kami untuk pergi ke UGD. Luka Dong Hae harus di jahit rupanya. Kami berjalan
mengikuti perawat itu dan sempat berhenti ketika melihat ibu hamil tua yang
sedang mengalami kontraksi. Ia baru saja diturunkan dari ambulans dan dibawa
terburu-buru menuju ruang bersalin. Kami terpana. Lalu kami berpapasan dengan
beberapa orang yang didorong dengan kursi roda, lelaki yang berjalan dengan
selang infus yang masih terpasang di tangannya, dan seorang anak perempuan
botak yang berlari-lari dari ibunya. Korban kemoterapi, pikirku. Aku makin
merapatkan tubuhku ke Dong Hae dan Dong Hae langsung menggenggam tanganku.
Dokter
langung melakukan tindakan begitu kami tiba di UGD. Ia melepaskan perban,
melakukan pembersihan lagi pada luka, menyiapkan benang dan jarum, lalu
langsung menjahit Dong Hae yang sedang
duduk. Kulihat Dong Hae meringis kesakitan saat jarum yang telah berkaitan
dengan benang itu masuk ke kulitnya. Aku langsung memutar kepala Dong Hae dan
membenamkannya dalam bahuku. Aku tak tega melihatnya menderita.
“Maaf nona, kau siapanya tuan
ini?” tanya dokter setelah selesai dengan luka Dong Hae.
“Aku pacarnya,” jawabku mantap.
Aku menggerling ke arah Dong Hae dan mengedipkan sebelah mataku. Ia tertawa.
“Tuan Lee baik-baik saja.
Pastikan bagian luka itu selalu bersih sehingga tak terjadi infeksi. Lalu dia
bisa datang seminggu lagi untuk melepas jahitannya,” aku mengangguk ketika
mendengar penjelasan itu.
“Kencan di rumah sakit cukup
romantis kan?” tanyaku sambil mendorongnya ke samping. Ia tertawa.
“Kau mau ke mana?” tanyanya.
“Ke mana ya? Bagaimana dengan
nonton? Lalu kita makan pasta, lalu kita makan ice cream, lalu...” aku tak
sempat menyelesaikan kalimatku karena Dong Hae sudah mengacak-ngacak rambutku
dengan tangannya yang sehat.
“Baiklah, kita lakukan semuanya,
hahaha”
Bus
membawa kami ke daerah sekitar sungai Han. Dong Hae langsung menarikku menuju
gedung Yuksam atau biasa yang disebut gedung 63. Gedung berisi teater IMAX,
aquarium raksasa, tempa makan, dan toko-toko merek terkenal. Kami membeli dua
tiket film romantis Hollywood yang sedang digandrungi remaja. Film tentang
cinta terlarang Vampir dan seorang wanita muda. Tapi yang kami lakukan hanyalah
terus mengomentari film itu sambil tertawa terbahak-bahak. Pasangan-pasangan
muda di samping kami memandang tak suka. Aku jadi ingat Stephenie Meyer saat
menontonnya. Haha, ia tak lebih baik dariku.
Dong
Hae menyuruhku untuk memesan makanan paling mahal ketika kami berada di restoran.
Ia tak punya seeorang yang bisa ia traktir selama tinggal di Seoul. Sama
sepertiku, Dong Hae meninggalkan keluarganya yang tinggal di pulau Jeju. Kami
sama-sama anak pantai. Keluarga Dong Hae adalah pemilik penyewaan kapal pesiar
turun temurun sadangkan keluargaku bergerak di bisnis penjualan hasil laut.
“Lalu kenapa kau memilih
matematika?” tanyaku sambil memasukkan lobster ke dalam mulutku.
Ia berhenti menjilati saus
spageti sebelum menjawab pertanyaanku, “Aku tak tahu harus memilih apa saat
pendaftaran universitas. Jadi kulingkari matematika saja”
Kami
berkeliling mengamati etalase toko tanpa niat ingin membeli sama sekali. Kami
menyusuri tiap lantai untuk menemukan hal-hal menarik. Iklan gadget-gadget bertebaran di mana-mana. Kami masuk ke tempat
permainan dan bermain tembak-tembakan virtual. Dong Hae agak susah memegang
senjatanya dan langsung mati di level satu. Jadi aku sibuk melanjutkan
permainan ini sedangkan ia pergi entah kemana.
Aku
memegang ice cream yang hampir meleleh saat memasuki sea world dalam gedung. Dong
Hae akan ke menuju aquarium berisi hiu tutul ketika kutahan ia. Aku menariknya untuk mengikuti dari belakang rombongan anak
SD yang sedang berwisata. Kurang lebih kami menjadi tambahan ilegal dalam
daftar peserta tour. Kami ikut mendengarkan penjelasan pemandu bahkan Dong Hae
mengangkat tangan secara refleks saat pemandu mengajukan pertanyaan. Aku
langsung memisahkan diri darinya begitu ia melakukan tindakan yang cukup bodoh
itu.
Kami
makan malam bersama di warung ramen pinggir jalan. Lalu menonton atraksi
pengamen jalanan di pinggir jalan utama, dan akhirnya kami memutuskan untuk
pergi ke taman di sekitar sungai Han. Aku dan Dong Hae saling adu besarnya
cipratan air saat melempar batu ke sungai. Sebenarnya perbuatan ini dilarang
dan kami sempat dimarahi petugas kebersihan yang sedang patroli dekat sini.
Kami
akhirnya duduk di tepi sungai memandangi cahaya bulan yang memantul. Jika kami
berada di sisi lain sungai, pasti cahaya bulan akan kalah bersaing dari
neon-neon ibu kota. Kerak-kerak es mengalir mengikuti arus. Aku bisa merasakan
cahaya itu mengenai wajahku. Udara di musim dingin ini begitu segar. Dong Hae
kembali dengan membawa dua gelas kopi. Kami tak banyak bicara.
“Aku tak mau malam ini berakhir,”
katanya.
“Makanya, cari pacar sana,”
godaku.
Dong Hae melihat ke arahku, “Hei,
ada satu hal dalam kencan dua sejoli yang belum kaulakukan,”
“Apa?” tanyaku. Ia diam sesaat.
Sepertinya ragu mengatakannya.
“Cium aku,” ujarnya.
“Kau gila ya?” nadaku meninggi.
“Kau bilang padaku akan
mengajarkan semua yang kau tahu tentang pacaran. Sekarang ajari aku berciuman,”
katanya protes.
“Aku tidak mau,” aku memalingkan
wajah darinya.
“Berarti kau mengingkari janji,
ayo pulang saja,”
“Baiklah!!!” kataku jengkel. Aku
menariknya kembali duduk saat ia beranjak berdiri.
Aku memegang
wajahnya dengan kedua tanganku. Muka kami berhadapan.
“Perhatikan ini baik-baik ya,”
kataku. Aku memejamkan mata saat mendekatkan wajahnya padaku. Aku bisa
merasakan napasnya pada mukaku sekarang. Aku membuka mataku dan melihat hidung
kami sudah bertemu, tapi belum dengan bibir.
“Aku tak bisa melakukannya,”
kataku sambil menempelkan tanganku pada wajahnya agar menjauh.
Ia memegang tanganku dan menarik ke arahnya
dengan kasar.
“Jangan-jangan kau tak pernah
ciuman ya?”
“Tentu saja pernah...”
“Kalau begitu tunjukkan padaku,”
“Aku tak bisa melakukannya
denganmu,”
“Kalau begitu aku yang akan
melakukannya,”
Sekarang
gantian ia yang memegang pipiku dengan kedua tangannya. Matanya berkonsentrasi
pada mukaku. Aku balas melotot padanya. Kemudian ia memejamkan matanya dan
mulai memajukan wajahnya. Aku melihat wajah itu semakin dekat dan aku
ikut-ikutan menutup mata. Aku bisa merasakan lagi hembusan napasnya. Aku makin
memejamkan mataku sampai tiba-tiba....
Bibir
kami bertemu. Bibir Dong Hae terasa lembut dan hangat. Aku membuka mataku
pelan-pelan dan mendapati ia memejamkan mata menikmati pengalaman pertamanya.
Aku adalah ciuman pertama Dong Hae. Aku menutup mataku lagi, membiarkan diriku
dibawa olehnya.
Bibir
kami terus menempel selama beberapa menit hingga benar-benar berubah menjadi
sebuah ciuman. Tanganku sudah melingkar pada lehernya dan tangannya memeluk
pinggangku. Aku mengingat lagi perasaan kecewa saat melihat Yoon Ah berduaan
dengannya. Aku membayangkan lagi saat aku benar-benar takut kehilangannya di
hari penusukan itu. Aku menghubungkan satu-satu perasaanku padanya, dan
kudapati sebuah pita merah muda panjang yang membentuk gambar hati.
“Ha Na-ssi...” panggilnya setelah
bibir kami terpisah, “..aku mencintaimu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar