Simple Life

Sabtu, 02 November 2013

The Flat 5


V
Korea mulai memasuki musim dingin. Penerbit telah memintaku untuk membuat presentasi tentang novel terbaruku. Aku agak jengkel karena Dong Hae lebih banyak menghabiskan waktu dengan Yoon Ah dari pada denganku. sebenarnya Yoon Ah yang harus kusalahkan. Ia merusak begitu saja harmoni kehidupanku dengan merebut Dong Hae di saat aku membutuhkannya untuk membaca kembali novel ini. Tapi ia sahabatku. Mau bagaimana lagi?
Aku duduk di balkon sambil menikmati susu panas. Aku memeluk kuat-kuat tubuhku sendiri yang terbalut jaket tebal. Dong Hae di balkon sebelah dan melakukan hal yang sama. Kami melihat satu sama lain yang mengigil, lalu tertawa.
“Hei lihat!” ia menghembuskan napas dan membentuk kabut tebal.
“Bisa membuat yang lebih tebal?” tanyanya. Aku melakukannya tapi punyaku tak lebih hebat darinya.
“Aku bisa lebih baik melakukannya dengan asap rokok, hahaha,” kataku. Lalu kami diam. Aku memandang langit malam yang tak ditaburi bintang. Kukira Dong Hae melakukan hal yang sama, tapi ternyata ia memandangku.
“Ha Na,” panggilnya.
“Ne?” jawabku.
“Apa yang akan kau lakukan jika besok mereka menyetujui script mu?”
“Hal yang pertama kulakukan adalah berterima kasih pada editorku,” aku melirik ke arahnya. Mengedipkan sebelah mata.
“Bagaimana caramu berterima kasih?”
“Hmmm, pernah pacaran?” tanyaku. Ia menggeleng. Sudah kuduga.
“Kalau kencan?”
Ia berpikir sebentar, mulutnya manyun “Jalan-jalan kita selama ini tak tergolong kencan?”
“Bukan babbo, hahahah,” kataku. Ia menyipitkan mata tanda tak suka.
“Oke, kalau mereka setuju mencetak naskahku, akan kuberi kau pelajaran privat. Aku akan mengajarimu caranya menghadapi perempuan. Kita akan kencan oppa,” tantangku dengan suara manis.
Ia tak mau kalah, “Baik, kau akan jadi pacarku selama sehari”
Tok...Tok...Tok...Tok...Tok...
                Perhatianku teralih ketika mendengar suara ketukan di pintu.
“Baiklah. Kau yang bayar film dan makannya ya,” kataku meninggalkan Dong Hae yang melongo
Kubuka pintu dan kudapati wanita resepsionis berwajah menyenangkan. Nama wanita ini adalah Nyonya Park. Ia mondar-mandir saat pintu flatku terbuka.
“Nona, pria yang waktu itu datang ke sini ada di depan rumah. Sudah sejak tadi pagi. Ia terlihat kedinginan tapi enggan masuk. Apa kau mau menemuinya?”
                Aku segera turun ke teras untuk menemui Yong Hwa. Ia berdiri di seberang jalan tanpa menggunakan jaket, hanya setelan biasa yang bersih. Berbeda dengan penampilan saat ia datang dulu. Seseorang sepertinya telah mengurusnya. Jambang di wajahnya telah dicukur habis. Aku melihat wajah tampan itu lagi, namun terlihat mengerikan karena sangat pucat. Aku menghampirinya.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku khwatir.
“Hanya mencoba melihatmu. Tak lebih,” jawabnya. Matanya masih menyiratkan penyesalan saat memandangku.
“Masuklah,” kataku.
“Aku sudah cukup puas,” katanya sambil tersenyum. Ia berbalik arah menuju mobil. Sayang, tubuh itu terlalu lemah untuk menopangnya. Ia ambruk.
                Aku yang panik segera menolong. Kubantu ia berdiri. Kulitnya sedingin es. Kuselimuti ia dengan jaketku, kukaitkan lenganku ke lehernya, lalu kubopong ia menuju flatku. Aku menidurkannya di kasurku. Kututup tubuhnya dengan tiga lembar selimut tebal dan kupasang termometer di ketiaknya. Ia memejamkan matanya dan bibir itu terlihat biru. Aku segera membuatkan sup panas.
“Makan ini,” kataku saat menyuapkan sup. Ia menurut. Aku memegang dahinya. Demam. Kuambil termometer dari ketiaknya. Tiga puluh delapan derajat.
                Aku terus menyuapinya sampai sup di mangkok habis. Lalu kupasang kompres di dahinya dan memberi Yong Hwa obat penurun panas. Ia tertidur pulas sambil sesekali mengigau. Ia menyebut terus namaku. Aku menatap sedih wajah Yong Hwa. Aku kasihan padanya. Aku tahu seharusnya kubalas perasaannya. Sudah kucoba sejak kulihat tatapan penyesalan di mata itu. Aku mencoba menyukainya lagi tapi tak bisa. Aku menitikkan air mataku.
“Maaf,” kataku sebelum tertidur di sisinya.
                Aku kaget ketika melihat tak ada Yong Hwa di kasur. Aku segera berlari keluar kamar tetapi langsung berhenti ketika mendengar seseorang tengah memasak.
“Selamat pagi,” sapa Yong Hwa dengan wajah pucatnya.
“Pagi,” balasku.
                Aku membantunya membuat pancake untuk sarapan. Aku membuat pancake berlebih karena ingin kuberikan pada Dong Hae dan si lelaki tua. Bahkan aku kepikiran membuatkan untuk Jeong Min dan ayahnya. Setelah itu kusiapkan susu untuk Yong Hwa dan kopi untukku. Ia sempat oleng saat berjalan dan segera kutahan. suhu tubuhnya masih tinggi, tapi ia bersikeras kalau ia baik-baik saja. kami makan dalam diam.
“Jadi, kita memang sudah tidak bisa memulainya dari awal?” tanya tiba-tiba. Aku mengangguk pelan.
“Kupikir aku bisa melupakanmu, tapi aku salah. Aku sudah memulai hidup normal lagi, tapi saat melewati flat mu, aku berhenti dan hanya bisa memandanginya,” katanya. Aku tersenyum. Yong Hwa menatapku lekat-lekat.
“Hei, ada apa dengan senyummu?” ujar Yong Hwa.
“Seseorang telah merubahnya,” kataku ceria. Aku teringat Dong Hae.
***
                Aku berada di ruang bundar ini setelah hampir tiga tahun tak pernah memasukinya lagi. Aku berdiri di ujung meja  di depan sebuah layar yang menampilkan presentasiku. Para pimpinan penerbitan berada di bagian meja yang lain, muka mereka serius saat memandangku. Termasuk Yong Ju. Ia mengisyaratkan kata ‘awas saja kau’ saat memandangku dengan mata elangnya. Direktur Cho ada di ujung sana. bibirnya terlihat sangat tipis saat mempersilahkan aku memukau mereka.
                Mereka menginterupsi saat ada hal-hal yang tak masuk akal terlintas di kepala orang-orang tua ini. Bae Yong Ju menggeleng padaku saat aku akan mulai membantah. Aku mengangguk paham. Dengan hati selapang lapangan bola, kuterima masukan mereka untuk mengubah beberapa bagian novel. Ini adalah lompatan besar dalam perkembanganku karena biasanya aku tak mau sama sekali menerima saran dari siapapun. Para penguji menatapku dengan puas. Direktur Cho mengetuk-ngetukkan bulpen di tepi mejanya.
“Nak, Stephenie Meyer tak lebih hebat darimu,” katanya.
                Aku berlari menaiki tangga. Lantai satu, lantai dua, lantai tiga, aku tak berhenti menyunggingkan senyum saat bertemu gerombolan pekerja kasar di lantai tiga yang menggodaku, lantai empat, aku terus menaiki tangga, melangkahi langsung dua anak tangga, sampai akhirnya tiba di lantai lima. Kuketuk pintu bernomor 36 itu. Dong Hae mengulurkan kepalanya dari pintu.
“OPPPA!!!” aku berteriak sambil menghambur ke arahnya. Kupeluk ia erat-erat. Semula ia ragu, tapi ia balas memelukku. Bagian baik dariku tak pernah memanggilnya oppa,baru kali ini. Aku pernah sekali memanggilnya oppa, tapi saat itu bagian jahat dari diriku yang melakukannya, saat di lift beberapa bulan lalu.
“Oppa?” ia menggerutu.
“MEREKA AKAN MENCETAK NOVELKU, HAHAHA!”
                Terkadang menjadi bahagia akan menjerumuskanmu ke dalam ketidakpekaan. Perhatianku hanya tertuju pada Dong Hae, tanpa memperhatikan Yoon Ah yang melihat dalam kebisuan. Aku segara melepaskan pelukanku saat Yoon Ah makin dekat ke arah kami sambil menggotong ranselnya.
“Dong Hae-ssi, terima kasih atas pelajarannya. Aku harus pergi, ada janji,” kata Yoon Ah. kemudian ia melihat padaku, “Kerja yang baik kawan” ia tersenyum sambil menepuk pundakku. Lalu ia pergi begitu saja.
                Kejadian tadi terus terputar di otakku begitu saja. Aku tak bisa menghilangkan senyum ganjilnya dan kalimat ‘kerja yang baik kawan’. Jelas ia meledekku. Aku menghubunginya tapi tak diangkat. Aku menggaruk kepalaku bukan karena gatal, tapi bingung. Aku tak bermaksud apa-apa saat memeluk si pria mangkok. Hanya menyalurkan kegembiraan saja. dan aku makin gembira saat dalam pelukannya. Oh yang benar saja, ia sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Masa bodoh dengan Yoon Ah jika ia menganggapku sebagai pengkhianat. Kalau kau memang suka dia, kenapa tak langsung kau katakan?
                Aku hanya bisa menutup mata tanpa bisa tidur. Jam 1 dini hari. Aku mengubah posisi tidurku untuk kesekian kali. Pria yang akan kencan denganku besok tepat tidur di atas kepalaku, kami hanya dipisahkan tembok. Astaga, belum pernah kencan sama sekali. Aku terlau bosan hingga akhirnya memukulkan tanganku ke tembok.
Dug....
                Barangkali jika ia mendengar suara pukulanku di tembok, mimpi indahnya bisa menjadi agak mengerikan. Aku terkikik. Aku melakukannya lagi.
Dug... Dug...
                Aku memandang langit-langit kamarku selama beberapa detik sampai tiba-tiba...
Dug...Dug...
                Aku tersentak. Jantungku mencelos. Aku memfokuskan pendengaranku lagi agar lebih sensitif. Ada yang membalas dari sebelah. Mungkin suara itu hanya khayalanku saja. Dong Hae pastinya sudah tidur. Aku menunggu suara di tembok lagi tapi tak ada. Aku mengecek lagi dengan memukul tembok.
Dug... Dug... Dug....
                Orang di sebelah membalas..
DUGGGG...DUUUGGGGG....
                Ommo, jelas orang itu marah. Jangan-jangan penjahat. Apa yang mereka lakukan pada Dong Hae? Ya Tuhan, sebenci-bencinya aku padanya, tolong lindungi dia. aku bergidik ngeri dan menaikkan selimut melewati kepalaku. Ada apa denganku? aku baru saja berdoa pada Tuhan! Sesuatu yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Kengerianku karena orang yang memukul tembok di sebelah dan kekagetanku karena diriku sendiri bertambah besar saat ada yang mengetuk pintu flatku. Jantungku berdegup kencang. Aku takut. Tapi ketukan itu tak berhenti, malah semakin keras dan sering. Pasti orang dari sebelah. Aku menelan ludah. Jika, ia bisa melumpuhkan Dong Hae yang berbadan atletis itu, tentu tak mudah baginya untuk menghabisiku. Cepat atau lambat ia akan masuk kemari, begitu pikirku.
                Maka kuputuskan untuk mengecek orang yang mengetuk itu. aku siap dengan pisau dapur. Jika dia melawan, aku yang akan menghabisinya duluan. Toh jika akhirnya aku yang jadi korban, aku akan mati terhormat karena pernah melawan sebelumnya. Sekali lagi aku berdoa, Ya Tuhan, jika ini memang akhir hidupku, tolong jaga adik dan ibuku. Aku menelan ludah saat berhadapan dengan pintu yang terus digedor itu. aku sudah memegang pegangan pintu, memutar kunci, dan jika orang itu menyerang, aku akan menusuknya.
JEBRET!!
                Kubuka pintu dan secara refleks mengarahkan mata pisau pada orang yang berada di depanku. Aku terbelalak saat mengetahui siapa sebenarnya orang itu. Aku berusaha menghentikan tanganku, tapi tak bisa. Dia secara sigap menahan pisauku dengan tangan kanannya. Aku melihat darah menetes dari tangan Dong Hae. Pisauku hampir saja menembus perutnya.
“Kau tak papa? Ada siapa di dalam?” tanyanya khawatir. ia tak memikirkan tangannya yang luka. Aku berharap ada alat penyedot yang bisa menghisapku hidup-hidup saat ini.
“Tak ada siapa-siapa. Aku yang memukul tembok tadi,” aku nyengir. Ekspresinya mengisyaratkan ia akan menelanku bulat-bulat malam ini juga.
                Aku membersihkan luka Dong Hae di meja makan. Menyiramnya dengan larutan NaCL. Tangannya masih berdarah walau tak sebanyak 10 menit yang lalu. Aku menutup alur luka dengan kassa setelah memberinya obat dan membebat tangannya dengan bandage. Darah masih merembes melewati kain itu. mata Dong Hae mengawasiku saat aku mengerjakan pertolongan pertama pada kecelakaan ini. Untung aku sempat ikut PMR saat SMP dulu.
“Kau hampir membunuhku,” katanya galak.
“Aku tahu,” aku hanya menunduk, tak berani memandang calon korban pembunuhanku. Aku tak bisa membayangkan jika akhirnya aku benar-benar membunuhnya. Editor, teman, manajer, merangkap kritikusku yang berharga bisa saja menghilang tiba-tiba dariku. Ia sangat berharga, apapun itu julukannya....
“Jangan menangis,” katanya tiba-tiba.
“Aku tak menangis,” aku membela diri. Tapi ia benar, air mata mengalir di pipiku dan tahu-tahu aku sudah tersedu sedan.
“Huuuahhhhh, aku tak bisa membayangkan bila kau mati di tanganku!!! Aku bisa masuk penjara, karirku hancur! Bagaimana dengan ibu dan adikku!! Dan yang paling parah adalah aku akan kehilangan kau....!!! huhuhuhu...” tangisku. Aku tak tahu kenapa aku menempatkan Dong Hae pada posisi di mana ia yang paling penting di antara segalanya.
“Oh, berhentilah,” ia segera menggeser kursinya ke arahku dan merangkulku.
                Yang terjadi pada malam itu hanyalah usahanya untuk membuatku diam. Aku akhirnya berhenti menangis bukan karena tepukannya di punggungku, tapi karena aku kelelahan. Ia sepertinya lelah juga hingga akhirnya kami tertidur di atas meja makan.
                Aku terbangun keesokan paginya dengan pemandangan yang kulihat pertama kali adalah wajah Dong Hae. Ah leherku sakit. Aku meregangkan tubuhku sebentar. Aku segera beranjak dari kursi dan membuka gorden. Mata hari sudah tinggi. Tumpukan salju di jalanan sudah dibersihkan.
“Dong Hae, bangun. Sudah siang,” kataku sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
“Hmmm....” ia hanya menggumam tak jelas lalu kembali tidur. Dong Hae terlihat nyaman-nayaman saja tidur dalam posisi seperti ini. Barangkai ia sudah terbiasa tidur di meja belajarnya.
“Bagaimana dengan kencan kita?” tanyaku. Pertanyaan itu cukup berefek padanya. Ia mengangkat kepala, lalu perlahan-lahan bangkit dari kursi. Matanya masih menutup dan berjalan pelan menuju pintu. Aku melihat tangannya yang luka menggantung lemah di sebelah kanan. Kain itu benar-benar basah karena darah.
“Hei, kita ke rumah sakit dulu ya,”
“Tak perlu,” jawabnya.
“Lukanya bisa infeksi,” kataku.
“Apa pedulimu?” sahutnya. Aku mengerutkan kening.
“Apa peduliku? Ya sudah batalkan saja kencannya,” kataku sambil bersedekap. Dasar keras kepala.
Ia berhenti lalu berjalan kembali ke arahku, “Kau benar-benar menyebalkan ya?” katanya.
“Kau sudah tahu itu kan?” jawabku cuek.
                Kami akan ke rumah sakit dulu sebelum ke tempat kencan yang belum kami rencanakan sama sekali. Dong Hae memakai pakaian yang casual hari ini. Ia terlihat sesuai untuk umurnya, tidak seperti hari-hari biasanya yang terlihat tua untuk pria berumur 24 tahun. Aku baru sadar betapa tampannya ia. Kami berlari kecil menuju mobil Dong Hae. Jejak langkah kami tercetak di salju yang cukup tebal. Aku meniup tanganku yang kedinginan. Aku mencapai mobil lebih dulu darinya dan menunggu di pintu bagian penumpang yang masih tertutup.
“Cepat!” kataku sambil terus meniup tangan. Ia berhenti saat melihatku.
“Lihat, aku tak bisa menyetir” ujarnya sambil menunjukkan tangan yang perbannya sudah kuganti. Ia lalu melemparkan kunci mobil kepadaku. Aku hanya bisa terperangah.
“Hei, kau membiarkan wanita yang menyetir untuk kencan? Hah,” aku mengejeknya.
“Lalu mau bagaimana?” tanyanya.
                Kami berjalan menuju halte bus yang berjarak satu blok dari rumah. Ia melirik jengkel ke arahku. Aku tersenyum. Aku menjelaskan padanya bahwa memakai kendaraan umum merupakan cara yang romantis untuk sampai ke tempat kencan. Ia melangkah dengan langkah yang sengaja dipanjang-panjangkan sehingga membuatku harus berlari kecil untuk menyamainya. Aku merapatkan tubuhku padanya dan  melingkari lenganku pada lengannya dengan susah payah.
“Dengar ya, ini yang biasanya dua orang kekasih lakukan saat mereka berjalan bersama,” kataku. Ia mendengus.
                Kami sampai di rumah sakit dan perawat yang berada di loket pendaftaran menyuruh kami untuk pergi ke UGD. Luka Dong Hae harus di jahit rupanya. Kami berjalan mengikuti perawat itu dan sempat berhenti ketika melihat ibu hamil tua yang sedang mengalami kontraksi. Ia baru saja diturunkan dari ambulans dan dibawa terburu-buru menuju ruang bersalin. Kami terpana. Lalu kami berpapasan dengan beberapa orang yang didorong dengan kursi roda, lelaki yang berjalan dengan selang infus yang masih terpasang di tangannya, dan seorang anak perempuan botak yang berlari-lari dari ibunya. Korban kemoterapi, pikirku. Aku makin merapatkan tubuhku ke Dong Hae dan Dong Hae langsung menggenggam tanganku.
                Dokter langung melakukan tindakan begitu kami tiba di UGD. Ia melepaskan perban, melakukan pembersihan lagi pada luka, menyiapkan benang dan jarum, lalu langsung menjahit  Dong Hae yang sedang duduk. Kulihat Dong Hae meringis kesakitan saat jarum yang telah berkaitan dengan benang itu masuk ke kulitnya. Aku langsung memutar kepala Dong Hae dan membenamkannya dalam bahuku. Aku tak tega melihatnya menderita.
“Maaf nona, kau siapanya tuan ini?” tanya dokter setelah selesai dengan luka Dong Hae.
“Aku pacarnya,” jawabku mantap. Aku menggerling ke arah Dong Hae dan mengedipkan sebelah mataku. Ia tertawa.
“Tuan Lee baik-baik saja. Pastikan bagian luka itu selalu bersih sehingga tak terjadi infeksi. Lalu dia bisa datang seminggu lagi untuk melepas jahitannya,” aku mengangguk ketika mendengar penjelasan itu.
“Kencan di rumah sakit cukup romantis kan?” tanyaku sambil mendorongnya ke samping. Ia tertawa.
“Kau mau ke mana?” tanyanya.
“Ke mana ya? Bagaimana dengan nonton? Lalu kita makan pasta, lalu kita makan ice cream, lalu...” aku tak sempat menyelesaikan kalimatku karena Dong Hae sudah mengacak-ngacak rambutku dengan tangannya yang sehat.
“Baiklah, kita lakukan semuanya, hahaha”
                Bus membawa kami ke daerah sekitar sungai Han. Dong Hae langsung menarikku menuju gedung Yuksam atau biasa yang disebut gedung 63. Gedung berisi teater IMAX, aquarium raksasa, tempa makan, dan toko-toko merek terkenal. Kami membeli dua tiket film romantis Hollywood yang sedang digandrungi remaja. Film tentang cinta terlarang Vampir dan seorang wanita muda. Tapi yang kami lakukan hanyalah terus mengomentari film itu sambil tertawa terbahak-bahak. Pasangan-pasangan muda di samping kami memandang tak suka. Aku jadi ingat Stephenie Meyer saat menontonnya. Haha, ia tak lebih baik dariku.
                Dong Hae menyuruhku untuk memesan makanan paling mahal ketika kami berada di restoran. Ia tak punya seeorang yang bisa ia traktir selama tinggal di Seoul. Sama sepertiku, Dong Hae meninggalkan keluarganya yang tinggal di pulau Jeju. Kami sama-sama anak pantai. Keluarga Dong Hae adalah pemilik penyewaan kapal pesiar turun temurun sadangkan keluargaku bergerak di bisnis penjualan hasil laut.
“Lalu kenapa kau memilih matematika?” tanyaku sambil memasukkan lobster ke dalam mulutku.
Ia berhenti menjilati saus spageti sebelum menjawab pertanyaanku, “Aku tak tahu harus memilih apa saat pendaftaran universitas. Jadi kulingkari matematika saja”
                Kami berkeliling mengamati etalase toko tanpa niat ingin membeli sama sekali. Kami menyusuri tiap lantai untuk menemukan hal-hal menarik. Iklan gadget-gadget  bertebaran di mana-mana. Kami masuk ke tempat permainan dan bermain tembak-tembakan virtual. Dong Hae agak susah memegang senjatanya dan langsung mati di level satu. Jadi aku sibuk melanjutkan permainan ini sedangkan ia pergi entah kemana.
                Aku memegang ice cream yang hampir meleleh saat memasuki sea world dalam gedung. Dong Hae akan ke menuju aquarium berisi hiu tutul ketika  kutahan ia. Aku menariknya  untuk mengikuti dari belakang rombongan anak SD yang sedang berwisata. Kurang lebih kami menjadi tambahan ilegal dalam daftar peserta tour. Kami ikut mendengarkan penjelasan pemandu bahkan Dong Hae mengangkat tangan secara refleks saat pemandu mengajukan pertanyaan. Aku langsung memisahkan diri darinya begitu ia melakukan tindakan yang cukup bodoh itu.
                Kami makan malam bersama di warung ramen pinggir jalan. Lalu menonton atraksi pengamen jalanan di pinggir jalan utama, dan akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke taman di sekitar sungai Han. Aku dan Dong Hae saling adu besarnya cipratan air saat melempar batu ke sungai. Sebenarnya perbuatan ini dilarang dan kami sempat dimarahi petugas kebersihan yang sedang patroli dekat sini.
                Kami akhirnya duduk di tepi sungai memandangi cahaya bulan yang memantul. Jika kami berada di sisi lain sungai, pasti cahaya bulan akan kalah bersaing dari neon-neon ibu kota. Kerak-kerak es mengalir mengikuti arus. Aku bisa merasakan cahaya itu mengenai wajahku. Udara di musim dingin ini begitu segar. Dong Hae kembali dengan membawa dua gelas kopi. Kami tak banyak bicara.
“Aku tak mau malam ini berakhir,” katanya.
“Makanya, cari pacar sana,” godaku.
Dong Hae melihat ke arahku, “Hei, ada satu hal dalam kencan dua sejoli yang belum kaulakukan,”
“Apa?” tanyaku. Ia diam sesaat. Sepertinya ragu mengatakannya.
“Cium aku,” ujarnya.
“Kau gila ya?” nadaku meninggi.
“Kau bilang padaku akan mengajarkan semua yang kau tahu tentang pacaran. Sekarang ajari aku berciuman,” katanya protes.
“Aku tidak mau,” aku memalingkan wajah darinya.
“Berarti kau mengingkari janji, ayo pulang saja,”
“Baiklah!!!” kataku jengkel. Aku menariknya kembali duduk saat ia beranjak berdiri.
Aku memegang wajahnya dengan kedua tanganku. Muka kami berhadapan.
“Perhatikan ini baik-baik ya,” kataku. Aku memejamkan mata saat mendekatkan wajahnya padaku. Aku bisa merasakan napasnya pada mukaku sekarang. Aku membuka mataku dan melihat hidung kami sudah bertemu, tapi belum dengan bibir.
“Aku tak bisa melakukannya,” kataku sambil menempelkan tanganku pada wajahnya agar menjauh.
                 Ia memegang tanganku dan menarik ke arahnya dengan kasar.
“Jangan-jangan kau tak pernah ciuman ya?”
“Tentu saja pernah...”
“Kalau begitu tunjukkan padaku,”
“Aku tak bisa melakukannya denganmu,”
“Kalau begitu aku yang akan melakukannya,”
                Sekarang gantian ia yang memegang pipiku dengan kedua tangannya. Matanya berkonsentrasi pada mukaku. Aku balas melotot padanya. Kemudian ia memejamkan matanya dan mulai memajukan wajahnya. Aku melihat wajah itu semakin dekat dan aku ikut-ikutan menutup mata. Aku bisa merasakan lagi hembusan napasnya. Aku makin memejamkan mataku sampai tiba-tiba....
                Bibir kami bertemu. Bibir Dong Hae terasa lembut dan hangat. Aku membuka mataku pelan-pelan dan mendapati ia memejamkan mata menikmati pengalaman pertamanya. Aku adalah ciuman pertama Dong Hae. Aku menutup mataku lagi, membiarkan diriku dibawa olehnya.
                Bibir kami terus menempel selama beberapa menit hingga benar-benar berubah menjadi sebuah ciuman. Tanganku sudah melingkar pada lehernya dan tangannya memeluk pinggangku. Aku mengingat lagi perasaan kecewa saat melihat Yoon Ah berduaan dengannya. Aku membayangkan lagi saat aku benar-benar takut kehilangannya di hari penusukan itu. Aku menghubungkan satu-satu perasaanku padanya, dan kudapati sebuah pita merah muda panjang yang membentuk gambar hati.

“Ha Na-ssi...” panggilnya setelah bibir kami terpisah, “..aku mencintaimu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar