Simple Life

Kamis, 14 November 2013

LOVE LAUYER 2

Teman-teman kantorku bersorak saat aku memasuki ruang di firma hukum. Mereka sudah memakai topi kerucut khas ulang tahun dan menyemprotkan kemeriahan dalam sebuah botol spray ke arahku. Aku menyibak jaring-jaring yang menutupi wajahku. Kemudian ikut tertawa bersama mereka. Pimpinan firma menyuruh kami untuk merayakan kemenanganku hari ini. Kami duduk melingkar dengan botol cola yang bergerak mengikuti jarum jam, agar siapa saja yang ingin mengisi gelas kosong mereka bisa menuangkan cola itu ke dalamnya. Kotak makan milik temanku hampir kosong sekarang, susi di dalamnya sudah berpindah ke mulut-mulut kami.
“Untuk Im Yoon Ah!!” kata bosku sambil mengacungkan gelasnya setelah itu meminumnya, gerakan yang sama dilakukan teman-temanku yang lain. Aku bangga dengan kerjaku, tapi tidak dengan bagian lain diriku. Aku setangah bahagia, setenga berduka.
“Kim Sam Bum, kau benar-benar harus bersyukur karena mendapat mentor seorang Yoon Ah, hahaha,” kata seseorang di sampingku. Mata kami langsung mencari mahasiswa  magang itu. ia sedang duduk di pojok ruangan sendirian, memegangi tumpukan kertas yang kupunya, lalu tersipu. Aku menghela napas.
            Aku sedang asyik berbicang dengan pimpinan firma ketika sambungan telepon dari resepsionis berbunyi, aku menjawabnya dan ia mengatakan seseorang sedang menunggu di lobi, mencariku.
“Ini sudah hampir jam lima, aku sudah tak menerima konsultasi lagi,” jawabku.
“Sudah saya bilang padanya, tapi ia tetap tak mau pergi sebelum bertemu anda. Ia bilang masalah penting,”
Aku mengangkat sebelah alisku. Mengganggu saja. Aku segera turun ke lantai satu lalu menemui seorang pria berumur sekitar empat puluh tahun yang menatapku dengan perasaan harap-harap cemas. Matanya agak merah dengan bibir yang menghitam, barangkali ia merokok. Pria yang membiarkan jambangnya tumbuh di wajah itu sedang meremas tangan. Jas cokelatnya agak lusuh dan sedikit kebesaran untuk menutupi tubuh kecilnya.
“Saya Im Yoon Ah. Saya harap ini benar-benar masalah penting,” kataku sambil tersenyum ramah. Aku merasakan tangan itu sangat kasar tapi sangat kuat saat kami berjabat tangan. Bahkan kukira ia ingin meremukkan tanganku.
“Saya Lee Hyung Il. Maaf mengganggu, saya tidak tahu prosedur yang benar untuk bertemu orang sibuk seperti anda, saya sudah terlanjur ke sini, dan harus pikir-pikir lagi untuk kembali jika kau menolak menemuiku,” kata suara serak itu.
“Apa yang bisa saya bantu?” tanyaku.
“Saya mewakili penduduk Dae Bak,” aku memikirkan daerah kumuh yang diliputi kemiskinan, penyakit dan kebodohan saat ia menyebut nama daerah pinggiran di utara Seoul itu.
 “Kau mungkin akan tertawa saat mendengar orang miskin seperti kami ingin menyewamu, tapi kami tak tahu untuk melakukan apalagi. Kau tahu daerah itu diberikan begitu saja oleh negara untuk menghormati leluhur kami yang bersedia menjadi relawan saat melawan Jepang. Seorang pengusaha dari kota berencana untuk mengakuisisi daerah itu dan akan dikembangkan menjadi perumahan elit. Kami hanya bisa diam saat mereka membawa alat-alat berat ke sana. Mereka terlalu kuat dengan uang yang mereka punya. Tapi kemudan kami membaca profilmu di koran. Pengacara yang bisa memutar fakta dan membuat kliennya selalu menang,” ia seperti mengejekku dengan kalimat terakhirnya. Rasa sentimen antar kelas kembali menganga. Kemelaratan dan kemakmuran yang bisa dibedakan cukup dengan rasa udara yang kauhirup. Aku meringis ketika memikirkan ketidakadilan yang selalu kulambungkan di ruang sidang.
“Jika membantu anda bisa membuat saya menjadi agak manusiawi sebagai pengacara, kita bisa tanda tangani kontraknya besok,” kataku sambil menyerahkan kartu nama, “Tak usah repot-repot menyiapkan uangnya, saya akan segera meninjau Dae Bak,” kami berjabatan lagi. Mata merah karena rokok itu kini berbinar. Ia tersenyum sambil memamerkan giginya yang cokelat dan hitam.
            Dua buah mobil dengan plat nomor yang kukenal terparkir di depan halaman rumahku saat aku tiba. Si Won telah lama tak mengajak temannya berkunjung, bukan karena teman-temannya yang tak tahan denganku, tapi karena dia sendiri yang berusaha menghindari rumah. Aku mendengar suara diskusi yang riuh dari ruang tengah saat masuk ke ruangan bercat hijau muda itu. Empat orang pria yang sedang mengitari meja yang di atasnya terdapat kertas-kertas penting, aku mengenal tiga orang dari mereka, suamiku, Yo Yeon Seong, dan aku lupa yang satu lagi. Ada papan tulis berisi grafik-grafik yang tak kemengerti. Mereka mendongak saat mendengarku datang.
“Hei Yoon Ah, kerja yang bagus, kukira Park Si Hoo akan benar-benar masuk penjara, hahaha,” kata Yeon Seong. Aku tersenyum.
“Bibi Song tidak menyuguhkan kalian sesuatu?” tanyaku heran ketika tak melihat makanan atau minuman apapun untuk tamu.
“Bibi Song sudah tidur. Si Won bilang tunggu kau saja untuk menyiapkan snack-nya,” kata pria yang namanya aku lupa itu. Muka suamiku memerah. Ia menyenggol lutut Yong Seong agar pria itu memperhatikannya lagi.
            Mereka tak tahu apa-apa tentang kami. Hanya keluarga yang tahu, termasuk Bibi Song, ia sudah kuanggap ibu sendiri. jika kami harus hadir di acara teman, kami hanya terlihat bersama saat datang dan pulang. Aku membuatkan tiga gelas kopi susu dan memotong cake yang disimpn Bibi Song dalam kulkas. Mereka harus merapikan berkas yang berceceran itu saat aku ingin meletakkan baki berisi makanan.
“Hanya tiga gelas?” tanya Yeon Seong.
“Aku bisa membuatnya sendiri,” sambar suamiku ketika aku mau menjawab. Aku mengangguk pelan. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.
***
            Empat Tahun Yang Lalu...
            Para penjaga langsung merangsek ke depan untuk mengamankan terpidana yang telah divonis sepuluh tahun penjara. aku tak berhenti membuat hentakan kecil dengan kakiku. Aku takut setengah mati dengan orang-orang yang menjadi agak barbar sejak palu diketuk. Ini persidangan kedua sejak magang di firma hukum yang hampir bangkrut dan suasana begitu tidak mengenakkan. Anak berusia tujuh tahun menangis tersedu-sedu memanggil-manggil nama  ayahnya yang telah dibawa petugas, sedangkan ibunya berusaha menenangkan balita yang tengah digendongnya. Si ibu mengusap air matanya saat melihat si suami menghilang dari ruangan. Ia bakal Dibui. Dikerangkeng.
            Pengacara yang aku dampingi terlihat lesu saat mendatangiku. Dia kalah. Klien-nya tak bisa diselamatkan. Ia mengusap-ngusap jidat, lelah berpikir.
“Anda bisa saja membebaskannya, bukti-bukti lawan tak begitu kuat,” kataku.
Ia mengambil tasnya dan melilit tangan dengan jas, “Mereka tak membayarku dengan cukup,” lalu ia pergi begitu saja meningglakan pengacara muda yang miskin pengalaman ini berpikir: aku tak akan pernah kalah, tak akan.
            Hari sabtu atau sabat atau Saturday atau..., hari di mana tak boleh ada pekerjaan sama sekali menurut kepercayaanku, dan aku hanya berbaring di kamar dengan majalah yang terbuka, berusaha menghilangkan rasa kecewa persidangan kemarin. Aku sedang mengisi kotak-kotak kosong yang tersusun horizontal dan vertikal, berusaha mencari sinonim kata yang menjadi soalnya. Aku mengigiti ujung pensil setiap mengerjakan TTS, perilaku yang akan selalu menjadi bahan komentar kedua kakakku yang lain. Sangat jorok, begitu kata mereka.
 Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, kedua kakakku perempuan semua, kondisi yang sebenarnya tak diinginkan ayahku. ia ingin  seorang putra untuk bisa meneruskan dinasti bisnis property nya, tapi sayang, yang ada hanya tiga orang putri yang tak tertarik sama sekali dengan lego rumah mewah atau semacamnya.
 Kakakku yang pertama adalah dosen matematika di Universitas Seoul, ia telah menikah dengan prajurit angkatan darat dan sekarang tengah mengandung untuk kedua kalinya. Anak petamanya adalah gadis kecil yang amat lucu, yang dengan begitu saja membuyarkan urutan pewaris mahkota dari lamunan ayah. Ayah sangat kecewa dengan status militer yang disandang suaminya, karena itu berarti kakak iparku itu tak bisa masuk ke dunia bisnis untuk membantu.
Kakakku yang kedua adalah seorang fotografer National Geography. Belum pernah ada kabar apapun tentang dunia percintaan gadis tomboy ini dan ayah khawatir tentang jodohnya. Bahkan ayah pernah memaksanya untuk ikut acara perjodohan, tapi ia menolak dan memilih kabur dari rumah. Lalu ayah tak pernah memaksanya menikah lagi, sebuah hasil perundingan alot di tengah malam yang hujan. ia tak sanggup bertengkar dengan putrinya lebih dari tiga hari, maka ia memilih berdamai.
Yang terakhir adalah aku, yang bisa dibilang telah membawa sedikit angin segar saat ayah mengetahui aku menjalin kasih dengan Choi Si Won, anak teman lamanya yang menjabat sebagai anggota parlemen Korea. Ayah Si Won telah banyak membantu ayahku, meloloskan banyak proyek yang bernilai mahal. Apalagi saat ia tahu Si Won melanjutkan studi di sekolah bisnis Yale, ayahku seakan telah terbang di udara. Ia telah mendapatkan calon putera mahkota.
Sebaris kotak menurun telah kuiisi dengan kata Copenhagen ketika kakakku yang kedua masuk tanpa permisi.
“Ya Yoon Ah, appa mencarimu,” kata suara dari pintu.
“Untuk apa?” tanyaku malas.
“Menemani dia bertemu temannya,”
“Kenapa tidak kau saja sih? Kalau teman appa punya anak cowok kan kau bisa kenalan,” aku berguling-guling di kasur. Ia kelihatan kesal saat mendekat padaku, berkacak pinggang.
“Dia mau ketemu ayah pacarmu. Si Won baru pulang dari Amerika dan ayah berniat berkunjung,” aku mendongak menatapnya tak percaya.
“Dia pulang?” yang ditanya mengangguk.
            Aku membongkar lemari mencari baju yang cocok dipakai di sabtu cerah yang menurut ramalan cuaca akan hujan, saat matahari tidak terlalu menyengat. Warna merah kelihtannya bagus, oh ini terlalu menyala. Bagaimana dengan oranye? Hmmm, baiklah. Aku menuruni tangga dan langsung menggandeng tangan ayahku.
“Ayo pergi!” kataku.
            Sofa berlapis kulit domba ini begitu lembut dan empuk saat aku mendudukinya. Ayahku dan aku sedang berada di ruang tamu keluarga Choi. Mataku mengelilingi seisi ruangan yang penuh benda-benda eksotik, yang paling dekat denganku adalah topeng besar asli Amerika Latin yang biasa dipakai dalam upacara pengusiran roh. Ada dua senapan yang saling menyilang membentuk tanda X tergantung di dinding. Tapi dari berbagai benda itu yang paling kusuka adalah harimau putih utuh yang telah diawetkan. Posisinya siaga siap menerkam dengan padangan mata yang buas. Namun sebuas-buasnya harimau, tetap lebih buas ayah Si Won ketika ia bercerita pengalamannya di Afrika. Menangkap dua singa dan satu kuda nil dalam sehari berburu. Aku tak sampai hati membayangkan moncong senapan menyemburkan peluru tajam menusuk jantung buruan Tuan Choi.
            Nyonya Choi juga tak kalah istimewanya, ia mengajakku ke dapur begitu pembicaraan suaminya dan ayahku mulai memasuki topik pria yang sangat membosankan.
“Nona Im, tak keberatan membantuku menyiapkan makan malam kan?”  tanyanya.
“Tentu saja,” aku langsung mengikutinya ke dapur.
            Sebenarnya aku agak ragu menerim ajakan nyonya Choi, karena aku tak bisa memasak. Lebih baik aku tetap duduk di ruang tamu mendengarkan obrolan kedua pria itu dari pada harus berdiri dengan pisau yang terhunus, siap untuk memotong wortel. Tapi sebaik-baiknya pilihan adalah Si Won segera datang dan membawaku pergi entah ke mana, karena sesungguhnya aku ke sini hanya untuk menemuinya.
            Sudah sepuluh menit aku berhadapan dengan sebuah wortel tapi belum berhasil kupotong semua. Aku memegang wortel itu seperti aku memegang seekor ikan hidup yang memberontak. Aku mengarahkan mata pisau ke bagian incaranku, lalu menyalurkan seluruh tenaga yang kupunya. Hasilnya adalah beberapa lembar wortel bulat yang berbeda ketebalan. Aku mengusap keringat dengan punggung tanganku.
“Bibi, pisaunya tumpul ya?” nadaku mencerminkan perasaan marah saat mengatakannya. Kesal dengan wortel itu.
Nyonya Choi tersenyum, “Lihat aku,” ia mengambil pisau yang kupegang, lalu dengan sekali sentakan halus, ia telah memotong wortel dengan ketebalan yang pas. Ia melakukan itu beberapa kali sampai satu wortelnya terpotong semua. Tak sampai sepuuh menit.
“Wooooo.....” aku terpana.
“Hanya butuh sedikit teknik nona Im. Kau akan terbiasa,” katanya sambil tersenyum. Selanjutnya aku hanya tertawa setiap kali ia bercerita. Tentang kebunnya, bisnis suaminya, kegemaran suaminya berburu, masa mudanya, sampai menceritakan Si Won. ia sangat lucu.
“Yoon Ah, kau memasak?” panggil suara yang kukenal. Aku melihat ke arah simber suara dan mendapati Si Won tersenyum lebar ke arahku. Aku ingin berlari dan memeluknya, tapi keberadaan nyonya Choi hanya bisa membuatku membalas senyumnya.
“Oh, pergilah kalian,” kata nyonya Choi sambil mendorongku yang sedari tadi hanya diam tak bergerak. Ibu Si Won tertawa saat melihat putranya mendekat padaku lalu mengamit tanganku. Mukanya memerah saat membalas candaan ibunya sebelum membawaku pergi.
            Kami hanya diam sepanjang perjalanan menuju kebun mawar di belakang rumahnya. Tangan Si Won basah karena keringat saat memegangku, tapi aku tak mengendurkan sedikitpun gengggamannya, malah makin mempererat.
            Semburat kedewasaan terlihat saat aku mencuri pandang ke arahnya. Matanya bukan lagi mata milik pemuda yang senang keluyuran saat jam pelajaran kosong, ada pantulan rasa tanggung jawab di sana. Rahangnya terlihat kokoh. Aku menahan tawa saat melihat kumis tipis di atas bibirnya.
“Ada apa?” tanyanya. Aku menggeleng.
Pria ini jauh berbeda dari anak laki-laki yang duduk di depanku delapan tahun yang lalu. Ia sudah menyadari hidup yang harus dipikulnya sendiri, membuatnya mati-matian belajar untuk masuk ke Yale. Aku senang saat mendengar suaranya sekarang, karena suara nya bukan lagi suara lempeng laki-laki yang labil, tapi kini suara itu terdengar mapan. Ia baru saja lulus beberapa bulan yang lalu dan sekarang ia bekerja sebagai staf konsultan IMF untuk wilayah asia pasifik. Aku tak punya alasan untuk menolak pinangannya kelak, karena hanya dengan melihatnya saja, ia telah menjanjikan banyak hal, di antaranya adalah kemandirian dan keamanan.
Bisa dibilang kami tak benar-benar mengamati mawar yang ada di sini, dengan langkah yang terlalu cepat saat berpindah dari petak satu ke petak lainnya. Aku bahkan tak tahu kenapa kami harus menikmati mawar, karena sebenarnya kami hanya ingin menghabiskan waktu saja, bingung apa yang harus dilakukan. Kami tak saling bicara, hanya sesekali terdengar bunyi ‘Wah indah’ atau ‘Dasar udik, belum pernah lihat ya?’ Aku pikir lebih baik duduk saja di bangku taman, melihat air mancur di kolam yang tak ada ikannya, dan siapa kira, Si Won memang mengarahkanku ke sana. Tak perlu banyak kata untuk memberitahunya. Kami memang sering begitu, saling tersambung.
“Mana oleh-olehku?” aku bertanya pada orang yang duduk di sampingku. Kami duduk di bangku taman panjang yang sesekali terkena cipratan air mancur.
“Oleh-oleh? Aku tak bisa memberikan oleh-oleh pada pengacara yang kemarin kalah sidang,” jawabnya sambil memonyongkan bibir, sok cemberut. Aku memandang sinis pria yang kukira sudah matur ini.
“Dasar kau, sudah kubilang tak usah mengungkit persidangan itu, toh bukan aku yang menanganinya,” kataku sambil memukul lengannya, ia mengaduh sambil tertawa. Aku menghentikan hantamanku dan memalingkan wajah dari Si Won, lebih memilih melihat kolam dari pada mukanya.
“Hahaha, meanhe,” katanya. Aku tak menggubris. Kami diam lagi.
Suara air mancur menjadi latar pertemuan kami beserta denting percik-percik air yang kini membasahi kakiku. Aku memperhatikan kodok di atas lembaran teratai yang ikut memandang kami bersama kumbang-kumbang di sekitar kebun mawar. Bahkan semut pun tak mau kalah, sepertinya mereka memelototiku. Lebih dari satu mata selain matahari yang mengawasi kami sekarang. Aku merasa gugup, kukira Si Won juga begitu. Aku mendengar Si Won menghela napas panjang, tangannya meremas kain celana yang menutupi pahanya, kemudian melepasnya lagi. kakinya tak berhenti bergoyang dari tadi. Ia seperti menahan sesuatu. Kemudian ia mengambil sebuah kotak kecil dari balik jasnya lalu melemparnya padaku.
“Untukmu,”
Aku menaikkan sebelah alis, “kotak cincin?”
“Tidak tahu, buka saja sendiri,” katanya cuek. Dan benar saja, aku mendapatkan cincin emas putih dengan batu safir biru sebagai matanya. Aku tak bisa menyembunyikan rasa kagum saat melihat ukiran indah yang mengitarinya.
“Untukku?” tanyaku. Si Won menjawabnya dengan anggukan.
Aku menundukkan kepala. Aku tahu muka kami sama-sama merah, lalu kini yang ada hanya kebisingan air mancur lagi. Dadaku sesak menahan kebahagiaan yang memenuhi isi paru-paru. Aku kaget saat Si Won menyentuh daguku dan mengangkatnya pelan sehingga kami saling tatap.
“Yoona-ssi.... aku sedang melamarmu,” katanya pelan.
“Aku tahu...” kataku lirih. Ada rasa ragu di matanya saat ia menatapku dalam-dalam.
Tangannya kini telah berada di pipiku, lalu ia memasukkan rambutku yang bebas ke sela-sela kuping. Aku bisa mendengar detak jantungnya mengalahkan suara air mancur, menyisakan sedikit keberanian dalam hatiku yang kini berubah menjadi sebuah kenekatan. Hewan-hewan menahan napas saat melihat kami melalui pancuran air. Kukira matahari juga malu-malu menyaksikkannya, karena langit menjadi agak gelap. Butir-butir air dari atas mulai jatuh saat aku mendekatkan wajahku pada wajah Si Won. Bibir kami saling bertemu.
Butuh beberapa menit untuk memastikan rintik-rintik air yang ada adalah hujan, bukan gerimis, dan butuh waktu selama itu pula sampai akhirnya bibir kami berpisah.
“Aku bersedia,” kataku mantap di bawah guyuran hujan.
***
            Seperti biasa, aku telah duduk di ruang makan, siap untuk menyantap sarapan. Aku menyeruput susu putih yang telah disiapkan bibi Song, lalu kembali mengolesi roti gandumku. Kebiasaan yang sudah kulakukan selama empat tahun sejak awal pernikahanku, dan aku bosan. Rasa roti berlapis mentega ini  tetap sama seharusnya, sama seperti saat aku masih senang-senangnya menyiapkan sarapan untuk suamiku. Tapi yang kurasakan sekarang hanyalah rasa tawar dari roti mentegaku. Barangkali lidahku kelewat ektrim untuk beradaptasi dengan kegurihan makanan ini, sampai-sampai aku tak merasakan apa-apa lagi. Mungkin harus diberi olesan lain selain mentega, selai misalnya.
            Bibi Song mulai menamani kami sejak setahun yang lalu, sejak aku sadar dengan hidup kami yang terlampau datar dan monoton. Aku ingin ada yang baru di rumah, setidaknya seseorang yang baru. Bibi Song sudah lama bekerja dengan pada keluarga kami. Ia adalah pelayan favorit nenek. Kukira kehadirannya akan menambah keramaian, tapi sama saja.
Lalu aku putuskan untuk mengganti perabotan rumah setiap rasa bosan mulai muncul, yang berarti aku menggantinya setiap seminggu sekali. Si Won sempat marah besar dengan kebiasaanku dan menganggap aku hanya membuang uang dengan percuma. Aku merajuk setelah pertengkaran itu. Bukan berarti karena ia seorang ahli ekonomi, ia dapat mengaturku menghabiskan uang yang kuperoleh sendiri.
Aku menengok jam dinding. Tiga buah jarum jam terus saling kejar. Jarum ramping dikuntit jarum yang pendek saat yang pendek dibayangi jarum yang panjang. aku berharap mereka akan bergerak mundur, tapi mustahil, mereka tetap maju sampai kukira mereka akan melompat keluar dari kaca, lalu berlarian di lantai. Waktu menggores dirinya sendiri bersamaan dengan umurku yang tergerus melalui 8 agustus yang berulang tiap tahunnya. Waktu dengan tega menunjukkan perasaanku padanya yang mulai tak sama. Waktu bahkan memperumit segalanya, dengan menunjukkan bukti-bukti kalau kami tak lagi cocok. Waktu yang berlalu dengan kebosanan yang menggantung. Aku mengasihani diri, aku mau masa yang lalu kembali, yaitu saat perasaan cinta masih mengapung di dada. Jika begini akhirnya, sangat buruk untuk kami berdua, aku ingin, pada waktu yang dulu, jarum-jarum itu diam saja, tak bergerak, membiarkanku selama-lamanya menyukainya, walau itu berarti harus memotong jatah hidupku, merelakanku mati, sehingga kami tak perlu repot-repot saling dendam begini.
Aku mendengus panjang. Penyesalan tak cocok untuk saat ini. Wanita bermartaba sepertiku terlampau sibuk harusnya untuk memikirkan kegalauan. Aku melirik Si Won yang baru turun dari tangga. Ia berjalan ke arah meja tapi tidak segera duduk. Mukanya lebih cerah dari hari-hari biasa.
“Aku sarapan dengan yeon Seong dan yang lain, aku pergi dulu,” katanya pada Bibi Song sebelum pergi.
            Belakangan ini Si Won begitu sibuk dengan teman-temannya. Aku tak tahu apa yang mereka lakukan dengan perusahaan property yang baru mereka bentuk satu tahun yang lalu. Oh, aku bingung kenapa semua harus bermula dari dua tahun yang lalu. Apa yang dia lakukan tidak makin memperbaiki segalanya, tapi malah membuatnya makin buruk.
            Setelah pesta pernikahan tiga tahun yang lalu, kami hanya tinggal bersama selama dua bulan sebelum akhirnya ia pergi untuk menjalankan tugas di IMF. Ia pulang ke Korea tiap dua bulan selama seminggu. Betapa bangganya aku saat melepasnya pergi melalui lambaian tangan lewat kaca-kaca di bandara. Kami tak pernah membuat perjanjian untuk saling menghalangi karir masing-masing, malah saling dukung. Maka ia mengizinkanku untuk tetap membela klien. aku tak tahu sudah berapa banyak kasus yang kutangani, yang kutahu hanya aku tak pernah kalah. Ketika bintangku menanjak, para pewarta mulai mendekat dengan kamera dan microphone mereka, membungkusku dengan popularitas yang merepotkan. Sebenarnya simbiosis yang kami lakukan cukup bermanfaat, mereka punya sosok yang bisa dimasukkan di berita, sedangkan berita mereka seakan menjadi iklan untukku.
            Sayangnya apa yang aku peroleh tak berbanding lurus dengan suamiku. Dua tahun yang lalu ia harus rela meninggalkan pekerjaannya dan kembali ke Korea saat perusahaan minyak yang baru dirintis ayahnya dengan modal yang sangat besar –aku dengar mertuaku meng-investasika lebih dari setengah kekayaan keluarga- harus berada di ujung kebangkrutan. Tuan Choi membangun bisnis pengilangan minyak di Iran yang tak sanggup bersaing dengan perusahaan mapan lain. Perusahaan itu tak kuat melawan fluktuasi harga minyak dunia dan drama politik luar negeri Iran versus Amerika, plus sekutunya, makin memperburk keadaan. Untuk mentupi kerugian yang terjadi dan untuk menjauhkan kemungkinan bangkrut, ayahku melakukan merger dengan perusahaan mertuaku, dengan 80% saham dikuasai grup usaha milik ayah. Si Won harus merelakan mimpinya menjadi direktur bank dunia dan tergadai menjadi direktur perusahaan menggantikan tuan Choi saat mertuaku itu sakit. Ia harus rela bekerja dalam sebuah direksi di bawah komando ayahku, atau dengan istilah yang sering ia pakai, ia telah menjadi karyawan mertuanya sendiri.  
            Kondisi ini seperti pemantik api. Aku tak pernah akur dengannya lagi. Kami selalu bertengkar tentang ketimpangan yang terjadi, tentang ia yang tak lebih baik dariku sebagai seorang suami. Aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri sedangkan ia harus bergantung pada ayahku. Kami sempat sadar untuk berpikir jernih, lalu dengan campur tangan seorang psikolog, kami memulainya dari awal, menganggap tak pernah terjadi pertengkaran. Kami berusaha untuk menjadi pasangan suami istri yang harmonis dan menjalani kehidupan layaknya orang normal. Kebosanan mulai menganga. Itu yang terjadi sampai sekarang, hubungan kami tak pernah seperti dulu lagi. mungkin ini lebih baik dari pada harus lempar-lemparan alat dapur atau terjadi kekeraan lain dalam rumah tangga. Keadaan makin parah mulai delapan bulan yang lalu, saat kami sama sekali tak saling interaksi.
            Kim Sam Bum sudah janjian denganku, ia akan ikut ke Dae Suk hari ini. Ia harus sudah ada di hadapanku pukul 9 sesuai rencana, kalau tidak akan kutinggal dia dan aku akan berhenti jadi mentornya. Alamat rumah yang kuberikan sangat lengkap, ia tak akan mungkin kessar, karena perumahan ini sangat terkenal. Aku membolak-balik koran yang belum disentuh suamiku.
“Ada apa dengan Si Won bi? Ia terlihat lebih bahagia,” tanyaku pada Bibi Song. Bibi Song kaget ketika mendengar pertanyaanku. Selama delapan bulan ini aku tak pernah menyebut nama suamiku di bawah atap rumahku sendiri. Hanya sekadar tanya saja. Aku tak akan tahan jika ia benar-benar bahagia di saat hatiku masih dinaungi awan hitam. Aku tak akan senang bila ia selangkah lebih maju dariku.
“Tuan baru menemukan tempat untuk pembangunan perumahan. Katanya sangat strategis, ia akan ke sana pagi ini,” jawab Bibi Song. Aku membentuk huruf O dengan bibirku.
Aku tak mengira ia benar-benar serius dengan bisnis itu. Barangkali ia tak tahan terus dalam bayang-bayang ayahku. aku tahu tabiat Si Won, ia akan berusaha berdiri dengan kaki sendiri. ayah memberinya lampu hijau untuk membangun perusahaan, tapi jangan sangka ayah akan membiarkan Si Won berkembang begitu saja. Ayahku akan menganggapnya sebagai pesaing baru walau itu menantunya sendiri. Ayahku menasehatinya untuk fokus saja dengan perusahaan keluarga, toh ia akan dapat bagian juga nantinya. Tapi sekali lagi, kita sedang bicara tenang suamiku, ia tak akan menerima mentah-mentah sesuatu.
Bel rumah berbunyi, tepat jam 08.30. Pasti si mahasiswa magang. Bibi Song tergopoh-gopoh membukakan pintu. Dan benar, Kim Sam Bum datang. Bibi Song mengantarnya masuk. Aku menyusul ke ruang tamu dan berdiri di hadapan pemuda itu.
“Sudah sarapan?” tanyaku. Ia menggeleng.
“Kau tidak keberatan menemaniku?” aku bertanya sambil tersenyum.
            Maka kini kami duduk berhadap-hadapan di meja makan. Ia duduk di kursi yang biasa diduduki Si Won. Kim Sam Bum memilih untuk makan roti dan minum jus jeruk saja saat aku menawarkan makanan yang bisa dia pilih. Ia agak canggung saat memandangku. Aku sedang meneguk susuku sambil melihatnya mengolesi roti gandum dengan selai strawberry, lalu ia mengambil sepotong roti gandum lagidan mengolesinya dengan mentega, kemudian menggabungnya.
“Apakah rasanya tidak akan aneh?” tanyaku sambil mengernyitkan kening. Ia terkejut seakan apa yang dilakukannya salah.
“Aku suka rasanya. Barangkali anda mau mencoba?” katanya sambl mengarahkan roti padaku.
“Baiklah, potong sedikit saja,” kataku.
Kim Sam Bum membelahnya menjadi dua sama besar, kemudian potongan setengah itu dibaginya lagi menjadi dua. Singkatnya, aku mendapat seperempat roti saja. aku tersenyum saat ia melakukannya. Ia melakukan sesuai instruksiku. Kurasa ia tak akan merepotkan bila aku mendampinginya sebagai mentor. Aku menggigit roti gandum itu dan menemukan sensasi rasa yang lain, bukan lagi roti rasa mentega yang hampir tak bisa dikenali indra pengecapku.
“Hmmm, enak,” aku memasukkan sisa roti ke dalam mulut. ia tersenyum simpul. Aku langsung setuju saja saat ia menawarkan diri membuatkan roti yang sama untukku. Mungkin untuk hari-hari berikutnya, aku akan mengganti menu sarapanku, dari roti gandum-mentega menjadi roti gandum-mentega-selai.
            Aku menyuruh Kim Sam Bum yang menyetir mobilku sampai ke Dae Bak. Ia tak punya kendaraan lain selain sepeda, tapi ia ke rumahku menggunakan bis. Kim Sam Bum datang dari keluarga yang sederhana. Ayahnya pegawai negeri sedangkan ibunya membuka kantin di sekolah. Ia membuatku terkesan saat bercerita tentang cita-citanya. Ia sama idealisnya denganku dulu, tapi hidup tak seindah negeri dongeng saat kau sadar.
            Kami tiba di Dae, Bak daerah yang tidak sekumuh seperti di bayanganku. Aku tak yakin kami parkir di tempat parkir yang sebenarnya. Kami hanya menaruh mobil di bawah pohon rindang, Dae Bak adalah daerah di antara dua kota dan akan sangat menguntungkan bila membuka usaha di sini. Dae Bak adalah pemukiman seluas 1 hektare yang berisi rumah-rumah tua. Jika pengembang bisa membangun Dae Bak, daerah ini akan menjadi pintu gebang baru Seoul dari utara, karena lalu lintas yang akan sangat meningkat. Aku membaca sms dari Lee Hyung Il. Rumahnya hanya berjarak 100 meter dari tempat kami parkir.
            Kim Hyung Il langsung membeberkan dokumen yang dimilik penduduk di sini. Hanya dokumen-dokumen sejarah yang kertasnya lapuk. Aku pikir lawan pasti akan menggugat dokumen-dokumen itu. Mereka punya kekuatan lebih, uang dan kedekatan dengan walikota pastinya. Aku membayangkan kemungkinan apa saja yang akan dibeberkan lawan di persidangan. Kemudian aku menyusun senjata yang akan kupakai, undang-undang veteran barangkali atau undang-undang tata ruang. Aku menggigit bibir bawahku. Ini tak akan semudah itu. Aku tak akan membiarkan masyarakat Dae Bak kalah.
“Nyonya Choi, mungkin saja...” Kim Sam Bum mencoba bicara tapi aku menghentikannya dengan desisan: ssttt...
Aku membereskan lagi berkas-berkas itu dan memasukkan sebagian ke dalam map yang telah kusiapkan. Aku memasang muka optimis dan tersenyum kepada mereka yang berada di dalam rumah Lee Hyung Il.
“Tak usah khawatir, aku bisa mengurusnya,” kataku.
            Aku bersalaman dengan sepuluh orang sebelum meninggalkan rumah. Mereka membisikkan doa-doa agar aku berhasil. Lee Hyung Il kembali meremas tanganku kuat-kuat. Aku tahu kenapa ia begitu memperjuangkan tanah leluhurnya ini. ia memiliki seorang istri yang sedang sakit. Ia pasti akan bingung setengah mati bila mereka harus tergusur. Selain itu ia punya seorang anak gadis yang berumur 19 tahun. Bukan gadis biasa karena ia tuli dan sedang hamil besar. Suami si gadis adalah seorang pelaut yang berlayar sampai ke Afrika, baru kembali setiap enam bulan. Suaminya menitipkannya pada ayahnya sendiri. Aku jadi iri dengannya. Aku memiliki segalanya tapi ia terlihat 1000 kali lebih bahagia dariku. Dan bagaimana ia sangat menantikan suaminya benar-benar membuatku nelangsa.
“Tuan Lee, apa anda tahu nama pengembang yang menjadi lawan kita?” aku tiba-tiba teringat ayahku. mungkin ayah bisa membantu dengan melobi pengusaha itu. kita tak perlu jalur hukum.
“Oh, Tae Guk Construction,” kata Tuan Lee. Sebentar, sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Nama perusahaan yang tak asing, mungkin pernah disebut oleh ayahku.
“Anda tak perlu khawatir,” kataku sambil tersenyum.
            Aku dan Kim Sam Bum berjalan kaki menuju mobil kami sambil mengamati lingkungan Dae Bak. Daerah ini akan sangat indah jika mereka tahu bagaimana mengurusnya. Kami sekitar 10 meter lagi dari tempat parkir mobil saat melihat dari jauh segerombolan orang yang memakai jas rapi beserta 20-an orang yang berkostum pekerja. Pria berkaca mata hitam berjalan paling depan didampingi seseorang yang bercerita seru padanya. Topi pekerja yang ia pakai sangat tak sesuai dengan setelan yang digunakannya. Aku memicingkan mata untuk mengenali pria yang sepertinya familiar. Jarak kami makin dekat sampai pria berkaca mata hitam itu mengalihkan matanya padaku. Kami saling tatap, lalu ia menghentikan langkahnya. Ia tak menggubris pria yang terus bercerita. Aku juga berhenti ketika sadar siapa dia. Aku tak kalah kagetnya. Si pria berkacama mata hitam melepas kacamatanya dan berteriak padaku.
“YOON AH!!! APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI????!!!!”

Aku tahu, dari nadanya, orang itu akan siap meledak. Si Won berjalan gusar ke arahku, meninggalkan begitu saja rombongannya. Aku baru ingat sekarang, kenapa nama Tae Guk Construction seperti pernah kudengar. Tak lain dan tak bukan adalah perusahaan property milik suamiku, perusahaan milik Si Won. Sekarang aku menghunus pedang untuk melawan suamiku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar