Teman-teman kantorku bersorak saat aku memasuki ruang
di firma hukum. Mereka sudah memakai topi kerucut khas ulang tahun dan
menyemprotkan kemeriahan dalam sebuah botol spray
ke arahku. Aku menyibak
jaring-jaring yang menutupi wajahku. Kemudian ikut tertawa bersama mereka.
Pimpinan firma menyuruh kami untuk merayakan kemenanganku hari ini. Kami duduk
melingkar dengan botol cola yang bergerak mengikuti jarum jam, agar siapa saja
yang ingin mengisi gelas kosong mereka bisa menuangkan cola itu ke dalamnya.
Kotak makan milik temanku hampir kosong sekarang, susi di dalamnya sudah
berpindah ke mulut-mulut kami.
“Untuk Im Yoon Ah!!” kata bosku sambil mengacungkan
gelasnya setelah itu meminumnya, gerakan yang sama dilakukan teman-temanku yang
lain. Aku bangga dengan kerjaku, tapi tidak dengan bagian lain diriku. Aku
setangah bahagia, setenga berduka.
“Kim Sam Bum, kau benar-benar harus bersyukur karena
mendapat mentor seorang Yoon Ah, hahaha,” kata seseorang di sampingku. Mata
kami langsung mencari mahasiswa magang
itu. ia sedang duduk di pojok ruangan sendirian, memegangi tumpukan kertas yang
kupunya, lalu tersipu. Aku menghela napas.
Aku
sedang asyik berbicang dengan pimpinan firma ketika sambungan telepon dari
resepsionis berbunyi, aku menjawabnya dan ia mengatakan seseorang sedang
menunggu di lobi, mencariku.
“Ini sudah hampir jam lima, aku sudah tak menerima
konsultasi lagi,” jawabku.
“Sudah saya bilang padanya, tapi ia tetap tak mau pergi
sebelum bertemu anda. Ia bilang masalah penting,”
Aku mengangkat sebelah
alisku. Mengganggu saja. Aku segera turun ke lantai satu lalu menemui seorang
pria berumur sekitar empat puluh tahun yang menatapku dengan perasaan
harap-harap cemas. Matanya agak merah dengan bibir yang menghitam, barangkali
ia merokok. Pria yang membiarkan jambangnya tumbuh di wajah itu sedang meremas
tangan. Jas cokelatnya agak lusuh dan sedikit kebesaran untuk menutupi tubuh
kecilnya.
“Saya Im Yoon Ah. Saya harap ini benar-benar masalah
penting,” kataku sambil tersenyum ramah. Aku merasakan tangan itu sangat kasar
tapi sangat kuat saat kami berjabat tangan. Bahkan kukira ia ingin meremukkan
tanganku.
“Saya Lee Hyung Il. Maaf mengganggu, saya tidak tahu
prosedur yang benar untuk bertemu orang sibuk seperti anda, saya sudah
terlanjur ke sini, dan harus pikir-pikir lagi untuk kembali jika kau menolak
menemuiku,” kata suara serak itu.
“Apa yang bisa saya bantu?” tanyaku.
“Saya mewakili penduduk Dae Bak,” aku memikirkan daerah
kumuh yang diliputi kemiskinan, penyakit dan kebodohan saat ia menyebut nama
daerah pinggiran di utara Seoul itu.
“Kau mungkin
akan tertawa saat mendengar orang miskin seperti kami ingin menyewamu, tapi
kami tak tahu untuk melakukan apalagi. Kau tahu daerah itu diberikan begitu
saja oleh negara untuk menghormati leluhur kami yang bersedia menjadi relawan
saat melawan Jepang. Seorang pengusaha dari kota berencana untuk mengakuisisi
daerah itu dan akan dikembangkan menjadi perumahan elit. Kami hanya bisa diam
saat mereka membawa alat-alat berat ke sana. Mereka terlalu kuat dengan uang
yang mereka punya. Tapi kemudan kami membaca profilmu di koran. Pengacara yang
bisa memutar fakta dan membuat kliennya selalu menang,” ia seperti mengejekku
dengan kalimat terakhirnya. Rasa sentimen antar kelas kembali menganga.
Kemelaratan dan kemakmuran yang bisa dibedakan cukup dengan rasa udara yang
kauhirup. Aku meringis ketika memikirkan ketidakadilan yang selalu kulambungkan
di ruang sidang.
“Jika membantu anda bisa membuat saya menjadi agak
manusiawi sebagai pengacara, kita bisa tanda tangani kontraknya besok,” kataku
sambil menyerahkan kartu nama, “Tak usah repot-repot menyiapkan uangnya, saya
akan segera meninjau Dae Bak,” kami berjabatan lagi. Mata merah karena rokok
itu kini berbinar. Ia tersenyum sambil memamerkan giginya yang cokelat dan
hitam.
Dua
buah mobil dengan plat nomor yang kukenal terparkir di depan halaman rumahku
saat aku tiba. Si Won telah lama tak mengajak temannya berkunjung, bukan karena
teman-temannya yang tak tahan denganku, tapi karena dia sendiri yang berusaha
menghindari rumah. Aku mendengar suara diskusi yang riuh dari ruang tengah saat
masuk ke ruangan bercat hijau muda itu. Empat orang pria yang sedang mengitari
meja yang di atasnya terdapat kertas-kertas penting, aku mengenal tiga orang
dari mereka, suamiku, Yo Yeon Seong, dan aku lupa yang satu lagi. Ada papan
tulis berisi grafik-grafik yang tak kemengerti. Mereka mendongak saat
mendengarku datang.
“Hei Yoon Ah, kerja yang bagus, kukira Park Si Hoo akan
benar-benar masuk penjara, hahaha,” kata Yeon Seong. Aku tersenyum.
“Bibi Song tidak menyuguhkan kalian sesuatu?” tanyaku
heran ketika tak melihat makanan atau minuman apapun untuk tamu.
“Bibi Song sudah tidur. Si Won bilang tunggu kau saja
untuk menyiapkan snack-nya,” kata pria yang namanya aku lupa itu. Muka suamiku
memerah. Ia menyenggol lutut Yong Seong agar pria itu memperhatikannya lagi.
Mereka
tak tahu apa-apa tentang kami. Hanya keluarga yang tahu, termasuk Bibi Song, ia
sudah kuanggap ibu sendiri. jika kami harus hadir di acara teman, kami hanya
terlihat bersama saat datang dan pulang. Aku membuatkan tiga gelas kopi susu
dan memotong cake yang disimpn Bibi Song dalam kulkas. Mereka harus merapikan
berkas yang berceceran itu saat aku ingin meletakkan baki berisi makanan.
“Hanya tiga gelas?” tanya Yeon Seong.
“Aku bisa membuatnya sendiri,” sambar suamiku ketika
aku mau menjawab. Aku mengangguk pelan. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.
***
Empat Tahun Yang Lalu...
Para
penjaga langsung merangsek ke depan untuk mengamankan terpidana yang telah
divonis sepuluh tahun penjara. aku tak berhenti membuat hentakan kecil dengan
kakiku. Aku takut setengah mati dengan orang-orang yang menjadi agak barbar
sejak palu diketuk. Ini persidangan kedua sejak magang di firma hukum yang
hampir bangkrut dan suasana begitu tidak mengenakkan. Anak berusia tujuh tahun
menangis tersedu-sedu memanggil-manggil nama ayahnya yang telah dibawa petugas, sedangkan
ibunya berusaha menenangkan balita yang tengah digendongnya. Si ibu mengusap
air matanya saat melihat si suami menghilang dari ruangan. Ia bakal Dibui.
Dikerangkeng.
Pengacara
yang aku dampingi terlihat lesu saat mendatangiku. Dia kalah. Klien-nya tak
bisa diselamatkan. Ia mengusap-ngusap jidat, lelah berpikir.
“Anda bisa saja membebaskannya, bukti-bukti lawan tak
begitu kuat,” kataku.
Ia mengambil tasnya dan melilit tangan dengan jas, “Mereka
tak membayarku dengan cukup,” lalu ia pergi begitu saja meningglakan pengacara
muda yang miskin pengalaman ini berpikir: aku tak akan pernah kalah, tak akan.
Hari
sabtu atau sabat atau Saturday atau..., hari di mana tak boleh ada pekerjaan
sama sekali menurut kepercayaanku, dan aku hanya berbaring di kamar dengan
majalah yang terbuka, berusaha menghilangkan rasa kecewa persidangan kemarin. Aku
sedang mengisi kotak-kotak kosong yang tersusun horizontal dan vertikal,
berusaha mencari sinonim kata yang menjadi soalnya. Aku mengigiti ujung pensil
setiap mengerjakan TTS, perilaku yang akan selalu menjadi bahan komentar kedua
kakakku yang lain. Sangat jorok, begitu kata mereka.
Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara,
kedua kakakku perempuan semua, kondisi yang sebenarnya tak diinginkan ayahku.
ia ingin seorang putra untuk bisa
meneruskan dinasti bisnis property nya, tapi sayang, yang ada hanya tiga orang
putri yang tak tertarik sama sekali dengan lego rumah mewah atau semacamnya.
Kakakku yang pertama adalah dosen matematika
di Universitas Seoul, ia telah menikah dengan prajurit angkatan darat dan
sekarang tengah mengandung untuk kedua kalinya. Anak petamanya adalah gadis
kecil yang amat lucu, yang dengan begitu saja membuyarkan urutan pewaris mahkota
dari lamunan ayah. Ayah sangat kecewa dengan status militer yang disandang
suaminya, karena itu berarti kakak iparku itu tak bisa masuk ke dunia bisnis
untuk membantu.
Kakakku yang kedua adalah
seorang fotografer National Geography. Belum pernah ada kabar apapun tentang
dunia percintaan gadis tomboy ini dan ayah khawatir tentang jodohnya. Bahkan
ayah pernah memaksanya untuk ikut acara perjodohan, tapi ia menolak dan memilih
kabur dari rumah. Lalu ayah tak pernah memaksanya menikah lagi, sebuah hasil
perundingan alot di tengah malam yang hujan. ia tak sanggup bertengkar dengan
putrinya lebih dari tiga hari, maka ia memilih berdamai.
Yang terakhir adalah aku,
yang bisa dibilang telah membawa sedikit angin segar saat ayah mengetahui aku
menjalin kasih dengan Choi Si Won, anak teman lamanya yang menjabat sebagai
anggota parlemen Korea. Ayah Si Won telah banyak membantu ayahku, meloloskan
banyak proyek yang bernilai mahal. Apalagi saat ia tahu Si Won melanjutkan
studi di sekolah bisnis Yale, ayahku seakan telah terbang di udara. Ia telah
mendapatkan calon putera mahkota.
Sebaris kotak menurun telah
kuiisi dengan kata Copenhagen ketika kakakku yang kedua masuk tanpa permisi.
“Ya Yoon Ah, appa mencarimu,” kata suara dari pintu.
“Untuk apa?” tanyaku malas.
“Menemani dia bertemu temannya,”
“Kenapa tidak kau saja sih? Kalau teman appa punya anak
cowok kan kau bisa kenalan,” aku berguling-guling di kasur. Ia kelihatan kesal
saat mendekat padaku, berkacak pinggang.
“Dia mau ketemu ayah pacarmu. Si Won baru pulang dari
Amerika dan ayah berniat berkunjung,” aku mendongak menatapnya tak percaya.
“Dia pulang?” yang ditanya mengangguk.
Aku
membongkar lemari mencari baju yang cocok dipakai di sabtu cerah yang menurut
ramalan cuaca akan hujan, saat matahari tidak terlalu menyengat. Warna merah
kelihtannya bagus, oh ini terlalu menyala. Bagaimana dengan oranye? Hmmm,
baiklah. Aku menuruni tangga dan langsung menggandeng tangan ayahku.
“Ayo pergi!” kataku.
Sofa
berlapis kulit domba ini begitu lembut dan empuk saat aku mendudukinya. Ayahku
dan aku sedang berada di ruang tamu keluarga Choi. Mataku mengelilingi seisi
ruangan yang penuh benda-benda eksotik, yang paling dekat denganku adalah
topeng besar asli Amerika Latin yang biasa dipakai dalam upacara pengusiran roh.
Ada dua senapan yang saling menyilang membentuk tanda X tergantung di dinding.
Tapi dari berbagai benda itu yang paling kusuka adalah harimau putih utuh yang
telah diawetkan. Posisinya siaga siap menerkam dengan padangan mata yang buas.
Namun sebuas-buasnya harimau, tetap lebih buas ayah Si Won ketika ia bercerita
pengalamannya di Afrika. Menangkap dua singa dan satu kuda nil dalam sehari
berburu. Aku tak sampai hati membayangkan moncong senapan menyemburkan peluru
tajam menusuk jantung buruan Tuan Choi.
Nyonya
Choi juga tak kalah istimewanya, ia mengajakku ke dapur begitu pembicaraan
suaminya dan ayahku mulai memasuki topik pria yang sangat membosankan.
“Nona Im, tak keberatan membantuku menyiapkan makan
malam kan?” tanyanya.
“Tentu saja,” aku langsung mengikutinya ke dapur.
Sebenarnya
aku agak ragu menerim ajakan nyonya Choi, karena aku tak bisa memasak. Lebih
baik aku tetap duduk di ruang tamu mendengarkan obrolan kedua pria itu dari
pada harus berdiri dengan pisau yang terhunus, siap untuk memotong wortel. Tapi
sebaik-baiknya pilihan adalah Si Won segera datang dan membawaku pergi entah ke
mana, karena sesungguhnya aku ke sini hanya untuk menemuinya.
Sudah
sepuluh menit aku berhadapan dengan sebuah wortel tapi belum berhasil kupotong
semua. Aku memegang wortel itu seperti aku memegang seekor ikan hidup yang
memberontak. Aku mengarahkan mata pisau ke bagian incaranku, lalu menyalurkan
seluruh tenaga yang kupunya. Hasilnya adalah beberapa lembar wortel bulat yang
berbeda ketebalan. Aku mengusap keringat dengan punggung tanganku.
“Bibi, pisaunya tumpul ya?” nadaku mencerminkan
perasaan marah saat mengatakannya. Kesal dengan wortel itu.
Nyonya Choi tersenyum, “Lihat aku,” ia mengambil pisau
yang kupegang, lalu dengan sekali sentakan halus, ia telah memotong wortel
dengan ketebalan yang pas. Ia melakukan itu beberapa kali sampai satu wortelnya
terpotong semua. Tak sampai sepuuh menit.
“Wooooo.....” aku terpana.
“Hanya butuh sedikit teknik nona Im. Kau akan
terbiasa,” katanya sambil tersenyum. Selanjutnya aku hanya tertawa setiap kali
ia bercerita. Tentang kebunnya, bisnis suaminya, kegemaran suaminya berburu,
masa mudanya, sampai menceritakan Si Won. ia sangat lucu.
“Yoon Ah, kau memasak?” panggil suara yang kukenal. Aku
melihat ke arah simber suara dan mendapati Si Won tersenyum lebar ke arahku.
Aku ingin berlari dan memeluknya, tapi keberadaan nyonya Choi hanya bisa
membuatku membalas senyumnya.
“Oh, pergilah kalian,” kata nyonya Choi sambil
mendorongku yang sedari tadi hanya diam tak bergerak. Ibu Si Won tertawa saat
melihat putranya mendekat padaku lalu mengamit tanganku. Mukanya memerah saat
membalas candaan ibunya sebelum membawaku pergi.
Kami
hanya diam sepanjang perjalanan menuju kebun mawar di belakang rumahnya. Tangan
Si Won basah karena keringat saat memegangku, tapi aku tak mengendurkan
sedikitpun gengggamannya, malah makin mempererat.
Semburat
kedewasaan terlihat saat aku mencuri pandang ke arahnya. Matanya bukan lagi
mata milik pemuda yang senang keluyuran saat jam pelajaran kosong, ada pantulan
rasa tanggung jawab di sana. Rahangnya terlihat kokoh. Aku menahan tawa saat
melihat kumis tipis di atas bibirnya.
“Ada apa?” tanyanya. Aku menggeleng.
Pria ini jauh berbeda dari
anak laki-laki yang duduk di depanku delapan tahun yang lalu. Ia sudah
menyadari hidup yang harus dipikulnya sendiri, membuatnya mati-matian belajar
untuk masuk ke Yale. Aku senang saat mendengar suaranya sekarang, karena suara
nya bukan lagi suara lempeng laki-laki yang labil, tapi kini suara itu
terdengar mapan. Ia baru saja lulus beberapa bulan yang lalu dan sekarang ia
bekerja sebagai staf konsultan IMF untuk wilayah asia pasifik. Aku tak punya
alasan untuk menolak pinangannya kelak, karena hanya dengan melihatnya saja, ia
telah menjanjikan banyak hal, di antaranya adalah kemandirian dan keamanan.
Bisa dibilang kami tak
benar-benar mengamati mawar yang ada di sini, dengan langkah yang terlalu cepat
saat berpindah dari petak satu ke petak lainnya. Aku bahkan tak tahu kenapa
kami harus menikmati mawar, karena sebenarnya kami hanya ingin menghabiskan
waktu saja, bingung apa yang harus dilakukan. Kami tak saling bicara, hanya
sesekali terdengar bunyi ‘Wah indah’ atau ‘Dasar udik, belum pernah lihat ya?’
Aku pikir lebih baik duduk saja di bangku taman, melihat air mancur di kolam
yang tak ada ikannya, dan siapa kira, Si Won memang mengarahkanku ke sana. Tak
perlu banyak kata untuk memberitahunya. Kami memang sering begitu, saling
tersambung.
“Mana oleh-olehku?” aku bertanya pada orang yang duduk
di sampingku. Kami duduk di bangku taman panjang yang sesekali terkena cipratan
air mancur.
“Oleh-oleh? Aku tak bisa memberikan oleh-oleh pada
pengacara yang kemarin kalah sidang,” jawabnya sambil memonyongkan bibir, sok
cemberut. Aku memandang sinis pria yang kukira sudah matur ini.
“Dasar kau, sudah kubilang tak usah mengungkit persidangan itu, toh
bukan aku yang menanganinya,” kataku sambil memukul lengannya, ia mengaduh
sambil tertawa. Aku menghentikan hantamanku dan memalingkan wajah dari Si Won,
lebih memilih melihat kolam dari pada mukanya.
“Hahaha, meanhe,”
katanya. Aku tak menggubris. Kami diam lagi.
Suara air mancur menjadi
latar pertemuan kami beserta denting percik-percik air yang kini membasahi
kakiku. Aku memperhatikan kodok di atas lembaran teratai yang ikut memandang
kami bersama kumbang-kumbang di sekitar kebun mawar. Bahkan semut pun tak mau
kalah, sepertinya mereka memelototiku. Lebih dari satu mata selain matahari
yang mengawasi kami sekarang. Aku merasa gugup, kukira Si Won juga begitu. Aku
mendengar Si Won menghela napas panjang, tangannya meremas kain celana yang menutupi
pahanya, kemudian melepasnya lagi. kakinya tak berhenti bergoyang dari tadi. Ia
seperti menahan sesuatu. Kemudian ia mengambil sebuah kotak kecil dari balik
jasnya lalu melemparnya padaku.
“Untukmu,”
Aku menaikkan sebelah alis, “kotak cincin?”
“Tidak tahu, buka saja sendiri,” katanya cuek. Dan
benar saja, aku mendapatkan cincin emas putih dengan batu safir biru sebagai
matanya. Aku tak bisa menyembunyikan rasa kagum saat melihat ukiran indah yang
mengitarinya.
“Untukku?” tanyaku. Si Won menjawabnya dengan anggukan.
Aku menundukkan kepala. Aku
tahu muka kami sama-sama merah, lalu kini yang ada hanya kebisingan air mancur
lagi. Dadaku sesak menahan kebahagiaan yang memenuhi isi paru-paru. Aku kaget
saat Si Won menyentuh daguku dan mengangkatnya pelan sehingga kami saling
tatap.
“Yoona-ssi.... aku sedang melamarmu,” katanya pelan.
“Aku tahu...” kataku lirih. Ada rasa ragu di matanya
saat ia menatapku dalam-dalam.
Tangannya kini telah berada
di pipiku, lalu ia memasukkan rambutku yang bebas ke sela-sela kuping. Aku bisa
mendengar detak jantungnya mengalahkan suara air mancur, menyisakan sedikit
keberanian dalam hatiku yang kini berubah menjadi sebuah kenekatan. Hewan-hewan
menahan napas saat melihat kami melalui pancuran air. Kukira matahari juga
malu-malu menyaksikkannya, karena langit menjadi agak gelap. Butir-butir air
dari atas mulai jatuh saat aku mendekatkan wajahku pada wajah Si Won. Bibir
kami saling bertemu.
Butuh beberapa menit untuk
memastikan rintik-rintik air yang ada adalah hujan, bukan gerimis, dan butuh
waktu selama itu pula sampai akhirnya bibir kami berpisah.
“Aku bersedia,” kataku mantap di bawah guyuran hujan.
***
Seperti
biasa, aku telah duduk di ruang makan, siap untuk menyantap sarapan. Aku
menyeruput susu putih yang telah disiapkan bibi Song, lalu kembali mengolesi
roti gandumku. Kebiasaan yang sudah kulakukan selama empat tahun sejak awal
pernikahanku, dan aku bosan. Rasa roti berlapis mentega ini tetap sama seharusnya, sama seperti saat aku
masih senang-senangnya menyiapkan sarapan untuk suamiku. Tapi yang kurasakan
sekarang hanyalah rasa tawar dari roti mentegaku. Barangkali lidahku kelewat
ektrim untuk beradaptasi dengan kegurihan makanan ini, sampai-sampai aku tak
merasakan apa-apa lagi. Mungkin harus diberi olesan lain selain mentega, selai
misalnya.
Bibi
Song mulai menamani kami sejak setahun yang lalu, sejak aku sadar dengan hidup
kami yang terlampau datar dan monoton. Aku ingin ada yang baru di rumah,
setidaknya seseorang yang baru. Bibi Song sudah lama bekerja dengan pada
keluarga kami. Ia adalah pelayan favorit nenek. Kukira kehadirannya akan
menambah keramaian, tapi sama saja.
Lalu aku putuskan untuk
mengganti perabotan rumah setiap rasa bosan mulai muncul, yang berarti aku
menggantinya setiap seminggu sekali. Si Won sempat marah besar dengan
kebiasaanku dan menganggap aku hanya membuang uang dengan percuma. Aku merajuk
setelah pertengkaran itu. Bukan berarti karena ia seorang ahli ekonomi, ia
dapat mengaturku menghabiskan uang yang kuperoleh sendiri.
Aku menengok jam dinding. Tiga
buah jarum jam terus saling kejar. Jarum ramping dikuntit jarum yang pendek
saat yang pendek dibayangi jarum yang panjang. aku berharap mereka akan
bergerak mundur, tapi mustahil, mereka tetap maju sampai kukira mereka akan
melompat keluar dari kaca, lalu berlarian di lantai. Waktu menggores dirinya
sendiri bersamaan dengan umurku yang tergerus melalui 8 agustus yang berulang
tiap tahunnya. Waktu dengan tega menunjukkan perasaanku padanya yang mulai tak sama.
Waktu bahkan memperumit segalanya, dengan menunjukkan bukti-bukti kalau kami
tak lagi cocok. Waktu yang berlalu dengan kebosanan yang menggantung. Aku mengasihani
diri, aku mau masa yang lalu kembali, yaitu saat perasaan cinta masih mengapung
di dada. Jika begini akhirnya, sangat buruk untuk kami berdua, aku ingin, pada
waktu yang dulu, jarum-jarum itu diam saja, tak bergerak, membiarkanku
selama-lamanya menyukainya, walau itu berarti harus memotong jatah hidupku,
merelakanku mati, sehingga kami tak perlu repot-repot saling dendam begini.
Aku mendengus panjang.
Penyesalan tak cocok untuk saat ini. Wanita bermartaba sepertiku terlampau
sibuk harusnya untuk memikirkan kegalauan. Aku melirik Si Won yang baru turun
dari tangga. Ia berjalan ke arah meja tapi tidak segera duduk. Mukanya lebih
cerah dari hari-hari biasa.
“Aku sarapan dengan yeon Seong dan yang lain, aku pergi
dulu,” katanya pada Bibi Song sebelum pergi.
Belakangan
ini Si Won begitu sibuk dengan teman-temannya. Aku tak tahu apa yang mereka
lakukan dengan perusahaan property yang baru mereka bentuk satu tahun yang
lalu. Oh, aku bingung kenapa semua harus bermula dari dua tahun yang lalu. Apa
yang dia lakukan tidak makin memperbaiki segalanya, tapi malah membuatnya makin
buruk.
Setelah
pesta pernikahan tiga tahun yang lalu, kami hanya tinggal bersama selama dua
bulan sebelum akhirnya ia pergi untuk menjalankan tugas di IMF. Ia pulang ke
Korea tiap dua bulan selama seminggu. Betapa bangganya aku saat melepasnya
pergi melalui lambaian tangan lewat kaca-kaca di bandara. Kami tak pernah
membuat perjanjian untuk saling menghalangi karir masing-masing, malah saling
dukung. Maka ia mengizinkanku untuk tetap membela klien. aku tak tahu sudah
berapa banyak kasus yang kutangani, yang kutahu hanya aku tak pernah kalah.
Ketika bintangku menanjak, para pewarta mulai mendekat dengan kamera dan
microphone mereka, membungkusku dengan popularitas yang merepotkan. Sebenarnya
simbiosis yang kami lakukan cukup bermanfaat, mereka punya sosok yang bisa
dimasukkan di berita, sedangkan berita mereka seakan menjadi iklan untukku.
Sayangnya
apa yang aku peroleh tak berbanding lurus dengan suamiku. Dua tahun yang lalu ia
harus rela meninggalkan pekerjaannya dan kembali ke Korea saat perusahaan minyak
yang baru dirintis ayahnya dengan modal yang sangat besar –aku dengar mertuaku
meng-investasika lebih dari setengah kekayaan keluarga- harus berada di ujung
kebangkrutan. Tuan Choi membangun bisnis pengilangan minyak di Iran yang tak
sanggup bersaing dengan perusahaan mapan lain. Perusahaan itu tak kuat melawan
fluktuasi harga minyak dunia dan drama politik luar negeri Iran versus Amerika, plus sekutunya, makin
memperburk keadaan. Untuk mentupi kerugian yang terjadi dan untuk menjauhkan
kemungkinan bangkrut, ayahku melakukan
merger dengan perusahaan mertuaku, dengan 80% saham dikuasai grup usaha
milik ayah. Si Won harus merelakan mimpinya menjadi direktur bank dunia dan tergadai
menjadi direktur perusahaan menggantikan tuan Choi saat mertuaku itu sakit. Ia
harus rela bekerja dalam sebuah direksi di bawah komando ayahku, atau dengan
istilah yang sering ia pakai, ia telah menjadi karyawan mertuanya sendiri.
Kondisi
ini seperti pemantik api. Aku tak pernah akur dengannya lagi. Kami selalu
bertengkar tentang ketimpangan yang terjadi, tentang ia yang tak lebih baik
dariku sebagai seorang suami. Aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri sedangkan
ia harus bergantung pada ayahku. Kami sempat sadar untuk berpikir jernih, lalu
dengan campur tangan seorang psikolog, kami memulainya dari awal, menganggap
tak pernah terjadi pertengkaran. Kami berusaha untuk menjadi pasangan suami
istri yang harmonis dan menjalani kehidupan layaknya orang normal. Kebosanan
mulai menganga. Itu yang terjadi sampai sekarang, hubungan kami tak pernah
seperti dulu lagi. mungkin ini lebih baik dari pada harus lempar-lemparan alat dapur
atau terjadi kekeraan lain dalam rumah tangga. Keadaan makin parah mulai
delapan bulan yang lalu, saat kami sama sekali tak saling interaksi.
Kim
Sam Bum sudah janjian denganku, ia akan ikut ke Dae Suk hari ini. Ia harus
sudah ada di hadapanku pukul 9 sesuai rencana, kalau tidak akan kutinggal dia
dan aku akan berhenti jadi mentornya. Alamat rumah yang kuberikan sangat
lengkap, ia tak akan mungkin kessar, karena perumahan ini sangat terkenal. Aku membolak-balik
koran yang belum disentuh suamiku.
“Ada apa dengan Si Won bi? Ia terlihat lebih bahagia,”
tanyaku pada Bibi Song. Bibi Song kaget ketika mendengar pertanyaanku. Selama
delapan bulan ini aku tak pernah menyebut nama suamiku di bawah atap rumahku
sendiri. Hanya sekadar tanya saja. Aku tak akan tahan jika ia benar-benar
bahagia di saat hatiku masih dinaungi awan hitam. Aku tak akan senang bila ia
selangkah lebih maju dariku.
“Tuan baru menemukan tempat untuk pembangunan
perumahan. Katanya sangat strategis, ia akan ke sana pagi ini,” jawab Bibi
Song. Aku membentuk huruf O dengan bibirku.
Aku tak mengira ia benar-benar
serius dengan bisnis itu. Barangkali ia tak tahan terus dalam bayang-bayang
ayahku. aku tahu tabiat Si Won, ia akan berusaha berdiri dengan kaki sendiri.
ayah memberinya lampu hijau untuk membangun perusahaan, tapi jangan sangka ayah
akan membiarkan Si Won berkembang begitu saja. Ayahku akan menganggapnya
sebagai pesaing baru walau itu menantunya sendiri. Ayahku menasehatinya untuk
fokus saja dengan perusahaan keluarga, toh ia akan dapat bagian juga nantinya. Tapi
sekali lagi, kita sedang bicara tenang suamiku, ia tak akan menerima
mentah-mentah sesuatu.
Bel rumah berbunyi, tepat
jam 08.30. Pasti si mahasiswa magang. Bibi Song tergopoh-gopoh membukakan
pintu. Dan benar, Kim Sam Bum datang. Bibi Song mengantarnya masuk. Aku menyusul
ke ruang tamu dan berdiri di hadapan pemuda itu.
“Sudah sarapan?” tanyaku. Ia menggeleng.
“Kau tidak keberatan menemaniku?” aku bertanya sambil
tersenyum.
Maka kini
kami duduk berhadap-hadapan di meja makan. Ia duduk di kursi yang biasa
diduduki Si Won. Kim Sam Bum memilih untuk makan roti dan minum jus jeruk saja
saat aku menawarkan makanan yang bisa dia pilih. Ia agak canggung saat
memandangku. Aku sedang meneguk susuku sambil melihatnya mengolesi roti gandum
dengan selai strawberry, lalu ia mengambil sepotong roti gandum lagidan
mengolesinya dengan mentega, kemudian menggabungnya.
“Apakah rasanya tidak akan aneh?” tanyaku sambil
mengernyitkan kening. Ia terkejut seakan apa yang dilakukannya salah.
“Aku suka rasanya. Barangkali anda mau mencoba?”
katanya sambl mengarahkan roti padaku.
“Baiklah, potong sedikit saja,” kataku.
Kim Sam Bum membelahnya
menjadi dua sama besar, kemudian potongan setengah itu dibaginya lagi menjadi
dua. Singkatnya, aku mendapat seperempat roti saja. aku tersenyum saat ia
melakukannya. Ia melakukan sesuai instruksiku. Kurasa ia tak akan merepotkan
bila aku mendampinginya sebagai mentor. Aku menggigit roti gandum itu dan menemukan
sensasi rasa yang lain, bukan lagi roti rasa mentega yang hampir tak bisa
dikenali indra pengecapku.
“Hmmm, enak,” aku memasukkan sisa roti ke dalam mulut.
ia tersenyum simpul. Aku langsung setuju saja saat ia menawarkan diri
membuatkan roti yang sama untukku. Mungkin untuk hari-hari berikutnya, aku akan
mengganti menu sarapanku, dari roti gandum-mentega menjadi roti
gandum-mentega-selai.
Aku
menyuruh Kim Sam Bum yang menyetir mobilku sampai ke Dae Bak. Ia tak punya
kendaraan lain selain sepeda, tapi ia ke rumahku menggunakan bis. Kim Sam Bum
datang dari keluarga yang sederhana. Ayahnya pegawai negeri sedangkan ibunya
membuka kantin di sekolah. Ia membuatku terkesan saat bercerita tentang
cita-citanya. Ia sama idealisnya denganku dulu, tapi hidup tak seindah negeri
dongeng saat kau sadar.
Kami tiba
di Dae, Bak daerah yang tidak sekumuh seperti di bayanganku. Aku tak yakin kami
parkir di tempat parkir yang sebenarnya. Kami hanya menaruh mobil di bawah
pohon rindang, Dae Bak adalah daerah di antara dua kota dan akan sangat
menguntungkan bila membuka usaha di sini. Dae Bak adalah pemukiman seluas 1
hektare yang berisi rumah-rumah tua. Jika pengembang bisa membangun Dae Bak, daerah
ini akan menjadi pintu gebang baru Seoul dari utara, karena lalu lintas yang
akan sangat meningkat. Aku membaca sms dari Lee Hyung Il. Rumahnya hanya
berjarak 100 meter dari tempat kami parkir.
Kim
Hyung Il langsung membeberkan dokumen yang dimilik penduduk di sini. Hanya dokumen-dokumen
sejarah yang kertasnya lapuk. Aku pikir lawan pasti akan menggugat
dokumen-dokumen itu. Mereka punya kekuatan lebih, uang dan kedekatan dengan
walikota pastinya. Aku membayangkan kemungkinan apa saja yang akan dibeberkan
lawan di persidangan. Kemudian aku menyusun senjata yang akan kupakai,
undang-undang veteran barangkali atau undang-undang tata ruang. Aku menggigit
bibir bawahku. Ini tak akan semudah itu. Aku tak akan membiarkan masyarakat Dae
Bak kalah.
“Nyonya Choi, mungkin saja...” Kim Sam Bum mencoba
bicara tapi aku menghentikannya dengan desisan: ssttt...
Aku membereskan lagi
berkas-berkas itu dan memasukkan sebagian ke dalam map yang telah kusiapkan. Aku
memasang muka optimis dan tersenyum kepada mereka yang berada di dalam rumah
Lee Hyung Il.
“Tak usah khawatir, aku bisa mengurusnya,” kataku.
Aku bersalaman
dengan sepuluh orang sebelum meninggalkan rumah. Mereka membisikkan doa-doa
agar aku berhasil. Lee Hyung Il kembali meremas tanganku kuat-kuat. Aku tahu
kenapa ia begitu memperjuangkan tanah leluhurnya ini. ia memiliki seorang istri
yang sedang sakit. Ia pasti akan bingung setengah mati bila mereka harus
tergusur. Selain itu ia punya seorang anak gadis yang berumur 19 tahun. Bukan gadis
biasa karena ia tuli dan sedang hamil besar. Suami si gadis adalah seorang
pelaut yang berlayar sampai ke Afrika, baru kembali setiap enam bulan. Suaminya
menitipkannya pada ayahnya sendiri. Aku jadi iri dengannya. Aku memiliki
segalanya tapi ia terlihat 1000 kali lebih bahagia dariku. Dan bagaimana ia
sangat menantikan suaminya benar-benar membuatku nelangsa.
“Tuan Lee, apa anda tahu nama pengembang yang menjadi
lawan kita?” aku tiba-tiba teringat ayahku. mungkin ayah bisa membantu dengan
melobi pengusaha itu. kita tak perlu jalur hukum.
“Oh, Tae Guk Construction,” kata Tuan Lee. Sebentar,
sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Nama perusahaan yang tak asing,
mungkin pernah disebut oleh ayahku.
“Anda tak perlu khawatir,” kataku sambil tersenyum.
Aku dan
Kim Sam Bum berjalan kaki menuju mobil kami sambil mengamati lingkungan Dae
Bak. Daerah ini akan sangat indah jika mereka tahu bagaimana mengurusnya. Kami
sekitar 10 meter lagi dari tempat parkir mobil saat melihat dari jauh segerombolan
orang yang memakai jas rapi beserta 20-an orang yang berkostum pekerja. Pria berkaca
mata hitam berjalan paling depan didampingi seseorang yang bercerita seru
padanya. Topi pekerja yang ia pakai sangat tak sesuai dengan setelan yang
digunakannya. Aku memicingkan mata untuk mengenali pria yang sepertinya
familiar. Jarak kami makin dekat sampai pria berkaca mata hitam itu mengalihkan
matanya padaku. Kami saling tatap, lalu ia menghentikan langkahnya. Ia tak
menggubris pria yang terus bercerita. Aku juga berhenti ketika sadar siapa dia.
Aku tak kalah kagetnya. Si pria berkacama mata hitam melepas kacamatanya dan
berteriak padaku.
“YOON AH!!! APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI????!!!!”
Aku tahu, dari nadanya,
orang itu akan siap meledak. Si Won berjalan gusar ke arahku, meninggalkan
begitu saja rombongannya. Aku baru ingat sekarang, kenapa nama Tae Guk
Construction seperti pernah kudengar. Tak lain dan tak bukan adalah perusahaan property
milik suamiku, perusahaan milik Si Won. Sekarang aku menghunus pedang untuk
melawan suamiku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar