Simple Life

Minggu, 10 November 2013

LOVE LAUYER 1


Malam ini malam purnama. Bulan jadi bulat penuh dengan warna kuningnya yang seperti warna kuning telur setengah matang. Sudah tiga jam aku duduk di lantai kamar dengan tumpukan kertas yang mengelilingiku seperti benteng. Aku membiarkan lampu kamar tetap mati dan hanya mengandalkan lampu baca yang kupindahkan dari meja di samping tempat tidur. Jariku bergerak mengikuti mataku yang membaca dari kiri ke kanan. Sesekali berhenti dan mewarnai satu atau dua kalimat penting dengan highliter berwarna biru. Aku membalik lembaran ke dua ratus dari kronologis kasus yang mirip punyaku. Motif pelaku sama. Aku mimincingkan mata ketika mendapatkan kunci yang kucari. Kuambil bulpen dan melingkari sebuah paragraf, kemudian melipat halamannya. Aku tersenyum kecut. Aku akan menang lagi, dan seperti beberapa kemenganan sebelumnya, hatiku tak bisa berbohong, aku menyelamatkan mereka yang bersalah.
            Aku bangkit dari lantai dan duduk di pinggir kasur. Mengolet lalu memiringkan leherku yang pegal sampai bunyi. Aku segera kembali ke lantai untuk cepat-cepat membereskan berkas-berkasku ketika melihat sinar mobil yang menghujani halaman rumah dua lantai ini dari jendela. Si supir mobil memainkan derum mobil sport ferrari hitam itu sebelum mematikannya. Ia membuka pintu rumah dengan kunci yang dipegangnya selama empat tahun ini. kemudian melangkah melintasi ruang tamu, ke dapur sebentar untuk mengambil air, dan akhirnya menaiki tangga dari kayu jati menuju ke lantai dua. Aku mendengar derap langkahnya di atas lantai berkayu import dari sebuah negara di Asia Tenggara dan aku bergegas membaringkan diri ketika mendengar kenop pintu kamarku dibuka. Pura-pura tidur.
            Aku bisa mendengar ia menguap keras sekali. Ia membuka pintu lemari pakaian dan mengganti setelan kantorannya dengan baju tidur. Ia sempat berjalan menuju jendela dan mengamati bulan penuh di tengah malam ini, lalu melakukan gerakan meregangkan otot-ototnya yang dipakai untuk membanting tulang selama seharian, mengabaikan tumpukan kertas yang tadi kubaca. Ia berjalan lagi menuju bagian lain tempat tidur, kemudian merebahkan diri. Ia membuat bunyi klik saat menyalakan lampu baca. Aku mendengar suara kertas dibalik beberapa kali sebelum ia mematikan lagi lampunya dan akhirnya tidur memunggungiku. Butuh beberapa waktu baginya untuk menentukan posisi tidur sebelum suamiku itu benar-benar terlelap. Dasar rempong, umpatku dalam hati.
***
            2001, 12 tahun yang lalu
“Nama saya Im Yoon Ah, saya pindahan Brooklyn,” kataku sambil menunduk.
Ini yang ibu ajarkan padaku untuk berkenalan di depan kelas. Lidahku masih kaku saat mengatakan kalimat sederhana itu. aku mendengar sebagian dari mereka cekikikan. Barangkali aku membuat kesalahan yang sangat memalukan. Aku belum terbiasa untuk selalu menggunakan bahasa ibuku sendiri, walaupun sebenarnya aku bisa menulis, membaca, berbicara, dan memahami bahasa Korea dengan baik. Aku berjalan dengan pandangan menunuduk saat wali kelas menyuruhku duduk. Kelas itu berkapasitas dua puluh orang dengan meja dan kursi yang disusun lima baris dan empat banjar.
Aku menyusuri jalan kecil di antara dua meja menuju satu-satunya tempat yang tersisa di bagian paling belakang. Aku merasa mata-mata sipit sembilan belas orang ini mengikutiku. Aku terhenti sebentar dan menoleh ke arah suara mengaduh. Anak laki-laki berambut spike mengelus-ngelus bahunya yang dicubit gadis bermuka galak di sampingnya. Mataku bergerak mengitari seisi ruangan yang memberikan perhatian penuh padaku. Aku agak tak nyaman dengan kondisi ini.
Mataku sama sekali tak bermasalah untuk mengikuti pelajaran dari jarak sejauh ini, tapi anak laki-laki di depanku terlalu tinggi bagiku bahkan saat ia duduk. Aku harus menjulurkan kepalaku untuk mengikuti pelajaran kimia yang sedang diajarkan guru pendek bersuara lemah. Tapi kutahu dibalik penampakannya yang terlihat tidak berdaya itu, tersimpan tungku api yang tak akan mau kaunyalakan agar membuatnya marah.
“Hei bodoh! Apa kau tak tahu Yoon Ah tak bisa melihat?” bisik anak laki-laki yang duduk di sebelah kiri anak laki-laki di depanku. ia memukulkan buku yang digulung ke kepala anak itu karena ia tak segera merespon. Kemudian anak itu menoleh padaku sambil memamerkan gigi.
Anak laki-laki di depanku berbalik ke belakang dan bertanya padaku, “Kau tak bisa melihat?” aku mengangguk. Kemudian ia menundukkan kepalanya. Usahanya sama saja bohong karena di depan anak itu ada anak laki-laki lain yang tak kalah tingginya.
Aku menyodok punggunya agar ia berbalik lagi padaku, “Sama saja, aku tak bisa lihat,” bisikku. Ia mengernyit.
“Bagaimana kalau kudiktekan apa yang dia tulis?” aku mengangguk.
            Selanjutnya ia seperti mata dan telinga bagiku, walau sekarang ia beraksi meniru burung beo. Ia langsung mengulang sama persis apa yang dikatakan guru kimia kami. Bahkan nada dan intonasinya pun mirip. Itu membuatku tak bisa menahan tawa. Sesekali aku menyodorkan bukuku agar ia bisa menuliskan rumus aneh di papan tulis.
Logam  / memiliki energi ionisasi yang rendah, o....leeeeh karena itu logam cenderung melepaskan elektronnya dengan mudah. Loooogam  // cenderung / melepaskan elektron daripada // menangkap elektron untuk membentuk kation,” katanya dengan suara rendah. Aku meremas perutku agar tak mengeluarkan suara apapun. Anak laki-laki itu mengakhirinya dengan suara tawa kecil.
“Logam bereaksi dengan asam akan membentuk garam dan air,” kata guruku yang langsung diterjemahkannya menjadi sebuah lelucon yang kutulis di buku catatan kimiaku.
“Nonlogam memiliki 4 sampai 8 elektron dalam kulit terluar dari atom-atomnya,” ujar guruku.
“Nonlogam memiliki 4 sampai 8 elektron dalam kulit terluar dari atom-atomnya,” ulang anak itu sambil memiringkan wajahnya agar aku bisa mendengar.
“Tuan Choi,”  panggil guruku.
“Tuan Choi,” anak itu menyebut kembali apa yang dikatakan guru kimia kami.
Ia belum sadar sampai ia mengulang dengan heran, “Tuang Choi?” ia menoleh ke depan dan guru kimia itu telah melemparkan kapur ke arahnya. Anak itu, mungkin karena telah tebiasa dengan kondisi ini, secara refleks langsung menundukkan kepalanya, membiarkan kapur itu lewat dan akhirnya mengenai pelipis mata kiriku.
“Aaaarrrggghhhh!” aku memegangi daerah di atas mata yang berdenyut-denyut. Aku melihat tanganku dan sebercak cairan merah menempel di sana. aku berdarah.
            Kelasku riuh dengan kejadian ini. teman-temanku yang lain mengerubungi aku tanpa memedulikan konflik anak laki-laki itu dan guru kimia kami. Tapi teriakan cempreng yang merupakan evolusi suara lemah itu bergaung di kelasku. Kami diam seketika. Guru itu berjalan mendekati meja buruannya.
Suhu kelas yang kurasa seakan naik 5 derajat. Aku bisa melihat bagaimana raut muka guru kami yang berubah menjadi keras dan keriput yang berusaha ditutupinya membuat retakan lapisan kosmetik yang begitu tebal di sana-sini. Sepintas ia terlihat seperti zombie. Aku melihat ia menggeretakkan jari siap mengahncurkan anak yang dipanggilnya Tuan Choi itu. Ia membuka mulutnya bersiap untuk bicara. Seberkas cahaya kuning muncul di gigi seri atasnya. Barangkali dilapisi emas. Aku menggaruki ujung mejaku, takut terjadi apa-apa dengan anak itu. tak peduli dengan darah yang mengalir di pipiku.
“Choi Si Won!” suara bentakan wanita menyakiti telingaku.
“Ya Sonsaengnim!!!” kata anak itu sambil membetulkan posisi duduk ala militernya. Ia kembali duduk tegap dengan pandangan ke depan, seolah tak terjadi apa-apa.
             “Apa yang kau lakukan Tuan Choi?” tanya guru itu dengan suara yang dimanis-maniskan. Aku mendengarnya sebagai sebuah ancaman mematikan. Aku makin memperkuat garukanku.
“Saya berusaha menolong teman baru saya yang bernama Im Yoon Ah. ia tak bisa melihat papan dan mendengar penjelasan anda tentang pelajaran,” jawabnya dengan mata tetap mengahadap ke depan, dengan nada yang tidak mengandung ketakutan sama sekali.
“Oh, mau menolongnya dengan lelucon-leluconmu yang baru ya?” ia berusaha tetap manis dan tenang.
“Tidak. Saya hanya membantunya menyimak pelajaran anda. Namun jika anda tetap bersikukuh saya menyampaikan lelucon padanya, maka saya tidak bisa menyembunyikan lagi  kalau apa yang anda ajarkan memang LELUCON...” 
            Kelasku mulai berdengung setelah mendengar perkataan Si Won. Guruku yang mukanya kini begitu merah lansung menancapkan kuku-kukunya yang tajam ke telinga Si Won. Memelintirnya, kemudian mengangkatnya sehingga otomatis kepala Si Won juga terangkat hingga akhirnya ia berdiri dari bangku. Aku melihat wajah itu meringis kesakitan.
“Si Won MEMANG MEMBANTU SAYA SONSAENGNIM!!!” jeritku. Aku berdiri serta merta.  Aku tak tega dengan anak yang benar-benar membantuku itu.
“DIAM KAU!!! ANAK INI MEMANG TAK PERNAH MENYUKAIKU!!!” katanya sambil terus menjewer kuping Si Won, menariknya ke kiri dan ke belakang.  Aku ngeri membayangkan daun telinganya akan putus.
“KAU HARUS DIBERI PELAJARAN” katanya sambil membawa pergi Si Won. aku berusaha mengikuti mereka tapi teman-temanku mnghalangi. Air mataku jatuh. Bukan karena pelipisku yang berdarah, tapi karena orang yang pertama kali ingin menolongku harus berakhir dengan nasib yang tragis.
            Si Won tak mengikuti pelajaran berikutnya. Kursi di depanku kosong. Aku gelisah setiap ada yang membuka pintu kelas, berharap ia yang kembali. Aku segera membereskan buku ketika guru matematika selesai dengan trigonometrinya, siap untuk beranjak ketika seorang gadis mendatangiku.
“Kau tak apa-apa?” tanyanya. Matanya menyusuri dahiku. Kemudian ia kembali ke bangkunya, membongkar isi tasnya dan kembali ke mejaku sambil membawa plester. Ia memasangnya tepat di lukaku.
“Aku baik-baik saja,” kataku sambil tersenyum.
“Oh, aku tiffany,” ia memperkenalkan diri. Aku menyambut tangan yang menjulur padaku.
“Im Yoon Ah,” aku meyebut nama lagi, kurasa itu tak perlu. “Ke mana mereka membawa Si Won?” tanyaku khawatir. Sekelebat bayangannya yang meringis menahan sakit jeweran guru kimia melintas di depanku.
“Oh, paling ia sedang disidang di hadapan kepala sekolah. Ia sudah biasa. Ayo ke kantin,” ia menarik tanganku untuk mengikutinya.
            Aku duduk semeja dengan anak-anak yang penampilannya selalu mengikuti trend fashion di majalah vogue ini. Rambut mereka warna-warni dengan berbagai macam bentuk yang aku sendiri ngeri  membayangkan rambutku ditata seperti itu. Rambut Tiffany sendiri berwarna merah dengan model bergelombang seperti ombak. Ia memakai riasan yang membuatnya terlihat agak tua. tapi ia cantik. Aku memperhatikan bibirnya setiap ia bicara. Lip stick merah marun menghiasi bibirnya, bibir itu terlihat seperti buah apel yang dibentuk serupa lengkuangan senyum. Kata-kata Tiffany sedikit membuat lega hatiku. Setidaknya Yong Hwa sudah terbiasa dengan hukuman macam itu, mungkin bisa dibilang kebal.
“Ya Yoon Ah, kenapa kau pindah dari New York?” tanya seorang di antara mereka. Namanya Jessica –itu bukan nama sebeneranya, hanya nama gaul. Aku geli sendiri saat mendengar nama orang mongoloid ini- rambut pendeknya berwarna pirang, ia menaikkan kerah seragamnya. Aku mengangkat sebelah alisku saat mendengar pertanyaan itu dan berhenti menyedot susuku.
“Appa merasa tidak aman sejak serangan sebelas september. Kantor pemasaran real estate nya yang berada di lantai sepuluh luluh begitu saja saat pesawat ditabrakkan,” aku mengangkat bahu. Aku merasakan luka itu terbuka lagi. traumaku belum sembuh benar saat melihat cuplikan kejadian 11 september ditayangkan di televisi. Aku gelagapan menelopon ayahku yang baik-baik saja
 “Pasti menyenangkan ya bisa tinggal di sana?” tanya gadis lain yang sedari tadi memainkan telepon genggamnya.
“Tidak juga,” jawabku singkat.
            Aku baru sadar kalau sedang bersekolah di Seoul Science High School, tempat bersekolahnya anak-anak dari mereka yang berkuasa. Kuasa uang dan kuasa ilmu. Tidak ada yang biasa di sini. Jika kelas sosial memang masih ada, sekolah ini adalah salah satu bentuk eksistensinya. Dengan kasat mata mungkin kami terlihat sama, tapi jika kau mau lebih memperhatikannya, maka akan ada pengelompokan siswa berdasarkan kategori ‘paling’ menurut masyarakat umum tempat mereka berada: paling pintar dan paling kaya, paling pintar tapi paling miskin, serta paling kaya tapi paling bodoh.
            Kapitalisme menggerogoti setiap aspek kehidupan manusia modern sekarang. Pertimbangan perputaran uang miliaran won akhirnya mengantarku kembali ke korea. Daya beli masyarakat Amerika turun drastis dan perusahaan ayahku hanya akan merugi karenanya. Ayahku begitu paranoid saat tragedi WTC terjadi. Untunglah ia tak menjadi salah satu korban, dan langsung mengambil penerbangan paling pagi untuk memulangkan keluarganya. Saham perusahaan real estate-nya diambil alih 80% oleh pengusaha Spanyol walau ia harus rela membanting harga besar-besaran, kemudian kembali ke Korea untuk memulai invasi bisnis infrastruktur lagi. ia percaya bahwa pemerintah Amerika tak bisa menjamin kehidupan investor asing dari serangan Taliban. Kepanikan terjadi di pasar ekonomi makro, Wall Street, yang berujung pada keadaan ekonomi global yang sempat terguncang.
Persaingan di bidang property Korea bukanlah sesuatu yang mudah. Lego harga pembangunan infrastruktur negara melibatkan persaingan bisnis yang keras. Dan insting bisnis ayahku berkata nepotisme merupakan anugerah Tuhan yang harus disyukuri. Ia memiliki teman lama seorang Jenderal yang mewakili militer di parlemen. Senjata rahasianya untuk menghadapi era baru kerajaan bisnisnya yang hampir saja hancur bersamaan dengan hancurnya simbol kedigdayaan Amerika Serikat.
            Lorong sekolah yang panjang ini barangkali adalah hasil kapitalisasi juga. Tak murah membangun sekolah megah yang mementingkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini. aku menempelkan tanganku di dinding saat berjalan sendirian. Berusaha untuk bergandengan dengan bayanganku sendiri. Aku meninggalkan teman-teman baruku dan memilih untuk segera kembali ke kelas. Aku masih tak enak hati pada Si Won. aku berhenti tiba-tiba di belokan lorong ketika hampir bertabrakan dengan anak yang sedang kupikirkan. Ia dengan susah payah membawa dua ember dan sebuah alat pel. Ia cengengesan saat memandang mukaku.
“Aku benar-benar minta maaf atas kejadian tadi,” kataku sambil membungkuk.
“Aku sudah biasa. Tenang saja,” ia memandang lukaku yang sudah ditutupi plester, “Maaf dengan lukanya, aku refleks untuk menghindar,” katanya. kami hening sejenak lalu ia bicara lagi, “Aku harus membersihkan kamar mandi di lantai 2,”
“Aku ikut!” kataku sambil menyambar salah satu ember yang ia pegang. Aku sempat menyentuh kulitnya dan ia langsung melepas tangannya seakan ada listrik yang mengalir di antara kami. Ember berkelontangan karena terjatuh dan kami berusaha memungutnya bersama. Tangan kami kembali bersentuhan dan ada rasa tidak nyaman di gumpalan otot bernama jantung saat aku memandang matanya. Jantungku cepat sekali berdetak.
            Sejak saat itu Taliban bukan lagi momok yang menakutkan bagiku. Mereka tak akan repot-repot mengejarku sampai ke Korea untuk meneror, tak seperti yang Si Won lakukan setiap ia ada kesempatan untuk menemuiku. Jika teroris punya senapan AK-42 untuk melakukan aksinya, maka Si Won cukup menyerangku dengan sepucuk surat yang ia sisipkan di dalam lokerku. Kata-kata Si Won dengan tepat mengenai titik lemahku, melumpuhkanku, meng-eksitasi syaraf-syaraf di otakku untuk mengubah susunan huruf alfabet itu menjadi sebuah gambar yang lebih indah dari lukisan Monalisa, begitu menyenangkan dan sangat nyaman. Perasaan Si Won padaku layaknya morfin yang membuatku ketagihan, beraksi layaknya endorfin yang mampu memanipulasi apapun menjadi sebuah kebahagiaan, bahkan rasa tahi kambing menjadi tak kalah lezat dari cokelat Swiss karenanya.
***
            Dua pertiga meja makan penuh dengan menu sarapanku. Ya, hanya sarapan milikku. Roti gandum, selai kacang, selai cokelat, dan susu yang sudah dituang dalam gelas 200 ml, serta tak ketinggalan berkas-berkas berisi bukti dan rujukan kasus untuk klien ku. Meja ini secara de yure terbagi menjadi dua meskipun tidak ada garis yang jelas memisahkan antara teritorial berisi sarapanku dan juga sekotak cereal beserta susu milik suamiku. Hanya seberapa jauh bagian meja yang dapat kujangkau merupakan ukuran yang mutlak atas luas daerah yang kumiliki, meski aku harus berdiri untuk bisa menjangkau saus tomat misalnya, daerah itu masih milikku.
Peraturan itu menyisakan area seluas 900 centi meter persegi yang harus bisa diolah Si Won sebaik-baiknya. Bahkan sikunya tak dapat ia letakkan di atas meja setiap ia mulai menyuap bola-bola cokelat dalam rendaman susu itu. Tapi ia tak pernah berkomentar dengan kondisi ini. kami tak pernah membuat peraturannya secara resmi. Hanya berlangsung begitu saja, sejak kami tak saling peduli lagi. Sudah cukup lama, mungkin sekitar delapan bulan yang lalu. Kami lelah saling tawar menawar, dan menyimpulkan hidup seperti ini, tanpa mengindahkan kehadiran satu dan yang lain, adalah pilihan bijaksana.
Aku baru saja mengoleskan rotiku dengan mentega saat suamiku memasuki ruang makan.  Aku hanya meliriknya sebentar, kemudian kembali membuat rata warna kuning pada roti gandumku. Si Won duduk di kursinya dan membentangkan surat kabar yang tergeletak di dekat mangkok cerealnya. Jika surat kabar itu lebih dekat ke arahku sepuluh centi saja, dipastikan ia tak akan menggubris headline news yang terpampang besar di halaman surat kabar itu. Tentu saja, karena surat kabarnya telah lebih dulu masuk kandang macan.
“Bibi Song, tolong ambilkan roti tawarku,” kata Si Won pada pelayan kami yang secara sigap langsung mengeluarkan sebungkus roti tawar baru yang belum dibuka.  Si Won melipat kembali surat kabarnya dan meletakkan dengan manis di samping mangkok. Menepuk-nepuknya sebentar sebagai tanda sayang.
“Ini tuan,” kata pelayan kami. Bibi Song mengambil mangkok cereal dan menggantinya dengan piring kecil, sadar dengan perubahan selera makan suamiku.
“Oh ya, tolong ambilkan juga selai cokelat ya,” tambah Si Won seraya mengambil sepotong roti dan meletakkannya di atas piring. Bibi Song mengangguk dan mengambil botol selai yang berjarak kurang satu meter jauhnya dari Si Won. ia meminta izin dulu dariku sebelum mengangat selai cokelat dari tempatnya –dari daerah kekuasaanku. Aku tersenyum pada bibi Song sebagai tanda izin diberikan.
            Aku selesai dengan sarapanku saat menghabiskan susu dengan sekali napas, meniggalkan jejaknya yang mengitari mulutku, membuat warna putih yang ku lap dengan tisu. Aku sempat bersendawa kecil, merapikan lagi rambutku, mengambil tas tangan di atas kursi kosong di sebelah kiri, mengangkat tumpukan kertas yang beratnya hampir lima kilo dengan agak kepayahan, dan beranjak dari meja makan.
“Aku pergi,” kataku. Aku tak bermaksud berpamitan pada siapa pun, apalagi pada Si Won. Aku hanya sekadar memberikan tanda bahwa aku akan pergi ke pengadilan untuk membela klien, tak akan ada di rumah untuk beberapa waktu, dan mengisyaratkan langsung hubungi aku bila ada yang mencari.
Bibi Song menghela napas panjang saat aku melewatinya. Mata tuanya memantulkan kekecewaan yang ada. Saat Si Won melamarku tiga tahun yang lalu, semua orang yakin kami adalah dua raga yang saling melengkapi. Aku benar-benar akan mengisi kembali rusuk Si Won yang hilang. Bibi Song tak menyangka dua kekasih yang bermandikan asmara sejak dua belas tahun silam, yang seolah tak mampu hidup tanpa yang lain, yang dihujani restu dua keluarga besar, harus berakhir dengan saling tak mengenal, bahkan saat di ranjang sekalipun.
Aku menghentikan mobil di tempat parkir pengadilan yang penuh. Gedung pengadilan pasti akan sangat ramai hari ini karena persidangan kasus yang kutangani. Sinar matahari yang terpantul membuatku merasa kesal saat turun dari mobil. Suasana musim panas tidak akan cocok dengan banjir air mata yang akan terjadi di ruang sidang nanti. Aku sedang berada di undakan ke lima belas anak tangga menuju teras gedung pengadilan ketika seseorang memanggilku dari belakang.
“Nyonya Choi!!!” aku memutar bola mataku saat mendengar nama keluarga suamiku di sebut.
Aku berhenti di anak tangga ke enam belas, kemudian berbalik untuk melihatnya, “Ya?,” tanyaku. Aku seperti mengenalnya, seorang mahasiswa yang sedang magang di firma hukum tempa aku bekerja.
“Saya Kim Sam Bum. Tuan Lee menyuruh saya untuk mengamati persidangan anda hari ini,” katanya sambil berusaha mengatur napas setelah mengejarku tadi. 
“Baiklah. Kau bisa memegang berkasku?” aku langsung menyerahkan tumpukan kertas itu padanya, dan juga tas tanganku, walau sebenarnya agak ragu. Aku menaiki beberapa undakan tangga lagi sebelum kembali berbalik padanya, “Hei, dasimu,” kataku sambil menunjuk ujung tulang dadaku. Ia segera mengatur lagi dasinya.
            Kami melewati lengkungan paling besar di antara empat lengkungan lain yang disangga pilar-pilar besar khas Yunani. Gedung pengadilan ini sangat megah dengan batu marmer putih yang menjadi lantainya. Pintu utama gedung setinggi dua meter dan lebar tiga meter diapit dua buah patung dewi Themis yang memegang timbangan dan pedang. Aku berjalan di depan pemuda yang menatap takjub lobi pengadilan. Aku tersenyum pada resepsionis yang menunjukkan arah ruang sidang utama.
            Gerombolan wartawan telah siap dengan kamera mereka saat kami memasuki ruangan berpintu kayu itu. mereka berdengung seperti lebah saat kami lewat. Perss tak akan mau ketinggalan untuk meliput kasus yang melibatkan petinggi parlemen ini. mereka saling sikut untuk mendapatkan konfirmasi dariku, tapi aku diam. Manusia-manusia ini, yang hanya hidup dari sensasi orang, aku tak suka mereka. Aku menyipitkan mataku menahan kilatan blitz yang menyilaukan, tidak peduli dengan Kim Sam Bum di belakangku yang terlihat kikuk dengan suasana ini.
            Ruang sidang  utama berbentuk bulat, dengan kapasitas sekitar lima puluh orang untuk pengunjung. Tidak ada kursi lagi yang tersisa, semua penuh diisi oleh para pendukung terdakwa dan korban. Keluarga korban duduk di timur depan ruang sidang, berbisik-bisik satu sama lain dan memandangku dengan ekor mata saat aku melintas di depan mereka. Tatapan tidak suka bahkan umpatan sempat dilayangkan padaku. Mereka adalah masyarakat kelas menengah di kotaku. Terlihat necis dengan penampilan mereka yang warna-warni dan berkilapan, mulai dari pakaian sampai sepatu, tetapi itu terlihat teralu mencolok. Ingin tampil sekeren mungkin, tapi itu hanya membuat mataku sakit.
            Aku beralih ke bagian lain gedung pengadilan. Pendukung terdakwa duduk dengan tenang. Para pria dan wanita dengan pakaian kantoran itu pasti bawahan si terdakwa yang minta izin hanya untuk ke persidangan bos mereka. Di paling depan dari sisi ini aku bertemu dengan keluarga terdakwa, mereka tersenyum mantap padaku. Wanita paruh baya yang sekarang sedang melamabaikan tisunya padaku adalah istri tuan Park, klien yang harus kubela sekarang. Di sampingnya ada Park Ji Sung, putra pertama mereka yang pernah sekelas denganku saat SMA dulu, orang yang memukul kepala Si Won di hari pertamaku sekolah. Aku mengenal keluarga ini cukup baik, tuan Park adalah temain bermain giolf ayahku.
            Aku menyuruh Kim Sam Bum untuk duduk di deretan pendukung tuan Park sementara aku menuju kursiku yang menyamping di depan hakim. Tuan Park telah duduk tenang di samping kursi yang akan kupakai. Aku duduk di sampingnya dan memberi salam. Ia tak banyak bicara padaku. Hanya menanyakan apakah aku sudah sarapan atau belum. Mukanya kaku. Ia terlihat malu, hanya menundukkan muka sedari tadi. Aku melihat lawan di seberang meja kami, korban yang didampingi penasehat hukum di kanan kirinya, duduk di belakang meja sambil menatap tuan Park.
            Suara obrolan orang-orang dengan topik yang berbeda bercampur di udara dan bersatu membentuk dengungan besar yang tak jelas. Argumentasi pengunjung yang berapi-api langsung padam seketika saat majelis hakim memasuki ruang sidang dan palu yang diketuk hakim ketua menandakan persidangan dimulai. Saksi-saksi telah siap  memberikan informasi yang mereka tahu. Tanpa mengurangi atau melebihkan, aku ragu, bagaimana kalau sedikit membelokkan? Mereka sudah disumpah? Bagaimana dengan sedikit keajaiban kertas bermata itu?
            Aku menguap beberapa kali saat mendengar bukti-bukti yang diutarakani penasehat korban. Ia membeberkan bukti-bukti di lapangan yang menjurus ke tuduhan tuan Park memang seorang pemerkosa. Aku lihat tuan Park yang tetap saja menunduk.
            Kini tiba gilarannya untuk Kim Hyorin duduk di kursi panas, berhadapan dengan hakim. Kim Hyorin, wanita yang cukup cantik, bertinggi badan 175 cm, maju dengan tatapan kosong. Ia adalah mantan sekertaris Tuan Park yang mengaku jatuh cinta padanya. Rambut Kim Hyorin agak berantakan. Ia duduk di kursinya, sempat menatap tuan Park sebelum memulai kesaksian.
“Selamat pagi yang mulia, saya Kim Hyorin, dan seperti kesaksian saya pada sidang sebelumnya. Tetap tidak berubah, ia telah memperkosa saya,” suaranya parau. Pengunjung kembali berdecit setelah mendengarnya.
“Saya mengundangnya untuk pesta ulang tahun hari itu. Saya pikir tidak aneh mengundangnya, ia adalah atasan saya, lagipula di luar urusan kantor, ia adalah kekasih saya,” ia berhenti sejenak, menikmati keriuhan yang kembali terjadi. Butuh ketukan tiga kali untuk membuat hadirin diam.
“Tentu saja saya juga mengundang beberapa teman ke apartemen, hanya saja mereka datang lebih awal dari bos saya. Kalian bisa tanya saksi, apakah benar Tuan Park datang. Kemudian ia sampai ke apartemen saya di saat beberapa teman sudah pulang, hanya bersisa teman saya Lee Yong Dae,” ia berhenti sebentar untuk melihat pria di meja saksi.
“Tapi Lee Yong Dae pulang tidak lama sejak kedatangan bos. Kemudian hanya ada kami berdua. Itu pertama kalinya kami berduaan sejak ia mengaku cinta padaku tiga bulan yang lalu. Awalnya kami hanya ngobrol biasa, tapi semua berubah saat ia menceritakan kisah porno. Ia mulai meraba pahaku, naik sampai ke rokku. Aku berusaha menolak sampai ia benar-benar jadi gila!” nadanya meninggi, ia mengacak-ngacak rambutnya. Aku melirik ke Park Si Hoo yang sedang menggaruki meja lalu menggerakkan telunjuknya maju mundur. Ia menelan ludah saat mendengar cerita itu.
“Kemudian ia menyerangku, menanggalkan dengan paksa pakaianku, lalu memuaskan fantasi seksnya, huhuhu....” ia menangis sejadi-jadinya. Pengacaranya maju untu menenangkannya, “Ia melakukan dengan sangat kasar, aku kesakitan, dan ia membentur-benturkan kepalaku seakan aku hanya boneka,” pengunjung berjengit saat mendengarnya. Bahkan istri Tuan Park melanjutkan tangisannya.
“PARK SI HOO! Kau lihat luka ini???!!!” ia berdiri serta merta lalu menunjukkan bekas cakaran di perut. Pengacara wanita yang berdiri di sampingnya refleks untuk menurunkan lagi baju yang diangkat korban di hadapan umum.
Lee Hyorin menangis tersedu-sedu saat berjalan kembali ke kursi korban, meninggalkan kursi panas itu kosong begitu saja. pengacaranya berusaha menenangkan Lee Hyorin yang terguncang. Aku sempat gentar saat ingin memulai pembelaan. Aku sungguh tak tega padanya, tapi kredibilitas sebagai pengacara adalah yang utama. Ketika harus pura-pura untuk terlihat profesional adalah taruhan dan keangkuhan yang menjadi raja, hati nurani tak mampu lagi teriak, apalagi saat didekap jutaan won. Tapi bukan lembaran won yang membuatku tetap bertahan mendampingi Park Si Hoo, melainkan karena permintaan ayahku.
Seperti biasa, aku berjalan mantap ke tengah ruangan untuk menyampaikan alibi, “Nona Lee, cerita yang bagus,” aku berhenti sebentar untuk memasikan suaraku tak bergetar. Dari sini aku bisa melihat Kim Sam Bum yang menunjukkan dua jempol untuk menyemangatiku.
“Seperti sidang sebelumnya, ceritamu adalah magnetnya, kau cocok jadi pengarang saja,” kataku sambil mengelilingi ruangan.
“Tapi kita di sini butuh bukti nona Lee, bukan khayalan...” tambahku.
“Aku tidak berkhayal!’” sambarnya dengan menatapku marah.
“Sssttt...” aku menempelkan telunjuk di depan bibirku, kemudian mendekat ke mejanya, berusaha memainkan emosi. Aku melihat kalung salib menggantung di lehernya, aku tak kuat melihatnya dan memilih mengalihan pandanganku.
“Bukti apa yang bisa kaubawa selain kesaksian mantan pacarmu, Lee Yong Dae? Kau diberi waktu dua bulan untuk mencari bukti, tapi apa hanya ini yang bisa kulihat?” aku mengalihkan pandanganku ke pengacara wanita itu. ia menatapku galak.
“Kuberikan kau ide untuk mencari bukti. Barangkali kalian bisa menemukan sperma Park Si Hoo jika benar ia yang melakukannya. Tapi bukankah tak ada apapun di celana dalam nona ini selain darah yang sudah pasti miliknya?”
“Ia memakai kondom saat melakukannya!” jerit Kim Hyorin.
“Kalau begitu kau tidak bisa menuduh Park Si Hoo yang memperkosamu! Mana ada orang yang mau memperkosa harus siap-siap dulu dengan kondomnya!” tantangku. Para pengunjung mulai bicara lagi, menimbang-nimbang pernyataanku.
 “Hasil visum memperlihatkan selaput dara yang baru saja robek dan saksi-saksi ini bisa bersaksi padamu kalau Park Si Hoo ada di tempat saat kejadian terjadi!” bela pengacara wanita itu.
“Oh ya? Kau yakin? Memang mereka secara langsung melihat pemerkosaan itu pada 23.15? Kalau begitu kenapa tak kau tuduh saja Lee Yong Dae yang ada di tempat kejadian juga?” aku berjalan menuju meja saksi, aku akan menanyai satpam apartemen “Tuan Kim, kau ada di bawah sumpah, bukankah sekitar jam 23.30 kau masih bertugas kan? Kau masih melihatnya berkeliaran di sekitar apartemen?” yang ditanya mengangguk.
“Apartemen itu sangat besar! Sungguh, aku tersesat saat ingin keluar!” bentak Lee Yong Dae. Aku menggeleng.
“Sudah jelas yang mulia. Percuma saja diadakan sidang ini. tak ada bukti yang cukup kuat untuk mempidanakan Park Si Hoo. Persidangan hanya akan terus berjalan dengan bukti-bukti tak adekuat. Hanya buang-buang waktu. Sebagai penutup, mungkin yang mulia bisa mempertimbangkan, Park Si Hoo adalah salah satu tokoh partai pendukung pemerintah. Mengingat pemilu yang tak lama lagi, bisa kita ambil benang merah kalau terdakwa sengaja dijebak dengan masalah ini. Asal anda tahu, kakak Lee Hyorin adalah simpatisan partai oposisi, dan bisa jadi mereka memanfaatkan nona yang malang ini. Lee Yong Dae barangkali bisa jadi pertimbangan sebagai pelakunya,” kataku cuek sambil kembali ke tempat duduk.
“Aku tak akan melakukan perbuatan zina!!!! Aku selalu menolak jika ia mengajaku melakukannya!!!”  jerit Lee hyorin yang mendesak maju menuju tempatku tapi dihalangi polisi dan pengacaranya. Ia memberontak.
“Untuk pertimbangan hakim, sidang kita reses sebentar,” kata ketua majellis, lalu ia mengetukan palunya.
            Aku berjalan menuju ruang istirahat dengan teriakan Lee Hyorin masih terngiang di telingaku. Aku tak bisa menghilangkan dirinya yang menggunakan kalung salib itu, orang yang benar-benar dizalimi harus berakhir demikian. Keluarga Park Si Hoo menyalamiku, mereka menganggap penampilanku sangat luar biasa. Aku melirik ke pendukung korban yang terlihat layu. Beberapa dari mereka menatapku benci.
“Itu luar biasa nyonya Jung,” kata Kim Sam Bum yang harus menerobos pengunjung lain untuk mencapaiku. Aku tertawa hampa.

            Seperti yang telah kupikiran, hakim memukulkan palu bersamaan dengan putusan tak bersalah atas Park Si Hoo. Pendukungnya berteriak bahagia, mereka mengelu-elukanku. Kelurga Lee Hyorin sempat mengamuk, mereka menerjang pendukung Park Si Hoo untuk mencekik leher pria yang baru kuselamatkan. Media berbondong-bondong mendatangiku, tapi aku tak menerima wawancara. Aku melihat dari sudut ini, Lee Hyorin yang menatap kosong. Aku melakukannya lagi. Aku membebaskan penjahat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar