Malam ini malam purnama. Bulan jadi bulat penuh dengan warna kuningnya yang seperti warna kuning telur setengah matang. Sudah tiga jam aku duduk di lantai kamar dengan tumpukan kertas yang mengelilingiku seperti benteng. Aku membiarkan lampu kamar tetap mati dan hanya mengandalkan lampu baca yang kupindahkan dari meja di samping tempat tidur. Jariku bergerak mengikuti mataku yang membaca dari kiri ke kanan. Sesekali berhenti dan mewarnai satu atau dua kalimat penting dengan highliter berwarna biru. Aku membalik lembaran ke dua ratus dari kronologis kasus yang mirip punyaku. Motif pelaku sama. Aku mimincingkan mata ketika mendapatkan kunci yang kucari. Kuambil bulpen dan melingkari sebuah paragraf, kemudian melipat halamannya. Aku tersenyum kecut. Aku akan menang lagi, dan seperti beberapa kemenganan sebelumnya, hatiku tak bisa berbohong, aku menyelamatkan mereka yang bersalah.
Aku bangkit dari lantai dan duduk di pinggir kasur.
Mengolet lalu memiringkan leherku yang pegal sampai bunyi. Aku segera kembali
ke lantai untuk cepat-cepat membereskan berkas-berkasku ketika melihat sinar
mobil yang menghujani halaman rumah dua lantai ini dari jendela. Si supir mobil
memainkan derum mobil sport ferrari hitam itu sebelum mematikannya. Ia membuka
pintu rumah dengan kunci yang dipegangnya selama empat tahun ini. kemudian
melangkah melintasi ruang tamu, ke dapur sebentar untuk mengambil air, dan
akhirnya menaiki tangga dari kayu jati menuju ke lantai dua. Aku mendengar
derap langkahnya di atas lantai berkayu import dari sebuah negara di Asia
Tenggara dan aku bergegas membaringkan diri ketika mendengar kenop pintu
kamarku dibuka. Pura-pura tidur.
Aku bisa mendengar ia menguap keras sekali. Ia membuka
pintu lemari pakaian dan mengganti setelan kantorannya dengan baju tidur. Ia
sempat berjalan menuju jendela dan mengamati bulan penuh di tengah malam ini,
lalu melakukan gerakan meregangkan otot-ototnya yang dipakai untuk membanting
tulang selama seharian, mengabaikan tumpukan kertas yang tadi kubaca. Ia
berjalan lagi menuju bagian lain tempat tidur, kemudian merebahkan diri. Ia
membuat bunyi klik saat menyalakan lampu baca. Aku mendengar suara kertas
dibalik beberapa kali sebelum ia mematikan lagi lampunya dan akhirnya tidur
memunggungiku. Butuh beberapa waktu baginya untuk menentukan posisi tidur
sebelum suamiku itu benar-benar terlelap. Dasar rempong, umpatku dalam hati.
***
2001, 12 tahun
yang lalu
“Nama saya Im Yoon Ah,
saya pindahan Brooklyn,” kataku sambil menunduk.
Ini
yang ibu ajarkan padaku untuk berkenalan di depan kelas. Lidahku masih kaku
saat mengatakan kalimat sederhana itu. aku mendengar sebagian dari mereka
cekikikan. Barangkali aku membuat kesalahan yang sangat memalukan. Aku belum
terbiasa untuk selalu menggunakan bahasa ibuku sendiri, walaupun sebenarnya aku
bisa menulis, membaca, berbicara, dan memahami bahasa Korea dengan baik. Aku
berjalan dengan pandangan menunuduk saat wali kelas menyuruhku duduk. Kelas itu
berkapasitas dua puluh orang dengan meja dan kursi yang disusun lima baris dan
empat banjar.
Aku
menyusuri jalan kecil di antara dua meja menuju satu-satunya tempat yang
tersisa di bagian paling belakang. Aku merasa mata-mata sipit sembilan belas
orang ini mengikutiku. Aku terhenti sebentar dan menoleh ke arah suara
mengaduh. Anak laki-laki berambut spike mengelus-ngelus bahunya yang dicubit
gadis bermuka galak di sampingnya. Mataku bergerak mengitari seisi ruangan yang
memberikan perhatian penuh padaku. Aku agak tak nyaman dengan kondisi ini.
Mataku
sama sekali tak bermasalah untuk mengikuti pelajaran dari jarak sejauh ini,
tapi anak laki-laki di depanku terlalu tinggi bagiku bahkan saat ia duduk. Aku harus
menjulurkan kepalaku untuk mengikuti pelajaran kimia yang sedang diajarkan guru
pendek bersuara lemah. Tapi kutahu dibalik penampakannya yang terlihat tidak
berdaya itu, tersimpan tungku api yang tak akan mau kaunyalakan agar membuatnya
marah.
“Hei bodoh! Apa kau tak
tahu Yoon Ah tak bisa melihat?” bisik anak laki-laki yang duduk di sebelah kiri
anak laki-laki di depanku. ia memukulkan buku yang digulung ke kepala anak itu
karena ia tak segera merespon. Kemudian anak itu menoleh padaku sambil
memamerkan gigi.
Anak laki-laki di
depanku berbalik ke belakang dan bertanya padaku, “Kau tak bisa melihat?” aku
mengangguk. Kemudian ia menundukkan kepalanya. Usahanya sama saja bohong karena
di depan anak itu ada anak laki-laki lain yang tak kalah tingginya.
Aku menyodok punggunya
agar ia berbalik lagi padaku, “Sama saja, aku tak bisa lihat,” bisikku. Ia
mengernyit.
“Bagaimana kalau
kudiktekan apa yang dia tulis?” aku mengangguk.
Selanjutnya ia seperti mata dan telinga bagiku, walau
sekarang ia beraksi meniru burung beo. Ia langsung mengulang sama persis apa
yang dikatakan guru kimia kami. Bahkan nada dan intonasinya pun mirip. Itu
membuatku tak bisa menahan tawa. Sesekali aku menyodorkan bukuku agar ia bisa
menuliskan rumus aneh di papan tulis.
“Logam
/ memiliki energi ionisasi yang rendah, o....leeeeh karena itu logam
cenderung melepaskan elektronnya dengan mudah. Loooogam // cenderung / melepaskan elektron daripada
// menangkap elektron untuk membentuk kation,” katanya dengan suara rendah. Aku
meremas perutku agar tak mengeluarkan suara apapun. Anak laki-laki itu
mengakhirinya dengan suara tawa kecil.
“Logam bereaksi dengan asam akan membentuk garam dan air,” kata guruku
yang langsung diterjemahkannya menjadi sebuah lelucon yang kutulis di buku
catatan kimiaku.
“Nonlogam
memiliki 4 sampai 8 elektron dalam kulit terluar dari atom-atomnya,”
ujar guruku.
“Nonlogam memiliki 4
sampai 8 elektron dalam kulit terluar dari atom-atomnya,” ulang anak itu sambil
memiringkan wajahnya agar aku bisa mendengar.
“Tuan
Choi,” panggil
guruku.
“Tuan Choi,” anak itu
menyebut kembali apa yang dikatakan guru kimia kami.
Ia belum sadar sampai
ia mengulang dengan heran, “Tuang Choi?” ia menoleh ke depan dan guru kimia itu
telah melemparkan kapur ke arahnya. Anak itu, mungkin karena telah tebiasa
dengan kondisi ini, secara refleks langsung menundukkan kepalanya, membiarkan kapur
itu lewat dan akhirnya mengenai pelipis mata kiriku.
“Aaaarrrggghhhh!” aku
memegangi daerah di atas mata yang berdenyut-denyut. Aku melihat tanganku dan
sebercak cairan merah menempel di sana. aku berdarah.
Kelasku riuh dengan kejadian ini. teman-temanku yang lain
mengerubungi aku tanpa memedulikan konflik anak laki-laki itu dan guru kimia
kami. Tapi teriakan cempreng yang merupakan evolusi suara lemah itu bergaung di
kelasku. Kami diam seketika. Guru itu berjalan mendekati meja buruannya.
Suhu kelas yang kurasa
seakan naik 5 derajat. Aku bisa melihat bagaimana raut muka guru kami yang
berubah menjadi keras dan keriput yang berusaha ditutupinya membuat retakan
lapisan kosmetik yang begitu tebal di sana-sini. Sepintas ia terlihat seperti
zombie. Aku melihat ia menggeretakkan jari siap mengahncurkan anak yang
dipanggilnya Tuan Choi itu. Ia membuka mulutnya bersiap untuk bicara. Seberkas
cahaya kuning muncul di gigi seri atasnya. Barangkali dilapisi emas. Aku
menggaruki ujung mejaku, takut terjadi apa-apa dengan anak itu. tak peduli
dengan darah yang mengalir di pipiku.
“Choi Si Won!” suara bentakan wanita menyakiti
telingaku.
“Ya Sonsaengnim!!!” kata
anak itu sambil membetulkan posisi duduk ala militernya. Ia kembali duduk tegap
dengan pandangan ke depan, seolah tak terjadi apa-apa.
“Apa yang kau lakukan Tuan Choi?” tanya guru
itu dengan suara yang dimanis-maniskan. Aku mendengarnya sebagai sebuah ancaman
mematikan. Aku makin memperkuat garukanku.
“Saya berusaha menolong teman baru saya yang bernama Im
Yoon Ah. ia tak bisa melihat papan dan mendengar penjelasan anda tentang
pelajaran,” jawabnya dengan mata tetap mengahadap ke depan, dengan nada yang
tidak mengandung ketakutan sama sekali.
“Oh, mau menolongnya dengan lelucon-leluconmu yang baru
ya?” ia berusaha tetap manis dan tenang.
“Tidak. Saya hanya membantunya menyimak pelajaran anda.
Namun jika anda tetap bersikukuh saya menyampaikan lelucon padanya, maka saya
tidak bisa menyembunyikan lagi kalau apa
yang anda ajarkan memang LELUCON...”
Kelasku
mulai berdengung setelah mendengar perkataan Si Won. Guruku yang mukanya kini
begitu merah lansung menancapkan kuku-kukunya yang tajam ke telinga Si Won.
Memelintirnya, kemudian mengangkatnya sehingga otomatis kepala Si Won juga
terangkat hingga akhirnya ia berdiri dari bangku. Aku melihat wajah itu
meringis kesakitan.
“Si Won MEMANG MEMBANTU SAYA SONSAENGNIM!!!” jeritku.
Aku berdiri serta merta. Aku tak tega
dengan anak yang benar-benar membantuku itu.
“DIAM KAU!!! ANAK INI MEMANG TAK PERNAH MENYUKAIKU!!!”
katanya sambil terus menjewer kuping Si Won, menariknya ke kiri dan ke
belakang. Aku ngeri membayangkan daun
telinganya akan putus.
“KAU HARUS DIBERI PELAJARAN” katanya sambil membawa
pergi Si Won. aku berusaha mengikuti mereka tapi teman-temanku mnghalangi. Air
mataku jatuh. Bukan karena pelipisku yang berdarah, tapi karena orang yang
pertama kali ingin menolongku harus berakhir dengan nasib yang tragis.
Si Won
tak mengikuti pelajaran berikutnya. Kursi di depanku kosong. Aku gelisah setiap
ada yang membuka pintu kelas, berharap ia yang kembali. Aku segera membereskan
buku ketika guru matematika selesai dengan trigonometrinya, siap untuk beranjak
ketika seorang gadis mendatangiku.
“Kau tak apa-apa?” tanyanya. Matanya menyusuri dahiku.
Kemudian ia kembali ke bangkunya, membongkar isi tasnya dan kembali ke mejaku
sambil membawa plester. Ia memasangnya tepat di lukaku.
“Aku baik-baik saja,” kataku sambil tersenyum.
“Oh, aku tiffany,” ia memperkenalkan diri. Aku
menyambut tangan yang menjulur padaku.
“Im Yoon Ah,” aku meyebut nama lagi, kurasa itu tak
perlu. “Ke mana mereka membawa Si Won?” tanyaku khawatir. Sekelebat bayangannya
yang meringis menahan sakit jeweran guru kimia melintas di depanku.
“Oh, paling ia sedang disidang di hadapan kepala
sekolah. Ia sudah biasa. Ayo ke kantin,” ia menarik tanganku untuk
mengikutinya.
Aku
duduk semeja dengan anak-anak yang penampilannya selalu mengikuti trend fashion
di majalah vogue ini. Rambut mereka warna-warni dengan berbagai macam bentuk
yang aku sendiri ngeri membayangkan
rambutku ditata seperti itu. Rambut Tiffany sendiri berwarna merah dengan model
bergelombang seperti ombak. Ia memakai riasan yang membuatnya terlihat agak
tua. tapi ia cantik. Aku memperhatikan bibirnya setiap ia bicara. Lip stick
merah marun menghiasi bibirnya, bibir itu terlihat seperti buah apel yang
dibentuk serupa lengkuangan senyum. Kata-kata Tiffany sedikit membuat lega
hatiku. Setidaknya Yong Hwa sudah terbiasa dengan hukuman macam itu, mungkin
bisa dibilang kebal.
“Ya Yoon Ah, kenapa kau pindah dari New York?” tanya
seorang di antara mereka. Namanya Jessica –itu bukan nama sebeneranya, hanya
nama gaul. Aku geli sendiri saat mendengar nama orang mongoloid ini- rambut
pendeknya berwarna pirang, ia menaikkan kerah seragamnya. Aku mengangkat
sebelah alisku saat mendengar pertanyaan itu dan berhenti menyedot susuku.
“Appa merasa tidak aman sejak serangan sebelas
september. Kantor pemasaran real estate nya yang berada di lantai sepuluh luluh
begitu saja saat pesawat ditabrakkan,” aku mengangkat bahu. Aku merasakan luka
itu terbuka lagi. traumaku belum sembuh benar saat melihat cuplikan kejadian 11
september ditayangkan di televisi. Aku gelagapan menelopon ayahku yang
baik-baik saja
“Pasti
menyenangkan ya bisa tinggal di sana?” tanya gadis lain yang sedari tadi
memainkan telepon genggamnya.
“Tidak juga,” jawabku singkat.
Aku
baru sadar kalau sedang bersekolah di Seoul Science High School, tempat
bersekolahnya anak-anak dari mereka yang berkuasa. Kuasa uang dan kuasa ilmu. Tidak
ada yang biasa di sini. Jika kelas sosial memang masih ada, sekolah ini adalah
salah satu bentuk eksistensinya. Dengan kasat mata mungkin kami terlihat sama,
tapi jika kau mau lebih memperhatikannya, maka akan ada pengelompokan siswa
berdasarkan kategori ‘paling’ menurut masyarakat umum tempat mereka berada:
paling pintar dan paling kaya, paling pintar tapi paling miskin, serta paling
kaya tapi paling bodoh.
Kapitalisme
menggerogoti setiap aspek kehidupan manusia modern sekarang. Pertimbangan
perputaran uang miliaran won akhirnya mengantarku kembali ke korea. Daya beli
masyarakat Amerika turun drastis dan perusahaan ayahku hanya akan merugi
karenanya. Ayahku begitu paranoid saat tragedi WTC terjadi. Untunglah ia tak
menjadi salah satu korban, dan langsung mengambil penerbangan paling pagi untuk
memulangkan keluarganya. Saham perusahaan real estate-nya diambil alih 80% oleh
pengusaha Spanyol walau ia harus rela membanting harga besar-besaran, kemudian
kembali ke Korea untuk memulai invasi bisnis infrastruktur lagi. ia percaya
bahwa pemerintah Amerika tak bisa menjamin kehidupan investor asing dari
serangan Taliban. Kepanikan terjadi di pasar ekonomi makro, Wall Street, yang
berujung pada keadaan ekonomi global yang sempat terguncang.
Persaingan di bidang property
Korea bukanlah sesuatu yang mudah. Lego harga pembangunan infrastruktur negara
melibatkan persaingan bisnis yang keras. Dan insting bisnis ayahku berkata
nepotisme merupakan anugerah Tuhan yang harus disyukuri. Ia memiliki teman lama
seorang Jenderal yang mewakili militer di parlemen. Senjata rahasianya untuk
menghadapi era baru kerajaan bisnisnya yang hampir saja hancur bersamaan dengan
hancurnya simbol kedigdayaan Amerika Serikat.
Lorong
sekolah yang panjang ini barangkali adalah hasil kapitalisasi juga. Tak murah
membangun sekolah megah yang mementingkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi ini. aku menempelkan tanganku di dinding saat berjalan sendirian.
Berusaha untuk bergandengan dengan bayanganku sendiri. Aku meninggalkan
teman-teman baruku dan memilih untuk segera kembali ke kelas. Aku masih tak
enak hati pada Si Won. aku berhenti tiba-tiba di belokan lorong ketika hampir
bertabrakan dengan anak yang sedang kupikirkan. Ia dengan susah payah membawa
dua ember dan sebuah alat pel. Ia cengengesan saat memandang mukaku.
“Aku benar-benar minta maaf atas kejadian tadi,” kataku
sambil membungkuk.
“Aku sudah biasa. Tenang saja,” ia memandang lukaku
yang sudah ditutupi plester, “Maaf dengan lukanya, aku refleks untuk
menghindar,” katanya. kami hening sejenak lalu ia bicara lagi, “Aku harus
membersihkan kamar mandi di lantai 2,”
“Aku ikut!” kataku sambil menyambar salah satu ember
yang ia pegang. Aku sempat menyentuh kulitnya dan ia langsung melepas tangannya
seakan ada listrik yang mengalir di antara kami. Ember berkelontangan karena
terjatuh dan kami berusaha memungutnya bersama. Tangan kami kembali bersentuhan
dan ada rasa tidak nyaman di gumpalan otot bernama jantung saat aku memandang
matanya. Jantungku cepat sekali berdetak.
Sejak
saat itu Taliban bukan lagi momok yang menakutkan bagiku. Mereka tak akan
repot-repot mengejarku sampai ke Korea untuk meneror, tak seperti yang Si Won lakukan
setiap ia ada kesempatan untuk menemuiku. Jika teroris punya senapan AK-42
untuk melakukan aksinya, maka Si Won cukup menyerangku dengan sepucuk surat
yang ia sisipkan di dalam lokerku. Kata-kata Si Won dengan tepat mengenai titik
lemahku, melumpuhkanku, meng-eksitasi syaraf-syaraf di otakku untuk mengubah
susunan huruf alfabet itu menjadi sebuah gambar yang lebih indah dari lukisan
Monalisa, begitu menyenangkan dan sangat nyaman. Perasaan Si Won padaku
layaknya morfin yang membuatku ketagihan, beraksi layaknya endorfin yang mampu
memanipulasi apapun menjadi sebuah kebahagiaan, bahkan rasa tahi kambing menjadi
tak kalah lezat dari cokelat Swiss karenanya.
***
Dua
pertiga meja makan penuh dengan menu sarapanku. Ya, hanya sarapan milikku. Roti
gandum, selai kacang, selai cokelat, dan susu yang sudah dituang dalam gelas
200 ml, serta tak ketinggalan berkas-berkas berisi bukti dan rujukan kasus
untuk klien ku. Meja ini secara de yure terbagi menjadi dua meskipun tidak ada
garis yang jelas memisahkan antara teritorial berisi sarapanku dan juga sekotak
cereal beserta susu milik suamiku. Hanya seberapa jauh bagian meja yang dapat
kujangkau merupakan ukuran yang mutlak atas luas daerah yang kumiliki, meski
aku harus berdiri untuk bisa menjangkau saus tomat misalnya, daerah itu masih
milikku.
Peraturan itu menyisakan
area seluas 900 centi meter persegi yang harus bisa diolah Si Won sebaik-baiknya.
Bahkan sikunya tak dapat ia letakkan di atas meja setiap ia mulai menyuap
bola-bola cokelat dalam rendaman susu itu. Tapi ia tak pernah berkomentar
dengan kondisi ini. kami tak pernah membuat peraturannya secara resmi. Hanya berlangsung
begitu saja, sejak kami tak saling peduli lagi. Sudah cukup lama, mungkin
sekitar delapan bulan yang lalu. Kami lelah saling tawar menawar, dan
menyimpulkan hidup seperti ini, tanpa mengindahkan kehadiran satu dan yang
lain, adalah pilihan bijaksana.
Aku baru saja mengoleskan
rotiku dengan mentega saat suamiku memasuki ruang makan. Aku hanya meliriknya sebentar, kemudian
kembali membuat rata warna kuning pada roti gandumku. Si Won duduk di kursinya
dan membentangkan surat kabar yang tergeletak di dekat mangkok cerealnya. Jika
surat kabar itu lebih dekat ke arahku sepuluh centi saja, dipastikan ia tak
akan menggubris headline news yang terpampang besar di halaman surat kabar itu.
Tentu saja, karena surat kabarnya telah lebih dulu masuk kandang macan.
“Bibi Song, tolong ambilkan roti tawarku,” kata Si Won
pada pelayan kami yang secara sigap langsung mengeluarkan sebungkus roti tawar
baru yang belum dibuka. Si Won melipat
kembali surat kabarnya dan meletakkan dengan manis di samping mangkok.
Menepuk-nepuknya sebentar sebagai tanda sayang.
“Ini tuan,” kata pelayan kami. Bibi Song mengambil
mangkok cereal dan menggantinya dengan piring kecil, sadar dengan perubahan
selera makan suamiku.
“Oh ya, tolong ambilkan juga selai cokelat ya,” tambah Si
Won seraya mengambil sepotong roti dan meletakkannya di atas piring. Bibi Song
mengangguk dan mengambil botol selai yang berjarak kurang satu meter jauhnya
dari Si Won. ia meminta izin dulu dariku sebelum mengangat selai cokelat dari
tempatnya –dari daerah kekuasaanku. Aku tersenyum pada bibi Song sebagai tanda
izin diberikan.
Aku
selesai dengan sarapanku saat menghabiskan susu dengan sekali napas, meniggalkan
jejaknya yang mengitari mulutku, membuat warna putih yang ku lap dengan tisu.
Aku sempat bersendawa kecil, merapikan lagi rambutku, mengambil tas tangan di
atas kursi kosong di sebelah kiri, mengangkat tumpukan kertas yang beratnya
hampir lima kilo dengan agak kepayahan, dan beranjak dari meja makan.
“Aku pergi,” kataku. Aku tak bermaksud berpamitan pada
siapa pun, apalagi pada Si Won. Aku hanya sekadar memberikan tanda bahwa aku akan
pergi ke pengadilan untuk membela klien, tak akan ada di rumah untuk beberapa
waktu, dan mengisyaratkan langsung hubungi aku bila ada yang mencari.
Bibi Song menghela napas
panjang saat aku melewatinya. Mata tuanya memantulkan kekecewaan yang ada. Saat
Si Won melamarku tiga tahun yang lalu, semua orang yakin kami adalah dua raga
yang saling melengkapi. Aku benar-benar akan mengisi kembali rusuk Si Won yang
hilang. Bibi Song tak menyangka dua kekasih yang bermandikan asmara sejak dua
belas tahun silam, yang seolah tak mampu hidup tanpa yang lain, yang dihujani
restu dua keluarga besar, harus berakhir dengan saling tak mengenal, bahkan
saat di ranjang sekalipun.
Aku menghentikan mobil di
tempat parkir pengadilan yang penuh. Gedung pengadilan pasti akan sangat ramai
hari ini karena persidangan kasus yang kutangani. Sinar matahari yang terpantul
membuatku merasa kesal saat turun dari mobil. Suasana musim panas tidak akan
cocok dengan banjir air mata yang akan terjadi di ruang sidang nanti. Aku sedang
berada di undakan ke lima belas anak tangga menuju teras gedung pengadilan
ketika seseorang memanggilku dari belakang.
“Nyonya Choi!!!” aku memutar bola mataku saat mendengar
nama keluarga suamiku di sebut.
Aku berhenti di anak tangga ke enam belas, kemudian berbalik
untuk melihatnya, “Ya?,” tanyaku. Aku seperti mengenalnya, seorang mahasiswa
yang sedang magang di firma hukum tempa aku bekerja.
“Saya Kim Sam Bum. Tuan Lee menyuruh saya untuk
mengamati persidangan anda hari ini,” katanya sambil berusaha mengatur napas setelah
mengejarku tadi.
“Baiklah. Kau bisa memegang berkasku?” aku langsung
menyerahkan tumpukan kertas itu padanya, dan juga tas tanganku, walau
sebenarnya agak ragu. Aku menaiki beberapa undakan tangga lagi sebelum kembali
berbalik padanya, “Hei, dasimu,” kataku sambil menunjuk ujung tulang dadaku. Ia
segera mengatur lagi dasinya.
Kami
melewati lengkungan paling besar di antara empat lengkungan lain yang disangga
pilar-pilar besar khas Yunani. Gedung pengadilan ini sangat megah dengan batu
marmer putih yang menjadi lantainya. Pintu utama gedung setinggi dua meter dan
lebar tiga meter diapit dua buah patung dewi Themis yang memegang timbangan dan
pedang. Aku berjalan di depan pemuda yang menatap takjub lobi pengadilan. Aku
tersenyum pada resepsionis yang menunjukkan arah ruang sidang utama.
Gerombolan
wartawan telah siap dengan kamera mereka saat kami memasuki ruangan berpintu
kayu itu. mereka berdengung seperti lebah saat kami lewat. Perss tak akan mau ketinggalan untuk meliput kasus yang melibatkan
petinggi parlemen ini. mereka saling sikut untuk mendapatkan konfirmasi dariku,
tapi aku diam. Manusia-manusia ini, yang hanya hidup dari sensasi orang, aku
tak suka mereka. Aku menyipitkan mataku menahan kilatan blitz yang menyilaukan,
tidak peduli dengan Kim Sam Bum di belakangku yang terlihat kikuk dengan
suasana ini.
Ruang
sidang utama berbentuk bulat, dengan
kapasitas sekitar lima puluh orang untuk pengunjung. Tidak ada kursi lagi yang
tersisa, semua penuh diisi oleh para pendukung terdakwa dan korban. Keluarga
korban duduk di timur depan ruang sidang, berbisik-bisik satu sama lain dan
memandangku dengan ekor mata saat aku melintas di depan mereka. Tatapan tidak
suka bahkan umpatan sempat dilayangkan padaku. Mereka adalah masyarakat kelas
menengah di kotaku. Terlihat necis dengan penampilan mereka yang warna-warni
dan berkilapan, mulai dari pakaian sampai sepatu, tetapi itu terlihat teralu
mencolok. Ingin tampil sekeren mungkin, tapi itu hanya membuat mataku sakit.
Aku
beralih ke bagian lain gedung pengadilan. Pendukung terdakwa duduk dengan
tenang. Para pria dan wanita dengan pakaian kantoran itu pasti bawahan si
terdakwa yang minta izin hanya untuk ke persidangan bos mereka. Di paling depan
dari sisi ini aku bertemu dengan keluarga terdakwa, mereka tersenyum mantap
padaku. Wanita paruh baya yang sekarang sedang melamabaikan tisunya padaku
adalah istri tuan Park, klien yang harus kubela sekarang. Di sampingnya ada
Park Ji Sung, putra pertama mereka yang pernah sekelas denganku saat SMA dulu,
orang yang memukul kepala Si Won di hari pertamaku sekolah. Aku mengenal
keluarga ini cukup baik, tuan Park adalah temain bermain giolf ayahku.
Aku
menyuruh Kim Sam Bum untuk duduk di deretan pendukung tuan Park sementara aku
menuju kursiku yang menyamping di depan hakim. Tuan Park telah duduk tenang di
samping kursi yang akan kupakai. Aku duduk di sampingnya dan memberi salam. Ia
tak banyak bicara padaku. Hanya menanyakan apakah aku sudah sarapan atau belum.
Mukanya kaku. Ia terlihat malu, hanya menundukkan muka sedari tadi. Aku melihat
lawan di seberang meja kami, korban yang didampingi penasehat hukum di kanan
kirinya, duduk di belakang meja sambil menatap tuan Park.
Suara
obrolan orang-orang dengan topik yang berbeda bercampur di udara dan bersatu
membentuk dengungan besar yang tak jelas. Argumentasi pengunjung yang
berapi-api langsung padam seketika saat majelis hakim memasuki ruang sidang dan
palu yang diketuk hakim ketua menandakan persidangan dimulai. Saksi-saksi telah
siap memberikan informasi yang mereka
tahu. Tanpa mengurangi atau melebihkan, aku ragu, bagaimana kalau sedikit
membelokkan? Mereka sudah disumpah? Bagaimana dengan sedikit keajaiban kertas
bermata itu?
Aku
menguap beberapa kali saat mendengar bukti-bukti yang diutarakani penasehat
korban. Ia membeberkan bukti-bukti di lapangan yang menjurus ke tuduhan tuan
Park memang seorang pemerkosa. Aku lihat tuan Park yang tetap saja menunduk.
Kini
tiba gilarannya untuk Kim Hyorin duduk di kursi panas, berhadapan dengan hakim.
Kim Hyorin, wanita yang cukup cantik, bertinggi badan 175 cm, maju dengan
tatapan kosong. Ia adalah mantan sekertaris Tuan Park yang mengaku jatuh cinta
padanya. Rambut Kim Hyorin agak berantakan. Ia duduk di kursinya, sempat
menatap tuan Park sebelum memulai kesaksian.
“Selamat pagi yang mulia, saya Kim Hyorin, dan seperti
kesaksian saya pada sidang sebelumnya. Tetap tidak berubah, ia telah memperkosa
saya,” suaranya parau. Pengunjung kembali berdecit setelah mendengarnya.
“Saya mengundangnya untuk pesta ulang tahun hari itu.
Saya pikir tidak aneh mengundangnya, ia adalah atasan saya, lagipula di luar
urusan kantor, ia adalah kekasih saya,” ia berhenti sejenak, menikmati keriuhan
yang kembali terjadi. Butuh ketukan tiga kali untuk membuat hadirin diam.
“Tentu saja saya juga mengundang beberapa teman ke
apartemen, hanya saja mereka datang lebih awal dari bos saya. Kalian bisa tanya
saksi, apakah benar Tuan Park datang. Kemudian ia sampai ke apartemen saya di
saat beberapa teman sudah pulang, hanya bersisa teman saya Lee Yong Dae,” ia
berhenti sebentar untuk melihat pria di meja saksi.
“Tapi Lee Yong Dae pulang tidak lama sejak kedatangan
bos. Kemudian hanya ada kami berdua. Itu pertama kalinya kami berduaan sejak ia
mengaku cinta padaku tiga bulan yang lalu. Awalnya kami hanya ngobrol biasa,
tapi semua berubah saat ia menceritakan kisah porno. Ia mulai meraba pahaku,
naik sampai ke rokku. Aku berusaha menolak sampai ia benar-benar jadi gila!”
nadanya meninggi, ia mengacak-ngacak rambutnya. Aku melirik ke Park Si Hoo yang
sedang menggaruki meja lalu menggerakkan telunjuknya maju mundur. Ia menelan
ludah saat mendengar cerita itu.
“Kemudian ia menyerangku, menanggalkan dengan paksa
pakaianku, lalu memuaskan fantasi seksnya, huhuhu....” ia menangis
sejadi-jadinya. Pengacaranya maju untu menenangkannya, “Ia melakukan dengan
sangat kasar, aku kesakitan, dan ia membentur-benturkan kepalaku seakan aku
hanya boneka,” pengunjung berjengit saat mendengarnya. Bahkan istri Tuan Park
melanjutkan tangisannya.
“PARK SI HOO! Kau lihat luka ini???!!!” ia berdiri
serta merta lalu menunjukkan bekas cakaran di perut. Pengacara wanita yang
berdiri di sampingnya refleks untuk menurunkan lagi baju yang diangkat korban
di hadapan umum.
Lee Hyorin menangis
tersedu-sedu saat berjalan kembali ke kursi korban, meninggalkan kursi panas
itu kosong begitu saja. pengacaranya berusaha menenangkan Lee Hyorin yang
terguncang. Aku sempat gentar saat ingin memulai pembelaan. Aku sungguh tak
tega padanya, tapi kredibilitas sebagai pengacara adalah yang utama. Ketika
harus pura-pura untuk terlihat profesional adalah taruhan dan keangkuhan yang
menjadi raja, hati nurani tak mampu lagi teriak, apalagi saat didekap jutaan
won. Tapi bukan lembaran won yang membuatku tetap bertahan mendampingi Park Si
Hoo, melainkan karena permintaan ayahku.
Seperti biasa, aku berjalan mantap ke tengah ruangan
untuk menyampaikan alibi, “Nona Lee, cerita yang bagus,” aku berhenti sebentar
untuk memasikan suaraku tak bergetar. Dari sini aku bisa melihat Kim Sam Bum
yang menunjukkan dua jempol untuk menyemangatiku.
“Seperti sidang sebelumnya, ceritamu adalah magnetnya,
kau cocok jadi pengarang saja,” kataku sambil mengelilingi ruangan.
“Tapi kita di sini butuh bukti nona Lee, bukan
khayalan...” tambahku.
“Aku tidak berkhayal!’” sambarnya dengan menatapku
marah.
“Sssttt...” aku menempelkan telunjuk di depan bibirku,
kemudian mendekat ke mejanya, berusaha memainkan emosi. Aku melihat kalung
salib menggantung di lehernya, aku tak kuat melihatnya dan memilih mengalihan
pandanganku.
“Bukti apa yang bisa kaubawa selain kesaksian mantan
pacarmu, Lee Yong Dae? Kau diberi waktu dua bulan untuk mencari bukti, tapi apa
hanya ini yang bisa kulihat?” aku mengalihkan pandanganku ke pengacara wanita
itu. ia menatapku galak.
“Kuberikan kau ide untuk mencari bukti. Barangkali
kalian bisa menemukan sperma Park Si Hoo jika benar ia yang melakukannya. Tapi
bukankah tak ada apapun di celana dalam nona ini selain darah yang sudah pasti
miliknya?”
“Ia memakai kondom saat melakukannya!” jerit Kim
Hyorin.
“Kalau begitu kau tidak bisa menuduh Park Si Hoo yang
memperkosamu! Mana ada orang yang mau memperkosa harus siap-siap dulu dengan
kondomnya!” tantangku. Para pengunjung mulai bicara lagi, menimbang-nimbang
pernyataanku.
“Hasil visum memperlihatkan
selaput dara yang baru saja robek dan saksi-saksi ini bisa bersaksi padamu
kalau Park Si Hoo ada di tempat saat kejadian terjadi!” bela pengacara wanita
itu.
“Oh ya? Kau yakin? Memang mereka secara langsung
melihat pemerkosaan itu pada 23.15? Kalau begitu kenapa tak kau tuduh saja Lee
Yong Dae yang ada di tempat kejadian juga?” aku berjalan menuju meja saksi, aku
akan menanyai satpam apartemen “Tuan Kim, kau ada di bawah sumpah, bukankah
sekitar jam 23.30 kau masih bertugas kan? Kau masih melihatnya berkeliaran di
sekitar apartemen?” yang ditanya mengangguk.
“Apartemen itu sangat besar! Sungguh, aku tersesat saat
ingin keluar!” bentak Lee Yong Dae. Aku menggeleng.
“Sudah jelas yang mulia. Percuma saja diadakan sidang
ini. tak ada bukti yang cukup kuat untuk mempidanakan Park Si Hoo. Persidangan
hanya akan terus berjalan dengan bukti-bukti tak adekuat. Hanya buang-buang
waktu. Sebagai penutup, mungkin yang mulia bisa mempertimbangkan, Park Si Hoo
adalah salah satu tokoh partai pendukung pemerintah. Mengingat pemilu yang tak
lama lagi, bisa kita ambil benang merah kalau terdakwa sengaja dijebak dengan
masalah ini. Asal anda tahu, kakak Lee Hyorin adalah simpatisan partai oposisi,
dan bisa jadi mereka memanfaatkan nona yang malang ini. Lee Yong Dae barangkali
bisa jadi pertimbangan sebagai pelakunya,” kataku cuek sambil kembali ke tempat
duduk.
“Aku tak akan melakukan perbuatan zina!!!! Aku selalu
menolak jika ia mengajaku melakukannya!!!”
jerit Lee hyorin yang mendesak maju menuju tempatku tapi dihalangi
polisi dan pengacaranya. Ia memberontak.
“Untuk pertimbangan hakim, sidang kita reses sebentar,”
kata ketua majellis, lalu ia mengetukan palunya.
Aku
berjalan menuju ruang istirahat dengan teriakan Lee Hyorin masih terngiang di
telingaku. Aku tak bisa menghilangkan dirinya yang menggunakan kalung salib
itu, orang yang benar-benar dizalimi harus berakhir demikian. Keluarga Park Si
Hoo menyalamiku, mereka menganggap penampilanku sangat luar biasa. Aku melirik
ke pendukung korban yang terlihat layu. Beberapa dari mereka menatapku benci.
“Itu luar biasa nyonya Jung,” kata Kim Sam Bum yang
harus menerobos pengunjung lain untuk mencapaiku. Aku tertawa hampa.
Seperti
yang telah kupikiran, hakim memukulkan palu bersamaan dengan putusan tak
bersalah atas Park Si Hoo. Pendukungnya berteriak bahagia, mereka
mengelu-elukanku. Kelurga Lee Hyorin sempat mengamuk, mereka menerjang
pendukung Park Si Hoo untuk mencekik leher pria yang baru kuselamatkan. Media
berbondong-bondong mendatangiku, tapi aku tak menerima wawancara. Aku melihat
dari sudut ini, Lee Hyorin yang menatap kosong. Aku melakukannya lagi. Aku
membebaskan penjahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar