Kereta yang kami
tumpangi mulai memelankan lajunya begitu bangunan stasiun terlihat. Aku
menjulurkan kepala keluar dari jendela merasakan angin daerah asing yang belum
kukenal ini menampar wajahku. Deretan pohon pisang, kemudian pepaya, lalu berganti
lagi dengan pohon lain yang aku tak tahu pasti namanya berbaris sepanjang rel
kereta, memagari rumah-rumah penduduk yang menunjukkan tampak belakang dan baju-baju yang dijemur terpanggang panas matahari jam sepuluh pagi ini. Aku
memincingkan mataku lagi, menangkap bangunan bata merah dengan orang-orang yang
berubah posisi dari duduk ke berdiri
ketika kereta kami memasuki stasiun.
“Shinta, kita
sudah sampai!” kataku sambil mengguncang perempuan yang kepalanya menempel pada
jendela, tertidur.
Aku lupa nama kota
kampung halaman Shinta ini. Entah mengapa, mungkin karea namanya terlalu asing
untuk telinga orang dari Indonesia timur sepertiku. Yang pasti diawali huruf P dan terletak di ujung selatan pulau Jawa. Aku menggendong ransel kecil miliku,
lalu melakukan sedikit peregangan punggung, mengingat aku harus duduk selama
enam jam di atas kereta ekonomi AC yang tempat duduknya keras dan tidak bisa
kau atur posisinya, membuat tubuhmu sangat tak nyaman.
Shinta memimpin mencari
jalan keluar dari stasiun yang katanya sudah beroperasi sejak zaman Belanda.
Pedagang asongan meneriakkan dagangannya, salah satu mendekatiku, menawarkan
sebungkus tahu sumedang yang plastiknya beruap. Aku hanya tersenyum dengan agak
menyesal karena tidak membeli dagangan anak laki-laki yang hidungnya kotor itu.
Aku berjalan mengikuti Shinta yang ranselnya kini di taruh di depan dada.
“Banyak copet,
taruh tasmu di depan,” aku tiba-tiba teringat nasehatnya.
Aku akan menghabiskan
liburan semester ini di tempat kawanku, Shinta. Walau agak sedih karena tidak
bisa pulang ke kampung halaman sendiri, tetapi Ibu Shinta yang gempal dan ramah
itu sangat menyenangkan saat pertama kali aku bertemu dengannya di hari-hari
awal masuk perguruan tinggi. Ajakannya untuk ikut berlibur dengan putrinya di
tempat antah-berantah ini langung ku-iya-kan saja.
Perjalanan kami belum
selesai, kami harus melanjutkan dengan angkot untuk sampai ke desa Shinta.
Mobil berwarna biru langit itu bergoyang-goyang begitu melewati jalan
berkerikil. Halusnya aspal jalanan sudah tidak kami rasakan sejak kami memasuki
jalanan kampung, sekitar 10 km dari kota yang sampai sekarang berusaha kuingat
namanya. Belum tampak rumah-rumah, pemandangan yang ada masih pohon-pohon
lebat, sungai, lalu pematang sawah. Beberapa orang bersepeda onthel dengan
jerami di tempat duduk belakang. Aku memberi tatapan bosan pada Shinta yang
duduk di hadapanku.
“Sebentar lagi,”
katanya sambil tersenyum, “Kita akan melewati satu belokan lagi untuk sampai.
Nah itu belokannya!”
Angkot di sini berhenti di
posnya, membuat kami harus berjalan kaki sendiri menuju rumah Shinta yang
berjarak 200m lagi. Orang-orang makin ramai berlalu lalang. Anak-anak
berlarian, itik-itik berbaris, kambing-kambing mengembik. Sekumpulan remaja
putra yang sedang bermain bola berteriak dari tengah lapangan begitu melihat
kami. Aku memandang Shinta yang namanya diserukan penjaga gawang botak di bawah
gawang bambu. Shinta tersenyum.
Kami sampai di depan
sebuah rumah yang berbeda dari rumah di sekitarnya. Hanya rumah ini yang dikelilingi
pagar besi tinggi, dengan dua patung makhluk bertaring memegang pentungan di
kiri kanannya. Di
bagian lain halaman terdapat pendopo yang kutebak sebagai tempat
nongkrong-nongkrong saja. Aku mengerutkan kening melihat dua mobil yang
terparkir di depan garasi. Kenapa ia tidak meminta orang rumah untuk menjemput?
Shinta yang memiliki gelar roro di depan namanya masih memukulkan gembok besi
pada pagar sambil berteriak.
Aku mengamati lagi
lingkungan sekitarnya sampai mataku terpaku pada sebuah rumah diseberang rumah
Shinta. Rumah itu rumah kedua dari batu bata selain rumah Shinta yang kulihat
di sini. Pohon-pohon rindang besar menutupi halamannya. Dinding bercat putihnya
sudah ditumbuhi lumut. Langit-langit di nagian depan rumah sudah rusak sebagian,
tripleks berjamur menggantung dari sana. Rumahnya memiliki cerobong asap,
seperti rumah di negara dingin saja. Rumah tua bergaya Belanda itu pasti
mengerikan di malam hari, membayangkannya saja sudah membuatku merinding,
apalagi saat aku melihat sesuatu mengintip dari jendelanya.....
“AAAARRRRGGGHHHH!!!!!!!!!!!!!!”
***
“Jadi kamu
melhatnya?”
Aku mengangguk pelan.
Tanganku masih gemetaran saat memegang gelas teh manis. Aku menjulurkan lidahku
yang kelu karena kepanasan. Ayah Shinta menghembukan asap tebal dari cerutunya,
lalu membiarkan cerutu itu terjepit di antara telunjuk dan jari tengahnya,
mengabaikan putrinya yang pura-pura batuk. Ayah Shinta menengok sebentar rumah
tua itu dari balik jendela ruang tamu, lalu ia memandangku sambil tersenyum
tipis. Aku memukul jidatku sendiri karena jeritan histerisku tadi, jeritan yang
berhasil memanggil pembantu Shinta untuk membuka gerbang rumah, dan
memnbangunkan ayah Shinta dari tidur siangnya.
“Walau
mengerikan tetap saja anak-anak itu setiap sore berdiri di depannya, menatap
ingin tahu apa yang ada di dalam. Ingin lihat Mbak Mada.”
“Hah?” tubuhku
seperti kena sengat listrik, “Memang di sana benar-benar ada sesuatu om? Saya
bukan salah lihat?”
Ayah Shinta mengangguk
ragu-ragu, “Mungkin. Saya juga belum pernah lihat. Ada cerita dari rumah itu,”
“Cerita? Jadi
ada ceritanya?”
“Ayo makan dulu.
Nak Tari belum pernah makan rica-rica enthok kan?” Ibu Shinta yang makin gempal
itu menyela.
Pantas saja seluruh
anggota keluarga Shinta berbadan tambun. Begitu mencium aroma masakan olahan
unggas blasteran ayam dan itik itu,langsung saja air liurku menetes. Tidak
salah lagi, Ibu Shinta memang pintar memasak. Aku hanya bisa memejamkan mata,
menikmati rica-rica enthok yang baru pertama kali kumakan seumur hidupku. Aku
menyendok lagi nasi putih hangat pulen sambil mendengarkan ayah Shinta yang
mulai mendongeng setelah meniupkan asap cerutunya.
“Jad begini....”
***
Kaki ramping yang
putihnya seperti porselen meniti dengan hati-hati tangga delman sampai akhirnya
ia berhasil menjejak tanah dengan selamat. Matanya dengan liar mengikuti
anak-anak yang berlarian dengan kaki telanjang, anak-anak pribumi. Kaki-kaki
dengan jari-jari manis yang menyembul dari selopnya sudah tidak sabar menjejak
kampung halamannya. Gadis manis ini menarik napas dalam-dalam. Setelah sekian
lama bersekolah di dataran Eropa, lalu melalui perjalanan panjang di atas
samudera, Mada kembali ke Hindia Belanda. Mada memang sudah rindu pada ayah dan
ibunya, juga sudah tidak sabar untuk menemui seseorang.
Tahun itu ia berusia 16
tahun dan desas desus dari orang di sekitarnya mengabarkan organisasi bernama
Boedi Oetomo telah berdiri. Mada sedang duduk di belakang meja kerjanya,
menuliskan dengan hati-hati huruf-huruf tegak bersambung. Setelah membubuhkan
tanda tangannya dan memasukkan kertas ke dalam amplop merah jambu, Mada
menciumnya berkali-kali, menitipkan kasih dan rindunya pada sepucuk surat.
DI ruang depan Mada bisa
mendengar ayahnya mengumpat dalam bahasa Perancis saat jongos di rumah lupa
memoles senapan berburunya. Tidak perlu heran, karena ayah Mada memang orang
Perancis. Mata biru dan rambut pirangnya diturunkan pada anaknya yang seorang itu.
Ibu Mada sendiri adalah wanita Jawa berkasta, yang sempat mendapat picingan
mata tidak mengenakkan dari kerabatnya karena menikahi lelaki pemburu berkulit
putih itu. Tidak jauh berbeda dengan istrinya, Monsieur De Nicholaus harus rela
dibuang jauh-jauh dari komunitas Eropanya karena dianggap merendahkan diri
melalui pernikahan dengan pribumi.
Tapi tidak masalah bagi
Tuan Perancis begitu dibuang oleh teman-teman sesama Kaukasian. Ia memang sudah
jatuh cinta benar pada istrinya, pun dengan tempatnya mendapat buruan Harimau
Jawa ini. Tuan Perancis lebih senang berblangkon dan bersarung ketimbang berjas
dan berdasi. Bahkan dalam bercakap-cakap dengan keluarganya, Tuan Perancis akan
bebahasa Jawa dengan fasih,kecuali saat ia mengumpat. Maka begitulah, dengan
mengabaikan perbedaan darah yang mengalir dalam nadinya, Monsieur de Nicholaus
telah menjadi seorang Jawa. Totalitas dalam berbudaya Jawa juga ditunjukkan
oleh Mada, yang sehari-hari berkebaya dan berkonde.
Kini Mada hanya bisa
berbaring sambil nyengir dalam kamarnya. Tadi ia menitipkan suratnya pada supir
delman yang akan melalui rumah Kanda Pram-nya. Sudah banyak yang tahu tentang
keduanya. Ayah ibu Mada pun sudah tahu, begitu juga Raden Kartosasmito, ayah
kekasihnya. Mada hanya bisa tersenyum mendengar pernyataan iri teman-teman
gadisnya yang lain. Saat kawannya harus meninggalkan cinta dan menerima lamaran
laki-laki lain lewat perjodohan, Mada memang menjalin kasih dengan laki-laki
yang tanpa ia ketahui sebelumnya, memang akan dijodohkan dengannya. Ia tidak
peduli dengan latar belakang perjodohan mereka, yaitu agar Raden Kartosasmito
dapat menjalin hubungan keluarga dengan Bupati daerah sini, yaitu paman Mada
sendiri. Ya, perjalanan cintanya memang mulus kecuali mendapatkan restu dari
Ibu Pram, wanita Jawa konservatif yang memandang Mada bukan dari turunan
bangsawan murni, dan juga Mada yang bersekolah jauh dari pengawasan keluarganya
menimbulkan kecurigaan dalam hatinya kalau Mada tak lagi perawan.
“Siapa yang tahu
apa yang dia lakukan di Eropa sana?” tanya Nyonya Kartosasmito dengan suara
tinggi.
Tetapi Pram akan menggenggam
tangannya erat-erat dan menentramkan hatinya dengan menjelaskan bahwa semua
akan baik-baik saja. begitu juga saat ini, saat ia sedang bermain tenis dengan
kawan-kawan Belandanya, supir delman yang mampir sebentar memanggil dari
pinggir lapangan. Mada merobek amplop yang sudah ditunggu selama 14 jam sejak
kemarin malam. Matanya menyisir kertas dari kiri ke kanan, lalu senyumnya
mengembang.
“Ia akan ke
rumahku besok bersama orang tuanya,”
“Itu bagus,”kata
nona berrok merah yang tidak peduli latar belakang kawannya itu.
“Tapi...” air
muka Mada kini berubah.
“Tapi apa?”
“Ibunya ingin
tahu apakah aku bisa memasak. Ia ingin aku memasakkan sesuatu untuknya. Kau
tahu, ayah dan ibu sangat ingin pikiranku berkembang seperti wanita di Eropa,
tetapi mereka lupa untuk mengajarkanku keterampilan di dapur,”
Keempat orang itu
saling berpandangan, dan tak sampai lima menit kemudian Mada berlari kecil
menuju rumah. Ia mencari-cari ibunya yang sedang menjahit, ditunjukannya surat
itu, lalu ia meminta agar diajarkan memasak. Keduanya sangat bersemangat
menyambut kedatangan tamu besar esok hari, kecuali Monsieur yang duduk merajuk
karena takut sang putri kecipratan minyak panas atau pun jari putrinya teriris
pisau. Terlalu berbahaya, begitulah komentar singkatnya.
Mereka mencoba berbagai
resep yang dikuasai Ibu Mada, sampai mereka tiba pada kesimpulan apa yang akan
dimasak untuk besok.
“Rica-rica enthok
membuat ayahmu tidak bisa berhenti mengunyah. Tenang nduk, semua akan baik-baik
saja besok,” katanya sambil mengelus rambut Mada.
Maka esoknya mereka
bersiap-siap. Rumah bercerobong asap khas negara-negara dingin itu sudah sibuk
pagi-pagi sekali. Rumah disapu, halaman dibersihkan. Di dapur Mada dan ibunya
sudah menyiapkan bahan-bahan; bawang merah, bawang putih, cabai, asam jawa,
daun bawang dan lain-lain. Enthoknya? Ibu Mada meminta agar dipotong nanti saja
ketika calon menantunya datang. Enthok segar adalah salah satu rahasia
kelezatan menu ini.
Mada sendiri masih saja
mondar-mandir, mengecek apakah bahan-bahan sudah siap, lalu ia akan berkeliling
lagi, mengucapkan tanpa suara tahapan memasak yang benar dan mengingat lagi
bentuk bahan yang akan ia masukkan. Ditengoknya enthok gemuk yang juga sama gelisahnya
karena mau dipotong.
“Sebaiknya kau
benar-benar enak enthok!” ancam Mada.
Derap langkah kaki kuda
membangunkan Mada dari lamunannya. Mada segera berlari ke depan dan mengintip
dari tralis jendela, calon suami dan calon mertuanya sudah tiba. Sesuai rencana,
setelah sedikit basa-basi, Mada dan
Nyonya Kartosasmito tidak butuh waktu lama untuk menuju dapur. Mada berusaha
mengingat-ngingat kembali apa yang sudah dipelarinya kemarin, mulutnya
komat-kamit menyebutkan tanpa suara bahan-bahan dari masakannya. Tangan Mada
bergerak-gerak di atas alat yang akan diambilnya. Pisau! Kau butuh pisau untuk
mengupas bawang!
Mada mulai mengupas
bawang satu per satu, lalu mengirisnya dan..
“Aduh!” Mada
meringis sebentar, kemudian cepat-cepat menghisap darahnya sendiri, sebuah
tindakan yang tidak luput dari pengamatan calon mertuanya.
“Apa kau masih
bisa melanjutkan?”
Mada mengangguk
kuat-kuat, diambilnya bawang lagi. jantungnya berdegup makin kencang, tidak ada
yang bisa ia dengar selain suara Nyonya Kartosasmito dalam khayalannya.
Perempuan itu melotot padanya, kini ia membentak keras-keras agar Mada mengiris
bawang-bawang itu makin cepat sementara tepat di sampingnya, Nyonya
Kartosasmito di dunia nyata menatap gadis itu dengan heran. Beberapa kali
Nyonya Kartosasmito memanggil, tetapi Mada hanya mengangguk atau menggeleng,
dan wanita bersanggul tinggi itu berpikir calon mantu yang terpaksa dipilihnya
itu tidak ingin diganggu.
Mada kemudian membentak
seorang jongos untuk menyalakan tungku, lalu ia meletakkan belanga besar,
menuang minyak, setelah itu mulai menumis bumbu sampai harum. Beberapa meter
jauhnya di ruang tamu sana, Pramono beserta kedua orang tuanya dan juga empat
adiknya, ditambah Monsieur de Nicholaus dan istrinya mengendus aroma harum
tumisan bumbu. Ibu Mada melirik ke calon besannya yang memejamkan mata,
kemudian bersin.
“Sepertinya sedap
sekali,” ujar Tuan Kartosasmito sembari mengusap hidungnya yang berair. Jelas
ia mulai tergoda.
“Kau terlalu
banyak memasukkan garamnya!” bisik Mada pada dirinya, “Tidak, tidak, santannya
jangan sampai pecah! Oh tidak! Enthok? Mana enthok???!!!”
Enthok yang benar-benar
baru dipotong itu dicelupkan ke dalam air panas agar bulunya mudah dilepas.
Mada yang pikirannya dipenuhi Tuan dan Nyonya Kartosasmito melirik arloji emasnya.
Keringat mengujur di dahinya, menuruni pelipis, kemudian sampai di pipi. Tangan
Mada saling meremas, jantungnya terasa tertarik. Udara yang dihirupnya terasa
sangat kering, sampai ia merasa gelagapan karena tak bisa bernapas.
“Kau tidak bisa membubutinya
lebih cepat?” bentak Mada.
“Sebentar non,
bulunya masih susah dicabut,” kata jongos ketakutan.
“Tidak usah kau
bubuti! Langsung kuliti saja!”
Kini Mada sedang
berhadapan dengan enthok utuh tanpa kulit. Tangan kanannya menggenggam
gemetar pisau daging besar. Mada mengangkat pisaunya dan mulai memotong tapi
tidak juga berhasil. Sepertinya butuh tenaga lebih untuk memotong daging
beserta tulang-tulangnya ini. Mada mengarahkan ujung tajam pisau yang mengkilap
memantulkan sinar matahari ke matanya, memberinya tekad untuk mengayunkan
pisaunya lebih kuat. Sekali lagi Mada mengangkatnya, dan ya berhasil! Bagian
pahanya kini sudah terpisah. Mada yang ngos-ngosan menyeringai bahagia. Ia makin
bersemangat untuk memotong enthok menjadi bagian-bagian kecil. Yah,
enthok-enthok yang masih segar mengeluarkan darah begitu mata pisaunya
dihantamkan ke badan enthok. Banyak sekali darahnya, berarti enthok-enthok ini
segar benar, begitu pikirnya.
Maka ia mengangkat
pisau, lalu memotong. Mengangkat, memotong. Terus saja sampai semuanya menjadi
kecil, setelah itu dimasukkannya ke dalam belanga berisi santan mendidih
berwarna merah. Mada mengambil spatula, tidak peduli dengan tangannya yang
berlumur darah. ia mengaduk-ngaduk
masakannya sampai matang, mengamati warnanya yang menjadi sangat merah,
lebih merah dari hasil percobaan mereka kemarin. Namun Mada tak peduli. Bahkan
ia membiarkan saja tangannya yang masih berlumuran darah itu menata rica-rica
enthok di piring saji.
“Mbok Ijah,
letakkanlah makanan ini di meja makan. Ayah dan Ibu serta tamu sudah di sana.
Aku mau cuci tangan dulu. Darah enthok terlalu banyak,” perintah Mada yang
langsung dituruti oleh jongosnya.
Mada meringis merasakan
keanehan pada tangan kirinya.
“Mungkin karena aku
memegang enthok teralu kuat, tangan kiriku jadi kebas begini,” batinnya.
Baru saja Mada berjalan
menuju kamar mandi, celotehan Tuan Kartosasmito menghentikan langkahnya.
“Ini enak
sekali!” ujarnya.
Tidak perlu menunggu
lama sampai Mada juga mendengar pujian dari calon suaminya kemudian diikuti
ayah dan ibunya sendiri. Namun Mada masih termangu, menunggu pernyataan dari
sosok yang masih memandangnya sebelah mata.
“Panggil Nduk
Mada ke mari, dia harus memakannya juga. Dia harus sering membuatkanku ini,”
Sayup-sayup Mada
mendengar wanita ningrat itu memuji masakannya. Mada tak tahu lagi apa yang
bisa membuatnya lebih bahagia dari ini. Ia melompat-lompat kegirangan,
kekhawatirannya berganti dengan rasa bahagia yang luar biasa. Mada cepat-cepat
berlari ke kamar mandi, menyiram tangannya yang berwarna merah, menggosok
tangannya dengan sabun, menggosok sela-sela jari, yang kanan dan kiri, yang
kanan dan.....
Dunia Mada terhenti
untuk sementara waktu. Matanya melebar setelah mendapati penyebab rasa kebas
yang ia rasakan. Darah yang sudah disiram terus mengucur dari sumbernya. Jemari
kanannya terus meraba mencari sesuatu yang hilang, sementara pandangannya tetap
lurus ke depan, ke arah tembok kamar mandi, tidak berani menengok ke bawah. Ia
tidak merasakannya lagi! tidak mungkin!
“TIIDDDAAAKKK!!!!!!!!!!!!”
Mada menjerit sejadi-jadinya.
***
Ayah Shinta mengakhiri
ceritanya dengan jeritan menyerupai wanita. Aku hanya termangu setelah
mendengarnya. Walau kini suara Ayah Shinta sudah kembali ke semula, suaranya
dalam kengerian saat bercerita tadi masih terngiang di telingaku. Kisahnya
masih terputar di dalam otakku, tidak mau berganti dengan yang lain. Aku
memandang tiga wajah di depanku yang tampak tenang-tenang saja, bahkan
cenderung girang. Mulut mereka masih mengunyah nasi dan enthok rica-rica. Aku
menelan ludahku, merasa jijik dengan apa yang kualami kurang dari tiga jam ini,
mulai dari sebuah tatapan di rumah tua itu, cerita Ayah Shinta, dan kini
ekspresi keluarga Shinta.
“Jadi, rumah tua
khas Belanda itu milik Mada om?” tanyaku pelan. Yang ditanya hanya mengangguk.
“Terus apa yang
terjadi padanya?”
“Orang-orang
bilang mereka mencari jari ke-2, ke-3, dan ke-4nya di dalam piring saji. Tapi
yang ditemukan hanya telunjuknya. Tidak ada yang tahu ke mana sisanya, masuk ke
perut siapa dua jari itu.”
“Dia jadi nikah
sama Pramono?” aku memaksakan diri untuk bertanya meski merasa mual.
“Ada yang bilang
jadi, ada yang bilang tidak. Versi yang ‘jadi’ mengatakan Mada akhirnya tetap
menikah dan hidup bahagia. Ia menemukan bakat terpendam dalam memasak dan
berhasil meluluhkan hati mertuanya, apalagi saat itu dia cacat. Kemudian ia
meninggal, lalu dikremasi dan abunya ditaruh di rumah itu. Versi yang lain
mengatakan ia tak menikah karena malu atas kecacatannya meski Pramono terus
menyatakan cinta dan niatnya untuk menikahi Mada. Mada hanya mengurung diri di
kamar, depresi, hingga akhirnya meninggal. Ayahnya yang sangat sayang padanya
langsung mengambil senapan angin dan menembak kepalanya sendiri. sedangkan
ibunya tidak ada yang tahu.”
Ayah Shinta berhenti
bercerita sebentar untuk menghisap cerutu yang baru ia nyalakan. Kepulan asap
bulat keluar dari mulutnya. Aku memandang Shinta yang sedang menyeruput kuah
rica-rica enthok berwarna merah itu.
“Memang akhir
kisahnya masih simpang siur. Bahkan rumah yang katanya angker pun masih jadi
pembicaraan juga. Namun yang pasti Mada telah mewariskan sebuah cerita
cinta luar biasa dan yang terpenting
adalah.... ia telah menurunkan sebuah resep lezat,”
Aku terpaku menatap
asap bulat yang terus mengepul dari mulut Ayah Shinta. Butuh waktu beberapa
saat sampai aku bisa mencerna kata-katanya. Perlahan aku memandang piringku,
menatap potongan daging yang sudah sebagian kumakan. Dengan sendok dan garpu
yang gemetaran, aku mencoba memutar posisi daging. Hatiku mencelos. Perutku terasa
terkocok-kocok ingin memuntahkan seluruh isi perut yang baru kumasukkan.
Kepalaku pening mencium aroma berempah kuah rica-rica yang memenuhi ruangan.
Aku melirik Shinta yang sedang menyeringai kepadaku. Mulutnya yang penuh makanan
menelurkan tanya.
“Enak bukan?”