Dada bapak naik
turun kejar-kejaran. Bapak kehilangan cukup banyak darah katanya, bapak anemia
katanya, bapak kini terbaring lemah dengan masker oksigen. Tidak ada yang tahu
kondisi bapak. Bapak memang hanya tinggal sendiri, tidak mau merepotkan
anak-anaknya untuk menemani setelah kematian ibu. Tidak heran juga kenapa ia
tidak mau karena seketika muka-muka anaknya pada berkerut.
“Repot juga kalau mau urus Bapak.
Anak-anak masih kecil,” ujar kakak iparku. Kakak laki-lakiku hanya diam membeo
ucapan istrinya.
Aku
hanya mendesah, tidak mungkin kubawa bapak tinggal bersamaku di luar kota, aku
hanya pegawai magang yang tinggal di kos-kosan kecil. Sehingga bapak akhirnya tinggal seorang diri di rumah. Maka
pagi itu bapak diketahui muntah dan berak darah. Bapak kemudian terkapar lemas
di kursi ruang tamu, putus asa menanti anak-anaknya yang tak kunjung datang
setelah ditelepon. Kakakku dan istrinya hanya saling pandang ketika ditanya
dokter, tidak tahu bagaimana kondisi bapak dan juga sejak kapan perut bapak
mulai membesar seperti sekarang. Aku langsung memacu motorku dari kota yang
berjarak 2 jam, mengutuk diri sendiri karena tidak pernah menaruh pehatian pada
bapak.
Seorang
perempuan tiba-tiba masuk kamar, membangunkanku dari lamunan. Mukanya terlihat
kucel, berbeda dari seorang lagi yang datang sebelumnya. Ia langsung memasang
manset tensimeter di lengan bapak, lalu sambil menguap menyebutkan hasil
pemeriksaannya. Di sudut tempat tidur itu aku merengut. Seenaknya saja ia masuk
kamar bapak dan memasang alat-alat itu. Tanpa ba bi bu meraih jari bapak dan
menjepitnya dengan alat kecil.
“Eh, bapak saya mau kamu apakan?”
gertakku. Wajah sembab itu menoleh padaku.
“Saya harus cek kondisi bapak,
bapak sempat sesak kan tadi?” katanya datar.
“Kenapa tidak permisi dulu?” Ia
tak menjawab pertanyaanku, “Bapak saya kenapa?”
“Kami observasi dulu ya Mas”
“Dari tadi jawabannya observasi
terus...”
“Saya kerja dulu ya Mas!”
potongnya kasar. Aku tertegun. Diam, melotot sebesar mungkin padanya.
Perempuan
itu mengulum bibirnya. Tidak bisa mengeluarkan kata-kata di ujung lidahnya,
memilih untuk menelannya bulat-bulat. Suaranya berubah sengau ketika ia
kemudian minta maaf dan minta izin untuk melanjutkan pekerjaannya. Dari nama di
baju jaganya itu, ketahuan si Lulu adalah dokter muda. Setelah menyelesaikan
tugasnya, Lulu menyeret kakinya menuju pintu. Tak menjelaskan apapun,
meninggalkanku dengan beribu tanya tentang kondisi bapak dan perasaan dongkol
pada sosok menyebalkan itu.
Aku
tak pernah suka suasana rumah sakit. Mulai dari baunya yang bau orang sakit,
atmosfernya yang penuh duka, lorong-lorong panjang yang redup, dan
obrolan-obrolan keluarga pasien lain tentang pengobatan alternatif. Pasien di
sebelah tempat tidur bapak kini sedang ditanya-tanyai. Untung bapak itu memang
gemar bercerita. Sudah lebih dari sekali pagi itu ia ditanyai oleh sekelompok
orang berjas putih, dengan ukuran lengan jas yang berbeda dan degradasi warna
putih yang beragam, dari yang seputih salju sampai yang seputih gading. Kamu jadi
bisa tahu mana yang sudah dipakai lebih dari setahun, mana yang baru dipakai tidak
sampai seminggu.
“Tidak bosan, Pak?” tanyaku pada
bapak pengidap kanker usus itu. Dokter bilang kankernya tak bisa diangkat,
sudah terlanjur menyebar ke jaringan lain, sehingga dikemoterapi saja.
“Hahaha,” ia menggeleng, tulang-tulang
tampak menonjol di wajahnya, “Selama ini saya tidak pernah ditanyai kondisinya
selengkap itu. Mumpung di rumah sakit. Kalau sudah pulang siapa yang mau tanya?
Anak saya? Capek dia dengerin saya.”
Pemilik
ranjang yang lain berbeda lagi. Ada pria seusia bapak yang sudah tidak sabar
ingin pulang. Setiap perawat memasuki ruangan berisi enam ranjang itu, todongan
pertanyaan ‘kapan pulang’ selalu menggema dalam ruangan. Pria setengah baya di
bagian kamar lain berbeda lagi isi pikirannya. Mukanya sejak bapak datang di
sini selalu tidak santai. Tagihan rumah sakit pasti akan membengkak sepanjang
ia terus tinggal di sini, mungkin seperti itu pikirannya. Pasien yang ranjangannya
dekat pintu mengatakan ia belum sempat membuat asuransi yang digadang-gadang
pemerintah, sialnya ia terlanjur masuk rumah sakit karena sesak nafas. Dokter
bilang karena kebiasaannya merokok selama 20 tahun.
Aku
tidak pernah suka suasana rumah sakit. Apalagi makanannya. Sisa sarapan bapak
masih tergeletak di atas meja. Aku mengambil mangkok berisi bubur itu dan
memakannya pelan-pelan. Bapak masih tergolek lemah. Belum mau bicara banyak
padaku, barangkali masih kesal karena anak-anaknya datang terlambat. Kali ini
seorang laki-laki muda, barangkali teman perempuan semalam, datang untuk
memeriksa. Ia tersenyum sopan meminta izin, kemudian mulai menempelkan
stetoskop. Sesekali ia menyeka rambutnya yang terjuntai walapun telah diberi
pomade. Dandanannya parlente. Harga jam tangan yang berkilau itu pasti di atas
satu juta. Aromanya yang harum menerobos bau-bau orang sakit di sini.
“Kondisi Bapak sudah mulai baik
ya, Mas. Tadi sudah masuk 4 kantong darah, hemoglobinnya sudah naik.” katanya
sambil memperbaiki kacamata.
“Jadi untuk mengetahui penyebab bapak muntah
darah.....” aku tak bisa mengingat kata-katanya selanjutnya. Aku hanya
mengangguk asal saja, ingin pamer pada keluarga pasien lain yang melihat ingin
tahu ke arah kami. Sok tahu.
Pendidikanku
tidak cukup tinggi untuk mengerti kata-kata seperti suspek hepatitis kronis,
sirosis, keganasan dan sebagainya. Dokter muda itu tersenyum lagi, lalu menjelaskan tentang prosedur USG
yang harus dijalani bapak. Aku hanya mengangguk setuju, kemudian diminta ke
sebuah ruangan bertemu dokter yang lebih tua. Aku teringat doker muda yang
menjawab dongkol semalam. Barangkali akan sia-sia juga ia bercerita tentang
kondisi bapak saat kumintai penjelasan.
Ruangan itu berada
di bagian depan bangsal. Terdapat semacam tirai tidak terlihat antara bagian depan
-yang merupakan tempat berkumpul perawat dan dokter- dan bagian belakang yang
berisi para pesakitan. Batas antara dua bagian itu cukup ditandai dengan
samar-samar suara tawa yang sesekali muncul dari sebuah ruangan. Bagian depan
itu terdiri dari 3 ruangan, yaitu nurse station, sebuah ruangan tempat
munculnya suara tawa bertuliskan ‘Ruang Diskusi’, dan ruangan lain bertuliskan
‘Ruang konsultasi’. Ruang terakhir adalah tempatku menunggu dokter tua yang
dijanjikan. Dokter-dokter muda dengan jas yang lebih menjuntai ke bawah hilir
mudik keluar masuk ruang Diskusi sambil meredam tawa.
Dari bilik ini
aku bisa mendengar cerita dokter-dokter muda itu. Ceritanya cukup menarik
untukku sampai aku harus menempelkan telinga cukup dekat ke dinding walau cuma
terdengar samar-samar. Ada yang baru pulang liburan dari Lombok, ada yang dibelikan
mobil baru, cerita tentang pasien yang membandel, tentang pengidap kanker usus
di kamar bapak yang harapan hidupnya tidak lama lagi, gosip-gosip tentang teman
mereka sendiri, sampai ke hal-hal lain yang sama terlarangnya untuk diketahui
olehku.
“Kasihan sekali yang jaga
semalam,”
“Kenapa?”
“Tidak bisa tidur. Empat pasien
butuh pengawasan. Satu harus dipijat jantung,”
“Siapa saja yang jaga?”
“Rara dan mantannya Doni,”
“Hanya berdua? Kasihan sekali,
pasti capek,”
“Kasihan mantannya Doni. Dia
habis dibantai konsulen pas maju kasus, sampai nangis. Kamu tahu, dia belajar
mati-matian semalaman sebelum berhadapan dengan konsulen. Lalu jaga malamnya
perlu bolak-balik ke lab dan nganterin obat. Kamu harus liat mukanya tadi pagi.
Muka orang tidak istirahat seharian! Untung aku sempat nyuruh dia tidur
sebentar sebelum visite pasien,”
“Oh iya, dia bilang semalam juga
habis diomelin keluarga pasien,”
“Kok bisa?”
“Dia lupa minta izin ke
keluarganya buat periksa, hahaha,”
“Ih, jahat banget ngetawain. Kalau
kondisiku juga sama lelahnya dengan dia, aku juga bakal nggak mikir mau izin
ini itu, jelasin ini itu, yang penting cepat selesai. Kasihan memang si Lulu,”
Aku
tertegun mendengar nama itu. Dokter muda yang mukanya kucel semalam, yang
sembab seperti habis menangis. Perutku tiba-tiba terasa tidak enak.
“Bapak
akan ‘diteropong’ dan juga di USG besok,” begitu kata dokter yang lebih tua,
yang sudah kutunggu kedatangannya.
Setelah hampir
2 jam menunggu akhirnya aku bisa duduk berhadapan dengannya. Rasa bosan sempat
muncul saat menunggu sosok pendek itu, apalagi saat ruangan sebelah mulai
ditinggalkan para dokter muda. Tidak ada lagi cerita yang terdengar. Semua kembali
pada kesibukannya. Berdasarkan cerita dari ruang ‘diskusi’ di sebelah, dokter
yang kunanti ini baru saja kehilangan anaknya seminggu yang lalu. Tapi di
depanku ia selalu tersenyum, berusaha membesarkan hatiku, dan mungkin hatinya,
melalui cerita-ceritanya tentang Tuhan Yang Maha Mengatur, Tuhan Yang Maha
Baik. Tidak ada yang tahu seberapa besarnya kesedihan lelaki itu. Jarinya yang
gemuk menunjuk bagian mana yang harus kutandatangani sebagai tanda aku setuju
untuk tindakan medis yang lain. Kemudian tangannya menepuk pundakku, memintaku
berdoa dan bersabar.
Aku
tak pernah suka rumah sakit, kecuali bagian di mana sesama keluarga pasien
saling menyemangati dan barangkali ketika beberapa dokter serta perawat yang
manis-manis melewatimu. Kakakku dan istrinya belum juga datang untuk menggantikan
aku menemani bapak. Aku tak perlu pendapat mereka tentang prosedur USG dan
‘teropong’ itu. Tak ada bedanya mereka tahu, begitu jawabku ketika dokter tua
itu bertanya pendapat anak bapak yang lain.
Tempat tidur bapak kini ditutupi tirai ketika
aku bejalan masuk kamarnya. Bapak dengan kanker usus sedang menatap kosong ke
depan. Kali ini loyo, tidak seperti tadi pagi saat ia begitu bersemangat menjawab
pertanyaan yang diulang-ulang. Mungkin rindu keluarganya. Mungkin seperti bapak
yang rindu aku. Hatiku mencelos ketika
mata kami bertemu. Tatapan dari mata cekung itu mungkin tak akan bertahan lebih
lama. Bapak yang kukira mungkin kesusahan biaya rumah sakit kini tertawa terbahak
bersama istrinya. Mungkin habis menang lotere. Pasien yang ranjangnya paling
dekat pintu memanggilku.
“Bapakmu habis muntah darah
tadi,” katanya. Aku mengangguk padanya sambil tersenyum.
Dari
balik tirai itu aku bisa mendengar bapak bercakap-cakap, sesekali disisipi
gelak tawa seorang perempuan. Yang pasti itu bukan kakak iparku. Tak pernah ada
yang tahan mendengar cerita bapak sebelumnya, termasuk aku. Kusibak sedikit
tirai, kudapati wajah bapak yang bersemangat. Seseorang berdiri dengan baskom
berisi muntahan berwarna merah, masih menyimak cerita bapak, lalu memberikan
ucapan semangat untuknya. Aku mengenali orang itu sebagai dokter muda yang aku pelototi semalam. Tiba-tiba ia menoleh padaku, aku
membalas senyumnya sambil menggaruki kepala. Merasa tidak enakan setelah
menghakimi orang seenaknya.