Mataku
memindai dari kiri ke kanan pemandangan di depan. Suasana kali ini begitu aneh.
Dunia terasa tidak begitu cerah seperti hari biasa yang terang benderang, tidak
begitu gelap seperti saat hujan turun, ingin turun, dan sudah turun. Aku
menangkap kesan seakan ada pencahayaan khusus. Aku merasa seperti berada dalam
tayangan film bioskop. Aku memandang wajah-wajah tegang di sekitarku, hingga
aku tersadar sudah memakai baju renang. Desir angin mengenai bagian bolong baju
renang di punggungku.
Sambil ngos-ngosan, aku tersenyum. Aku
memenangkan kejuaraan itu meski aku tak tahu sejak kapan aku bisa berenang. Dari
lintasan renang, kini aku berada di tengah jalan tol, mengendarai mobil kijang
Rover tua milik ayahku. kuinjak pedal gas sepenuhnya, melintasi laut Jawa yang
memisahkan pulau Kalimanatan dan pulau Jawa. Sekelebat pikiran muncul dalam
kepalaku, sejak kapan ada jalan tol yang menghubungkan kedua pulau?
Lalu, sekarang aku berada di dalam rumah orang tuaku.
Semua yang ada di sini berwarna putih, bahkan pakaian yang kami kenakan. Aku
memperhatikan orang-orang yang sibuk lalu lalang di depan, sementara aku hanya
duduk manis di sini. Sebagian dari mereka membawa kotak-kotak sambil tersenyum
padaku, sebagian lagi cuek saja. Ibuku masih memendam wajahnya di pundak
ayahku, menangis tersedu-sedu. Di dalam kebingungan aku melirik adik
laki-lakiku yang berjalan mendekat. Dengan seringai di mukanya, laki-laki yang
selalu bertengkar denganku itu berbisik.
“Akad nikahnya sudah selesai,”
“Hah? Siapa yang menikah?”
“Kamu,”
Aku mendelik kesal, mulutku baru mau kubuka untuk
memarahinya, namun adegan telah berubah lagi. Seorang wanita yang tidak kukenal
menarikku dengan paksa, melewati orang-orang yang duduk melantai. Dari sini,
aku bisa melihat ibuku masih menangis sesenggukan. Kami berjalan mendekati
bagian tengah ruangan yang ditempati ayahku dan beberapa orang lain. Semua mata
tertuju padaku kecuali seseorang yang masih terus memunggungiku. Bahkan ketika
aku sudah duduk di sampingnya pun ia masih saja menatap ke depan mengacuhkanku.
Dari balik kain putih tranparan yang menutupi sebagian wajahku, aku melirik
ingin tahu padanya. Mulai dari tangannya yang putih kekar, lalu naik ke atas,
kini lehernya, dagunya yang bersih, hidungnya, dan aku langsung saja berjengit
ketika mendapati mata siapa yang masih belum mau menatapku itu.
“IQBAL????!!!!!!!!!!!!”
Allahu akbar.. Allahu akbar...
Gambaran tadi lenyap sudah. Alunan adzan mengembalikan
lagi rasionalias yang sempat hilang. Degup jantungku seirama dengan nafasku
yang ngos-ngosan. Akal sehatku mulai menjawab, bahwa aku tak mungkin
memenangkan lomba renang karena aku tak bisa berenang, tol yang menghubungkan
pulau Kalimantan dan Pulau Jawa tidak pernah dibangun di dunia ini, dan pernikahan
tadi... Aku masih memejamkan mataku, menyusun adegan-adegan itu sebelum aku
melupakannya, tentu saja tidak akan mungkin terjadi.
***
Foto yang diunggah kawan kecil lamaku di instagram itu
menjadi pangkal dari mimpiku. Foto yang diambil ayah Radit ketika Radit
berulang tahun yang ke-10. Kami berempat memang berteman dekat sehingga hanya
aku, Bobi, dan Iqbal saja yang diminta menemani Radit di depan ketika ia akan
meniup lilin. Aku adalah yang paling muda, sekaligus satu-satunya venus yang
dikerubungi mars. Namun bukan berarti aku yang paling lemah, karena aku tidak
pernah menjadi yang terakhir yang harus berjaga di pos permainan petak umpet.
Aku juga tak pernah kalah cepat berlari dibanding mereka ketika bermain
bentengan. Tetapi tetap saja mereka menganggapku sebagai anak bawang, dan
karenanya setiap bermain permainan beregu, aku selalu berada satu tim dengan
Iqbal, anak paling tua di genk kami -yang kami anggap sebagai ketua genk.
Mungkin bukan karena aku yang benar-benar kuat, tetapi karena bersamanya lah
aku bisa menjadi lebih hebat. Aku bahkan sempat berpikir, hidupku tidak akan
menjadi lebih buruk kecuali ia meninggalkanku.
Ide-ide masa kecil kembali terbit lagi saat aku membuka
foto untuk yang kesekian kali. Senyumku terus saja mengembang, melihat
wujud-wujud kami yang masih imut. Iqbal tetap yang paling tinggi dan yang paling
putih, Bobi yang paling montok, Radit
masih dengan giginya yang ompong, dan anak paling kecil berambut pendek mirip
laki-laki itu aku. Jemariku memainkan scroll mouse, menurunkan halaman web
untuk membaca komentar-komentar mereka.
Radit : Nih, kita masih kelihatan unyu
di sini, hahaha.
AmandaS : Diiiittt, kangen!!!!!!!! :’)
Bobi Delayota : Dit, jangan senyum lebar-lebar, ketahuan lo
gak punya gigi, wkwkwkwk
Radit : Sial lo Bob -_- Inget gak Bobi
itu yang paling sering jaga kalo main petak umpet. Larinya paling pelan, haaha.
AmandaS : Jahat banget Dit -_- Kita kan dulu
sering dijajanin Bobi, hihihi
dr. Iqbal : Hahaha, kok baru di upload sih? Gak
kerasa udh 12 tahun ya guys. Manda banyak berubah btw J.
.....
Aku tidak melanjutkan membaca komentar berikutnya. Meski
kami memiliki nomor hape satu sama lain, sudah saling mengikuti akun media
sosial, baru kali ini kami berkomunikasi lagi. Iqbal, laki-laki pertama selain
ayahku yang bisa memberikan rasa aman. Setelah 12 tahun kami berpisah karena
ayahnya melanjutkan sekolah ke luar negeri, aku baru menyadari hanya dia yang
membuatku merasa seperti itu. Aku menelan ludah, mungkin setelah kembali
membaca komentarnya, aku bisa memimpikannya sekali lagi, tidak peduli kalau
terakhir kali aku melihat status hubungannya di facebook, ia sudah menjalin
kasih dengan perempuan lain. Tidak peduli juga... ya sudahlah.
***
Libur semester genap ini ibu memintaku untuk pulang
kampung lebih awal. Katanya biar bisa berpuasa lebih lama di
kampung halaman. Rencanaku untuk naik
gunung bersama pemuda-pemuda gondrong anggota mahasiswa pecinta alam akhirnya
dibatalkan. Dengan penerbangan paling pagi dari Yogyakarta, aku mendarat di
bandara Sepinggan dua jam kemudian. Dafa, adik laki-laki semata wayangku, menjemput
dengan mobil kijang Rover tua milik ayah. Bocah yang baru kelas 2 SMA itu
dengan bangga mempersilahkan aku masuk. Tentu saja ia ingin menyombong karena
aku tak bisa menyetir mobil. Awalnya semua terlihat meyakinkan, mulai dari ia
menyalakan mobil sampai mobil berjalan hingga 100 meter. Namun dahiku mulai
mengernyit ragu ketika bemper mobil menabrak pembatas jalan saat kami ingin
berbelok keluar dari area bandara.
“Kamu udah ada SIM belum sih?”
“Belum lah. KTP aja belum ada,”
“Terus kenapa ayah bolehin bawa mobil?” tanyaku tak
terima.
“Loh, kan aku cowok, hehe,” katanya sambil menyeringai. Ekspresi
mukanya langsung berubah saat menangkap rasa kesalku atas obrolan gender yang
diskriminatif ini, “Errr, ngomong-ngomong Kak, Om Rizal sekeluarga udah balik
loh,”
“Oh udah balik. Hah??? Om Rizal udah balik dari Australia???”
tanyaku tak percaya, “Sekeluarga?” adikku mengangguk.
Matahari
Balikpapan mulai sampai di puncak. Hawa panas di hari ketiga puasa diperparah
dengan mobil kami yang tidak ber-AC. Tamparan angin kering yang menerobos lewat
jendela menampar wajahku. Sebulan yang lalu laki-laki yang baru pulang bersama
keluarganya itu menyelinap di dalam mimpi. Rasa rindu yang mulai merambah
kalbuku ketika memandang foto kami berempat tidak kuasa kumanipulasi. Rinduku tidak
bisa kubagi sama rata, melainkan hanya untuk dia seorang. Mobil kami akhirnya memasuki
gerbang perumahan tempat kami tumbuh besar. Aku melirik rumah pertama berwarna
putih di blok A. Tanda-tanda kehidupan sudah tampak di sana. Bahkan aku sempat
membalas lambaian Ibu Iqbal yang tersenyum di saat mataku bergerak liar mencari
putranya yang tak terlihat.
Aku
tak berani keluar rumah. Tidak, sebenarnya lebih tidak ingin bertemu dengannya.
Setelah tiga hari berada di rumah, aku hanya bisa mengintip lewat jendela
ketika Iqbal sedang lari sore menjelang buka puasa. Aku bersembunyi di balik
dinding, menghindari Iqbal yang menoleh ke arahku. Menahan perasaan yang
menggebu-gebu, aku menolak ajakan Dafa untuk bertamu ke rumah Om Rizal. Kecuali
Iqbal yang pertama kali menemuiku, aku tidak akan menemuinya! Maka sama seperti
liburan-liburan sebelumnya, nasibku berakhir di depan televisi saja.
Program
liburan yang telah kusiapkan sebelum pulang kampung hanya sebatas wacana. Aku
yang berniat menguasai berbagai keterampilan wanita selama di rumah hanya bisa
menjadi penonton ketika ibuku memasak. Bukan karena seseorang, tetapi entah
mengapa panggilan untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga muncul begitu
saja ketika usiamu semakin meninggi. Ibu selalu menggiringku keluar dapur
ketika aku ingin membantu. Yah, mungkin ibu berusaha melindungi segalanya;
melindungi masakan agar tak gosong, melindungi perabotan agar tak pecah, dan
melindungiku agar tak terkena cipratan minyak panas. Aku sih tahu diri saja, karena terakhir kali
aku membantu, opor ayam tak lagi terasa seperti opor ayam.
Kali ini dengan mengendarai sepeda fixie, aku hanya
ditugaskan ibu untuk mengambil pesanan ayam di pasar. Pasar yang buka hingga
maghrib itu cukup jauh dari kompleks perumahan kami, mungkin sekitar 7 km. Maka
dengan kantong plastik berisi dua ekor ayam –sudah dibubuti- yang menggantung
di stang sepeda, aku meliuk-liuk di jalan yang baru saja diaspal ini. Keringat
di pelipis mulai menetes karena matahari sore masih bersinar terik. Di depan
sana, sebuah mobil tua memantulkan cahaya menyilaukan. Tiba-tiba seorang wanita
yang kukenal melompat keluar dari mobil tersebut untuk menghentikanku. Bunyi
decit ban sepeda terdengar begitu aku meremas rem di kanan dan kiri.
“Ada apa tante?” tanyaku khawatir. Aku tidak membayangkan
jika terlambat mengerem sepeda, barangkali Ibu Iqbal sudah tertabrak olehku.
“Eh, mobil tante mogok Manda. Nak Manda kuliah di teknik
mesin, bukan?” Ibu Iqbal tersenyum malu. Aku nyengir saja mendengar basa-basi
Ibu Iqbal, lalu tanpa menjawab pertanyaannya, aku memarkir sepeda kemudian berjalan
ke kap mobil yang sudah terbuka.
“Hahaha, terima kasih Nak Manda. Tante mungkin bakal
panggil mobil derek kalau nggak ketemu Nak Manda. Si Tole nggak bisa
diharapkan, masa dari tadi udah ngutak-ngatik tapi mobilnya masih belum benar
juga? Hahaha,”
Tawa
melengking Ibu Iqbal membuatku melirik sosok yang berdiri di sampingku.
Keringat membasahi kemeja Iqbal yang sudah dibuka hingga kancing ketiga. Dada
putihnya kelihatan mengkilap. Dengan kunci inggris di tangannya, Iqbal menyapu
bulir-bulir peluh dari pelipisnya, membuat coreng-moreng baru di wajahnya.
Untuk sementara aku merasa seperti berada dalam ruangan kedap udara. Bunyi degup
jantungku lebih kuat dari seperangkat sound system yang dipasang setiap tujuh
belas agustus. Mataku berkunanga-kunang, nadiku yang berdenyut cepat seakan mau
pecah! Iqbal yang sedang menjalani semester akhirnya di Fakultas Kedokteran Adelaide
pasti tahu kalau aku terkena serangan panik.
“Manda?”
suara lembut yang terakhir kudengar 12 tahun lalu merambat lambat di telinga.
Tetapi kali ini lebih berat dan berwibawa, kecuali bagian berikutnya ketika ia berterima
kasih karena aku berhasil membenarkan mobilnya kurang dari lima belas menit.
Aku tahu ia malu karena kalah dari seorang gadis manis sepertiku, hahaha.
“Santai,
Bro! Kamu harus jadi mahasiswa semester lima dulu untuk bisa memperbaiki mobil
seperti itu, hahaha,” aku sengaja tertawa semenyenangkan mungkin. Kedua
tanganku yang masih gemetaran saling meremas di balik punggung.
Itulan
pertemuan pertama dua kawan lama setelah sekian tahun. Hari-hari berikutnya tidak
ada tanda-tanda kemunculan Iqbal. Ia tak lagi lari sore melewati rumahku ketika
sedang menantikan waktu berbuka. Aku sempat menyesal kenapa harus bertemu
dengannya dalam situasi seperti kemarin. Barangkali sosok yang menurutnya
berubah begitu drastis tidak didapatkan dari diriku. Kalau tahu pertemuan itu
akan terjadi, sebelumnya aku akan memilih memakai rok panjang ketimbang celana
training, aku akan menata rambutku lebih cantik daripada hanya sekedar
mengikatnya seperti ekor kuda, dan aku akan memilih memakai sepeda berkeranjang
daripada sepeda fixie.
Namun
kekecewaanku langsung terobati ketika beberapa hari berikutnya ayah dan ibuku
tidak ada di rumah dari pagi hingga habis maghrib. Ayah akan berbuka puasa di
kantor karena harus lembur malam ini, sedangkan ibu bersama kelompok majelis
taklimnya akan mengadakan buka puasa bersama anak panti asuhan. Ibu tidak
sempat menitipkan pesan apa-apa tentang menu berbuka puasa, sehingga tanpa
diketahui oleh Dafa, aku akan menyiapkan menu berbuka spesial hari ini. Jika
Brownies Amanda sudah biasa, maka kolak Amanda tentu luar biasa!
Maka
sekitar jam dua siang, aku menggenjot sepedaku menyusuri jalan yang aspalnya
masih mulus. Jarak ke pasar menjadi lebih dekat karena semangat kolak yang
menggebu sepanjang perjalanan. Setelah melakukan penelusuran di semua sudut
pasar, aku berhasil mendapatkan kolang-kaling, kelapa parut, singkong, pisang,
gula merah, dan bahan-bahan lain dengan harga yang sukses kutawar. Sesampainya
di rumah, aku menggelar seluruh bahan dan mulai melakukan eksperimen pertama. Santan
yang telah kuperas selanjutnya kupanaskan hingga mendidih, kemudian kutambahkan
potongan singkong, pisang, kolang-kaling, gula merah, garam, dan seikat daun
pandan. Tidak sampai 30 menit, panci yang tutupnya kuangkat mengepulkan uap
tebal.
Setelah
memastikan masakan pertamaku sudah matang, aku melirik jam. Mulutku menguap
besar-besar. Masih jam lima, aku akan tidur dulu sampai waktunya berbuka. Ya,
awalnya hanya ingin tidur setengah jam saja, namun apa mau dikata, sensasi
gelap langsung merayapi mataku ketika aku terbangun. Astaga, sudah jam setengah
tujuh? Aku buru-buru bangkit dari tempat tidur, berlari ke dapur, meminum
segelas air untuk membatalkan puasaku. Aku baru saja ingin menyendok kolak ke
dalam mangkok ketika kulihat tv di ruang tengah menyala. Dafa pasti tidak
mematikan televisi setelah bermain playstation, pikirku.
Namun
langkahku tiba-tiba terhenti ketika melihat pintu depan tidak ditutup. Bocah
itu! Awas saja! Aku berjalan dengan kaki yang sengaja kuhentakkan keras-keras
di lantai. Dari sini aku bisa melihat siluet orang yang sedang duduk di kursi
teras. Kalau pun maling atau penerobos rumah orang yang akan kuhadapi, aku tak
takut! Modal sabuk biru taekwondo sudah cukup untuk meremukkan tulang mereka. Aku
siap untuk menghardik orang itu namun niatku luntur seketika. Yang kudapati
bukan penyamun atau semacamnya, melainkan Iqbal yang sedang duduk manis sambil
menyendok kolak ke dalam mulut. Aku meleleh ketika melihatnya tersenyum.
“Dafa
pergi sebentar menjemput Ibumu,” kata Iqbal.
“Kok
bisa kamu di sini? Disuruh Dafa jagain rumah ya? Hahaha,” aku tertawa sambil
meremas tangan yang lagi-lagi bergetar.
“Jagain
kamu maksudnya? Hahahaha.” Semburat merah terbit di wajahku. Aku yakin tampakanku
akan menjadi lebih mirip kepiting rebus kalau saja Iqbal tidak menambahkan
pernyataan lain, “Bercanda Non, aku tadi ke sini untuk main playstation. Terus
ibumu minta dijemput. Karena kamu lagi tidur aku akhirnya harus jaga rumahmu
sebentar,” Iqbal mengakhirinya dengan senyum simpul. Aku tidak tahan untuk
membalas senyumnya, lalu melirik sebentar ke arah mangkok yang isinya sudah
ludes.
“Ngomong-ngomong
enak nggak kolaknya?”
“Wah,
ini kolak paling enak yang pernah aku makan!”
“Oh
ya? Kalau gitu tambah lagi ya?” aku tak bisa menyembunyikan binar bahagia di
mata. Iqbal menyerahkan mangkoknya yang sudah kosong. Semenit kemudian Iqbal
kembali melahap kolak yang baru pertama kali kubuat itu.
“Masakan
ibumu enak ya?”
“Masakan
ibuku? Hahahaha, itu masakanku, Bal,” Iqbal berhenti mengunyah seketika.
“Seriusan?”
tanyanya. Aku mengangguk.
“Aku
nggak pernah diizinkan masak sebelumnya. Ternyata cuma mitos keluargaku aja
kalau makananku nggak enak. Kamu orang pertama yang menyukai masakanku loh,
hahaha” kataku sambil memukul pundaknya. Aku mengehentikan tawaku karena Iqbal
hanya diam. Angin malam melewati celah antara aku dan dia. Astaga! Aku
seharusnya tidak memukulnya sekeras tadi!
“Apa
aku juga yang pertama kali bilang aku menyukaimu?” ujar Iqbal setelah beberapa
menit membisu.
“Hah?”
“Aku
suka kamu,” suaranya makin tegas. Selintas pikiran mengerikan lewat.
“Kamu
nggak keracunan kolak, kan?” tanyaku pelan. Iqbal hanya tersenyum tipis.
Tatapannya tiba-tiba melayang padaku.
“Sejak
kita masih kecil, kamu tahu kenapa aku selalu mau satu tim dengan kamu? Aku pengen
melindungi kamu. Bahkan setelah Papa berangkat ke Australia, aku sempat
menyesali kita masih terlalu kecil untuk cinta-cintaan. Aku belum bisa bilang
aku suka kamu,” Iqbal berhenti untuk menelan ludah sebentar, “Amanda, sebelum
aku kembali ke Australia aku mau kamu tahu sebelum terlambat.” Kami diam lagi.
Iqbal masih belum menurunkan intensitas tatapannya. Wajahku makin panas, kini
ditambah mataku.
“Bro,
kamu memang sudah terlambat,” leherku tercekit ketika bicara. Aku berusaha
untuk balas menatapnya, kini sambil tersenyum, “Dari foto-foto profil media
sosial apa kamu nggak lihat aku selalu foto dengan seseorang? Dia mengatakannya
lebih dulu dari kamu.”
“Ku..
kukira dia temanmu atau semacamnya,” aku bisa mendengar suaranya bergetar, “Manda
kan memang suka main sama anak cowok. Apalagi sekarang kuliah di teknik mesin.
Kukira kamu belum pernah suka sama seseorang...”
“Aku
suka kamu, loh. Suka sekali. Semenjak kamu marah sama Radit karena dia jahil
padaku,” aku mengusap butir-butir bening yang mulai menetes, “Tapi sekarang
berbeda. Kamu milik orang lain sedangkan aku milik yang lain juga,”
“Aku
sudah putus. Sudah lama...”
Kami
diam lagi. Sekumpulan laron mengerubungi lampu teras, sebagian terbang di atas
kami berdua. Kedua tanganku masih saling menggenggam. Iqbal tak berani
menatapku lagi. Entah berapa menit yang kami habiskan dengan pikiran
masing-masing. Ingatanku kembali ke setahun yang lalu. Setelah tahu Iqbal menjalin
kasih dengan seseorang, aku tak menolak ajakan Bayu untuk jalan bersama. Walau
tak ada yang bisa diharapkan dari Bayu, namun usahanya membuatku luluh. Bukan
rasa suka melainkan iba yang kuharap akan menjadi lebih. Namun setelah setahun
ini, Bayu hanya tetap Bayu.
Kukira
gerombolan anak-anak yang lewat di depan rumah telah mengembalikan kesadaran
Iqbal lagi, karena kini ia sudah berdiri dari posisinya. Tanpa menoleh, ia
berjalan menuju pagar rumahku.
“Oh,
sudah jam segini. Aku pulang dulu, mau tarawih,”
“Iqbal,
temui ayahku dan aku akan memberimu jawaban berbeda,” aku sudah terlanjur
menangis kali ini. Berhenti! Jangan Pergi! Aku hanya bisa menjerit dalam
kepala.
“Manda,
kamu ingat 12 tahun yang lalu? Hahaha, kita masih sebesar anak-anak yang lewat
ini. Kita bisa saling bergandengan tangan tanpa rasa bersalah.” Katanya sebelum
benar-benar menghilang.
Aku
bisa merasakan kehampaan dalam tawa datarnya. Aku ingin menghentikannya namun
tak bisa. Untuk pertama kali dalam hidupku, kalau tangisan karena murka ayah
tak dihitung, hanya dia laki-laki yang berhasil membuatku bersedu sedan seperti
ini. Sisa malam ini kuhabiskan meratap dalam kamar. Aku tak peduli dengan
jeritan adikku ketika tahu aku yang memasak kolak (“Harusnya aku nggak
ngebiarin Mas Iqbal makan kolak!!!”), tak peduli dengan ajakan tarawih ibu (“tentu
saja tidak, ternyata aku menstruasi Bu!”).
Hari-hari
berikutnya aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Sama seperti Bayu, barangkali
Iqbal terlalu takut untuk memintaku secara langsung pada ayah. Aku tak tertarik
mendengar kabar apapun tentangnya. Bahkan kabar tentang Iqbal yang diare
setelah menghabiskan kolak buatanku pun hanya lewat begitu saja. Lebaran yang
ditunggu-tunggu hanya menjadi lebaran biasa. Aku masih belum bertemu Iqbal,
hanya bertemu orang tua dan dua adiknya. Barangkali ia terlalu malu untuk bertemu
denganku, mungkin juga karena trauma setelah tragedi kolak itu. Yang pasti, di
saat aku sudah kembali ke kota pelajar sedangkan ia belum kembali ke Australia,
aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Aku tahu mimpiku beberapa waktu lalu tak
akan pernah terwujud.
Yah,
namun hidup harus terus berjalan bukan? Beberapa saat lalu Bayu menemuiku.
Dengan rambut acak-acakan ia bersimpuh di depanku sambil menangis. Aku hanya
bisa melongo mendengar pengakuaannya bahwa ia lelaki pengecut, bahwa ia tidak
bisa lebih baik dariku, bahwa ia merasa tertekan bila terus bersamaku. Sebenarnya
aku lebih ingin tertawa daripada menangis ketika ia memintaku untuk putus
dengannya. Dan ketika vonisku keluar, Bayu langsung tertawa kegirangan.
Sendiri mungkin lebih nyaman untuk saat ini.
Aku mulai berani untuk melihat foto yang diunggah Radit lagi. Bukan hanya foto
ulang tahun, namun foto-foto lain juga. Banyak sekali, lebih dari seratus! Misalnya
saat kami sedang berlibur di pantai, atau saat Bobi jadi pengantin sunat, dan
sebagainya. Kali ini aku berusaha untuk menekan perasaan saat memandang anak
paling tinggi dan paling putih. Termasuk mimpi beberapa waktu lalu, sebaiknya
kulupakan saja. Ya, mereka semua sama, mereka kakak-kakakku. Ponselku tiba-tiba
berbunyi di saat aku asyik menyusun memori lagi. Kenapa ayah menelepon
malam-malam begini?
“Halo,
Manda,”
“Halo,
Yah?” aku mengernyitkan kening ketika mendengar keraguan dalam suara ayah.
“Dengar,
aku tidak tahu harus mulai dari mana tapi... Ini sungguh mengejutkan,”
“Apa?”
“Begini,
sebelum dia berangkat ke Australia, Iqbal datang menemuiku. Dia bilang...”
ayahku berhenti.
“Hmmm?”
Ayah
menarik napas panjang, lalu mengucapkan kalimat berikutnya dalam sekali napas, “Dia
bilang dia ingin menikahimu dan kujawab ‘ya’”
Butuh
beberapa detik sampai aku bisa mencerna maksudnya. Sebaiknya ini benar,
sebaiknya ini benar! Lalu seperti yang sudah-sudah, kupikir aku kena serangan
panik!
“AYAH
TIDAK BERCANDA KAN????!!!!”
Kosan
pak Taji, Senin 13 Oktober 2014 21.40