III
Kepalaku masih
berat saat mengangkat telepon dari Yon Ju. Aku menjauhkan hape dari telingaku
karena suaranya yang sangat keras. Ia marah besar. Ia berteriak-teriak dari
seberang sana dengan kata-kata yang belum dapat kucerna. Aku kasihan padanya
saat membayangkan ia menelepon dengan urat yang menyembul dari lehernya
sementara aku, di sisi gelap kota ini, meletakkan hape di sampingku dan
memejamkan mata berusaha tidur kembali. Lima menit kemudian kutempelkan lagi
hape di telingaku, dan ia masih nyerocos sampai ke bagian yang paling kutunggu.
“Kau mengerti?”
“Ne,” jawabku. Telepon ditutup.
Aku tak tahu apa yang ia bicarakan dan apa yang harus kumengerti. Tapi bisa
disimpulkan bahwa Yon Ju mengira aku menyimak kata-katanya, dan itu bagus
buatku, ia tak akan tambah murka. Aku tak bisa membayangkan ia tak berhenti
bicara selama sepuluh menit tanpa memberiku kesempatan, padahal ini masih pagi.
Masih pagi? Kulihat jam dinding di atas tivi, jam sebelas.
Aku
memperbaiki posisi tidurku di sofa, memandangi tiga botol soju dan satu bungkus
rokok. Aku berdecap, merasakan mulutku yang pahit karena minuman keras.
Sebentar, aku minum sebanyak ini tapi tak muntah? Aku bangun tidur dan duduk di
sofa. Ahh, kepalaku berat sekali. Kusandarkan kepalaku di pinggiran sofa,
sampai secara refleks aku mencari kamar mandi karena isi perutku yang akan
keluar.
Huuuueekkk...
Rasa
pahit dan panas menjalari tenggorokanku saat cairan dari mulutku masuk ke
kloset kamar mandi. Aku terus muntah-muntah selama semenit menyisakan badan
yang lemah. Aku belum makan sejak tadi malam. Dengan sempoyongan kuambil air
mineral dari kulkas dan kuteguk untuk mengembalikan cairan yang banyak
terbuang. Aku melihat lagi ke dalam kulkas untuk mencari makanan, namun yang
kudapatkan hanyalah roti tawar.
Dalam
satu jam ke depan yang kulakukan adalah membereskan puntung dan abu rokok, menyngkirkan
botol-botol soju, menyiapkan checklist belanja, dan merapikan rumah. Semua
kulakukan sambil berdendang untuk menunjukkan keringanan hatiku sampai bel flat
ku berbunyi.
“Yon Ju?” aku kaget saat
mendapatinya di depan flat ku. Mukanya merah.
“Kenapa? Bukankah sudah kukatakan
lewat telepon kalau aku akan ke sini?” tanyanya menyelidik.
“Oh tentu saja,” kataku sambil membiarkannya
masuk.
Kulihat
ia mengelilingi flatku, mencari kecacatan apa saja untuk meluapkan amarahnya
lagi. Kemudian ia duduk di sofa. Terlihat puas dengan inspeksi singkatnya.
“Jelaskan padaku apa yang tejadi
tadi malam?” ia menatapku tajam.
Aku
mencoba mengingat kejadian semalam. Aku, Yong Hwa, Yoon Ah dan Ji Sung pergi ke
pesta direktur Cho bersama. Sebelumnya Ji Sung mendandaniku di tempatnya dan
aku marah karena Yong Hwa tak langsung menemuiku setelah ia sampai di Korea. Aku
bertemu direktur Cho dan istrinya, hmmm, oh ya, bertemu laki-laki Korea-Amerika
bernama Lee Yong Ik juga. Dikrektur Cho mengenalkan kami. Setelah itu muncul si
perempuan jalang. Ia bilang Yong Hwa telah membelikannya tas dari Moskow dan
langsung menemuinya sesampainya di tanah air. Aku marah besar dan langsung
menonjok Yong Hwa saat kami bertemu. Ruang pesta riuh dan aku pergi begitu
saja. Kemudian ada kejadian di lift. Aku benci sekali dengan lelaki yang
kutabrak kemarin. Sesampainya di kamar aku langsung mengambil 3 botol soju dan
mengahabiskan malamku dengan mabuk dan rokok.
Aku mengernyit setelah berhasil
menyatukan puzzle kejadian semalam, “Aku menonjoknya,” jawabku. Yon Ju melihat
ke arah lain setelah mendengar jawabanku. Ia kecewa. Sebenarnya aku menyesal
dengan apa yang kulakukan.
“Maafkan aku. Aku tak akan
berulah lagi. Sungguh. Jangan beri tahu Yong Hwa apapun tentangku. Aku butuh
sendiri untuk beberapa waktu. Akan kuikuti instruksimu,” kataku sambil
memeluknya. Ia mengusap kepalaku. Aku rindu ibuku.
***
Aku
menjalankan semua instruksinya. Berhasil untuk sebulan ini, aku belum mati. Menjalani
rutinitas kuliah, dan ruang kelasku bergeming saat melihatku hadir lagi untuk
yang pertama kali. Aku hanya nyengir. Aku
juga mulai berhemat. Jarang ke klub malam, tak pernah lagi ke restoran mahal,
dan aku mulai terbiasa dengan bis. Aku sering menelepon sahabatku Yoon Ah,
kurasa hanya dia tempatku ngobrol. Aku belum mengalami kemajuan yang berarti dengan lingkungan
tempat tinggalku. Perempuan resepsionis itu masih bermuka menyenangkan walau
aku tak pernah merespon sama sekali sapaannya.
Sekarang aku tahu, lantai 3 adalah bagian dari
rumah susun ini yang harus kuhindari. Lantai 3 adalah milik pekerja kasar
proyek pembangunan gedung di daerah ini. Mereka semua kasar, bau, dan kotor,
begitu pikirku. Dan bukankah kebanyakan memang begitu kan? Mereka menggodaku
setiap aku melewati wilayahnya, tapi siapa yang peduli? Aku selalu mempercepat
langkahku. Hanya satu orang yang kulihat berbeda dari lantai 3. Anak muda
berusia 18 tahun yang kupikir pasti salah satu anak pekerja bangunan. Ia bersih
dan cukup tampan. Ia sering menyapa bila kami bertemu, tidak hanya padaku, tapi
pada semua orang di rumah ini. Cukup menyenangkan. Tapi tetap saja, ia adalah
bagian dari lantai 3, dan ia sama dengan mereka semua.
Bisa dibilang
aku sama sekali belum mengenal semua penghuni rumah ini. Bahkan penghuni kamar
36. Aku tak kenal siapa dia, dan sepertinya ia tak mau repot-repot mengenalku.
Aku sering berpapasan dengannya saat pergi kuliah. Tak pernah bicara dan tak
saling sapa. Aku baru sadar, hanya tiga penghuni yang menempati lantai paling
atas ini. Aku, orang yang kutabrak, dan seorang kakek tua di sayap lain. Ia
tinggal sendiri.
Aku tak kenal
pria di samping flatku, tapi aku sudah mengenal beberapa kebiasaanya. Ia suka
berolah raga di pagi hari, dilanjutkan dengan berjemur di balkonnya. Di kursi
santai. Seperti bayi saja. Aku tak pernah ke balkon bila ada dia. Dan dia
sepertinya sama, tak akan keluar ke balkon saat tahu ada aku di balkon milikku.
Ia sering membawa mangkok, entah berisi apa, ke flat orang tua itu. Sejak saat
itu, aku menamai ia si pria mangkok. Ia selalu berpakaian rapi. Setelan kemeja
dan juga jas. Tanpa dasi. Mungkin dia karyawan biasa atau mungkin sales, karena
ia cukup tampan. Jelas bukan seorang eksekutif muda apalagi pengusaha muda,
melihat ia tinggal di flat sejelek dan semurah ini.
Aku
mendapatkan kabar dari ibuku dua minggu lalu. Adikku akan sekolah di Seoul Girl
High School. Letaknya di pusat kota. Ia akan tinggal bersamaku untuk sementara
waktu sampai ia masuk asrama sekolahnya. Ibu menginginkan pendidikan terbaik
bagi kedua putrinya. Tetapi mengingat aku adalah salah satu bentuk kegagalan
dalam dunia pendidikan, ibu menginginkan yang lebih untuknya. Tak mengapa
buatku. Aku tahu Kim Hyo Jung sangat cerdas. Jadi aku yakin ia dapat melalui
dengan baik pendidikan di sini. Aku melirik jamku. Jam empat sore. Ia pasti
sudah sampai di tempatku. Bis masih setengah perjalanan, aku tak sabar bertemu
dengannya.
Aku
mendengar suara yang tak asing saat memasuki lobi rumah. Memang adikku, ia
sedang ngobrol dengan seseorang di kursi lobi, tapi siapa?
“Hyo Jung?” kataku.
“Eonni!!!” ia langsung menghambur
ke arahku. Memelukku.“kau lama sekali!!!” teriaknya.
“Maaf,” kataku. Akhirnya aku tahu
siapa teman bicara Hyo Jung. Pemuda dari lantai 3. Ia tersenyum.
“Kak, katanya kau belum pernah sama
sekali berkenalan dengannya? Kenalkan namanya Jeong Min. Lee Jeong Min,” kata
adikku mantap. Jeong Min mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya. Kami
bersalaman.
“Aku kakaknya Hyo Jung,” kataku cuek.
“Aku suka membaca tulisan anda,”
ujarnya.
“Kami harus pergi,” kataku sambil
menarik tangan adikku. Aku merasa Hyo Jung masih sempat berbalik dan
mengucapkan selamat tinggal.
Kami
memilih melewati tangga. Sepanjang perjalanan hanya pemuda itu yang diceritakan
Hyo Jung.
“Dia sangat pintar kak...” aku
mendengus mendengarnya.
Percakapan
kami terhenti saat tiba di lantai 3. Saat itu sekumpulan penghuni lantai itu
sedang bermain kartu dan seperti biasanya, mereka menggodaku.
“Nona yang dingin datang.
Barangkali ia mau bergabung bersama kita, hahaha,” kata seseorang di antara
mereka.
“Nona congkak, kau kedatangan
tamu ya? Wah nona cantik, semoga saja kau tidak sedingin dia, ahahahaha,”
Adikku
berhenti saat mendengar kata-kata mereka. Ia bingung, malu, dan kesal.
“Hyo Jung, kau naik duluan,”
bisikku. Ia menuruti perintahku. Aku memberinya kunci flat.
Aku yang masih
berada di lantai 3 berbalik kepada mereka, menunjukkan jari tengahku sebagai
bentuk penghinaan. Mereka terdiam seketika. Aku melanjutkan langkahku. Memasuki
flat dan mendapati adikku berkacak pinggang. Ia siap menuntut jawaban atas
lingkungan ini. Aku menuju kulkas dan mengambil air. Meneguknya.
“Berapa banyak penghuni rumah ini
yang kau kenal?”
“Aku tak kenal siapa-siapa,”
jawabku.
“Eonni pikir bisa hidup sendiri
di dunia ini? Kau menyedihkan,” katanya.
“Apa katamu? Sejak awal aku tak
pernah ingin tinggal di sini kalau tidak demi karirku!!! Kau lihat orang-orang
di sini? Orang pinggiran! Dan aku tidak mau jadi salah satu dari mereka!!! Dan
jauhi anak laki-laki itu!” bentakku.
“Apa hubungannya dengan Jeong
Min? Kapan kau berhenti merendahkan orang lain? Kaupikir apa tujuan Bibi Yon Ju
menyuruhmu tinggal di sini? Bukankah untuk mengubah watakmu? Membuatmu melihat
dunia lain, orang-orang lain? Tapi tetap sama saja kan, kau masih tak mau
berhubungan dengan mereka yang lebih rendah darimu! Kalau memang kau tak mau
merubahnya, lebih baik berhenti saja! kau akan terus tak punya inspirasi!!!!”
katanya panjang lebar.
“Berani sekali kau ngomong
seperti itu! Yaaa!! Mau ke mana kau,” aku mengejar Hyong Ju yang lebih dulu
sampai di kamarku. Ia membanting pintu.
“Buka pintunya!!!”
***
Keadaan
tak semakin membaik saat adikku berada di sini. Aku membuka lembar perang baru
dengannya. Kami lebih banyak diam bila bersama. Dia telah memulai kegiatan
sekolah dari pagi sampai malam, lalu masih sempat ingin bertemu dengan pemuda
lantai 3. Tetapi selalu kutolak dan
menyuruh Jeong Min ke flat ku. Menemaninya belajar. Aku selalu mengawasinya
dengan pandangan dari sudut mataku. Melihat gerak-gerik mereka, saat mereka
tertawa bersama, dan saling bercanda. Aku iri? Hah! Tidak! Hyo Jung gadis yang
riang, mudah baginya untuk dekat dengan siapapun. Termasuk dengan Jeong Min.
Dan Hhyong Ju tahu aku membenci pemuda dari lantai 3 itu.
Tapi
untunglah ada Yoon Ah. Ia beberapa kali datang ke flatku. Kadang-kadang ia
menginap. Aku sering melihat Yoon Ah dan adikku duduk berdua. Entah apa yang
mereka bicarakan. Paling-paling si bocah dari lantai 3! Yoon Ah pernah
bercerita tentang si pria mangkok, orang yang kutabrak itu. ia pernah minta
tolong untuk diantarkan ke kamarku. Berarti si pria mangkok mengenalku? Tentu
saja, aku kan Kim Ha Na yang terkenal! Tapi ia segera berhenti ketika aku
memperlihatkan pandangan tak suka. Kami tak pernah membahas pria itu lagi.
Di
sisi lain aku masih berusaha untuk memulai menulis lagi. Kunyalakan laptop dan
mencoba mengetik. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, sampai kemudian kuhapus
lagi. Sudah tiga jam aku mencoba menulis. Otakku buntu. Hanya ada cerita Cinderella
di sana. Adikku sudah tidur dan temannya sudah pulang. Ya Tuhan, mungkin benar
kata Hyong Ju. Aku menatap diriku di kamar mandi. Mencuci mukaku. Mukaku tegang
dan keningku berkerut. Berpikir. Aku berusaha membentuk lengkung dari bibir
itu, tapi aku selalu gagal. Muka Kim Ha Na selalu terlihat cemberut.
Semua
baik-baik saja sampai suatu hari ketenangan flat ku terusik. Hyo Jung sudah dua
malam tak pulang. Ia tak bisa dihubungi. Aku panik. Kucari nomor telepon
teman-temannya, menelepon mereka, namun jawabannya sama: mereka tak melihat Hyo
Jung. Aku sudah ke kantor polisi kemarin, namun kata mereka belum genap 24 jam
adikku menghilang, jadi mereka belum bisa mencarinya. Tenang Ha Na, tenang,
kata suara dalam kepalaku. Aku berusaha duduk. Air mataku tumpah.
Apa aku perlu
menelepon polisi lagi? tapi bagaimana jika dugaanku benar? Aku tak sampai hati
memenjarakan pemuda yang kata adikku pintar itu. Aku sudah meng-sms Yoon Ah,
namun ia sibuk dengan tugas kuliahnya. Yon Ju? Aku tak ingin merepotkannya
lagi. uhuk..uhuk.. aku terbatuk. Semakin parah batukku sejak dua hari yang
lalu. Aku membuka bungkus rokok keduaku.
Bagaimana bila
ibu tahu tentang ini? Ayo pikirlah, barangkali Hyo Jung pernah berpamitan ke
suatu tempat? Tidak sepertinya. Ayo pikir lagi!!! Anak itu! Aku tidak
melihatnya belakangan ini. Jeong Min! Aku tidak pernah percaya padanya sejak
awal! Ia bagian dari masyarakat lantai 3! Lalu bagaimana caraku agar dapat
berhadapan dengan mereka?
Pikirkan
caranya. Aku ke balkon untuk mencari udara segar. Menghembuskan asap rokok. Menjernihkan
pikiranku sampai tiba-tiba aku memandang balkon sebelah. Ruangan dalam flat itu
menyala. Flat nomor 36! Mungkin tidak tahu diri bila meminta orang yang sama
sekali tak kukenal itu untuk berhadapan dengan orang-orang dilantai 3. Tapi
siapa lagi yang bisa kumintai tolong?
Tok..Tok..Tok...
Pintu
kamar 36 tebuka dan muncul si pria mangkok. Ia menatapku heran. Memandangi
rambutku yang kusut dan mataku yang bengkak. Aku belum makan sejak pagi. Sudah
tiga bulan aku selantai dengannya dan baru kali ini aku bertamu secara resmi.
“Ada apa?”
“Tolong aku, adikku menghilang.
Sudah dua malam...” aku terisak.
***
Kami
mengambil langkah seribu. Aku harus berlari kecil untuk mengimbangi langkah
panjang yang dibuat pria ini. Kami menuruni tangga sampai ke lantai 3.
“Kau yakin dia yang
melakukannya?” tanyanya.
“Ya. Apa kau pernah melihatnya
dua hari ini?” yang ditanya diam.
“Tidak,” katanya kemudian.
Kami tiba di
depan kamar bernomor 27. Aku melihat pria itu, bertanya apakah pintunya harus kuketok atau
tidak. Ia mengangguk.
Tok..tok...
Tok...tok...
Tok..tok...
Aku
memandangnya, menggeleng. Panik. Si pria
mangkok bergerak ke kiri dan mengetuk pintu flat di sebelahnya. Tok....Tok.. tok...
Terbuka.
“Ya?” tanya penghuni itu.
“Aku dari lantai 5...” kata-kata
pria yang pernah kutabrak berhenti saat memperhatikan pandangan penghuni lantai
3 itu beralih ke arahku.
“Wah nona congkak, ada perlu
apa?” ia menyeringai padaku. Aku berlindung di balik Si pria mangkok. Ia menyampingkan tangannya ke
arahku. Berusaha melindungiku. Aku menggenggam tangannya.
“Ahjussi, kau tahu ke mana
perginya penghuni kamar nomor 27,” mata itu kembali lagi pada Si pria mangkok.
“Aku tak tahu,” ia mencoba menutup
pintu tetapi Si pria mangkok menahannya.
“Anak laki-laki itu menghilang
pada saat yang sama adik nona ini menghilang. Apa kau tahu di mana dia?”
“Aku tak tahu. Maaf, saya ada
kegiatan lain,”
“Saya serius. Anda tak mau
berurusan dengan polisi kan?”
“Aku benar-benar tak tahu!!!”
teriak orang itu. Mereka berdua saling tatap. Aku semakin memerkuat genggamanku.
Namun kutahu pertarungan tatap-menatap itu dimenangkan Si pria mangkok.
“Tunggu sebentar,” katanya. ia
menutup pintu dan mengambil sesuatu dari dalam flat. Pria mangkok menatap
tangan kami yang saling terpaut, lalu menatapku. Aku yang sadar, langsung
melepaskan tangan.
“Maaf,” kataku. Aku berani
bertaruh, tangan lelaki itu pasti kebas.
Setelah
dua menit kami menunggu, pria dari lantai 3 itu membuka pintu dan memberikan
kami secarik kertas.
“Coba pergi ke alamat ini,”
Pria
mangkok menyetir mobilnya 70 km/jam! Aku
bahkan belum pernah melakukannya. Aku melihat muka itu tegang. Tangannya
meremas setir mobil saat mobil kami berhenti di lampu merah. Jam 8.30 pm. Kami
harus pergi ke sisi barat Seoul sementara flat kami ada di bagian timur Seoul.
Kami melewati sungai Han. Aku hanya bisa menangis sepanjang perjalanan. Dua
hari yang lalu aku pulang jam 10.00 pm. Aku tak bertemu dengannya kukira ia
sudah tidur sampai besok pagi aku mencarinya, ia tak ada. Lalu kutunggu ia
sampai sekarang, aku belum tidur sama sekali.
“Kita sudah sampai,” kata pria
mangkok.
“benar kan ini
alamatnya?”tanyanya. Aku mengangguk.
Kami
menelusuri daerah dermaga lama ini. Sudah sejak tahun 90an tak dipakai. Dahulu
adalah tempat pelelangan ikan sampai limbah industri mencemarinya. Nelayan
adalah profesi turun temurun di tempat ini dulu. Dulu.
“Kita harus bergegas. Sudah jam 9
malam...” ia berhenti saat melihatku diam menatap laut. Aku tak pernah melihat
laut semenjak tinggal di Seoul. Dermaga ini mengingatkan tempat lahirku di
Incheon. Keluargaku sendiri adalah keluarga pengusaha produk laut. Termasuk
ayahku.
“Ha Na..” aku kaget saat ia
memanggilku. Ia mengulurkan tangannya dan aku meraihnya.
Kami
sampai di rumah kecil dalam perkampungan nelayan itu. Aku mengetok pintunya dan
keluar seorang ahjumma. Ia menyambut kami ramah.
“Ya, ada yang bisa saya bantu?”
“Apa ini kediaman Lee Jeong Min?”
“Ne, ada apa?” kami tak
melanjutkan pertanyaan ketika mendengar suara bersenda gurau yang tak asing
lagi.
Kami
berbalik ke arah sumber suara dan
mendapati mereka berdua bergandengan tangan. Melihat aku dan si pria mangkok,
mereka berhenti. Kini jarak kami tinggal 10 meter. Aku bisa melihat dengan
jelas wajahnya.
“Hyo Jung!!!” jeritku.
Adikku lari
seketika meninggalkan kami bahkan Jeong Min. Secara refleks aku melepas
gandengan pria mangkok dan mengejarnya. Jeong Min yang melihatku mengejar, ikut
melarikan diri. Pria mangkok tak tinggal diam. Ia ikut berlari. Mereka berdua dan kami berdua saling adu
cepat. Aku berteriak memanggil nama Hyo Jung. Aku tahu ia tak dapat berlari
cepat. Aku terus berlari begitu juga si pria mangkok. Kini pria mangkok sudah
lima meter di depanku.
“TANGKAP MEREKA!!!!” teriakku
pada pria mangkok. “AAAHHH!!!!” aku tersandung. Pria mangkok berhenti begitu
mendengarku terjatuh. Ia ingin menolongku tapi kukatakan “KEJAR SAJA MEREKA!!!”
dan ia kembali ke arah sebelumnya.
Aarrgghh!
Aku berusaha bangun. Tapi pergelangan kaki kiriku terlalu sakit. Aku berjalan
terpincang-pincang. Telapak tangan dan sikuku berdarah terkena karang kecil.
Kira-kira sudah 20 menit insiden kejar-kejaran ini berlangsung dan si kepala
mangkok belum mendapatkan mereka. Aku berusaha terus berjalan sampai kulihat si
pria mangkok berjalan ke arahku. Tapi tak ada mereka bersamanya.
“Bagaimana?” tanyaku. Air mataku
mulai menetes.
“Ayo kita pulang,” katanya. ia
terus saja berjalan menjauh.
“MANA MEREKA???!!” jeritku. Aku
menangis kembali. Ia berbalik dan melihatku berjalan pincang menuju arahnya
datang tadi.
Tapi
tiba-tiba tangan Si pria mangkok menjambret
tanganku, dan dengan paksa menggendongku di punggungnya. Lalu berjalan pulang.
“TURUNKAN AKU!!!” aku berontak
dalam gendongannya.
Aku
terus memberontak dan menangis sampai kami tiba di mobil Si pria mangkok di dekat dermaga. Ia
menurunkanku dan mengurungku dalam mobilnya. Aku menggedor-gedor kaca jendea,
memintanya untuk membuka pintu. Tapi ia tak peduli dan kembali berjalan ke arah
perkampungan nelayan. Aku menjerit dalam mobil sampai kelelahan dan akhirnya
kecapaian sendiri.
Sudah
10 menit sejak ia mengurungku dan sekarang aku melihatnya kembali. Sekarang ia tidak
sendiri, melainkan bersama dua orang lagi. Jeong Min dan adikku. Aku segera
menempelkan mukaku di kaca mobil dan kembali memukul kaca itu menyalurkan
emosi. Aku benci adikku yang lari dari rumah begitu saja dan memilih untuk
percaya pada kekasihnya, pada Jeong Min sendiri yang pasti menyuruhnya untuk
lari, dan Si pria mangkok yang
meninggalkanku sendirian. Berbagai makian sudah tercatat dalam otakku. Siap
untuk dikeluarkan pada mereka. Siap berteriak-teriak lagi.
Namun
itu hanya rencana. Aku terlalu lelah. Jam 11 malam. Kami kembali ke rumah dalam
diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku melihat lewat kaca depan mobil
dan mendapati adikku sedang bersandar di bahu Jeong Min dan saling menggenggam
tangan. Aku menggigit bibirku namun segera menghentikannya. Sakit. Bibirku
ternyata luka.
Jam
12 malam kami sampai di flatku. Kami ada di ruang makan dan aku siap menghakimi
mereka. Hyo Jung duduk di hadapanku sedangkan Jeong Min berdiri di belakangnya.
Aku melirik ke arah Si pria mangkok yang
berada dekat tempat cuci piring. Asyik berdiri sambil menonton konfrontasi
kami. Aku diam beberapa menit sampai kemudian aku berjalan ke arah Jeong Min.
Berhadapan dengannya. Dan.....
PLAAKKK...
Aku
menamparnya.
“EONNIII!!!!!” jerit adikku. Ia
berdiri serta merta dan memposisikan dirinya berhadapan denganku. Menantang.
Bibir Jeong Min berdarah. Si pria
mangkok sudah berada di sampingku.
“Aku akan lapor eomma,” kataku
datar.
“LAPOORR SAJA. KAU JADI BEGINI
KARENA JAE SUNG OPPA MENIGGALKANMU KAN??? LALU KAU TAK SUKA KARENA ADIKMU
BAHAGIA DENGAN ORANG YANG IA SUKAI, BUKAN BEGITU????” aku sudah bersiap dengan tamparanku ketika si
kepala mangkok menahanku. Si pria
mangkok menggeleng ke arah adikku dan adikku meninggalkan kami, masuk ke dalam
kamarku.
Aku
menatap murka Jeong Min. Jeong Min
melihat ke arah Si pria mangkok yang
memberinya isyarat untuk pergi. Aku begitu lemah dan segera rubuh ke Si pria mangkok. Menangis. Ia memelukku dan
membelai rambutku. Aku merasa sekelilingku gelap dan aku hanya bisa bersandar
padanya.
***